TARBIYAH ONLINE: batal puasa

Fiqh

Tampilkan postingan dengan label batal puasa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label batal puasa. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 09 Mei 2020

Bagaimana Hukum Menggosok Gigi Setelah Waktu Matahari Tergelincir?

Mei 09, 2020

Fiqh Puasa | Menggosok gigi adalah bagian dari sunah yang sangat dianjurkan sebagai bagian dari perintah menjaga kebersihan. Kondisi sedang berpuasa tidak menghalangi kesunnahan bagi seseorang menggosok gigi. Ia tidak membatalkan puasa selama tidak sampai memasukkan sesuatu ke dalam tenggorokan. Karena sedang berpuasa, tidak selayaknya dijadikan alasan untuk tidak menjaga kebersihan, termasuk kebersihan mulut. Hanya saja, perlu ada kehati-hatian dalam melaksanakan gosok gigi agar jangan sampai saat berkumur, ada air yang tertelan.

Disamping itu, perlu adanya pengaturan waktu dalam melaljkan aktivitas ini. Pertama dilakukan dimasa setelah sahur, sebelum imsak. Dengan tujuan, sela-sela gigi sudah bersih dari sisa makanan Karena jika ada sisa makanan yang tetelan, bisa menyebabkan batal puasa. Sedangkan apabila dilakukan setelah imsak, harus adanya pejagaan ekstra, agar tidak ada sisa bekas odol atau bulu sikat yang tertelan.

Setelah imsak, masih boleh terus menggosok gigi dan berkumur. Agar nafas tetap segar, gigi dan mulut pun sehat terawat. Namun jika waktunya sudah Zhuhur, para ulama menganjurkan agar aktivitas siwak atau gosok gigi ini dihentikan bagi orang yang menjalankan puasa.

Mayoritas ulama berpendapat, bersiwak termasuk menggosok gigi setelah Zhuhur hukumnya makruh.Hal ini disampaikan Syekh Muhammad Nawawi Al-Bantani dalam Nihayatuz Zain sebagai berikut:

ومكروهات الصوم ثلاثة عشر: أن يستاك بعد الزوال

Artinya, “Hal yang makruh dalam puasa ada tiga belas. Salah satunya bersiwak setelah zhuhur,” (Nihayatuz Zein fi Irsyadil Mubtadi’in, Cetakan Al-Maarif, Bandung, Hal. 195).

Pernyataan tersebut juga diperkuat dengan ungkapan Al-Habib Abdulah bin Husein bin Thahir dalam karyanya Is‘adur Rafiq wa Bughyatut Tashdiq:

 ويكره السواك بعد الزوال للصائم لخبر "لخلوف" أي لتغير "فم الصائم يوم القيامة أطيب عند الله من رائحة المسك

Artinya, “Bagi orang berpuasa, makruh bersiwak setelah zhuhur berdasarkan hadits, ‘Perubahan aroma mulut orang yang berpuasa lebih wangi di sisi Allah pada hari Kiamat daripada wangi minyak misik,’” ( Kitab Is‘adur Rafiq, Cetakan Al-Hidayah, Surabaya, Juz I, Hal. 117).

Hal ini didasarkan pada pemahaman  diatas, secara eksplisit adanya anjuran untuk tidak lagi menggosok gigi setelah waktu Zhuhur juga dimaksudkan sebagai langkah preventif agar tidak dijadikan sarana untuk menyegarkan diri yang bisa jadi membatalkan puasa. Disamping itu terdapat pendapat yang menyebutkan tidak makruh hukumnya menggosok gigi setelah tergelincir matahari apabila ada hal yang menghendaki untuk bolehnya bersiwak (Kitab Syarkawi, jld 1, h. 446).

Penjelasan ini juga diungkapkan dalam kitab Kifayatul Akhyar Jld. 1 hal 16-17:

و هل يكره للصائم بعد الزوال فيه خلاف؟ الراجح فى الرافعى و الروضة انه يكره لقوله عليه الصلاة و السلام لخلوف فم الصائم الطيب عند الله من الريح المسك رواه البخارى.و فى رواية مسلم يوم القيامة. و الخلوف بضم الخاء واللام هو التغييرو خص بما بعده الزوال لان تغيير الفم بسبب الصوم حينئذ يظهر، فلو تغير فمه بعد الزوال بسبب اخر كنوم او غيره فاستاك لاجل ذلك لا يكره و قيل لا يكره الا ستياك مطلقا و به قال الائمة الثلاثة و رجحه النووى فى الشرح المهذبكفاية الاخيار ١/١٦_١٧

Apakah makruh bagi orang yg berpuasa bersiwak setelah lingsir matahari? Hal ini terjadi perbedaan pendapat. Pendapat yang rajih dari Imam Rafi'i adalah makruh hal ini didasarkan atas hadis dari imam Bukhari dan Imam Muslim. "Bahwasanya perubahan bau mulut orang yg berpuasa disisi Allah adalah lebih wangi dibanding misik." Dikhususkan dengan lingsir matahari, karena pada waktu itu perubahan bau mulut karena berpuasa akan tampak. Apabila perubahan bau mulut sesudah matahari tergelincir disebabkan oleh hal lain semisal karena habis tidur maka bersiwak tidak dimakruhkan. Pendapat yang kedua menghukuminya tidak makruh secara mutlak. Dan ini adalah pendapat tiga Imam Madzhab. Dan Imam Nawawi merajihkan dalam kitabnya Syarah al-Muhadzab. (Kifayatul Akhyar: 1;16-17)


Teungku Helmi Abu Bakar El Lamkawi, Dewan Guru Dayah MUDI Mesra Samalanga.
Read More

Kamis, 07 Mei 2020

Ternyata Mandi di Siang Hari Bisa Menyebabkan Batal Puasa

Mei 07, 2020

Fiqh Puasa | Salah satu aktifitas yang sering dilakukan saat siang Ramadhan melakukan mandi atau berwudhu. Sehingga air kadang dapat masuk ke lubang terbuka, selain rongga mulut, ada lubang hidung dan telinga. Lantas bagaimana hukum puasanya, apakah batal atau tidak?

Masuknya air ke telinga orang yang sedang puasa atau lubang-lubang yang ada di tubuhnya kemasukan air secara tidak disengaja, baik ketika berkumur atapun membersihkan lubang hidung, maka hukumnya ada tiga:

Pertama, orang tersebut puasanya tidak batal. Ini apabila mandi orang tersebut mandi wajib atau mandi sunat, kemudian ada hal yang masuk ke dalam tubuh orang tersebut baik melalui telinga atau mulut dan lainnya. Maka hal ini tidak membahayakan puasanya dengan syarat dia tidak berlebihan ketika berkumur atau membersihkan hidungnya.

Kedua, apabila mandi orang tersebut bukanlah mandi wajib dan juga bukan mandi sunat tapi mandi untuk menghilangkan najis. baik itu dari telinganya atau yang lainnya kemudian sampai kemasukan air tanpa di sengaja, maka hal ini tidak mebatalkan puasanya dengan syarat air atau benda tersebut masuk dengan tanpa disengaja.

