TARBIYAH ONLINE: fiqh puasa

Fiqh

Tampilkan postingan dengan label fiqh puasa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label fiqh puasa. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 09 Mei 2020

Bagaimana Hukum Menggosok Gigi Setelah Waktu Matahari Tergelincir?

Mei 09, 2020

Fiqh Puasa | Menggosok gigi adalah bagian dari sunah yang sangat dianjurkan sebagai bagian dari perintah menjaga kebersihan. Kondisi sedang berpuasa tidak menghalangi kesunnahan bagi seseorang menggosok gigi. Ia tidak membatalkan puasa selama tidak sampai memasukkan sesuatu ke dalam tenggorokan. Karena sedang berpuasa, tidak selayaknya dijadikan alasan untuk tidak menjaga kebersihan, termasuk kebersihan mulut. Hanya saja, perlu ada kehati-hatian dalam melaksanakan gosok gigi agar jangan sampai saat berkumur, ada air yang tertelan.

Disamping itu, perlu adanya pengaturan waktu dalam melaljkan aktivitas ini. Pertama dilakukan dimasa setelah sahur, sebelum imsak. Dengan tujuan, sela-sela gigi sudah bersih dari sisa makanan Karena jika ada sisa makanan yang tetelan, bisa menyebabkan batal puasa. Sedangkan apabila dilakukan setelah imsak, harus adanya pejagaan ekstra, agar tidak ada sisa bekas odol atau bulu sikat yang tertelan.

Setelah imsak, masih boleh terus menggosok gigi dan berkumur. Agar nafas tetap segar, gigi dan mulut pun sehat terawat. Namun jika waktunya sudah Zhuhur, para ulama menganjurkan agar aktivitas siwak atau gosok gigi ini dihentikan bagi orang yang menjalankan puasa.

Mayoritas ulama berpendapat, bersiwak termasuk menggosok gigi setelah Zhuhur hukumnya makruh.Hal ini disampaikan Syekh Muhammad Nawawi Al-Bantani dalam Nihayatuz Zain sebagai berikut:

ومكروهات الصوم ثلاثة عشر: أن يستاك بعد الزوال

Artinya, “Hal yang makruh dalam puasa ada tiga belas. Salah satunya bersiwak setelah zhuhur,” (Nihayatuz Zein fi Irsyadil Mubtadi’in, Cetakan Al-Maarif, Bandung, Hal. 195).

Pernyataan tersebut juga diperkuat dengan ungkapan Al-Habib Abdulah bin Husein bin Thahir dalam karyanya Is‘adur Rafiq wa Bughyatut Tashdiq:

 ويكره السواك بعد الزوال للصائم لخبر "لخلوف" أي لتغير "فم الصائم يوم القيامة أطيب عند الله من رائحة المسك

Artinya, “Bagi orang berpuasa, makruh bersiwak setelah zhuhur berdasarkan hadits, ‘Perubahan aroma mulut orang yang berpuasa lebih wangi di sisi Allah pada hari Kiamat daripada wangi minyak misik,’” ( Kitab Is‘adur Rafiq, Cetakan Al-Hidayah, Surabaya, Juz I, Hal. 117).

Hal ini didasarkan pada pemahaman  diatas, secara eksplisit adanya anjuran untuk tidak lagi menggosok gigi setelah waktu Zhuhur juga dimaksudkan sebagai langkah preventif agar tidak dijadikan sarana untuk menyegarkan diri yang bisa jadi membatalkan puasa. Disamping itu terdapat pendapat yang menyebutkan tidak makruh hukumnya menggosok gigi setelah tergelincir matahari apabila ada hal yang menghendaki untuk bolehnya bersiwak (Kitab Syarkawi, jld 1, h. 446).

Penjelasan ini juga diungkapkan dalam kitab Kifayatul Akhyar Jld. 1 hal 16-17:

و هل يكره للصائم بعد الزوال فيه خلاف؟ الراجح فى الرافعى و الروضة انه يكره لقوله عليه الصلاة و السلام لخلوف فم الصائم الطيب عند الله من الريح المسك رواه البخارى.و فى رواية مسلم يوم القيامة. و الخلوف بضم الخاء واللام هو التغييرو خص بما بعده الزوال لان تغيير الفم بسبب الصوم حينئذ يظهر، فلو تغير فمه بعد الزوال بسبب اخر كنوم او غيره فاستاك لاجل ذلك لا يكره و قيل لا يكره الا ستياك مطلقا و به قال الائمة الثلاثة و رجحه النووى فى الشرح المهذبكفاية الاخيار ١/١٦_١٧

Apakah makruh bagi orang yg berpuasa bersiwak setelah lingsir matahari? Hal ini terjadi perbedaan pendapat. Pendapat yang rajih dari Imam Rafi'i adalah makruh hal ini didasarkan atas hadis dari imam Bukhari dan Imam Muslim. "Bahwasanya perubahan bau mulut orang yg berpuasa disisi Allah adalah lebih wangi dibanding misik." Dikhususkan dengan lingsir matahari, karena pada waktu itu perubahan bau mulut karena berpuasa akan tampak. Apabila perubahan bau mulut sesudah matahari tergelincir disebabkan oleh hal lain semisal karena habis tidur maka bersiwak tidak dimakruhkan. Pendapat yang kedua menghukuminya tidak makruh secara mutlak. Dan ini adalah pendapat tiga Imam Madzhab. Dan Imam Nawawi merajihkan dalam kitabnya Syarah al-Muhadzab. (Kifayatul Akhyar: 1;16-17)


Teungku Helmi Abu Bakar El Lamkawi, Dewan Guru Dayah MUDI Mesra Samalanga.
Read More

Kamis, 07 Mei 2020

Ternyata Mandi di Siang Hari Bisa Menyebabkan Batal Puasa

Mei 07, 2020

Fiqh Puasa | Salah satu aktifitas yang sering dilakukan saat siang Ramadhan melakukan mandi atau berwudhu. Sehingga air kadang dapat masuk ke lubang terbuka, selain rongga mulut, ada lubang hidung dan telinga. Lantas bagaimana hukum puasanya, apakah batal atau tidak?

Masuknya air ke telinga orang yang sedang puasa atau lubang-lubang yang ada di tubuhnya kemasukan air secara tidak disengaja, baik ketika berkumur atapun membersihkan lubang hidung, maka hukumnya ada tiga:

Pertama, orang tersebut puasanya tidak batal. Ini apabila mandi orang tersebut mandi wajib atau mandi sunat, kemudian ada hal yang masuk ke dalam tubuh orang tersebut baik melalui telinga atau mulut dan lainnya. Maka hal ini tidak membahayakan puasanya dengan syarat dia tidak berlebihan ketika berkumur atau membersihkan hidungnya.

