Kadang Muhammad bekerja pada
orang-orang kaya, konglomerat Mekkah, sepert yang pernah dilakukannya pada
Khadijah binti Khuwailid.
Tiba di Mekkah dari Hubasyah, ia
dan temannya tak lagsung pulang ke rumah, tetapi duluan menghadap kepada bos
untuk memaparkan hasil dagang mereka, berapa laba yang diraup. Khadijah memuji
Muhammad. Ia bersikap hormat dan ramah kepada Muhammad, bahkan melebihi sikap
seorang majikan kepada pembantunya. Bahkan Muhammad melukiskan kebaikan
Khadijah begini, “Belum pernah kudapati seorang majikan yang sebaik Khadijah.
Setiap aku dan temanku pulang, ia secara semunyi-sembunyi memberi kami makan.”
Abu Thalib tetap masih sangat
perhatian kepada Muhammad. Melihat kematangan yang telah diraih Muhammad dan
usianya yang semakin matang, sang paman mulai berpikir untuk mengajak Muhammad
berdagang secara mandiri, dan mengajaknya ikut serta dalam perjalanan dagang ke
Syam. Disaat hari-hari menjelang kafilah dagang Mekkah berangkat ke Syam, Abu
Thalib pun bertutur kepada Muhammad sang keponakan tersayang, “Sudah saatnya
engkau duhai Muhammad, berdagang secara mandiri. Kau bisa ikut serta dalam
kafilah dagang ke Syam. Bukankah usia mu telah sampai dua puluh lebih? Apalagi
keadaan saat ini sangat sulit. Sudah berapa tahun kita dicekik paceklik.”
Muhammad terdiam. Setelah
berpikir, ia berkata, “Tetapi paman, dari mana harta yang bisa kubawa dan
kuperdagangkan dalam ekspedisi musim panas ini.?”
Abu Thalib melemparkan
pandangannya ke arah kawanan, dan berkata “Lihatlah pemuda-pemuda Qurays itu!
Mereka bekerja pada orang lain denga cara bagi hasil. Kenapa kau tidak ikut
bekerja seperti mereka?”.
Hati dan pikiran Muhammad pun
terbuka. Ia merasa tertarik dengan usul pamannya. Lalu kembali terdiam dan
berpikir, bagaimana caranya membangun relasi dengan para pemilik dagang? Apakah
mereka mau menerima dirinya? Belum lagi penduduk Mekkah adalah pedagang tulen,
mana mau mereka menyerahkan bisnisnya kepada orang lain, pasti mereka akan
menjalankannya sendiri atau menyerahkannya kepada anak-anak mereka. Dalam
kekalutan pikirannya, ia bertanya kepada paman, “Siapa yang rela menyerahkan
barang dagangannya ku bawa ke tempa yang sangat jauh.?”
Dengan lugas pamannya menjawab,”Khadijah
bint Khuwailid! Banyak laki-laki dari kaum mu bekerja padanya. Mereka untung.
Aku yakin, kalau kamu kesana, dia pasti akan memilih mu daripada yang lain.
Bukankah dia sudah mengenal mu saat kamu bersama teman mu menjalankan bisnisnya
di Hubasyah beberapa waktu lalu?”.
Pendapat sang paman banyak
benarnya dan sunggug memikat, tapi masalahnya adalah Muhammad tak berai
menawarkan diri, ia takut ditolak dengan cara yang tidak layak. Lagi pun,
terlalu agung dirinya untuk hal semacam ini. “Mudah-mudahan Khadijah menyuruh
orang kesini.” Muhammad berkata kepada pamannya. Tapi jawaban ini tidak
memuaskan hati sang paman. Ia berpikir, bagaimana mungkin Khadijah akan ingat
kepada Muhammad, sedangkan ia dikelilingi oleh banyak sekali pemuda yang
menawarkan diri untuk pekerjaan serupa. Abu Thalib pun berkata, “kamu lah yang
harus kesana. Dan itu tidak sulit.”
Keesokan paginya, datang seorang
utusan dari Khadijah secara tiba-tiba. Ia meminta Muhammad mendatangi Khadijah,
jika bersedia. Dimintanya juga agar Muhammad yang mengurusi bisnis Khadijah
untuk diberangkatkan ke Syam bersama kafilah dagang.
Mungkin, Khadijah yang tengah
duduk bersama beberapa wanita di tempatnya, dan ada yang datang membisikkan
tentang pembicaraan Muhammad bersama Abu Thalib. Bisa jadi juga, fathimah binti
Asad yang menyampaikan kepada beberapa kenalan Khadijah, dan mereka meneruskan
hingga ke Khadijah. Satu hal yang pasti, Khadijah merasa sangat senang dengan
berita yang diterimanya. Ia sangat bangga, jika dagangannya akan diurus oleh seorang
laki-laki berjuluk Al Amin. Sebagaiman Khadijah merasa senang melihat laku dan
perangai Muhammad yang agung. Ia pun menghapus nama-nama pemuda lain dari
benaknya untuk urusan ini. Harapannya fokus kepada Muhammad, hingga ia putuskan
untuk mengirimkan utusan untuk meminta Muhammad bersedia mengurusi pekerjaan
ini.
Muhammad sangat senang dan
menerima dengan bijak. Sebuah impiannya dan juga impian pamannya terpenuhi
berkat pertolongan Allah.
Hanyasanya, sontak wajah Abu
Thalib berubah menjadi murung. Sesuatu melintas dalam benaknya. Fahimah binti
Asad sang istri menangkap dengan cepat perubahan gelagat sang suami. Ia
bertanya, “Ada apa duhai suami ku, kenapa tiba-tiba wajah mu berubah lesu dan
tampak gelisah sekali?”