Ketiga, mandi orang tersebut bukan mandi wajib, bukan juga sunat, tetapi hanya untuk mendinginkan diri saja karena gerah. Apabila kemasukan air dari sebab berkumur atau membersihkan hidung maupun telinganya, maka hukum puasanya batal. Adakah dengan berlebihan dalam berkumur atau membersihkan hidung juga telinganya, ataupun secara tidak berlebihan. Namun jika mandinya dengan cara menyelam maka puasanya batal, karena menyelam ketika puasa hukum dasarnya makruh. Tetapi kalau mandinya bukan dengan cara menyelam melainkan dengan cara digayung airnya atau melalui pancuran maka hal ini tidak membatalkan puasanya. Dengan syarat dia tidak menyengaja memasukkan air dengan cara memiringkan telinganya atau memang sudah kebiasaan baginya kalau mandi pasti kemasukan air.

Kalau memang sudah kebiasaannya kemasukan air maka para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini diantara mereka ada yang memperbolehkan dan ada juga yang tidak memperbolehkan.

Tiga perincian di atas berdasarkan keterangan dalam Kitab I’anatut Thalibin sebagai berikut:

والحاصل) أن القاعدة عندهم أن ما سبق لجوفه من غير مأمور به، يفطر به، أو من مأمور به - ولو مندوبا - لم يفطر.ويستفاد من هذه القاعدة ثلاثة أقسام: الاول: يفطر مطلقا - بالغ أو لا - وهذا فيما إذا سبق الماء إلى جوفه في غير مطلوب كالرابعة، وكانغماس في الماء - لكراهته للصائم - وكغسل تبرد أو تنظف.الثاني: يفطر إن بالغ، وهذا فيما إذا سبقه الماء في نحو المضمضة المطلوبة في نحو الوضوء.الثالث: لا يفطر مطلقا، وإن بالغ، وهذا عند تنجس الفم لوجوب المبالغة في غسل النجاسة على الصائم وعلى غيره لينغسل كل ما في حد الظاهر. 

Artinya, “Kesimpulannya, kaidah menurut ulama adalah, air yang tidak sengaja masuk ke dalam rongga tubuh dari aktivitas yang tidak dianjurkan, dapat membatalkan puasa, atau dari aktivitas yang dianjurkan meski anjuran sunah, maka tidak membatalkan. Dari kaidah ini, dapat dipahami tiga pembagian perincian hukum. Pertama, membatalkan secara mutlak, baik melebih-lebihkan (dalam cara menggunakan air) atau tidak. Ini berlaku dalam permasalahan masuknya air dalam aktivitas yang tidak dianjurkan seperti basuhan ke empat, menyelam ke dalam air, karena makruh bagi orang yang berpuasa, mandi dengan tujuan menyegarkan atau membersihkan badan. Kedua, membatalkan jika melebih-lebihkan, ini berlaku dalam aktivitas semacam berkumur yang dianjurkan saat berwudhu. Ketiga tidak membatalkan secara mutlak meski melebih-lebihkan, ini berlaku ketika mulut terkena najis karena wajibnya melebih-lebihkan dalam membasuh najis bagi orang yang berpuasa dan lainnya agar anggota zhahir terbasuh (suci dari najis),” ( Syekh Abu Bakr bin Syatha, I’anatut Thalibin, juz II, hal 265).


Tgk. Helmi Abu Bakar El-Lamkawi, Guru Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga
Read More

Selasa, 05 Mei 2020

Apakah Menyuntikkan Nutrisi Makanan Dapat Membatalkan Puasa?

Mei 05, 2020

Fiqh Puasa | Salah satu yang membatalkan puasa adalah memasukkan sesuatu ke dalam rongga terbuka, baik berupa makanan maupun bukan. Maka bila suntikan tersebut di lakukan pada bagian yang bisa menyebabkan sampai sesuatu secara langsung ke dalam rongga terbuka maka bisa membatalkan puasa. Sedangkan suntikan pada lengan atau daerah lain yang tidak sampai ke dalam rongga maka tidaklah membatalkan puasa, sama seperti masuk air dalam badan melalui pori-pori kulit.

Maka dapat diklarifikasi ada dua pendapat tentang suntikan nutrisi makanan yaitu: Pertama, batal puasa. Sebagian ulama berpendapat bahwa menyuntikkan zat yang bisa mengenyangkan bisa membatalkan puasa. Pendapat ini di anggap kuat oleh Habib Hasan bin Ahmad bin Muhammad al-Kaf dalam kitab Taqrirat as-Sadidah fi Masail Mufidah hal 452 Dar Mirats an-Nabawi. Bahkan Habib Muhammad bin Ahmad asy-Syathiri dalam kitab Yaqut an-Nafis jilid 1 hal 467 Dar Hawi, mengatakan ijmak para ulama bahwa suntik zat yang bisa mengenyangkan bisa membatalkan puasa. Namun kutipan ijmak ini rasanya sangat perlu ditinjau kembali karena pada pengarang Taqrirat Sadidah menyebutkan adanya khilaf para ulama.

Kedua, tidak batal puasa. Dalam penjabaran para ulama dalam kitab terdahulu yang menjelaskan tidak batal puasa apabila memasukkan sesuatu ke selain rongga terbuka tanpa merinci lebih lanjut bahwa yang masuk tersebut zat yang mengeyangkan atau tidak. Sehingga dapat ada kesimpulan, hal ini berlaku umum baik yang masuk tersebut adalah zat yang bisa mengenyangkan ataupun bukan, keduanya sama-sama tidak membatalkan puasa. Bahkan juga ditemukan penjelasan Syeikh Ali Jum’ah yang mengutip penjelasan Syeikh bakhit al-Muthi`i setelah beliau membawa nash-nash para ulama dari empat mazhab:

ومن هذا يُعلَم أن الحقنة تحت الجلد لا تفسد الصوم باتفاق المذاهب الأربعة، سواء كانت للتداوي أو للتغذية أو للتخدير، وفي أي موضع من ظاهر البدن؛ لأن مثل هذه الحقنة لا يصل منها شيء إلى الجوف من المنافذ المعتادة أصلاً، وعلى فرض الوصول فإنما تصل من المَسَامّ فقط، وما تصل إليه ليس جوفًا ولا في حكم الجوف، وليست تلك المَسَامُّ مَنْفَذًا منفتحًا لا عُرفًا ولا عادةً

Artinya : Dan dari ini semua bisa diketahui bahwa suntik di bawah kulit tidak membatalkan puasa berdasarkan kesepakatan Mazhab yang empat. Baik suntikan itu untuk berobat atau mengenyangkan ataupun untuk pembiusan, dan dimana saja (disuntik tetap puasanya tidak akan batal) dari dhahir badan karena suntikan ini sama sekali tidak menyampaikan sesuatu ke dalam rongga dari jalur yang biasa. Kalaupun kita katakan sampai, maka hanya sampai (ke dalam rongga) melalui pori-pori kulit, tempat (pori-pori) tidak di namakan jauf (rongga) ataupun pada kedudukan jauf. Dan pori-pori kulit tidaklah termasuk dalam rongga terbuka secara uruf dan adat.

Dalam mazhab Syafii, illat batal puasa adalah masuk sesuatu ke dalam rongga terbuka, tanpa ada perbedaan pada zat yang masuk itu apakah bisa mengenyangkan atau tidak. Adapun masalah ia tidak merasakan lapar di siang harinya, sehingga menghilangkan maksud syara` dari disyariatkannya puasa, hal ini hanya menyebabkan hilangnya hikmah dar puasa tersebut.