Kedua, apabila mandi orang tersebut bukanlah mandi wajib dan juga bukan mandi sunat tapi mandi untuk menghilangkan najis. baik itu dari telinganya atau yang lainnya kemudian sampai kemasukan air tanpa di sengaja, maka hal ini tidak mebatalkan puasanya dengan syarat air atau benda tersebut masuk dengan tanpa disengaja.

Ketiga, mandi orang tersebut bukan mandi wajib, bukan juga sunat, tetapi hanya untuk mendinginkan diri saja karena gerah. Apabila kemasukan air dari sebab berkumur atau membersihkan hidung maupun telinganya, maka hukum puasanya batal. Adakah dengan berlebihan dalam berkumur atau membersihkan hidung juga telinganya, ataupun secara tidak berlebihan. Namun jika mandinya dengan cara menyelam maka puasanya batal, karena menyelam ketika puasa hukum dasarnya makruh. Tetapi kalau mandinya bukan dengan cara menyelam melainkan dengan cara digayung airnya atau melalui pancuran maka hal ini tidak membatalkan puasanya. Dengan syarat dia tidak menyengaja memasukkan air dengan cara memiringkan telinganya atau memang sudah kebiasaan baginya kalau mandi pasti kemasukan air.

Kalau memang sudah kebiasaannya kemasukan air maka para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini diantara mereka ada yang memperbolehkan dan ada juga yang tidak memperbolehkan.

Tiga perincian di atas berdasarkan keterangan dalam Kitab I’anatut Thalibin sebagai berikut:

والحاصل) أن القاعدة عندهم أن ما سبق لجوفه من غير مأمور به، يفطر به، أو من مأمور به - ولو مندوبا - لم يفطر.ويستفاد من هذه القاعدة ثلاثة أقسام: الاول: يفطر مطلقا - بالغ أو لا - وهذا فيما إذا سبق الماء إلى جوفه في غير مطلوب كالرابعة، وكانغماس في الماء - لكراهته للصائم - وكغسل تبرد أو تنظف.الثاني: يفطر إن بالغ، وهذا فيما إذا سبقه الماء في نحو المضمضة المطلوبة في نحو الوضوء.الثالث: لا يفطر مطلقا، وإن بالغ، وهذا عند تنجس الفم لوجوب المبالغة في غسل النجاسة على الصائم وعلى غيره لينغسل كل ما في حد الظاهر. 

Artinya, “Kesimpulannya, kaidah menurut ulama adalah, air yang tidak sengaja masuk ke dalam rongga tubuh dari aktivitas yang tidak dianjurkan, dapat membatalkan puasa, atau dari aktivitas yang dianjurkan meski anjuran sunah, maka tidak membatalkan. Dari kaidah ini, dapat dipahami tiga pembagian perincian hukum. Pertama, membatalkan secara mutlak, baik melebih-lebihkan (dalam cara menggunakan air) atau tidak. Ini berlaku dalam permasalahan masuknya air dalam aktivitas yang tidak dianjurkan seperti basuhan ke empat, menyelam ke dalam air, karena makruh bagi orang yang berpuasa, mandi dengan tujuan menyegarkan atau membersihkan badan. Kedua, membatalkan jika melebih-lebihkan, ini berlaku dalam aktivitas semacam berkumur yang dianjurkan saat berwudhu. Ketiga tidak membatalkan secara mutlak meski melebih-lebihkan, ini berlaku ketika mulut terkena najis karena wajibnya melebih-lebihkan dalam membasuh najis bagi orang yang berpuasa dan lainnya agar anggota zhahir terbasuh (suci dari najis),” ( Syekh Abu Bakr bin Syatha, I’anatut Thalibin, juz II, hal 265).


Tgk. Helmi Abu Bakar El-Lamkawi, Guru Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga
Read More

Selasa, 05 Mei 2020

Apakah Menyuntikkan Nutrisi Makanan Dapat Membatalkan Puasa?

Mei 05, 2020

Fiqh Puasa | Salah satu yang membatalkan puasa adalah memasukkan sesuatu ke dalam rongga terbuka, baik berupa makanan maupun bukan. Maka bila suntikan tersebut di lakukan pada bagian yang bisa menyebabkan sampai sesuatu secara langsung ke dalam rongga terbuka maka bisa membatalkan puasa. Sedangkan suntikan pada lengan atau daerah lain yang tidak sampai ke dalam rongga maka tidaklah membatalkan puasa, sama seperti masuk air dalam badan melalui pori-pori kulit.

Maka dapat diklarifikasi ada dua pendapat tentang suntikan nutrisi makanan yaitu: Pertama, batal puasa. Sebagian ulama berpendapat bahwa menyuntikkan zat yang bisa mengenyangkan bisa membatalkan puasa. Pendapat ini di anggap kuat oleh Habib Hasan bin Ahmad bin Muhammad al-Kaf dalam kitab Taqrirat as-Sadidah fi Masail Mufidah hal 452 Dar Mirats an-Nabawi. Bahkan Habib Muhammad bin Ahmad asy-Syathiri dalam kitab Yaqut an-Nafis jilid 1 hal 467 Dar Hawi, mengatakan ijmak para ulama bahwa suntik zat yang bisa mengenyangkan bisa membatalkan puasa. Namun kutipan ijmak ini rasanya sangat perlu ditinjau kembali karena pada pengarang Taqrirat Sadidah menyebutkan adanya khilaf para ulama.

Kedua, tidak batal puasa. Dalam penjabaran para ulama dalam kitab terdahulu yang menjelaskan tidak batal puasa apabila memasukkan sesuatu ke selain rongga terbuka tanpa merinci lebih lanjut bahwa yang masuk tersebut zat yang mengeyangkan atau tidak. Sehingga dapat ada kesimpulan, hal ini berlaku umum baik yang masuk tersebut adalah zat yang bisa mengenyangkan ataupun bukan, keduanya sama-sama tidak membatalkan puasa. Bahkan juga ditemukan penjelasan Syeikh Ali Jum’ah yang mengutip penjelasan Syeikh bakhit al-Muthi`i setelah beliau membawa nash-nash para ulama dari empat mazhab:

ومن هذا يُعلَم أن الحقنة تحت الجلد لا تفسد الصوم باتفاق المذاهب الأربعة، سواء كانت للتداوي أو للتغذية أو للتخدير، وفي أي موضع من ظاهر البدن؛ لأن مثل هذه الحقنة لا يصل منها شيء إلى الجوف من المنافذ المعتادة أصلاً، وعلى فرض الوصول فإنما تصل من المَسَامّ فقط، وما تصل إليه ليس جوفًا ولا في حكم الجوف، وليست تلك المَسَامُّ مَنْفَذًا منفتحًا لا عُرفًا ولا عادةً

Artinya : Dan dari ini semua bisa diketahui bahwa suntik di bawah kulit tidak membatalkan puasa berdasarkan kesepakatan Mazhab yang empat. Baik suntikan itu untuk berobat atau mengenyangkan ataupun untuk pembiusan, dan dimana saja (disuntik tetap puasanya tidak akan batal) dari dhahir badan karena suntikan ini sama sekali tidak menyampaikan sesuatu ke dalam rongga dari jalur yang biasa. Kalaupun kita katakan sampai, maka hanya sampai (ke dalam rongga) melalui pori-pori kulit, tempat (pori-pori) tidak di namakan jauf (rongga) ataupun pada kedudukan jauf. Dan pori-pori kulit tidaklah termasuk dalam rongga terbuka secara uruf dan adat.

