TARBIYAH ONLINE

Fiqh

Selasa, 05 Mei 2020

Batalkah Puasa Karena Suntik dan Menetes Obat dalam Mata dan Telinga?

Mei 05, 2020

Fiqh Puasa | Kita sebagai manusia terkadang mengalami kondisi kurang sehat alias sakit termasuk kondisi seperti ini terjadi di bulan Ramadhan yang merupakan bulan yang sangat dinantikan oleh umat Islam. Kita mengetahui bahwa bulan ini menjadi istimewa karena berbagai keberkahan dan kemulian bahkan malam lailatul qadar juga terjadi di syahrul Mubarak ini.

Puasa pada bulan Ramadhan merupakan salah satu rukun Islam, sehingga umat Islam wajib untuk berpuasa.   Seseorang yang sakit dalam bulan Ramadhan kemudian berobat ke dokter dan diputuskan harus dilakukan suntikan. Lalu apakah puasa si pasien batal karenamendapatkan tindakan suntik?

Berdasarkan catatan, bahwa terdapat 5 lubang bagi laki-laki dan 6 bagi perempuan, jika masuk sesuatu yang kelihatan (ainiyah) ke dalamnya, maka batal lah puasanya. Lubang tersebut yaitu lubang hidung, telinga, mulut, dubur, kemaluan, susu (bagi perempuan). Dalam kitab Sabilul Muhtadin juga disebutkan tiada batal puasanya karena memasukkan jarum suntik, karena kulit tidak termasuk lubang yang terbuka yang 5 atau 6 ini. Ini mazhab Imam Syafi’i ‘alaihi ridhwanullah wa ardhah. Sedang dalam mazhab Imam Maliki terdapat tambahan satu lagi, yaitu mata. Maka bercelak di siang hari pada bulan ramadhan dapat membatalkan puasa menurut mazhab beliau ‘alaihi ridhwanullah wa ardhah.

Adapun hukum suntik bagi orang yang berpuasa, puasanya tidak batal, sebab obat yang dimasukan melalui injeksi itu adalah ke dalam daging, dan tidak ke dalam rongga badan. Hal ini berdasarkan redaksi kitab Al-Mahalli berbunyi;

 ﻭَﻟَﻮْ ﺍَﻭْﺻَﻞَ ﺍﻟﺪَّﻭَﺍﺀَ ﻟِﺠَﺮَﺍﺣَﺔٍ ﻋَﻠَﻰ ﺍﺳَّﺎﻕِ ﺍِﻟَﻰ ﺩَﺍﺧِﻞِ ﺍﻟَّﻠﺨْﻢِ ﺍَﻭْ ﻏَﺮَﺯَ ﻓِﻴْﻪِ ﺳِﻜَّﻴْﻨًﺎ ﻭَﺻَﻠَﺖْ ﻣُﺤَّﻪُ ﻟَﻢْ ﻳُﻔْﻄِﺮْ ﻷَِﻧَّﻪُ ﻟَﻴْﺲَ ﺑِﺠَﻮْﻑٍ

Artinya: “Andaikata seseorang menyampaikan obat bagi luka betis sampai luka ke dalam daging, atau menancapkan pisau pada betis tersebut sampai ke sumsum, maka hal itu tidak sampai membatalkan puasanya, daging itu bukan rongga badan." (Kitab Al Mahali, Hamisy dari Kitab Al Qalyubi juz 2 hal,56)

Penjelasan ini diperkuat dengan pendapat Abuya Muda waly al-Khalidi salah seorang ulama besar Aceh dalam “Fatawa Abuya Muda Waly al-Khalidy” berbunyi: “Dipahami dari ini segala nash tidak terbuka/ batal puasa dengan sebab berjarum atau berinjeksi asal jangan dijarum di tempat rongga yang terbuka seperti tentang perut dan tentang zakar umpamanya. Walaupun tidak terbuka/batal puasa pada yang selain dari rongga terbuka tetapi hukumnya khilaf aula karena illat mendhaifkan (bisa membuat fisik lemah- pen). (Fatawa Abuya Muda Waly al-Khalidy hal 96 Cet. Nusantara, Bukit Tinggi).