Hikmah tidak sama seperti illat yang memiliki keterikatan erat dengan hukum (muththarid). Ketika hilangnya hikmah dari satu hukum ibadat belum tentu hukum tersebut akan ikut berubah. Sama halnya dengan seseorang yang berendam dalam air selama puasa sehingga masuk air ke dalam badannya melalui pori-pori kulitnya. Dan ia tidak merasakan lapar dan haus sedikitpun, puasanya tersebut tetap tidak batal.

Maka atas dasar pemahaman terhadap nash-nash kitab Fiqh Syafiiyah yang mu`tabarah dan dengan didukung penjelasan Syeikh Bakhit al-Muthi`i yang juga di kutip oleh Syeikh Ali Jumah maka kami tidak sependapat dengan penjelasan kitab Yaqut Nafis yang mengatakan bahwa ijmak ulama suntik zat makanan bisa membatalkan puasa dan juga keterangan kitab Taqrirat as-Sadidah bahwa pendapat yang kuat suntikan dengan memakai zat yang mengenyangkan membatalkan puasa.

Kami sependapat dengan penjelasan Syeikh Bakhit al-Muthi`y bahwa bahwa suntik zat makanan tidak membatalkan puasa. Bahkan beliau mengatakan hal tersebut berdasarkan kesepakatan mazhab yang empat. Hal ini juga dikuatkan dengan fatwa Abuya Muda Waly dalam Kitab Fatawa beliau, dimana beliau menjawabnya tanpa membedakan antara suntikan zat makanan dengan bukan zat makanan.

Teungku Helmi Abu Bakar El Lamkawi, dikutip dari: LBM MUDI
Read More

Batalkah Puasa Karena Suntik dan Menetes Obat dalam Mata dan Telinga?

Mei 05, 2020

Fiqh Puasa | Kita sebagai manusia terkadang mengalami kondisi kurang sehat alias sakit termasuk kondisi seperti ini terjadi di bulan Ramadhan yang merupakan bulan yang sangat dinantikan oleh umat Islam. Kita mengetahui bahwa bulan ini menjadi istimewa karena berbagai keberkahan dan kemulian bahkan malam lailatul qadar juga terjadi di syahrul Mubarak ini.

Puasa pada bulan Ramadhan merupakan salah satu rukun Islam, sehingga umat Islam wajib untuk berpuasa.   Seseorang yang sakit dalam bulan Ramadhan kemudian berobat ke dokter dan diputuskan harus dilakukan suntikan. Lalu apakah puasa si pasien batal karenamendapatkan tindakan suntik?

Berdasarkan catatan, bahwa terdapat 5 lubang bagi laki-laki dan 6 bagi perempuan, jika masuk sesuatu yang kelihatan (ainiyah) ke dalamnya, maka batal lah puasanya. Lubang tersebut yaitu lubang hidung, telinga, mulut, dubur, kemaluan, susu (bagi perempuan). Dalam kitab Sabilul Muhtadin juga disebutkan tiada batal puasanya karena memasukkan jarum suntik, karena kulit tidak termasuk lubang yang terbuka yang 5 atau 6 ini. Ini mazhab Imam Syafi’i ‘alaihi ridhwanullah wa ardhah. Sedang dalam mazhab Imam Maliki terdapat tambahan satu lagi, yaitu mata. Maka bercelak di siang hari pada bulan ramadhan dapat membatalkan puasa menurut mazhab beliau ‘alaihi ridhwanullah wa ardhah.

Adapun hukum suntik bagi orang yang berpuasa, puasanya tidak batal, sebab obat yang dimasukan melalui injeksi itu adalah ke dalam daging, dan tidak ke dalam rongga badan. Hal ini berdasarkan redaksi kitab Al-Mahalli berbunyi;

 ﻭَﻟَﻮْ ﺍَﻭْﺻَﻞَ ﺍﻟﺪَّﻭَﺍﺀَ ﻟِﺠَﺮَﺍﺣَﺔٍ ﻋَﻠَﻰ ﺍﺳَّﺎﻕِ ﺍِﻟَﻰ ﺩَﺍﺧِﻞِ ﺍﻟَّﻠﺨْﻢِ ﺍَﻭْ ﻏَﺮَﺯَ ﻓِﻴْﻪِ ﺳِﻜَّﻴْﻨًﺎ ﻭَﺻَﻠَﺖْ ﻣُﺤَّﻪُ ﻟَﻢْ ﻳُﻔْﻄِﺮْ ﻷَِﻧَّﻪُ ﻟَﻴْﺲَ ﺑِﺠَﻮْﻑٍ

Artinya: “Andaikata seseorang menyampaikan obat bagi luka betis sampai luka ke dalam daging, atau menancapkan pisau pada betis tersebut sampai ke sumsum, maka hal itu tidak sampai membatalkan puasanya, daging itu bukan rongga badan." (Kitab Al Mahali, Hamisy dari Kitab Al Qalyubi juz 2 hal,56)

Penjelasan ini diperkuat dengan pendapat Abuya Muda waly al-Khalidi salah seorang ulama besar Aceh dalam “Fatawa Abuya Muda Waly al-Khalidy” berbunyi: “Dipahami dari ini segala nash tidak terbuka/ batal puasa dengan sebab berjarum atau berinjeksi asal jangan dijarum di tempat rongga yang terbuka seperti tentang perut dan tentang zakar umpamanya. Walaupun tidak terbuka/batal puasa pada yang selain dari rongga terbuka tetapi hukumnya khilaf aula karena illat mendhaifkan (bisa membuat fisik lemah- pen). (Fatawa Abuya Muda Waly al-Khalidy hal 96 Cet. Nusantara, Bukit Tinggi).

Sedangkan memasukan obat tetes ke dalam telinga hukumnya membatalkan puasa. Namun memasukkan obat tetes mata tidak membatalkan puasa. Ini berdasarkan Kitab Al Fiqhul Manhaji ala Madzahibil Imam Asy Syafi’I  berbunyi:

 ﻓَﺎ ﻗَﻄْﺮَﺓُ ﻣِﻦَ ﺍﻷُﺫُﻥِ ﻣُﻔْﻄِﺮَﺓٌ, ﻷَﻧَّﻬَﺎ ﻣَﻨْﻔَﺪٌ ﻣَﻔْﺘُﻮْﺡٌ. ﻭَﺍﻟْﻘَﻄْﺮَﺓُ ﻓِﺂ ﺍﻟْﻌَﻴْﻦِ ﻏَﻴْﺮُ ﻣُﻔْﻄِﺮَﺓٍ ﻷَِﻧَّﻪُ ﻣَﻨْﻔَﺪٌ ﻏَﻴْﺮُ ﻣَﻔْﺘُﻮْﺡٍ

“Maka tetesan ke dalam lubang dari telinga adalah membatalkan puasa, karena telinga itu adalah lubang yang terbuka. Dan tetesan ke dalam mata itu tidak membatalkan puasa, karena mata itu lubang yang tidak terbuka.” (Kitab Al Fiqhul Manhaji ala Madzahibil Imam Asy Syafi’I hal, 84)


Tgk. Helmi Abu Bakar El-Lamkawi, Guru Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga
Read More

Sabtu, 02 Mei 2020

Apakah Mencicipi Rasa Makanan Bagi Koki Bisa Membatalkan Puasa?