Dalam mazhab Syafii, illat batal puasa adalah masuk sesuatu ke dalam rongga terbuka, tanpa ada perbedaan pada zat yang masuk itu apakah bisa mengenyangkan atau tidak. Adapun masalah ia tidak merasakan lapar di siang harinya, sehingga menghilangkan maksud syara` dari disyariatkannya puasa, hal ini hanya menyebabkan hilangnya hikmah dar puasa tersebut.

Hikmah tidak sama seperti illat yang memiliki keterikatan erat dengan hukum (muththarid). Ketika hilangnya hikmah dari satu hukum ibadat belum tentu hukum tersebut akan ikut berubah. Sama halnya dengan seseorang yang berendam dalam air selama puasa sehingga masuk air ke dalam badannya melalui pori-pori kulitnya. Dan ia tidak merasakan lapar dan haus sedikitpun, puasanya tersebut tetap tidak batal.

Maka atas dasar pemahaman terhadap nash-nash kitab Fiqh Syafiiyah yang mu`tabarah dan dengan didukung penjelasan Syeikh Bakhit al-Muthi`i yang juga di kutip oleh Syeikh Ali Jumah maka kami tidak sependapat dengan penjelasan kitab Yaqut Nafis yang mengatakan bahwa ijmak ulama suntik zat makanan bisa membatalkan puasa dan juga keterangan kitab Taqrirat as-Sadidah bahwa pendapat yang kuat suntikan dengan memakai zat yang mengenyangkan membatalkan puasa.

Kami sependapat dengan penjelasan Syeikh Bakhit al-Muthi`y bahwa bahwa suntik zat makanan tidak membatalkan puasa. Bahkan beliau mengatakan hal tersebut berdasarkan kesepakatan mazhab yang empat. Hal ini juga dikuatkan dengan fatwa Abuya Muda Waly dalam Kitab Fatawa beliau, dimana beliau menjawabnya tanpa membedakan antara suntikan zat makanan dengan bukan zat makanan.

Teungku Helmi Abu Bakar El Lamkawi, dikutip dari: LBM MUDI
Read More

Batalkah Puasa Karena Suntik dan Menetes Obat dalam Mata dan Telinga?

Mei 05, 2020

Fiqh Puasa | Kita sebagai manusia terkadang mengalami kondisi kurang sehat alias sakit termasuk kondisi seperti ini terjadi di bulan Ramadhan yang merupakan bulan yang sangat dinantikan oleh umat Islam. Kita mengetahui bahwa bulan ini menjadi istimewa karena berbagai keberkahan dan kemulian bahkan malam lailatul qadar juga terjadi di syahrul Mubarak ini.

Puasa pada bulan Ramadhan merupakan salah satu rukun Islam, sehingga umat Islam wajib untuk berpuasa.   Seseorang yang sakit dalam bulan Ramadhan kemudian berobat ke dokter dan diputuskan harus dilakukan suntikan. Lalu apakah puasa si pasien batal karenamendapatkan tindakan suntik?

Berdasarkan catatan, bahwa terdapat 5 lubang bagi laki-laki dan 6 bagi perempuan, jika masuk sesuatu yang kelihatan (ainiyah) ke dalamnya, maka batal lah puasanya. Lubang tersebut yaitu lubang hidung, telinga, mulut, dubur, kemaluan, susu (bagi perempuan). Dalam kitab Sabilul Muhtadin juga disebutkan tiada batal puasanya karena memasukkan jarum suntik, karena kulit tidak termasuk lubang yang terbuka yang 5 atau 6 ini. Ini mazhab Imam Syafi’i ‘alaihi ridhwanullah wa ardhah. Sedang dalam mazhab Imam Maliki terdapat tambahan satu lagi, yaitu mata. Maka bercelak di siang hari pada bulan ramadhan dapat membatalkan puasa menurut mazhab beliau ‘alaihi ridhwanullah wa ardhah.

Adapun hukum suntik bagi orang yang berpuasa, puasanya tidak batal, sebab obat yang dimasukan melalui injeksi itu adalah ke dalam daging, dan tidak ke dalam rongga badan. Hal ini berdasarkan redaksi kitab Al-Mahalli berbunyi;

 ﻭَﻟَﻮْ ﺍَﻭْﺻَﻞَ ﺍﻟﺪَّﻭَﺍﺀَ ﻟِﺠَﺮَﺍﺣَﺔٍ ﻋَﻠَﻰ ﺍﺳَّﺎﻕِ ﺍِﻟَﻰ ﺩَﺍﺧِﻞِ ﺍﻟَّﻠﺨْﻢِ ﺍَﻭْ ﻏَﺮَﺯَ ﻓِﻴْﻪِ ﺳِﻜَّﻴْﻨًﺎ ﻭَﺻَﻠَﺖْ ﻣُﺤَّﻪُ ﻟَﻢْ ﻳُﻔْﻄِﺮْ ﻷَِﻧَّﻪُ ﻟَﻴْﺲَ ﺑِﺠَﻮْﻑٍ

Artinya: “Andaikata seseorang menyampaikan obat bagi luka betis sampai luka ke dalam daging, atau menancapkan pisau pada betis tersebut sampai ke sumsum, maka hal itu tidak sampai membatalkan puasanya, daging itu bukan rongga badan." (Kitab Al Mahali, Hamisy dari Kitab Al Qalyubi juz 2 hal,56)

Penjelasan ini diperkuat dengan pendapat Abuya Muda waly al-Khalidi salah seorang ulama besar Aceh dalam “Fatawa Abuya Muda Waly al-Khalidy” berbunyi: “Dipahami dari ini segala nash tidak terbuka/ batal puasa dengan sebab berjarum atau berinjeksi asal jangan dijarum di tempat rongga yang terbuka seperti tentang perut dan tentang zakar umpamanya. Walaupun tidak terbuka/batal puasa pada yang selain dari rongga terbuka tetapi hukumnya khilaf aula karena illat mendhaifkan (bisa membuat fisik lemah- pen). (Fatawa Abuya Muda Waly al-Khalidy hal 96 Cet. Nusantara, Bukit Tinggi).

