Fiqh Puasa | Salah satu yang membatalkan puasa adalah memasukkan sesuatu ke dalam rongga terbuka, baik berupa makanan maupun bukan. Maka bila suntikan tersebut di lakukan pada bagian yang bisa menyebabkan sampai sesuatu secara langsung ke dalam rongga terbuka maka bisa membatalkan puasa. Sedangkan suntikan pada lengan atau daerah lain yang tidak sampai ke dalam rongga maka tidaklah membatalkan puasa, sama seperti masuk air dalam badan melalui pori-pori kulit.
Maka dapat diklarifikasi ada dua pendapat tentang suntikan nutrisi makanan yaitu: Pertama, batal puasa. Sebagian ulama berpendapat bahwa menyuntikkan zat yang bisa mengenyangkan bisa membatalkan puasa. Pendapat ini di anggap kuat oleh Habib Hasan bin Ahmad bin Muhammad al-Kaf dalam kitab Taqrirat as-Sadidah fi Masail Mufidah hal 452 Dar Mirats an-Nabawi. Bahkan Habib Muhammad bin Ahmad asy-Syathiri dalam kitab Yaqut an-Nafis jilid 1 hal 467 Dar Hawi, mengatakan ijmak para ulama bahwa suntik zat yang bisa mengenyangkan bisa membatalkan puasa. Namun kutipan ijmak ini rasanya sangat perlu ditinjau kembali karena pada pengarang Taqrirat Sadidah menyebutkan adanya khilaf para ulama.
Kedua, tidak batal puasa. Dalam penjabaran para ulama dalam kitab terdahulu yang menjelaskan tidak batal puasa apabila memasukkan sesuatu ke selain rongga terbuka tanpa merinci lebih lanjut bahwa yang masuk tersebut zat yang mengeyangkan atau tidak. Sehingga dapat ada kesimpulan, hal ini berlaku umum baik yang masuk tersebut adalah zat yang bisa mengenyangkan ataupun bukan, keduanya sama-sama tidak membatalkan puasa. Bahkan juga ditemukan penjelasan Syeikh Ali Jum’ah yang mengutip penjelasan Syeikh bakhit al-Muthi`i setelah beliau membawa nash-nash para ulama dari empat mazhab:
ومن هذا يُعلَم أن الحقنة تحت الجلد لا تفسد الصوم باتفاق المذاهب الأربعة، سواء كانت للتداوي أو للتغذية أو للتخدير، وفي أي موضع من ظاهر البدن؛ لأن مثل هذه الحقنة لا يصل منها شيء إلى الجوف من المنافذ المعتادة أصلاً، وعلى فرض الوصول فإنما تصل من المَسَامّ فقط، وما تصل إليه ليس جوفًا ولا في حكم الجوف، وليست تلك المَسَامُّ مَنْفَذًا منفتحًا لا عُرفًا ولا عادةً
Artinya : Dan dari ini semua bisa diketahui bahwa suntik di bawah kulit tidak membatalkan puasa berdasarkan kesepakatan Mazhab yang empat. Baik suntikan itu untuk berobat atau mengenyangkan ataupun untuk pembiusan, dan dimana saja (disuntik tetap puasanya tidak akan batal) dari dhahir badan karena suntikan ini sama sekali tidak menyampaikan sesuatu ke dalam rongga dari jalur yang biasa. Kalaupun kita katakan sampai, maka hanya sampai (ke dalam rongga) melalui pori-pori kulit, tempat (pori-pori) tidak di namakan jauf (rongga) ataupun pada kedudukan jauf. Dan pori-pori kulit tidaklah termasuk dalam rongga terbuka secara uruf dan adat.
Dalam mazhab Syafii, illat batal puasa adalah masuk sesuatu ke dalam rongga terbuka, tanpa ada perbedaan pada zat yang masuk itu apakah bisa mengenyangkan atau tidak. Adapun masalah ia tidak merasakan lapar di siang harinya, sehingga menghilangkan maksud syara` dari disyariatkannya puasa, hal ini hanya menyebabkan hilangnya hikmah dar puasa tersebut.
Hikmah tidak sama seperti illat yang memiliki keterikatan erat dengan hukum (muththarid). Ketika hilangnya hikmah dari satu hukum ibadat belum tentu hukum tersebut akan ikut berubah. Sama halnya dengan seseorang yang berendam dalam air selama puasa sehingga masuk air ke dalam badannya melalui pori-pori kulitnya. Dan ia tidak merasakan lapar dan haus sedikitpun, puasanya tersebut tetap tidak batal.
Maka atas dasar pemahaman terhadap nash-nash kitab Fiqh Syafiiyah yang mu`tabarah dan dengan didukung penjelasan Syeikh Bakhit al-Muthi`i yang juga di kutip oleh Syeikh Ali Jumah maka kami tidak sependapat dengan penjelasan kitab Yaqut Nafis yang mengatakan bahwa ijmak ulama suntik zat makanan bisa membatalkan puasa dan juga keterangan kitab Taqrirat as-Sadidah bahwa pendapat yang kuat suntikan dengan memakai zat yang mengenyangkan membatalkan puasa.
Kami sependapat dengan penjelasan Syeikh Bakhit al-Muthi`y bahwa bahwa suntik zat makanan tidak membatalkan puasa. Bahkan beliau mengatakan hal tersebut berdasarkan kesepakatan mazhab yang empat. Hal ini juga dikuatkan dengan fatwa Abuya Muda Waly dalam Kitab Fatawa beliau, dimana beliau menjawabnya tanpa membedakan antara suntikan zat makanan dengan bukan zat makanan.
Teungku Helmi Abu Bakar El Lamkawi, dikutip dari: LBM MUDI
