Tarbiyah.online | Kedekatan Muhammad kecil dengan pamannya Abu Thalib, sangatlah erat sekali. Dia tidak ingin berpisah meskipun hanya sehari saja. Mungkin ini adalah insting yang muncul secara naluriah karena ia tidak ingin kehilangan orang yang dekat dengannya dan penuh kasih dan sayang dalam mencintainya, sebagaimana ibunda Aminah dan sang kakek Abdul Mutthalib. Ia pun begitu mencintai Abu Thalib beserta istrinya. Tetapi Muhammad yang masih belia tidak tahu harus berbuat bagaimana. Muhammad masih kecil, ekspresi cinta kepada mereka jelas hanya bersifat rasa dan ketergantungan.
Sampai-sampai ketika hari dimana
kafilah dagang Arab telah menentukan hari untuk berangkat berdagang ke Syam –sudah
menjadi adat bangsa Arab melakukan ekspedisi dagang ke Syam dari aman-, bagi
penduduk Mekkah hal ini sudah mendarah daging. Muhammad kecil meminta untuk
ikut ke Syam, ia tidak sanggup jika tidak melihat keberadaan pamannya walau
sesaat.
Sang paman menampik keinginan si kecil. Menurutnya, Muhammad kecil masih sangat membutuhkan kasih sayang seorang wanita dan sosok ibu, belum waktunya bagi si kecil untuk ikut ekspedisi dagang ini. Apalagi, Abu Thalib khawatir jika ia bisa menjadi lalai dengan barang dagangannya, hingga pengawasannya terhadap Muhammad akan berkurang dan terpecah. Bagaimana jika ia kelelahan, dan tak tak sanggup mengimbangi perjalanan kafilah.
Sang paman menampik keinginan si kecil. Menurutnya, Muhammad kecil masih sangat membutuhkan kasih sayang seorang wanita dan sosok ibu, belum waktunya bagi si kecil untuk ikut ekspedisi dagang ini. Apalagi, Abu Thalib khawatir jika ia bisa menjadi lalai dengan barang dagangannya, hingga pengawasannya terhadap Muhammad akan berkurang dan terpecah. Bagaimana jika ia kelelahan, dan tak tak sanggup mengimbangi perjalanan kafilah.
Semua kekhawatiran itu memenuhi
benak sang paman, demikian juga dengan bibi-bibinya. Namun Muhammad bergeming, ia
merasa kekhawatiran yang berlebihan itu tidaklah patut. Ia merasa tidak puas
dengan keputusan paman yang demikian. Sang paman pun bingung, karena
keponakannya ini, tidak bisa dipisahkan dengannya. Tapi tetap saja mereka tak
bisa bersikap keras.
Wajah Muhammad kecil yang dipenuhi dengan nur, memancar dan meluluhkan hati mereka semua. Ditambah rasa iba sang paman ketika mengingat masa lalu sang keponakan kesayangannya ini yang nihil akan kasih sayang sang ayah dan miskin waktunya bersama ibu. Ia pun berat hati untuk meninggalkan Muhammad.
Wajah Muhammad kecil yang dipenuhi dengan nur, memancar dan meluluhkan hati mereka semua. Ditambah rasa iba sang paman ketika mengingat masa lalu sang keponakan kesayangannya ini yang nihil akan kasih sayang sang ayah dan miskin waktunya bersama ibu. Ia pun berat hati untuk meninggalkan Muhammad.
Abu Thalib berkata kepada
istrinya Fathimah,”Kemaskan barangnya, Aku akan membawanya ikut dan menjaganya.”
Fathimah terkejut dengan keptusuan suaminya, dan merasa berat hati, namun ia tak
ingin membantah sang suami. Dengan penuh keraguan dan rasa iba, ia kemasi
barang dan bekal untuk Muhammad, dan menggantungkan nasib Muhammad kecil serta
suaminya kepada Tuhan yang Maha Agung dan Maha Mulia agar dijaga keselmatan
mereka.
Kafilah pun berangkat menuju Syam,
melewati Madinah -Yastrib saat itu-, Khaibar, Tima’, dan Tabuk. Sebuah perjalanan
yang amat panjang, dengan sedikit istirahat sebelum mereka mencapai Bushra,
salah satu ibu kota negeri itu. Untuk pertama kalinya, Muhammad menyaksikan
bangunan-bangunan megah, orang-orang asing, para budak yang diperjual belikan
dan budak yang bersama tuannya, juga orang merdeka lainnya. Kaum konglomerat
dan kaum fakir, semua berbaur di pasar itu. Muhammad dititipkan sebentar di
sebuah kuil tua nan besar bersama beberapa pembantu yang sedang beristirahat
disana. Abu Thalib berpesan pada mereka untuk menjaga Muhammad dengan sangat baik.
Sesaat kemudian, Abu Thalib
kembali dan menggandeng tangan Muhammad, mengajaknya jalan-jalan, hingga ke
sebuah rumah besar dan bertingkat. Mereka pun naik ke lantai atas dan
melihat-lihat ke sekitar. Tiba-tiba seorang tua yang berpakaian hitam dan
kasar, datang. Ia memegang tangan Muhammad kecil yang belum matang usia
remajanya, dan memeriksanya. Ia tercenung beberapa saat, kemudian meneliti
setiap garis dan guratan wajah si anak belia ini. Lalu dengan cepat, pria tua
itu menyingkap pundak Muhammad dan kemudian lututnya, seolah ia sedang mencari dan
memeriksa sesuatu yang ada pada tubuh badan Muhammad kecil.