Sedangkan memasukan obat tetes ke dalam telinga hukumnya membatalkan puasa. Namun memasukkan obat tetes mata tidak membatalkan puasa. Ini berdasarkan Kitab Al Fiqhul Manhaji ala Madzahibil Imam Asy Syafi’I  berbunyi:

 ﻓَﺎ ﻗَﻄْﺮَﺓُ ﻣِﻦَ ﺍﻷُﺫُﻥِ ﻣُﻔْﻄِﺮَﺓٌ, ﻷَﻧَّﻬَﺎ ﻣَﻨْﻔَﺪٌ ﻣَﻔْﺘُﻮْﺡٌ. ﻭَﺍﻟْﻘَﻄْﺮَﺓُ ﻓِﺂ ﺍﻟْﻌَﻴْﻦِ ﻏَﻴْﺮُ ﻣُﻔْﻄِﺮَﺓٍ ﻷَِﻧَّﻪُ ﻣَﻨْﻔَﺪٌ ﻏَﻴْﺮُ ﻣَﻔْﺘُﻮْﺡٍ

“Maka tetesan ke dalam lubang dari telinga adalah membatalkan puasa, karena telinga itu adalah lubang yang terbuka. Dan tetesan ke dalam mata itu tidak membatalkan puasa, karena mata itu lubang yang tidak terbuka.” (Kitab Al Fiqhul Manhaji ala Madzahibil Imam Asy Syafi’I hal, 84)


Tgk. Helmi Abu Bakar El-Lamkawi, Guru Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga
Read More

Sabtu, 02 Mei 2020

Apakah Mencicipi Rasa Makanan Bagi Koki Bisa Membatalkan Puasa?

Mei 02, 2020

Fiqh Puasa | Ramadhan merupakan bulan berkah dan penuh rahmat. Salah satu tradisi dalam bulan Ramadhan di Aceh adalah adanya menu masakan khas buka puasa yang dikenal dengan kanji. Koki yang memasak, kadang menganggap perlu untuk memastikan masakannya enak dan berkualitas. Maka yang memasaknya mencicipinya sedikit terlebih dahulu. Sedang ia dalam keadaan sedang berpuasa.

Demikian halnya orang tua yang mempunyai kepentingan untuk mengobati anaknya yang masih kecil, juga bisa mencicipi makanan yang hendak disajikan, kepada anak. Bukankah puasa itu sendiri memang bermakna menahan makan dan minum, juga hal-hal yang membatalkan, sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari?

Lalu, bagaimana hukumnya? Menjawab persoalan tersebut Syekh Abdullah bin Hijazi asy-Syarqawi dalam kitabnya, Hasyiyatusy Syarqawi ‘ala Tuhfatith Thullab menyebutkan:

 وذوق طعام خوف الوصول إلى حلقه أى تعاطيه لغلبة شهوته ومحل الكراهة إن لم تكن له حاجة ، أما الطباخ رجلا كان أو امرأة ومن له صغير يعلله فلا يكره في حقهما ذلك قاله الزيادي 

Di antara sejumlah makruh dalam berpuasa ialah mencicipi makanan karena dikhawatirkan akan mengantarkannya sampai ke tenggorokan. Dengan kata lain, khawatir dapat menjalankannya lantaran begitu dominannya syahwat. Posisi makruhnya itu sebenarnya terletak pada ketiadaan alasan atau hajat tertentu dari orang yang mencicipi makanan itu. Berbeda lagi bunyi hukum untuk tukang masak baik pria maupun wanita, dan orang tua yang berkepentingan mengobati buah hatinya yang masih kecil. Bagi mereka ini, mencicipi makanan tidaklah makruh. Demikian Az-Zayadi menerangkan."


Teungku Helmi Abu Bakar El Lamkawi, Dewan Guru Senior Dayah MUDI Mesra Samalanga
Read More

Kamis, 30 April 2020

Hukum Menelan Bekasan Gosokan Gigi Bagi yang Sedang Berpuasa

April 30, 2020

Fiqh Puasa | Dalam rutinitas berpuasa dibulan Ramadhan, nafas menjadi sedikit lebih bau daripada hari biasanya. Maka dari itu banyak yang menambah rutinitas sikat gigi. Selain menjaga kesehatan dan kebersihan mulut dari sisa-sisa makanan yang tertinggal di sela-sela gigi.

Lantas apakah hal tersebut bisa membatalkan puasa?

Sebagaimana kita ketehui bahwa menjaga kebersihan gigi dan mulut bagi sebagian orang sudah menjadi suatu kebiasaan. Namun, dibulan puasa seperti saat ini, banyak yang bertanya-tanya terkait dengan penggunaan obat kumur dan juga pasta gigi atau odol saat puasa Ramadhan. Menjawab pertanyaan tersebut, dalam kitab al-Majmuk syarah Muhazzab disebutkan:

‘لو استاك بسواك رطب فانفصل من رطوبته أو خشبه المتشعب شئ وابتلعه افطر بلا خلاف صرح به الفورانى وغيره

Artinya: Jika ada orang yang memakai siwak basah. Kemudian airnya pisah dari siwak yang ia gunakan, atau cabang-cabang (bulu-bulu) kayunya itu lepas kemudian tertelan, maka puasanya batal tanpa ada perbedaan pendapat ulama. Demikian dijelaskan oleh al-Faurani dan lainnya. (Abi Zakriya Muhyiddin bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, juz 6, hal. 343)

Berdasarkan penjelasan diatas dapat kita pahami, apabila air yang bukan barang inti atau bahkan bulu kayu yang merupakan salah satu bagian inti dari siwak (sikat gigi) itu sendiri, dapat membatalkan puasa apalagi pasta gigi dan obat kumur yang keduanya bukan baranga yang diperintahkan syara’.

Beranjak dari itu, bagi orang yang berpuasa dan menggosok gigi menggunakan pasta gigi setelah imsak, kemudian tertelan, walaupun tanpa sengaja bekas bulu sikat dan juga odol, maka puasanya batal. Namun jika tidak ada bekasan air atau pasta yang masuk tenggorokan sama sekali, puasanya tidak batal, masih tetap sah.

Solusi bagi orang yang berpuasa, demi kehati-hatian hendaknya menggosok gigi dahulu sebelum waktu imsak tiba. Jika sudah siang, cukup gosok gigi dengan kayu siwak (arok) atau dengan sikat gigi tanpa menggunakan pasta. Jadi kesimpulannya bisa membatalkan puasa apabila kita menelan bekas dari gosokan gigi berodol.

Teungku Helmi Abu Bakar El Lamkawi, Guru Pengajar di Dayah MUDI Mesra Samalanga
Read More

Rabu, 29 April 2020

Benarkah Menelan Dahak Dapat Membatalkan Puasa?

April 29, 2020


Fiqh Puasa | Dalam keseharian menjalankan ibadah puasa, kita sangat berhati-hati dalam mejaga diri terhadap perkara-perkara yang membatalkan puasa. Diantaranya adalah perihal dahak. Terlebih saat kondisi tubuh sedang kurang sehat, seperti sedang terkena flu atau pilek. Lantas apakah jika menelan dahak dapat membatalkan puasa?

