Bahkan Fathimah sedikit heran melihat Muhammad kini yang lebih pemalu. Ia malu untuk meminta dan menyuruh sesuatu kepadanya, “Ia lebih malu dari pada gadis pingitan.”tutur Fathimah. Sang bibi masih mengaggap hal yang sanngat wajar, jika anak seusia Muhammad kini lebih banyak malas dan banyak mainnya. Tapi itu tidak terlihat dalam diri Muhammad.
Muhammad, dengan melihat keadaan
keluarga Pamannya ini, ia tentu tidak ingin kehadirannya di tengah keluarga ini
malah menambah beban tanggungan. Sementara anggota keluarga yang menjadi
tanggungan pamannya ini cukuolah banyak. Ia sadar, ia hanya menumpang disini,
bagaimana mungkin ia bisa bermalas-malasan.
Oleh karena itu, jika Fathimah
sedang menyajikan makanan, Muhammad mengalah untuk tidak memakannya terlebih dulu, membiarkan
sepupu-sepupunya berebut makanan diatas napan akibat rasa lapar dan sedikitnya
persediaan makanan. Muhammad mengalah karena didorong oleh rasa malu, sikap
hormat, kesucian jiwa dan kelapangan hati untuk tidak ikut mengulurkan tangan
ke dalam nampan itu.
Namun gerak-gerik Muhammad ini diperhatikan oleh sang bibi, hingga kemudian Fathimah sering mengambilkan makanan untuk Muhammad, yang memunculkan rasa cemburu pada sepupu-sepupunya yang lain yang merupakan anak dari paman dan bibinya. Mereka sedikit merasa tidak senang karena dengan sedikitnya persediaan makanan, Muhammad malah dianak-emaskan dengan tetap menyediakan porsi makanan untuk Muhammad.
Namun gerak-gerik Muhammad ini diperhatikan oleh sang bibi, hingga kemudian Fathimah sering mengambilkan makanan untuk Muhammad, yang memunculkan rasa cemburu pada sepupu-sepupunya yang lain yang merupakan anak dari paman dan bibinya. Mereka sedikit merasa tidak senang karena dengan sedikitnya persediaan makanan, Muhammad malah dianak-emaskan dengan tetap menyediakan porsi makanan untuk Muhammad.
Uniknya, jika keluarga pamannya
ini makan secara sendiri-sendiri atau bersama-sama tanpa kehadiran Muhammad,
mereka tidak pernah merasakan kenyang. Namun sangat berbeda jika ada Muhammad
di tengah-tengah mereka. Makanan yang sedikit mampu memenuhi rongga perut
mereka, mereka selalu puas terhadap makanan yang tersedia. Sehingga Abu Thalib
berujar kepada seluruh keluarganya, “Jangan makan dulu sebelum Muhammad anakky
datang bersama kita.” Muhammad pun datang, dan mereka merasa kenyang, tak hanya
kenyang, kadang mereka kelebihan makanan.
Demikian juga ketika minum susu,
sering mereka meminta Muhammad yang meneguk duluan susu yang ada dalam bejana,
barulah kemudian disusul oleh mereka secara bergantian. Semuanya bisa merasakan
kepuasan meminum susu sepuasnya, meski hanya dari satu bejana itu.
Ummu Aiman, sang pengasuh
Muhammad kecil, sering sekali makan hanya dalam keadaan sedikit, tapi ia tak
pernah mengeluh lapar. Di pagi hari, kadang ia hanya meminum air dari sumur
Zamzam. Kalau ditawari makanan, ia menolak dan menjawab, “Maaf, aku kenyang.”
Dan kalimat yang keluar tersebut, bukan karena penolakan secara halus atau
sikap malunya atau juga ungkapan kosong, melainkan memang demikian, ia merasakan kenyang.
Begitulah
keberkahan yang mereka dapatkan bersama Muhammad, meski dalam keadaan sempit.
Kepekaan Muhammad tersebut tumbuh
semata-mata dari jiwanya yang lembut nan halus. Ketika ia semakin matang, ia
ingin membalas budi sang paman beserta keluarga, dengan sedikit membantu
perekonomian mereka. Ia berpikir keras, apa yang harus dikerjakannya. Semua
pekerjaan telah ada budak yang melakukan. Hendak berdagang, mana mungkin, ia
seorang miskin tanpa modal. Ia terus berpikir, hingga kemudian menemukan sebuah
pekerjaan yang cocok menurutnya, menggembalakan kaming penduduk Mekkah ke
padang. Ia menilai pekerjaan tersebut sangat cocok baginya, Ia bisa menafakkuri
alam, luasnya langit dan padang beserta kehebatan dan kekuatan yang terpampang
di dalamnya sungguh suatu pemandangan yang sangat bagus untuk merenungi
Kekuasaan Allah.
Sekali tepuk, dua lalat mati. Sebuah pepatah yang barangkali cocok untuk
menggambarkan pikiran Muhammad.