Barulah kemudian ia berbicara
dengan sangat serius dan -fokus seolah hanya mereka saja yang ada disana-,
dalam keramaian orang-orang di dekat pasar. Gelombang pertanyaan pun menghantam
Muhammad dan sang paman satu demi satu, mereka menjawabnya dengan cermat.
Tetapi, ketika pria tua ini meminta Muhammad untuk bersumpah atas nama Lata dan
Uzza, Muhammad berpaling dan menghindar,” Jangan sekali-kali engkau menanyakan
tentang keduanya. Sungguh demi Allah aku sangat membenci keduanya melebihi apa
pun yang ada.” Berkata sambil melemparkan wajahnya ke arah lain.
Lalu pria tua tersebut bertanya, ”Siapa
ayah dari anak ini?”, Muhammad terpana.
“Akulah ayahnya,” jawab Abu
Thalib dengan tegas. Pria itu pun menatap lekat wajah dan memerhatikan tubuh
Abu Thalib, lalu bergumam tak percaya, “Bukan, tidak mungkin ayah dari anak ini
masih hidup.”
Abu Thalib pun terdiam, tak bisa
mengelak, dengan sedikit terbata ia pun mengaku, “Maksudku, aku adalah
pengganti ayahnya. Aku adalah paman yang mengasuhnya. Sejak lama ia telah
ditinggalkan mati oleh ayahnya.”
Pria tua itu, yang kemudian
dikenal dengan panggilan Rahib Buhaira itu terdiam untuk beberapa waktu. Lalu ia
mengangkat wajahnya dan berkata sedikit berbisik dengan penuh kehati-hatian
kepada Abu Thalib, “Tuan, jagalah keponakan mu ini enggan sungghuh-sungguh.
Berhati-hatilah terhadap orang Yahudi. Jika mereka sampai mengetahui hal ini,
pasti, tanpa segan mereka akan berlaku jahat kepadanya, hingga membunuhnya.”
Perubahan sikap terjadi pada
keduanya, cara masuk mereka dengan girang dan penuh tawa tadi, kini saat keluar
berganti dengan rasa cemas yang tak menentu, terutama pada sang Paman, akibat
perkataan Rahib Buhaira. Dadanya bergemuruh, ia gelisah. Muhammad kecil juga mungkin
bertanya-tanya pada dirinya sendiri, ”Siapa itu Yahudi, yang hendak
mencelakainya.?” Karena sejauh ini kehidupan yang dikenal Muhammad kecil
hanyalah Mekkah.
Dalam perjalanan pulang mereka,
penjagaan Abu Thalib benar-benar sangat ekstra. Sebelum mereka menyentuh tanah
Mekkah dan melihat rumahnya, hati Abu Thalib dipenuhi rasa was-was, ia tak bisa
tidur, matanya bergerilya kiri kanan, depan-belakang untuk mengantisipasi
segala potensi kejahatan yang bisa jadi akan menimpa keponakan tersayangnya.
Sesampainya di mekkah, Abu Thalib
menceritakan kepada Fathimah, istrinya. Tak ada sedikit pun yang ia
sembunyikan. Fathimah sangat terkagum dan terkesima dengan kisah dari suaminya.
Ia pun berujar kepada suaminya. “Kalau demikian cerita mu wahai suami ku. Permintaan
Muhammad yang sangat ingin ikut dalam
perjalanan kalian kemarin itu bukanlah suatu kebetulan, melainkan sebuah takdir
Allah, sehingga kau dapat melihat langsung keistimewaan yang dialami oleh anak
ini. Dan setiap kejadian menyangkut dirinya. Mungkin itulah kenapa ia sangat
dekat dan bergantung pada mu. Hingga aku pun tak kuasa mengekangnya dari mu.”
Dan Fathimah melanjutkan, “Dibalik
hari ini terdapat hari esok yang penuh misteri, demikian juga dengan Pribadi
Muhammad, masih banyak rahasia yang belum terungkap. Sejauh ini, sebagian telah
nyata di hadapan kita. Dan kita pasti akan menyaksikan sesuatu yang lebih besar
kedepannya.” “Itu kalau Allah menjaganya dan Yahudi tidak mencelakainya,” Abu
Thalib menyela, “Dan aku sangat mengkhawatirkannya wahai Fathimah istri ku.”
Fathimah pun menenangkan, “Tidak
ada Yahudi di Mekkah wahai suami ku, kecuali mereka hanya datang dan pergi unuk
berdagang. Menurutka, rahasia ini harus kita jaga, jangan dibuka kepada siapa
pun. Terutama yang rahib itu sebutkan. Dan Muhammad harus selalu dalam
pengawasan kita.”
Sejak hari itu, perhatian dan
pengawasan Fahimah binti Asad kepada Muhammad semakin besar dan ketat. Dan
cintanya kepada Muhammad pun kian dipadati rasa hormat. Hingga ia tumbuh
menjadi semakin dewasa, yang beranjak menjadi seorang pemuda.