Kita telah memaklumi bersama bahwa salah satu hal yang membatalkan puasa adalah masuknya sesuatu kedalam rongga terbuka. Dan kerongkongan termasuk dalam salah satu rongga terbuka. Dahak, kadang masih berada dalam kerongkongan, belum keluar ke batasan dhahir. Atau kadang juga sudah berada di luar kerongkongan, tapi sulit dikeluarkan.

Terlebih dahulu, kita harus kenal dengan jenis dahak. Yaitu dahak yang turun dari kepala dan dahak yang keluar dari dada. Pertama, dahak yang tidak sampai pada batasan dhahir pada mulut, dari kepala langsung turun ke kerongkongan, tidak melalui batasan dhahir, atau bila dahak dari dada, masih berada dalam kerongkongan, belum sapai batasan dhahir. Hukum untuk kedua jenis dahak ini adalah sah (tidak batal puasa).

Lalu dahak yang telah sampai pada batasan dhahir dalam mulut. Apabila telah sampai batasan dhahir, ada dua kondisi yang akan dihadapi; Adakalanya ia sanggup meludahnya dan adakalanya tidak. Jika tidak sanggup dikeluarkan dengan cara meludahnya dan dahak itu turun kembali ke dalam kerongkongan, maka hal tersebut tidak membatalkan puasa. Sedangkan jika ia mampu mengeluarkan dahak, maka wajib dikeluarkan dengan cara meludahnya dan dibuang. Dan jika tidak dikeluarkan, lalu tertelan kembali, maka dapat membatalkan puasa.

Lalu dimana batasan dhahir yang dimaksud? Oleh para ulama menyebutkan batasan dhahir adalah batasan makhraj Ha (ح). Sedangkan hukum menarik/mengeluarkan dahak dari dalam dada adalah boleh dan tidak membatalkan puasa karena dahak ini tidak disamakan dengan muntah. Muntah secara sengaja bisa membatalkan puasa, sedangkan mengeluarkan dahak secara sengaja tidak membatalkan puasa.

Sementara itu Syekh Ali Jum'ah Muhammad pernah ditanya tentang ini, beliau menjawab: "Apabila dahak itu melewati batas atau keluar dari batas anggota bathin di dalam tenggorokan (tempat keluarnya huruf Hamzah dan Haa`, bukan Kha` menurut Imam al-Zayyadi, dan bukan pula Ha` menurut Imam Nawawi), maka menelannya membatalkan puasa. Dan apabila belum melewati batas anggota bathin dalam tenggorokan maka menelannya tidak membatalkan puasa. Sedangkan menurut pendapat bahwa menelan dahak itu tidak membatalkan puasa; yakni selagi dahak itu tidak keluar ke mulut atau masih ada di dalam rongga mulut." (Darul Ifta-Piss-ktb)

Referensi Kitab Fiqh Shiyam Syeikh Hasan Hitu, hal 78
:ابتلاع النخامة
ومما يؤدى الى الفطر ويجب الاحتراز عنه النخامة سواء أكانت نازلة من الرأس او خارجة من الصدر ولها حالتان
الحالة الاولى ان لا تصل ألى حد الظاهر من الفم وإنما تنزل من الرأس إلى الحلق دون أن تخرج إلى حد الظاهر من الفم وهذه لا تضر بالاتفاق
والحالة الثانية أن تصل ألى حد الظاهر من الفم وقد ضبطه الفقهاء بكخرج الحاء فإن وصلت حد الظاهر وهو مخرج الحاء فإما أن يقدر على قطعها ومجها وإما أن لا يقدر.
فإن لام يقدر على قطعها ومجها حتى نزلت إلى جوفه لم تضر لعدم تقصيره . وإن قدر على قطعها ومجها إلا أنه إبتلعها فإنه يفطر على ما ذهب إليه الجمهور

Wallahu a'lam bisshawab
Tgk. Helmi Abu Bakar El-Lamkawi, Guru Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga
Read More

Puasa Batal Karena Keluar Mani di Siang Hari?

April 29, 2020

Fiqh Puasa | Bulan Ramadhan merupakan bulan untuk menahan diri dari hal yang dilarang dalam syariat. Tidak hanya hal yang dilarang pada bulan selain Ramadhan, beberapa perkara mubah bahkan sunnah pun terlarang dan menyebabkan batalnya puasa. Salah satunya diantaranya yang membatalkan puasa adalah jima’ (bersetubuh) dengan istri. Adakah itu sampai keluar mani atau tidak. Demikian juga jika sengaja mengeluarkan mani, baik itu dengan cara masturbasi, bercumbu rayu dengan istri tanpa penghalang atau cara lainnya. Istimna’ atau dalam bahasa kita biasa disebut dengan onani atau masturbasi saat puasa menyebabkan puasa batal.

Dalam kitab al-Fiqh al-Manhaji karya Musthafa Khan dan Musthafa al-Bugha disebutkan bahwa onani saat puasa dapat membatalkan puasa jika disengaja.

الاستمناء: وهو استخراج المني بمباشرة تقبيل ونحوه، أو بواسطة اليد، فإن تعمد ذلك الصائم أفطر. أما إن غلب على أمره فلا يفطر.
“Istimna’ (onani) adalah berusaha mengeluarkan mani secara langsung atau dengan tangan. Jika dilakukan secara sengaja oleh orang yang berpuasa, maka membatalkan puasa. Adapun jika tidak disengaja, maka tidak membatalkan puasa.”

Dalam I’anatut Thalibin, Syekh Abu Bakar Syatha juga menjelaskan bahwa melakukan onani saat puasa itu termasuk hal yang membatalkan puasa sebagaimana keterengan berikut.

ويفطر باستمناء، وهو استخراج المني بغير جماع – حراما كان كإخراجه بيده، أو مباحا كإخراجه بيد حليلته أو بلمس لما ينقض لمسه بلا حائل
“Puasa itu batal sebab melakukan onani, yaitu berusaha mengeluarkan mani tanpa melalui jimak atau hubungan intim. Adakah itu onani yang memang haram, seperti mengeluarkan mani dengan cara menggerakkan kemaluan dengan tangannya sendiri, atau onani yang mubah, seperti meminta tolong istri melakukan onani dengan tangan istri. Atau juga hanya dengan sekedar menyentuh kulit seseorang yang membatalkan wudhu bila persentuhannya tanpa penghalang (maninya keluar).”

Sementara itu, keluar mani dengan tidak sengaja karena menghayal, bercumbu rayu dengan istri menggunakan penghalang (berpakaian) dan keluar mani karena bermimpi saat tidur, maka itu tidak membatalkan puasa, karena tidak terdapat unsur kesengajaan di dalamnya. Dan keluarnya mani adalah hal yang berada diluar kemampuannya.