Ketika ia utarakan niatnya ini
kepada sang paman, Abu Thalib menolaknya. Fathimah terkesima, melihat betapa
halus perasaan dan pemikiran yag ada pada anak ini. Usianya masih belia tapi
sudah berpikir sejauh itu, mereka menjadi iba. Tapi Abu Thalib tak mampu
mendebatnya. Tekad Muhammad telah bulat dan tak bisa ditawar lagi. Akhirnya Abu
Thalib pun mengalah dan terpaksa mengizinkan Muhammad menggembala kambing. Maka
Abu Thalb pun mencarikan beberapa orang Qurays yang bersedia kambingnya
dikembalai oeh Muhammad. Abu Thalib mencari dengan selektif, karena tidak ingin
ada yang menjahati Muhammad nantinya.
Tiba saatnya Muhammad
menggembala. Fathimah binti Asad sang bibi setiap pagi mengantarkan Muhammad ke
depan pintu, kadang ia memberikan bekal untuk seharian di padang gembala di
pinggir kota Mekkah. Saban hari, ia berpesan kepada Muhammad untuk
berhati-hati, kadang juga ia sampaikan kepada teman-teman Muhammad untuk menjaga
Muhammad. Ia menitipkan Muhammad pada sekawanan penggembala lainnya. Sebegitu
besar perhatian Fathimah sang bibi.
Muhammad pun menemukan lingkungan
baru, bersama anak sebayanya para penggembala cilik yang tersebar di padang
sekitar Mekkah. Anak-anak sebagaimana umumnya, ketika berkumpul mereka berbagi
cerita-cerita hebat yang dialaminya. Ada yang bercerita bagaimana mereka pernah
bertarung mempertaruhkan hidupnya melawan bahaya. Mereka juga menceritakan
tentang keberadaan tempat-tempat hiburan, permainan dan aneka kesenangan
lainnya. Muhammad tak luput dari sasaran mereka untuk berbagi cerita. Muhammad
lebih banyak mendengar daripada ikut bercerita. Ia banyak menyerap informasi
baru, dan belajar dari cerita teman-teman sesama penggembala.
Muhammad remaja adalah seorang penggembala yang jujur. Ia selalu tepat waktu dalam bekerja. Meskipun masih remaja, profesionalitasnya telah terlihat.
Teman-teman penggembala membujuk
Muhammad untuk ikut ke acara hiburan. Awalnya Muhammad selalau menolak, tapi
karena terus menerus dibujuk, akhirnya hati Muhammad pun luluh untuk ikut
bersama mereka. Ia juga merasa ingin menyaksikan langsung keberadaan pesta itu,
dan duduk ngobrol semalam suntuk.
Di satu hari, teman penggembala
Muhammad datang dan membujuk bahkan mendesak Muhammad untuk ikut bersama mereka
ke sebuah pesta disudut kota Mekkah. Malamnya mereka pun berangkat.
Disana ada tabuhan rebana, tiupan seruling, alunan lagu dan berbagai macam hiburan yang biasa dijumpai di acara semacam itu. Muhammad duduk di kejauhan dan memperhatikan, namun tak lama, hanya sesaat kemudian, Allah membuat Muhammad tertidur hingga sangat pulas sepanjang malam. Ia baru terbangun ketika tersegat matahri yang kian meninggi.
Saat ia kembali ke tempat teman-temannya berada, ia malah disambut penuh keheranan dan tanya. Muhammad tidak bisa banyak menjawab. Terjadi pula di beberapa waktu kemudian, hal yang sama terulang. Muhammad kembali tertidur sebelum ia mendekat ke tempat pesta.
Disana ada tabuhan rebana, tiupan seruling, alunan lagu dan berbagai macam hiburan yang biasa dijumpai di acara semacam itu. Muhammad duduk di kejauhan dan memperhatikan, namun tak lama, hanya sesaat kemudian, Allah membuat Muhammad tertidur hingga sangat pulas sepanjang malam. Ia baru terbangun ketika tersegat matahri yang kian meninggi.
Saat ia kembali ke tempat teman-temannya berada, ia malah disambut penuh keheranan dan tanya. Muhammad tidak bisa banyak menjawab. Terjadi pula di beberapa waktu kemudian, hal yang sama terulang. Muhammad kembali tertidur sebelum ia mendekat ke tempat pesta.
Akhirnya, Muhammad pun merasa
hari-harinya untuk menjadi penggembala cukup, mesti diakhiri secepatnya. Ia
harus mencari pekerjaan lain yang lebih cocok, demi membantu pamannya beserta
keluarga. Mungkin kini ia sudah bisa berdagang. Usianya telah mencapai tiga
belas tahun. Ia yakin sudah bisa ikut membantu pamannya dalam berdagang. Di
Mekkah, Abu Thalib mempunyai kios dagang. Muhammad berpikir ia bisa membantu
mengurusinya dan menggantikan sang paman saat sang paman harus keluar atau
pergi berdagang ke luar Mekkah.
Disadur dari buku terjemah Fii Baiti ar-Rasul (Bilik-Bilik Cinta Muhammad), karya Dr. Nizar Abazhah
Disadur dari buku terjemah Fii Baiti ar-Rasul (Bilik-Bilik Cinta Muhammad), karya Dr. Nizar Abazhah