Mei 02, 2020

Fiqh Puasa | Ramadhan merupakan bulan berkah dan penuh rahmat. Salah satu tradisi dalam bulan Ramadhan di Aceh adalah adanya menu masakan khas buka puasa yang dikenal dengan kanji. Koki yang memasak, kadang menganggap perlu untuk memastikan masakannya enak dan berkualitas. Maka yang memasaknya mencicipinya sedikit terlebih dahulu. Sedang ia dalam keadaan sedang berpuasa.

Demikian halnya orang tua yang mempunyai kepentingan untuk mengobati anaknya yang masih kecil, juga bisa mencicipi makanan yang hendak disajikan, kepada anak. Bukankah puasa itu sendiri memang bermakna menahan makan dan minum, juga hal-hal yang membatalkan, sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari?

Lalu, bagaimana hukumnya? Menjawab persoalan tersebut Syekh Abdullah bin Hijazi asy-Syarqawi dalam kitabnya, Hasyiyatusy Syarqawi ‘ala Tuhfatith Thullab menyebutkan:

 وذوق طعام خوف الوصول إلى حلقه أى تعاطيه لغلبة شهوته ومحل الكراهة إن لم تكن له حاجة ، أما الطباخ رجلا كان أو امرأة ومن له صغير يعلله فلا يكره في حقهما ذلك قاله الزيادي 

Di antara sejumlah makruh dalam berpuasa ialah mencicipi makanan karena dikhawatirkan akan mengantarkannya sampai ke tenggorokan. Dengan kata lain, khawatir dapat menjalankannya lantaran begitu dominannya syahwat. Posisi makruhnya itu sebenarnya terletak pada ketiadaan alasan atau hajat tertentu dari orang yang mencicipi makanan itu. Berbeda lagi bunyi hukum untuk tukang masak baik pria maupun wanita, dan orang tua yang berkepentingan mengobati buah hatinya yang masih kecil. Bagi mereka ini, mencicipi makanan tidaklah makruh. Demikian Az-Zayadi menerangkan."


Teungku Helmi Abu Bakar El Lamkawi, Dewan Guru Senior Dayah MUDI Mesra Samalanga
Read More

Kamis, 30 April 2020

Hukum Menelan Bekasan Gosokan Gigi Bagi yang Sedang Berpuasa

April 30, 2020

Fiqh Puasa | Dalam rutinitas berpuasa dibulan Ramadhan, nafas menjadi sedikit lebih bau daripada hari biasanya. Maka dari itu banyak yang menambah rutinitas sikat gigi. Selain menjaga kesehatan dan kebersihan mulut dari sisa-sisa makanan yang tertinggal di sela-sela gigi.

Lantas apakah hal tersebut bisa membatalkan puasa?

Sebagaimana kita ketehui bahwa menjaga kebersihan gigi dan mulut bagi sebagian orang sudah menjadi suatu kebiasaan. Namun, dibulan puasa seperti saat ini, banyak yang bertanya-tanya terkait dengan penggunaan obat kumur dan juga pasta gigi atau odol saat puasa Ramadhan. Menjawab pertanyaan tersebut, dalam kitab al-Majmuk syarah Muhazzab disebutkan:

‘لو استاك بسواك رطب فانفصل من رطوبته أو خشبه المتشعب شئ وابتلعه افطر بلا خلاف صرح به الفورانى وغيره

Artinya: Jika ada orang yang memakai siwak basah. Kemudian airnya pisah dari siwak yang ia gunakan, atau cabang-cabang (bulu-bulu) kayunya itu lepas kemudian tertelan, maka puasanya batal tanpa ada perbedaan pendapat ulama. Demikian dijelaskan oleh al-Faurani dan lainnya. (Abi Zakriya Muhyiddin bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, juz 6, hal. 343)

Berdasarkan penjelasan diatas dapat kita pahami, apabila air yang bukan barang inti atau bahkan bulu kayu yang merupakan salah satu bagian inti dari siwak (sikat gigi) itu sendiri, dapat membatalkan puasa apalagi pasta gigi dan obat kumur yang keduanya bukan baranga yang diperintahkan syara’.

Beranjak dari itu, bagi orang yang berpuasa dan menggosok gigi menggunakan pasta gigi setelah imsak, kemudian tertelan, walaupun tanpa sengaja bekas bulu sikat dan juga odol, maka puasanya batal. Namun jika tidak ada bekasan air atau pasta yang masuk tenggorokan sama sekali, puasanya tidak batal, masih tetap sah.

Solusi bagi orang yang berpuasa, demi kehati-hatian hendaknya menggosok gigi dahulu sebelum waktu imsak tiba. Jika sudah siang, cukup gosok gigi dengan kayu siwak (arok) atau dengan sikat gigi tanpa menggunakan pasta. Jadi kesimpulannya bisa membatalkan puasa apabila kita menelan bekas dari gosokan gigi berodol.

Teungku Helmi Abu Bakar El Lamkawi, Guru Pengajar di Dayah MUDI Mesra Samalanga
Read More

Rabu, 29 April 2020

Benarkah Menelan Dahak Dapat Membatalkan Puasa?

April 29, 2020


Fiqh Puasa | Dalam keseharian menjalankan ibadah puasa, kita sangat berhati-hati dalam mejaga diri terhadap perkara-perkara yang membatalkan puasa. Diantaranya adalah perihal dahak. Terlebih saat kondisi tubuh sedang kurang sehat, seperti sedang terkena flu atau pilek. Lantas apakah jika menelan dahak dapat membatalkan puasa?

Kita telah memaklumi bersama bahwa salah satu hal yang membatalkan puasa adalah masuknya sesuatu kedalam rongga terbuka. Dan kerongkongan termasuk dalam salah satu rongga terbuka. Dahak, kadang masih berada dalam kerongkongan, belum keluar ke batasan dhahir. Atau kadang juga sudah berada di luar kerongkongan, tapi sulit dikeluarkan.

Terlebih dahulu, kita harus kenal dengan jenis dahak. Yaitu dahak yang turun dari kepala dan dahak yang keluar dari dada. Pertama, dahak yang tidak sampai pada batasan dhahir pada mulut, dari kepala langsung turun ke kerongkongan, tidak melalui batasan dhahir, atau bila dahak dari dada, masih berada dalam kerongkongan, belum sapai batasan dhahir. Hukum untuk kedua jenis dahak ini adalah sah (tidak batal puasa).

Lalu dahak yang telah sampai pada batasan dhahir dalam mulut. Apabila telah sampai batasan dhahir, ada dua kondisi yang akan dihadapi; Adakalanya ia sanggup meludahnya dan adakalanya tidak. Jika tidak sanggup dikeluarkan dengan cara meludahnya dan dahak itu turun kembali ke dalam kerongkongan, maka hal tersebut tidak membatalkan puasa. Sedangkan jika ia mampu mengeluarkan dahak, maka wajib dikeluarkan dengan cara meludahnya dan dibuang. Dan jika tidak dikeluarkan, lalu tertelan kembali, maka dapat membatalkan puasa.

Lalu dimana batasan dhahir yang dimaksud? Oleh para ulama menyebutkan batasan dhahir adalah batasan makhraj Ha (ح). Sedangkan hukum menarik/mengeluarkan dahak dari dalam dada adalah boleh dan tidak membatalkan puasa karena dahak ini tidak disamakan dengan muntah. Muntah secara sengaja bisa membatalkan puasa, sedangkan mengeluarkan dahak secara sengaja tidak membatalkan puasa.