Sebagaimana tersebut dalam kitab Hasyiah Syarqawi Ala Tahrir: 1/435: “Walhasil bahwa mengeluarkan mani secara muthlak dan keluar mani dengan menyentuh tanpa penghalang, sekalipun tanpa syahwat dikala terjaga (tidak tidur), adalah membatalkan puasa. Lain halnya kalau keluar mani pada saat tidur (bermimpi), menghayal bersentuhan dengan ada penghalang, maka sesungguhnya tidak membatalkan puasa walaupun dengan syahwat.”

Wallahu a'lam bis shawab.

Tgk. Helmi Abu Bakar El-Lamkawi, Guru Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga
Read More

Selasa, 28 April 2020

Sahkah Puasa Wanita yang Sengaja Menunda Haid dengan Mengkonsumsi Obat?

April 28, 2020

Fiqh Puasa | Ramadhan merupakan bulan kewajiban berpuasa kepada mereka yang telah difardhukan untuk melaksanakan termasuk mereka kaum wanita. Namun mereka kaum hawa ada masa liburnya. Yaitu  disaat haid atau sejenisnya. Maka kewajiban tersebut berubah menjadi hal terlarang.

Dalam hal ini Al-Imam Abu al-Hasan Ali Ibn Muhammad Ibn Muhammad Ibn Habib al-Mawardi (w.450H);

لا اختلاف بين الفقهاء أن الحائض لا صوم عليها في زمان حيضها بل لا يجوز لها، ومتى طرأ الحيض على الصوم أبطله، إلا طائفة من الحرورية تزعم أن الفطر لها رخصة فإن صامت أجزأها

“Tidak ada perbedaan pendapat ulama fikih tentang larangan berpuasa bagi wanita selama mereka haid. Bahkan ketika haid muncul saat berpuasa otomatis puasa tersebut batal, kecuali menurut pendapat satu kelompok Harûriyyah (khawarij) yang menganggap berbuka bagi wanita haid hanyalah sebuah rukhshah, dan tetap sah apabila mereka tetap memilih berpuasa”. (Al-Mawardi, al-Hâwî al-Kabîr Syarh Mukhtashar al-Muzanî, vol.3, hal.962)

Keberadaan wanita tidak wajib berpuasa merupakan ijmak ulama, hal ini sebagaimana diungkapkan Al-Imam Abu Muhammad Abdullah Ibn Ahmad Ibn Qudamah al-Maqdisi (w.630H), ia berkata: 

أجمع أهل العلم على أن الحائض والنفساء لا يحل لهما الصوم وإنهما يفطران رمضان ويقضيان وإنهما إذا صامتا لم يجزئهما الصوم
“Ulama berijma‘ tidak halal berpuasa bagi wanita haid dan nifas karena mereka harus tidak berpuasa Ramadhan dan harus mengqadha puasa tersebut. Apabila mereka tetap berpuasa maka puasanya belum sah”. (Ibn Qudamah, al-Mughnî Syarh Mukhtashar al-Kharqî, vol.3, hal.83)

Haid sudah menjadi kodrat wanita. Namun dewasa ini keinginan wanita untuk beribadah dibulan ini begitu menggebu. Sehingga ada sebagian mereka menunda haid demi bisa berpuasa sebulan penuh dengan mengkonsumsi obat anti haid. Lantas bagaimana syari'at Islam memandang yang demikian?

Menurut kalangan Syafi'iyyah diperbolehkan asalkan tidak menimbulkan bahaya pada dirinya. Berikut juga pendapat kalangan madzhab selain syafiiyyah tentang wanita yang minum obat pencegah datangnya haid.

"Dalam Fatawa Al Qammaath (Syeikh Muhammad ibn al Husein al Qammaath) disimpulkan diperbolehkannya menggunakan obat untuk mencegah datangnya haid." (Ghayatut Talkhis: 196).

Sementara itu dalam kalangan Malikiyyah berpendapat: "Haid adalah darah yang yang keluar dari alat kelamin wanita pada usia yang ia bisa hamil menurut kebiasaan umum. Bila wanita menjalani puasa akibat obat yang mencegah haid hadir dalam masanya, menurut pendapat yang zhahir masa-masa tidak dikatakan haid dan tidak menghabiskan masa iddahnya, berbeda saat ia menjalani haid dan meminum obat untuk menghentikan haidnya diselain waktu kebiasaannya, maka ia dinyatakan suci namun iddahnya dapat terputus karena sesungguhnya tidak boleh bagi seorang wanita mencegah atau mempercepat keluarnya darah haid bila membahayakan kesehatannya. Karena menjaga kesehatan wajib hukumnya." (Kitab Fiqh ‘alaa Madzaahib al-Arba’ah I/103).


Berdasarkan pembahasan di atas, sah puasa seorang wanita yang menunda haid dengan minum obat selama tidak mendatangkan kemudharatan terhadap dirinya.

oleh

Artikel ini telah tayang di Theglobal.id
Read More

Batalkah Puasa Dengan Sebab Menghimpun Air Liur Lalu Menelannnya?

April 28, 2020

Fiqh Puasa | Salah satu kondisi yang sering terjadi selama bulan Ramadhan adalah menelan liur. Keadaan ini terkadang menjadi problema tersendiri bagi yang sedang berpuasa. Apakah hal tersebut bisa membatalkan puasa ataupun tidak?

Menjawab pertanyaan ini, Imam Nawawi menjelaskan tentang hukum menelan air liur:

ابتلاع الريق لا يفطر بالاجماع إذا كان على العادة لانه يعسر الاحتراز منه 

Artinya: “Menelan air liur itu tidak membatalkan puasa sesuai kesepakan para ulama. Hal ini berlaku jika orang yang berpuasa tersebut memang biasa mengeluarkan air liur. Sebab susahnya memproteksi air liur untuk masuk kembali.” (Abi Zakariya Muhyiddin bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’, juz 6, hal, 341)

Tentunya liur yang ditelan itu merupakan liur murni tanpa bercampur dengan benda asing lain. Liur yang masih berada dalam rongga mulut (belum keluar dari mulut) adalah liur yang masih murni, maka bila ditelan tidak membatalkan puasa. Menelan liur yang masih ada dalam mulut bila liur tersebut suci atau tidak najis, misalnya karena bercampur dengan darahnya gusi, dan liur tersebut tidak bercampur zat lain maka tidak membatalkan puasa.

Ringkasnya, setidaknya ada tiga syarat tidak membatalkan puasa menelan air liur. Pertama, air liur harus murni. Tentunya air liur yang tidak boleh ada benda lain yang merubah warna dan rasa air liur itu sendiri. Seperti penjahit yang memasukkan benang ke dalam mulut. Kemudian pewarna benang tersebut ada yang mengontaminasi warna air liur sehingga tidak lagi putih atau bening. Maka hal itu membatalkan puasa.  Atau ada pula yang air liurnya terkontaminasi oleh darah sebab luka pada gusi kemudian ditelan, maka itu juga bisa membatalkan puasa. 