Dengan nada sedih, lelaki tua itu
menjawab, “Muhammad sebentar lagi akan bertolak ke Syam, negeri yang jauh dari
Mekkah.”
“Lho,bukankah kau sendiri yang
meminta dan membujuknya untuk pergi? Ada apa?”. Tanya Fathimah keheranan.
“Aku khawatir jika akan terjadi
sesuatu padanya.” Abu Thalib menjawab singkat.
“Sudahlah, yang kamu khawatirkan
itu, seorang pemuda yang telah berusia lebih dua puluh tahun.” Jawab Fathimah.
Lalu Abu Thalib diam dengan waktu
yang cukup lama. Wajahnya keruh terpahat gelisah. Istirnya pun ikut serta
cemas. Ia menunggu jawaban dari suaminya, namun tak juga keluar dari mulutnya.
Ia mencoba membacahati dan pikiran sang suami melalui dua mata yang telah
menua, hingga Abu Thalib berkata dalam nada tanyaa,” Masih ingatkah engkau
Fathimah, apa yang dulu pernah kuceritakan pada mu saat usia Muhammad masih
belasan tahun? Kau ingat apa yang dikatakan oleh Rahib itu tentang keponakan ku
ini.?”
Sontak kedua mata wanita ini
membeku, hatinya semakin kelu. Nafasnya terisak dan suaranya terbata, ia
menjawab,”Aku masih ingat, bahkan aku hafal denga kata-katanya. Ia menyuruh mu
hati-hati untuk menjaga Muhammad dari orang-orang Yahudi. Bukankah demikian?”.
“Ya, itulah yang aku cemaskan.
Aku takut, jika apa yang diramalkan rahib itu menjadi kenyataan.”
Fathimah pun duduk terdiam, ia
membisu. Karena merasakan kegelisahan luar biasa. Bahkan dalam hatinya ia
berharap, kalau Khadijah akan menarik kembali rencanaya itu, atau berharap
Muhammad membatalkan, bahkan ia berpikir jika Abu Thalib saja yang akan menahan
Muhammad untuk berangkat. Semua yang ada dipikirannya adalah cara supaya
Muhammad tetap tinggal di Mekkah dalam keadaan aman dan tenang.
Sementara itu Khadijah telah
membulatkan tekad untuk menyerahkan hartanya pada Muhammad untuk
diperdagangkan. Muhammad pun menjanjikan laba yang berlipat, melebihi pedagang
lainnya. Muhammad pun diberikan kepercayaan oleh Khadijah dengan membawa
bersamanya seorang teman yang bisa membantunya. Orang kepercayaannya, Maisarah.
Ia berpesan kepada Maisarah untuk patuh kepada Muhammad dan mengurusi segala
keperluannya. Muhammad pun berterimakasih atas kebaikan Khadijah yang luar
biasa –ini pula yang menjadi pintu pembuka lembaran hidup baru di masa depan-.
Begitu kafilah berangkat
meninggalkan Mekkah, Abu Thalib semakin bersedih. Hari demi hari berasa duri
yang menyakitkan, ia dirundung rasa gelisah dan sedih seara terus menerus.
Demikian juga dengan Fathimah istrinya, meskipun ia mencoba menghibur sang
suami dengan rasa optimis, bahwa Muhammad akan baik-baik saja, ia akan
dilindungi oleh Yang MahaKuasa, padahal pikirannya kacau, nuraninya teriris
pilu. Hingga sampailah hari bahagia, hari ketika kafilah datang kembali tanpa
ada yang kurang.
Orang-rang berkumpul di dekat
Ka’bah, Rumah Suci Allah menyambut kedatangan kembali putra-putranya, suami dan
kerabatnya yang kembali dengan selamat dan dagangan yang berlimpah. Semua
merasa bahagia, terlebih Abu Thalib bersama istrinya. Wajahnya berseri-seri
melebihi keceriaan wajah yang lain. Bahagia yang dirasa Abu Thalib berlapis,
keselamatan Muhammad, dan juga pembuktian keponakan kesayangannya telah
mendapatkan pekerjaan. Pekerjaan yang ditekuninya dengan tetap hingga hari
setelah itu.
Muhammad langsung menuju
majikannya. Ia menyerahkan laba yang melimpah dari hasil dagangan barang-barang
yang ia bawa ke Syam. Ia juga membawa pulang barang belian dari Syam untuk
dijual di Mekkah dengan laba yang berlipat.
Khadijah pun merasa sangat puas
dan semakin terkagum pada Muhammad atas pencapaiannya. Ditambah lagi cerita
khusus dari Maisarah tentang Muhammad selama perjalanan dan perdagangan selama
di Syam. Bagaimana kejujurannya, gaya menjual dan membeli barang, interaksinya
dengan pembeli atau orang sekitar, tidak perah terlibat pertengkaran. Juga
menceritakan kemuliaan akhlak dan kebiasaan Muhammad ketika makan, minum dan
tidur.
Bahkan lebih dari itu, Maisarah
pun ikut menceritakan bagaimana hal yang aneh bin ajaib terjadi, dimana awan
senantiasa meneduhi Muhammad dengan berarak di langit sepanjang perjalanan
dalam teriknya matahari. Tentang rahib di Basrah yang saat melihat Muhammad tidur
sejenak di bawah pokok kayu di dekat pertapaanya, berkata,”Orang yang berada di
bawah pohon itu tak lain adalah Nabi.”
Semua diceritakan oleh Maisarah
kepada Khadijah. Bak seorang informan, atau intelijen, begitulah Maisarah
bertugas. Ia membantu Muhammad sepanjang ekspedisi, dan juga memantau Muhammad
dengan segenap jiwanya, lalu dilaporkan kepada sang majikannya, Khadijah.
Alhamdulillah, setiap detail laporannya adalah positif, bahkan besar nilai plus
nya.