Sementara itu Syekh Ali Jum'ah Muhammad pernah ditanya tentang ini, beliau menjawab: "Apabila dahak itu melewati batas atau keluar dari batas anggota bathin di dalam tenggorokan (tempat keluarnya huruf Hamzah dan Haa`, bukan Kha` menurut Imam al-Zayyadi, dan bukan pula Ha` menurut Imam Nawawi), maka menelannya membatalkan puasa. Dan apabila belum melewati batas anggota bathin dalam tenggorokan maka menelannya tidak membatalkan puasa. Sedangkan menurut pendapat bahwa menelan dahak itu tidak membatalkan puasa; yakni selagi dahak itu tidak keluar ke mulut atau masih ada di dalam rongga mulut." (Darul Ifta-Piss-ktb)

Referensi Kitab Fiqh Shiyam Syeikh Hasan Hitu, hal 78
:ابتلاع النخامة
ومما يؤدى الى الفطر ويجب الاحتراز عنه النخامة سواء أكانت نازلة من الرأس او خارجة من الصدر ولها حالتان
الحالة الاولى ان لا تصل ألى حد الظاهر من الفم وإنما تنزل من الرأس إلى الحلق دون أن تخرج إلى حد الظاهر من الفم وهذه لا تضر بالاتفاق
والحالة الثانية أن تصل ألى حد الظاهر من الفم وقد ضبطه الفقهاء بكخرج الحاء فإن وصلت حد الظاهر وهو مخرج الحاء فإما أن يقدر على قطعها ومجها وإما أن لا يقدر.
فإن لام يقدر على قطعها ومجها حتى نزلت إلى جوفه لم تضر لعدم تقصيره . وإن قدر على قطعها ومجها إلا أنه إبتلعها فإنه يفطر على ما ذهب إليه الجمهور

Wallahu a'lam bisshawab
Tgk. Helmi Abu Bakar El-Lamkawi, Guru Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga
Read More

Puasa Batal Karena Keluar Mani di Siang Hari?

April 29, 2020

Fiqh Puasa | Bulan Ramadhan merupakan bulan untuk menahan diri dari hal yang dilarang dalam syariat. Tidak hanya hal yang dilarang pada bulan selain Ramadhan, beberapa perkara mubah bahkan sunnah pun terlarang dan menyebabkan batalnya puasa. Salah satunya diantaranya yang membatalkan puasa adalah jima’ (bersetubuh) dengan istri. Adakah itu sampai keluar mani atau tidak. Demikian juga jika sengaja mengeluarkan mani, baik itu dengan cara masturbasi, bercumbu rayu dengan istri tanpa penghalang atau cara lainnya. Istimna’ atau dalam bahasa kita biasa disebut dengan onani atau masturbasi saat puasa menyebabkan puasa batal.

Dalam kitab al-Fiqh al-Manhaji karya Musthafa Khan dan Musthafa al-Bugha disebutkan bahwa onani saat puasa dapat membatalkan puasa jika disengaja.

الاستمناء: وهو استخراج المني بمباشرة تقبيل ونحوه، أو بواسطة اليد، فإن تعمد ذلك الصائم أفطر. أما إن غلب على أمره فلا يفطر.
“Istimna’ (onani) adalah berusaha mengeluarkan mani secara langsung atau dengan tangan. Jika dilakukan secara sengaja oleh orang yang berpuasa, maka membatalkan puasa. Adapun jika tidak disengaja, maka tidak membatalkan puasa.”

Dalam I’anatut Thalibin, Syekh Abu Bakar Syatha juga menjelaskan bahwa melakukan onani saat puasa itu termasuk hal yang membatalkan puasa sebagaimana keterengan berikut.

ويفطر باستمناء، وهو استخراج المني بغير جماع – حراما كان كإخراجه بيده، أو مباحا كإخراجه بيد حليلته أو بلمس لما ينقض لمسه بلا حائل
“Puasa itu batal sebab melakukan onani, yaitu berusaha mengeluarkan mani tanpa melalui jimak atau hubungan intim. Adakah itu onani yang memang haram, seperti mengeluarkan mani dengan cara menggerakkan kemaluan dengan tangannya sendiri, atau onani yang mubah, seperti meminta tolong istri melakukan onani dengan tangan istri. Atau juga hanya dengan sekedar menyentuh kulit seseorang yang membatalkan wudhu bila persentuhannya tanpa penghalang (maninya keluar).”

Sementara itu, keluar mani dengan tidak sengaja karena menghayal, bercumbu rayu dengan istri menggunakan penghalang (berpakaian) dan keluar mani karena bermimpi saat tidur, maka itu tidak membatalkan puasa, karena tidak terdapat unsur kesengajaan di dalamnya. Dan keluarnya mani adalah hal yang berada diluar kemampuannya.

Sebagaimana tersebut dalam kitab Hasyiah Syarqawi Ala Tahrir: 1/435: “Walhasil bahwa mengeluarkan mani secara muthlak dan keluar mani dengan menyentuh tanpa penghalang, sekalipun tanpa syahwat dikala terjaga (tidak tidur), adalah membatalkan puasa. Lain halnya kalau keluar mani pada saat tidur (bermimpi), menghayal bersentuhan dengan ada penghalang, maka sesungguhnya tidak membatalkan puasa walaupun dengan syahwat.”

Wallahu a'lam bis shawab.

Tgk. Helmi Abu Bakar El-Lamkawi, Guru Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga
Read More

Selasa, 28 April 2020

Batalkah Puasa Dengan Sebab Menghimpun Air Liur Lalu Menelannnya?

April 28, 2020

Fiqh Puasa | Salah satu kondisi yang sering terjadi selama bulan Ramadhan adalah menelan liur. Keadaan ini terkadang menjadi problema tersendiri bagi yang sedang berpuasa. Apakah hal tersebut bisa membatalkan puasa ataupun tidak?

Menjawab pertanyaan ini, Imam Nawawi menjelaskan tentang hukum menelan air liur:

ابتلاع الريق لا يفطر بالاجماع إذا كان على العادة لانه يعسر الاحتراز منه 

Artinya: “Menelan air liur itu tidak membatalkan puasa sesuai kesepakan para ulama. Hal ini berlaku jika orang yang berpuasa tersebut memang biasa mengeluarkan air liur. Sebab susahnya memproteksi air liur untuk masuk kembali.” (Abi Zakariya Muhyiddin bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’, juz 6, hal, 341)

Tentunya liur yang ditelan itu merupakan liur murni tanpa bercampur dengan benda asing lain. Liur yang masih berada dalam rongga mulut (belum keluar dari mulut) adalah liur yang masih murni, maka bila ditelan tidak membatalkan puasa. Menelan liur yang masih ada dalam mulut bila liur tersebut suci atau tidak najis, misalnya karena bercampur dengan darahnya gusi, dan liur tersebut tidak bercampur zat lain maka tidak membatalkan puasa.

Ringkasnya, setidaknya ada tiga syarat tidak membatalkan puasa menelan air liur. Pertama, air liur harus murni. Tentunya air liur yang tidak boleh ada benda lain yang merubah warna dan rasa air liur itu sendiri. Seperti penjahit yang memasukkan benang ke dalam mulut. Kemudian pewarna benang tersebut ada yang mengontaminasi warna air liur sehingga tidak lagi putih atau bening. Maka hal itu membatalkan puasa.  Atau ada pula yang air liurnya terkontaminasi oleh darah sebab luka pada gusi kemudian ditelan, maka itu juga bisa membatalkan puasa. 