Kedua, air liur yang masuk ke tubuh adalah air liur yang keluar dari tubuhnya sendiri dan tidak keluar dari batas ma’fu, yaitu bibir bagian luar. Disinilah terdapat sedikit kemiripan antara batas dhahir wudhu dan shalat yang terjadi pada bab puasa. Jadi, air liur yang sudah keluar dari tenggorokan –yang semula dianggap sudah bagian luar- namun karena hajat, selama tidak melewati bibir luar, tidak membatalkan puasa.  Ketiga, menelan liur secara wajar sebagaimana adat umumnya , yakni ia terkumpul dan tertelan secara alamiah tanpa sadar.

Mengumpulkan Air Liur Dan Menelannya

Sementara itu, ada sebagian masyarakat kita yang kesehariannya mengumpulkan liur dalam mulut dan masih murni, tidak tercampur zat lain, kemudian menelan kembali. Kondisi seperti inilah yang menjadi pertanyaan, apakah membatalkan puasa atau tidak?

Menghimpun liur dengan sengaja dan menelannya terdapat khilaf pendapat ulama. Namun pendapat yang kuat menyatakan tidak membatalkan puasa. Sementara menghimpun liur tanpa sengaja seperti akibat banyak berbicara, para ulama sepakat bahwa bisa batal puasanya. Hal ini sebagaimana diungkapakan dalam kitab Majmuk Syarah Muhazzab berbunyi:

 فَلَوْ جَمَعَهُ قَصْدًا ثُمَّ ابْتَلَعَهُ فَهَلْ يُفْطِرُ فِيهِ وَجْهَانِ مَشْهُورَانِ ذَكَرَهُمَا الْمُصَنِّفُ بِدَلِيلِهِمَا (أَصَحُّهُمَا) لَا يُفْطِرُ وَلَوْ اجْتَمَعَ رِيقٌ كَثِيرٌ بِغَيْرِ قَصْدٍ بِأَنْ كَثُرَ كَلَامُهُ أَوْ غَيْرُ ذَلِكَ بِغَيْرِ قَصْدٍ فَابْتَلَعَهُ لَمْ يُفْطِرْ بِلَا خِلَافٍ

Artinya: "Jikalau seorang secara sengaja menghimpun liur kemudian menelannya ,apakah membatalkaan puasanya? Ada dua pendapat yang masyhur dan musannif menyebut dalill  keduanya serta pendapat yang paling ashah dari kedua pendapat tersebut tidak membatalkan puasa.  Dan jikalau menghimpun liurnya yang banyak tanpa ada renacana bisa jadi dengan banyak berbicara atau lainnya tanpa renacana, maka ia menelannya tidak membatalkan puasa dengan tiada perbedaan pendapat ulama." (Kitab Majmuk Syarah Muhazzab, Jld.6, hal. 317-318).

oleh Tgk. Helmi Abu Bakar El-Lamkawi, Guru Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga

Artikel ini telah tayang di Theglobal.id
Read More

Minggu, 26 April 2020

Lupa Berniat Puasa di Malam Hari? Tenang, Ini Cara Agar Puasa Tetap Sah

April 26, 2020

Fiqh Puasa | Puasa Ramadhan merupakan kewajiban setiap muslim yang telah mencukupi syarat dan rukun. Sahnya puasa Ramadhan tidak terlepas dari adanya niat malam hari dari tenggelamnya matahari sampai sebelum terbitnya fajar, sebagai rukun pertama.

Keterangan ini sebagaimana hadis Nabi Saw: “Barang siapa yang tidak berniat puasa di malam hari sebelum terbitnya fajar, maka tidak ada puasa baginya.”(HR. Abu Daud, at Tirmidzi, an Nasa’i, Ibnu Majah dan Ahmad). Berdasarkan dari hadis tersebut, sangat jelas bahwa orang yang tidak niat puasa fardlu di malam harinya, maka puasanya tidak sah.

Namun, bagaimana jika ada seseorang yang lupa berniat dimalam harinya, tetapi dia makan sahur, apakah dengan makan sahur tersebut sudah mewakili niatnya yang tak terbersitkan di dalam hati?

Al Alim al Allamah Asy Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari, murid imam ahli fikih Ibnu Hajar al Haitami dalam kitab Fathul Mu’in telah membahas permasalahan ini. Beliau mengatakan: Makan sahur tidak cukup sebagai pengganti niat, meskipun ia makan sahur bermaksud agar kuat melaksanakan puasa. Dan mencegah dari hal-hal yang dapat membatalkan puasa karena khawatir akan terbitnya fajar juga tidak mencukupi sebagai pengganti niat selama tidak terbersit (di dalam hatinya) niat puasa dengan sifat-sifat yang wajib disinggung di dalam niat." (Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari, kitab Fathul Mu’in)

Berdasarkan keterangan tersebut, maka sangat jelas bahwa makan sahur belum mewakili niat puasa. Sehingga puasa yang dilakukan oleh orang yang lupa niat puasa dimalam harinya dianggap tidak sah, dan ia harus meng-qadha puasa tersebut di luar bulan Ramadan.

Meskipun puasanya tidak sah, bukan berarti ia boleh makan dan minum sepuasnya atau melakukan hal-hal yang membatalkan puasa selama satu hari itu. Orang tersebut tetap disyari'atkan menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa selama satu hari itu. Yang demikian itu untuk menghormati waktu yang banyak orang melaksanakan puasa didalamnya, yakni bulan Ramadan. Meskipun puasanya tidak dianggap tetapi ia tetap mendapatkan pahala dengan menahan diri tidak makan dan melakukan perkara yang membatalkan puasa.

Meski demikian, ulama mazhab Syafi’i tetap memberi solusi bagi siapa saja yang lupa belum berniat puasa Ramadan pada malam harinya. Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Majmû’ Syarhul Muhadzdzab menuturkan solusi tersebut sebagai berikut: “Disunahkan (bagi yang lupa niat di malam hari) berniat puasa Ramadhan dipagi harinya. Karena yang demikian itu mencukupi menurut Imam Abu Hanifah, maka diambil langkah kehati-hatian dengan berniat.” (Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmû’ Syarhul Muhadzdzab, [Jedah: Maktabah Al-Irsyad, tt.], juz VI, hal. 315).

Berdasarkan dari keterangan di atas, orang yang lupa belum berniat puasa Ramadan pada malam harinya ia masih memiliki kesempatan untuk melakukan niat tersebut pada pagi harinya dengan catatan bahwa niat yang ia lakukan pada pagi hari itu juga mesti ia pahami dan niati sebagai sikap taqlid atau mengikuti dengan apa yang diajarkan oleh Imam Abu Hanifah.

Niatan taqlid seperti ini perlu. Mengingat umat muslim Indonesia adalah pengikut mazhab Syafi’i yang dalam aturannya mengharuskan niat dimalam hari, tidak boleh niat dipagi hari (seteleh terbit fajar). Bila niat berpuasa dipagi hari tidak diniati sebagai langkah taqlid terhadap Imam Abu Hanifah maka ia dianggap mencampuradukkan ibadah yang rusak.

Ini sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ibnu Hajar Al-Haitami dalam kitab fatwanya: “Dalam kitab Al-Majmû’ disebutkan, disunahkan bagi orang yang lupa berniat puasa di bulan Ramadhan untuk berniat pada pagi hari karena bagi Imam Abu Hanifah hal itu sudah mencukupi, maka diambil langkah kehati-hatian dengan niat. Niat yang demikian itu mengikuti (taqlid) Imam Abu Hanifah. Bila tidak diniati taqlid maka ia telah mencampurkan satu ibadah yang rusak dalam keyakinannya dan hal itu haram hukumnya.” (Ibnu Hajar Al-Haitami, Al-Fatâwâ Al-Fiqhiyyah Al-Kubrâ, juz IV, hal. 307)

Akhirul kalam, apabila ada orang yang lupa berniat puasa pada malam hari masih dapat terselamatkan puasanya. Namun sekali lagi perlu ditegaskan bahwa solusi ini hanya untuk mereka yang lupa tidak berniat, bukan sengaja tidak berniat di malam hari. Catatan penting yang harus digaris bawahi adalah jangan sampai terjadinya talfiq dalam beribadah. Berkaitan dengan puasa Ramadhan, pada problem lupa berniat malam harinya apabila mengikuti (taqlid) Imam Abu Hanifah. Apabila tidak bertaqlid, kewajiban berpuasa tetap dilanjutkan siang harinya dan mengqadhanya di hari lainnya.
Wallahu Muwaffiq Ila Aqwamith Tariq, Wallahu Alam


Tgk. Helmi Abu Bakar El-Lamkawi, Guru Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga
Read More

Sabtu, 25 April 2020

Kapankah Niat Puasa Ramadhan Harus Diniatkan?

April 25, 2020

Fiqh Puasa | Ibadah tidak boleh lepas dari niat. Keberadaan niat merupakan salah satu perkara yang sangat sakral dalam sebuah ibadah termasuk puasa. Puasa di bulan Ramadan adalah ibadah wajib bagi setiap muslim yang telah baligh dan berakal. Niat puasa Ramadan terkadang menjadi problema dan polemik yang salah ditafsirkan oleh segelintir masyarakat awam.

Niat adalah rukun pertama dalam ibadah, termasuk puasa Ramadan. Niat adalah iktikad, dimana suasana hati yang tanpa ragu untuk melaksanakan sebuah perbuatan. Kata kuncinya adalah adanya maksud secara sengaja bahwa setelah terbit fajar ia akan menunaikan puasa. Imam Syafi’i, penggagas mazhab Syafi'i sendiri berpendapat bahwa makan sahur tidak serta merta dapat menggantikan kedudukan niat, kecuali apabila terbersit (khathara) dalam hatinya maksud untuk berpuasa sejak terbit fajar. (al-Fiqh al-Islami, III, 1670-1678).

Mengupas niat sudah pasti itu urusan hati, melafalkannya (talaffuzh) akan membantu seseorang untuk menegaskan niat tersebut. Talaffuzh berguna dalam memantapkan iktikad. Karena niat dapa terekspresi dalam wujud yang konkret, yaitu bacaan atau lafal.

Kapan Niat Puasa Ramadhan?

Karena niat merupakan rangkaian yang dikerjakan menyertai dengan sebuah pekerjaan, namun khusus untuk ibadah puasa dibolehkan tidak serta berbarengan dengan permulaan waktu ibadah. Seseorang yang berpuasa boleh meniatkan semenjak mulai malam untuk ia berpuasa di besoknya. Tidak mesti berniat menjelang terbitnya fajar. Hal ini dibolehkan karena syariat melihat adanya kesukaran (masyakkah) untuk dilakukan. Sangat sulit menentukan kapan tepatnya menit dan detik terbitnya fajar secara pasti.

Niat adalah bermaksud untuk melaksanakan puas. Redaksi lafaz niat yang sempurna seperti: Saya bermaksud untuk melaksanakan puasa esok hari sebagai pelaksanaan kewajiban puasa di bulan Ramadan tahun ini karena Allah Swt.

Berniat dilakukan di dalam hati, dan dianjurkan untuk dilafazkan dengan lisan. Hukumnya sunat. Namun tidak cukup hanya dengan berniat secara lisan saja, tanpa berniat di hati. Apabila ada yang berniat hanya di lisan dan tidak dibarengi dengan berniat di hati, maka ia tidak dianggap berniat.

Apabila diniatkan untuk berpuasa setiap hari sepanjang Ramadan dengan sistem rapel, yaitu cukup niat dimalam pertama Ramadan untuk berpuasa selama sebulan penuh, maka maka puasanya hanya sah untuk puasa pada hari pertama dan tidak sah untuk hari selanjutnya. Untuk hari kedua dan hari selanjutnya, ia wajib mengulangi niat kembali pada malam harinya. Karena ibadah puasa setiap harinya adalah ibadah terpisah, yang berdiri sendiri, dengan bukti;

Pertama, Masuk waktunya sejak terbit fajar sampai terbenam matahari. Ada pembatas waktu antara ibadah puasa pada suatu hari dengan hari sebelum dan sesudahnya, yaitu malam hari, sebagai waktu tidak melaksanakan puasa.

Kedua, Apabila puasa batal satu hari, tidak menyebabkan batal puasa seluruh hari yang dilaksanakan dihari sebelumnya atau sesudahnya.

Makanya niat puasa Ramadan dalam mazhab Syafi'i adalah tabyit niat (niat puasa di malam hari), yaitu antara tenggelamnya matahari hingga terbitnya fajar.

Lalu bagaimana dengan meniatkan di awal Ramadan untuk sebulan penuh?  Nah, apabila meniatkan untuk sebulan sekalian, terdapat beberapa faedah; Pertama ialah sahnya puasa hari yang lupa tabyit niat (niat puasa di malam hari) di dalamnya menurut madzhab Imam Malik. Manfaat kedua adalah mendapat pahala puasa secara  penuh jikalau meninggal dalam bulan Ramadan sebelum ia berpuasa sebulan penuh, karena mengambil ibarat dari niatnya.

Jika memang ingin mengamalkan pendapat Imam Malik secara penuh, maka harus mengetahui rukun dan syarat puasa, membatalkan puasa serta hal lainnya yang berkaitan dengan puasa Ramadan dalam mazhab Imam Malik. Hal ini untuk menghindari talfik madzhab dalam ibadah.

Beranjak dari itu marilah untuk berusaha tidak lupa dengan niat puasa Ramadhan untuk membiasakan berniat sesaat setelah berbuka puasa atau ba'da shalat tarawih. Niat itu dalam hati, dan tidak disyaratkan dilafadzkan, tetapi disunnahkan melafadzkannya untuk membantu hati menetapkan niat.


Tgk. Helmi Abu Bakar El-Lamkawi, Guru Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga,
Read More