Kedua, air liur yang masuk ke tubuh adalah air liur yang keluar dari tubuhnya sendiri dan tidak keluar dari batas ma’fu, yaitu bibir bagian luar. Disinilah terdapat sedikit kemiripan antara batas dhahir wudhu dan shalat yang terjadi pada bab puasa. Jadi, air liur yang sudah keluar dari tenggorokan –yang semula dianggap sudah bagian luar- namun karena hajat, selama tidak melewati bibir luar, tidak membatalkan puasa.  Ketiga, menelan liur secara wajar sebagaimana adat umumnya , yakni ia terkumpul dan tertelan secara alamiah tanpa sadar.

Mengumpulkan Air Liur Dan Menelannya

Sementara itu, ada sebagian masyarakat kita yang kesehariannya mengumpulkan liur dalam mulut dan masih murni, tidak tercampur zat lain, kemudian menelan kembali. Kondisi seperti inilah yang menjadi pertanyaan, apakah membatalkan puasa atau tidak?

Menghimpun liur dengan sengaja dan menelannya terdapat khilaf pendapat ulama. Namun pendapat yang kuat menyatakan tidak membatalkan puasa. Sementara menghimpun liur tanpa sengaja seperti akibat banyak berbicara, para ulama sepakat bahwa bisa batal puasanya. Hal ini sebagaimana diungkapakan dalam kitab Majmuk Syarah Muhazzab berbunyi:

 فَلَوْ جَمَعَهُ قَصْدًا ثُمَّ ابْتَلَعَهُ فَهَلْ يُفْطِرُ فِيهِ وَجْهَانِ مَشْهُورَانِ ذَكَرَهُمَا الْمُصَنِّفُ بِدَلِيلِهِمَا (أَصَحُّهُمَا) لَا يُفْطِرُ وَلَوْ اجْتَمَعَ رِيقٌ كَثِيرٌ بِغَيْرِ قَصْدٍ بِأَنْ كَثُرَ كَلَامُهُ أَوْ غَيْرُ ذَلِكَ بِغَيْرِ قَصْدٍ فَابْتَلَعَهُ لَمْ يُفْطِرْ بِلَا خِلَافٍ

Artinya: "Jikalau seorang secara sengaja menghimpun liur kemudian menelannya ,apakah membatalkaan puasanya? Ada dua pendapat yang masyhur dan musannif menyebut dalill  keduanya serta pendapat yang paling ashah dari kedua pendapat tersebut tidak membatalkan puasa.  Dan jikalau menghimpun liurnya yang banyak tanpa ada renacana bisa jadi dengan banyak berbicara atau lainnya tanpa renacana, maka ia menelannya tidak membatalkan puasa dengan tiada perbedaan pendapat ulama." (Kitab Majmuk Syarah Muhazzab, Jld.6, hal. 317-318).

oleh Tgk. Helmi Abu Bakar El-Lamkawi, Guru Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga

Artikel ini telah tayang di Theglobal.id
Read More

Minggu, 26 April 2020

Lupa Berniat Puasa di Malam Hari? Tenang, Ini Cara Agar Puasa Tetap Sah

April 26, 2020

Fiqh Puasa | Puasa Ramadhan merupakan kewajiban setiap muslim yang telah mencukupi syarat dan rukun. Sahnya puasa Ramadhan tidak terlepas dari adanya niat malam hari dari tenggelamnya matahari sampai sebelum terbitnya fajar, sebagai rukun pertama.

Keterangan ini sebagaimana hadis Nabi Saw: “Barang siapa yang tidak berniat puasa di malam hari sebelum terbitnya fajar, maka tidak ada puasa baginya.”(HR. Abu Daud, at Tirmidzi, an Nasa’i, Ibnu Majah dan Ahmad). Berdasarkan dari hadis tersebut, sangat jelas bahwa orang yang tidak niat puasa fardlu di malam harinya, maka puasanya tidak sah.

Namun, bagaimana jika ada seseorang yang lupa berniat dimalam harinya, tetapi dia makan sahur, apakah dengan makan sahur tersebut sudah mewakili niatnya yang tak terbersitkan di dalam hati?

Al Alim al Allamah Asy Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari, murid imam ahli fikih Ibnu Hajar al Haitami dalam kitab Fathul Mu’in telah membahas permasalahan ini. Beliau mengatakan: Makan sahur tidak cukup sebagai pengganti niat, meskipun ia makan sahur bermaksud agar kuat melaksanakan puasa. Dan mencegah dari hal-hal yang dapat membatalkan puasa karena khawatir akan terbitnya fajar juga tidak mencukupi sebagai pengganti niat selama tidak terbersit (di dalam hatinya) niat puasa dengan sifat-sifat yang wajib disinggung di dalam niat." (Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari, kitab Fathul Mu’in)

Berdasarkan keterangan tersebut, maka sangat jelas bahwa makan sahur belum mewakili niat puasa. Sehingga puasa yang dilakukan oleh orang yang lupa niat puasa dimalam harinya dianggap tidak sah, dan ia harus meng-qadha puasa tersebut di luar bulan Ramadan.

Meskipun puasanya tidak sah, bukan berarti ia boleh makan dan minum sepuasnya atau melakukan hal-hal yang membatalkan puasa selama satu hari itu. Orang tersebut tetap disyari'atkan menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa selama satu hari itu. Yang demikian itu untuk menghormati waktu yang banyak orang melaksanakan puasa didalamnya, yakni bulan Ramadan. Meskipun puasanya tidak dianggap tetapi ia tetap mendapatkan pahala dengan menahan diri tidak makan dan melakukan perkara yang membatalkan puasa.

Meski demikian, ulama mazhab Syafi’i tetap memberi solusi bagi siapa saja yang lupa belum berniat puasa Ramadan pada malam harinya. Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Majmû’ Syarhul Muhadzdzab menuturkan solusi tersebut sebagai berikut: “Disunahkan (bagi yang lupa niat di malam hari) berniat puasa Ramadhan dipagi harinya. Karena yang demikian itu mencukupi menurut Imam Abu Hanifah, maka diambil langkah kehati-hatian dengan berniat.” (Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmû’ Syarhul Muhadzdzab, [Jedah: Maktabah Al-Irsyad, tt.], juz VI, hal. 315).

Berdasarkan dari keterangan di atas, orang yang lupa belum berniat puasa Ramadan pada malam harinya ia masih memiliki kesempatan untuk melakukan niat tersebut pada pagi harinya dengan catatan bahwa niat yang ia lakukan pada pagi hari itu juga mesti ia pahami dan niati sebagai sikap taqlid atau mengikuti dengan apa yang diajarkan oleh Imam Abu Hanifah.

Niatan taqlid seperti ini perlu. Mengingat umat muslim Indonesia adalah pengikut mazhab Syafi’i yang dalam aturannya mengharuskan niat dimalam hari, tidak boleh niat dipagi hari (seteleh terbit fajar). Bila niat berpuasa dipagi hari tidak diniati sebagai langkah taqlid terhadap Imam Abu Hanifah maka ia dianggap mencampuradukkan ibadah yang rusak.

Ini sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ibnu Hajar Al-Haitami dalam kitab fatwanya: “Dalam kitab Al-Majmû’ disebutkan, disunahkan bagi orang yang lupa berniat puasa di bulan Ramadhan untuk berniat pada pagi hari karena bagi Imam Abu Hanifah hal itu sudah mencukupi, maka diambil langkah kehati-hatian dengan niat. Niat yang demikian itu mengikuti (taqlid) Imam Abu Hanifah. Bila tidak diniati taqlid maka ia telah mencampurkan satu ibadah yang rusak dalam keyakinannya dan hal itu haram hukumnya.” (Ibnu Hajar Al-Haitami, Al-Fatâwâ Al-Fiqhiyyah Al-Kubrâ, juz IV, hal. 307)

Akhirul kalam, apabila ada orang yang lupa berniat puasa pada malam hari masih dapat terselamatkan puasanya. Namun sekali lagi perlu ditegaskan bahwa solusi ini hanya untuk mereka yang lupa tidak berniat, bukan sengaja tidak berniat di malam hari. Catatan penting yang harus digaris bawahi adalah jangan sampai terjadinya talfiq dalam beribadah. Berkaitan dengan puasa Ramadhan, pada problem lupa berniat malam harinya apabila mengikuti (taqlid) Imam Abu Hanifah. Apabila tidak bertaqlid, kewajiban berpuasa tetap dilanjutkan siang harinya dan mengqadhanya di hari lainnya.
Wallahu Muwaffiq Ila Aqwamith Tariq, Wallahu Alam


Tgk. Helmi Abu Bakar El-Lamkawi, Guru Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga
Read More

Senin, 04 Juni 2018

SEDANG PUASA, BERCUMBU DAN BERCIUMAN. BATALKAH?

Juni 04, 2018


Tarbiyah.Online - Titik kesepakatan ulama dalam hal ini adalah keabsahan puasa seseorang yang dicium atau mencium dan mencumbui istrinya yang tidak membuat spermanya keluar akibat rangsangan yang dirasakannya. Sedangkan bila hal tersebut membuatnya terangsang dan mengakibatkan spermanya keluar maka puasanya menjadi batal. Adapun riwayat dari beberapa sahabat Nabi yang melarang melakukan hal demikian adalah lantaran mempertimbangkan terjerumusnya seseorang pada melakukan yang halal dalam kondisi haram, yakni berhubungan dengan istri di siang Ramadhan.

Berikut keterangan dari beberapa sahabat radhiyallâhu ‘anhum;

Umar Ibn al-Khatthab radhiyallâhu ‘anhu;

إن عاتكة ابنة زيد بن عمرو بن نفيل امرأة عمر بن الخطاب كانت تقبل رأس عمر بن الخطاب وهو صائم فلا ينهاها
Sesungguhnya ‘Atikah bint Zaid Ibn ‘Amr Ibn Nufail, istri Umar Ibn al-Khatthab mencium kepada Umar Ibn al-Khatthab ketika ia sedang berpuasa, dan Umar tidak mencegahnya
(Malik Ibn Anas, al-Muwattha’ bi Riwâyah al-Laytsî, vol.1, hal.292, no.643)

Ali Ibn Abi Thalib karramallâhu wajhah;

عن علي، قال: لا بأس بالقبلة للصائم
Dari Ali, ia berkata bahwa tidak mengapa orang yang berpuasa melakukan ciuman
(Ibn Abi Syaibah, al-Mushannaf, vol.3, hal.59, no.9458)

Aisyah Ummul Mu’minin radhiyallâhu ‘anhâ;

عن أبي النضر مولى عمر بن عبيد الله أن عائشة بنت طلحة أخبرته أنها كانت عند عائشة زوج النبي صلى الله عليه وسلم فدخل عليها زوجها هنالك وهو عبد الله بن عبد الرحمن بن أبي بكر الصديق وهو صائم فقالت له عائشة ما يمنعك أن تدنو من أهلك فتقبلها وتلاعبها؟ فقال: أقبلها وأنا صائم؟ قالت نعم
Dari Abu al-Nadhr (pelayan Umar Ibn Ubaidillah), bahwa Aisyah bint Thalhah mengabarinya bahwa ketika ia bersama Aisyah istri Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam, datanglah suaminya (Abdullah Ibn Abdurrahman Ibn Abi Bakr al-Shiddîq) yang sedang berpuasa. Lalu Aisyah (ummul mu’minin) berkata; Apa gerangan yang membuatmu tidak ingin mendekati istrimu untuk mencium atau bermesraan dengannya? Abdullan menjawab: Apakah saya dapat menciumnya saat puasa? Tentu, jawab Aisyah
(Malik Ibn Anas, al-Muwattha’ bi Riwâyah al-Laytsî, vol.1, hal.292, no.644)

Abu Hurairah, Sa‘d Ibn Abî Waqqâsh dan Sa‘d Ibn Malik radhiyallâhu ‘anhum;

إن أبا هريرة وسعد بن أبي وقاص كانا يرخصان في القبلة للصائم
Sesungguhnya Abu Hurairah dan Sa‘ad Ibn Abi Waqqash membolehkan ciuman bagi orang yang berpuasa
(Malik Ibn Anas, al-Muwattha’ bi Riwâyah al-Laytsî, vol.1, hal.292, no.645)

عن زيد بن أسلم قال: قيل لأبي هريرة: تقبل وأنت صائم؟ قال: نعم، وأكفحها، -يعني يفتح فاه إلى فيها- قال: قيل لسعد بن مالك: تقبل وأنت صائم؟ قال: نعم وأخذ بمتاعها
Dari Zaid Ibn Aslam, ia berkata: Abu Hurairah ditanya: Anda mencium istri ketika puasa? Ia menjawab: Iya, bahkan sama-sama mempertemukan bibir. Zaid Ibn Aslam berkata lagi bahwa Sa‘d Ibn Malik pernah ditanya: Anda mencium istri ketika puasa? Ia menjawab: Iya, saya pun menikmatinya
(Abdurrazzaq, al-Mushannaf, vol.4, hal.185, no.7421)

عن سعيد المقبري أن رجلا سأل أبا هريرة، فقال: رجل قبل امرأته وهو صائم، أأفطر؟ قال: لا، قال: فغيرها؟ قال: فأعرض أبو هريرة
Dari Sa‘id al-Maqbari, suatu ketika seseorang bertanya kepada Abu Hurairah tentang seorang suami yang mencium istrinya apakah batal? Ia menjawab: Tidak. Orang itu bertanya lagi: Bagaimana kalau mencium perempuan yang bukan istri? Maka Abu Hurairah langsung berpaling
(Abdurrazzaq, al-Mushannaf, vol.4, hal.185, no.7422)

Abdullah Ibn Abbas radhiyallâhu ‘anhumâ;

إن عبد الله بن عباس سئل عن القبلة للصائم فأرخص فيها للشيخ وكرهها للشاب
Abdullah Ibn Abbas pernah ditanya tentang ciuman bagi orang yang berpuasa, maka beliau membolehkan bagi orang yang sudah tua dan memakruhkan bagi yang masih muda
(Malik Ibn Anas, al-Muwattha’ bi Riwâyah al-Laytsî, vol.1, hal.293, no.648)

عن عطاء قال سمعت ابن عباس يسئل عن القبلة للصائم فقال: لا بأس بها إن انتهى إليها، فقيل له: أفيقبض على ساقها؟ قال أيضا: اعفوا الصائم لا يقبض على ساقها
Dari ‘Atha’, ia berkata: Aku mendengar Ibn Abbas ditanya tentang ciuman bagi orang yang berpuasa. Ia menjawab: Tidak mengapa (tidak batal) bila hanya sampai disitu saja. Ia ditanya lagi: Apakah boleh memeluk/mengusap betisnya (istri)? Ia menjawab: Hendaklah orang yang berpuasa menahan dirinya, jangan sampai melakukan itu pada betisnya
(Abdurrazzaq, al-Mushannaf, vol.4, hal.184, no.7413)

Abdullah Ibn Umar radhiyallâhu ‘anhuma;

إن عبد الله بن عمر كان ينهى عن القبلة والمباشرة للصائم
Abdullah Ibn Umar melarang berciuman dan bercumbu bagi orang yang sedang berpuasa
(Malik Ibn Anas, al-Muwattha’ bi Riwâyah al-Laytsî, vol.1, hal.293, no.649)
Dan beberapa sahabat lainnya seperti Abdullah Ibn Mas‘ud, Abu Sa‘id al-Khudri, Hudzaifah, dll, radhiyallâhu ‘anhum.

Berikut keterangan ijma‘ ulama mazhab;

Al-Imam Abu al-Hasan Ali Ibn Muhammad Ibn Muhammad Ibn Habib al-Mawardi al-Bashri (w.450H);

أما إن وطئ دون الفرج أو قبل أو باشر فلم ينزل فهو على صومه لا قضاء عليه ولا كفارة، وإن أنزل فقد أفطر ولزمه القضاء إجماعا
Suami yang mencumbui istrinya yang tidak sampai pada berhubungan, ataupun melakukan ciuman dan bermesraan tanpa ada sperma yang keluar, maka puasanya tetap sah, tidak ada yang perlu diqadha, apalagi kafarat. Namun jika spermanya keluar, maka puasanya batal dan wajib diqadha berdasarkan ijma‘
(Al-Mawardi, Al-Hawi al-Kabir Syarh Mukhtashar al-Muzani, vol.3, hal.945)

Al-Imam Abu Muhammad Abdullah Ibn Ahmad Ibn Qudamah al-Maqdisi (w.630H);

ولا يخلو المقبل من ثلاثة أحوال : أحدها أن لا ينزل فلا يفسد صومه بذلك لا نعلم فيه خلافا ... الحال الثاني : أن يمني فيفطر بغير خلاف نعلمه
Ada tiga kondisi yang dapat dialami oleh orang yang melakukan ciuman : (1) Mencium tanpa sampai mengeluarkan sperma, maka puasanya tetap sah tanpa ada perbedaan pendapat yang kami ketahui. (2) Sampai mengeluarkan sperma, maka puasanya batal tanpa ada perbedaan pendapat yang kami ketahui
(Ibn Qudamah, al-Mughni Syarh Mukhtashar al-Kharqî, vol.3, hal.336)

Al-Imam Abu al-Abbas Ahmad Ibn Idris Ibn Abdirrahman al-Qarrafi (w.684H);

لا يعلم خلاف في عدم تحريم المباشرة للانسان امرأته بعد الفجر
Tidak diketahui adanya perbedaan pendapat ulama tentang tidak diharamkannya bercumbu dengan istri setelah fajar
(Al-Qarrafi, al-Dzakhîrah, vol.2, hal.504)

Wallahu a'lam


Read More

Kamis, 31 Mei 2018

BATALKAH PUASA SAAT MENGHIRUP POLUSI, DEBU, ATAU DIMASUKI SERANGGA?

Mei 31, 2018

Salah satu pembatal puasa adalah benda yang masuk ke dalam kerongkongan secara disengaja. Namun kemungkinan lain yang bisa terjadi pada seseorang adalah bila dalam kondisi tertentu rongga mulutnya dimasuki oleh benda atau serangga sampai tertelan hingga kerongkongannya disebabkan menguap ataupun sedang membuka mulut saat berkendara lalu tiba-tiba dimasuki oleh serangga, ataupun debu dan asap polusi, maka puasa orang tersebut tidak batal.

Berikut sebagian penjelasan dari riwayat sahabat maupun keterangan ulama mazhab;

Abdullah Ibn ‘Abbas radhiyallâhu ‘anhumâ;

عن ابن عباس في الرجل يدخل حلقه الذباب، قال: لا يفطر

Dari Ibn Abbas, tentang seseorang yang dimasuki serangga pada kerongkongannya. Ibnu Abbas berkata; Puasanya tidak batal
(Ibn Abi Syaibah, al-Mushannaf, vol.3, hal.107, no.9886)

Al-Imam Abu Muhammad Ibn Ali Ibn Ahmad Ibn Sa‘id Ibn Hazm al-Andalusi (w.456H);

وما نعلم لابن عباس في هذا مخالفا من الصحابة رضي الله عنهم إلا تلك الروايات الضعيفة عنه

Kami tidak mengetahui para sahabat lain yang berbeda dengan Ibnu Abbas terkait masalah ini, selain dari riwayat-riwayat dhaif darinya (yang berbicara sebaliknya)
(Ibn Hamz, al-Muhalla Bi al-Atsar, vol.4, hal.350)


Al-Imam Abu Muhammad Abdullah Ibn Ahmad Ibn Qudamah al-Maqdisi (w.630H);

فأما ما حصل منه عن غير قصد كالغبار الذي يدخل حلقه من الطريق ونخل الدقيق والذبابة التي تدخل حلقه أو يرش عليه الماء فيدخل مسامعه أو أنفه أو حلقه أو يلقي في ماء فيصل إلى جوفه أو يسبق إلى حلقه من ماء المضمضة أو يصب في حلقه أو أنفه شيء كرها أو تداوى مأمومته أو جائفته بغير اختياره أو يحجم كرها أو تقبله امرأة بغير اختياره فينزل أو ما أشبه هذا فلا يفسد صومه لا نعلم فيه خلافا لأنه لا فعل له فلا يفطر كالاحتلام

Adapun sesuatu yang terjadi pada orang yang sedang berpuasa tanpa sengaja seperti debu di jalan yang masuk ke dalam kerongkongannya, kabut tepung, dan serangga yang masuk ke dalam kerongkongannya, atau percikan air yang masuk ke dalam pendengaran, hidung, tenggorokan, ataupun dilempar ke dalam air sehingga kerongkongannya dimasuki air, atau juga saat berkumur-kumur, termasuk juga seseorang yang dipaksa memasukkan sesuatu ke dalam kerongkongan dan hidungnya, atau mengobati bolongan pada kepalanya, dan itu semua bukan keinginannya, atau berbekam karena terpaksa, atau bahkan dicium oleh seorang perempuan tanpa kehendaknya sehingga maninya keluar, dan lain sebagainya, maka puasanya tidak batal. Kami pun tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat dalam hal ini, karena sejatinya itu bukan perbuatannya sehingga puasanya tidak batal, sama halnya dengan orang yang mimpi hingga keluar mani
(Ibn Qudamah, al-Mughni Syarh Mukhtashar al-Kharqi, vol.3, hal.36)

Wallahu A’lam
Read More