Sedangkan memasukan obat tetes ke dalam telinga hukumnya membatalkan puasa. Namun memasukkan obat tetes mata tidak membatalkan puasa. Ini berdasarkan Kitab Al Fiqhul Manhaji ala Madzahibil Imam Asy Syafi’I  berbunyi:

 ﻓَﺎ ﻗَﻄْﺮَﺓُ ﻣِﻦَ ﺍﻷُﺫُﻥِ ﻣُﻔْﻄِﺮَﺓٌ, ﻷَﻧَّﻬَﺎ ﻣَﻨْﻔَﺪٌ ﻣَﻔْﺘُﻮْﺡٌ. ﻭَﺍﻟْﻘَﻄْﺮَﺓُ ﻓِﺂ ﺍﻟْﻌَﻴْﻦِ ﻏَﻴْﺮُ ﻣُﻔْﻄِﺮَﺓٍ ﻷَِﻧَّﻪُ ﻣَﻨْﻔَﺪٌ ﻏَﻴْﺮُ ﻣَﻔْﺘُﻮْﺡٍ

“Maka tetesan ke dalam lubang dari telinga adalah membatalkan puasa, karena telinga itu adalah lubang yang terbuka. Dan tetesan ke dalam mata itu tidak membatalkan puasa, karena mata itu lubang yang tidak terbuka.” (Kitab Al Fiqhul Manhaji ala Madzahibil Imam Asy Syafi’I hal, 84)


Tgk. Helmi Abu Bakar El-Lamkawi, Guru Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga
Read More

Sabtu, 02 Mei 2020

Apakah Mencicipi Rasa Makanan Bagi Koki Bisa Membatalkan Puasa?

Mei 02, 2020

Fiqh Puasa | Ramadhan merupakan bulan berkah dan penuh rahmat. Salah satu tradisi dalam bulan Ramadhan di Aceh adalah adanya menu masakan khas buka puasa yang dikenal dengan kanji. Koki yang memasak, kadang menganggap perlu untuk memastikan masakannya enak dan berkualitas. Maka yang memasaknya mencicipinya sedikit terlebih dahulu. Sedang ia dalam keadaan sedang berpuasa.

Demikian halnya orang tua yang mempunyai kepentingan untuk mengobati anaknya yang masih kecil, juga bisa mencicipi makanan yang hendak disajikan, kepada anak. Bukankah puasa itu sendiri memang bermakna menahan makan dan minum, juga hal-hal yang membatalkan, sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari?

Lalu, bagaimana hukumnya? Menjawab persoalan tersebut Syekh Abdullah bin Hijazi asy-Syarqawi dalam kitabnya, Hasyiyatusy Syarqawi ‘ala Tuhfatith Thullab menyebutkan:

 وذوق طعام خوف الوصول إلى حلقه أى تعاطيه لغلبة شهوته ومحل الكراهة إن لم تكن له حاجة ، أما الطباخ رجلا كان أو امرأة ومن له صغير يعلله فلا يكره في حقهما ذلك قاله الزيادي 

Di antara sejumlah makruh dalam berpuasa ialah mencicipi makanan karena dikhawatirkan akan mengantarkannya sampai ke tenggorokan. Dengan kata lain, khawatir dapat menjalankannya lantaran begitu dominannya syahwat. Posisi makruhnya itu sebenarnya terletak pada ketiadaan alasan atau hajat tertentu dari orang yang mencicipi makanan itu. Berbeda lagi bunyi hukum untuk tukang masak baik pria maupun wanita, dan orang tua yang berkepentingan mengobati buah hatinya yang masih kecil. Bagi mereka ini, mencicipi makanan tidaklah makruh. Demikian Az-Zayadi menerangkan."


Teungku Helmi Abu Bakar El Lamkawi, Dewan Guru Senior Dayah MUDI Mesra Samalanga
Read More

Kamis, 30 April 2020

Hukum Menelan Bekasan Gosokan Gigi Bagi yang Sedang Berpuasa

April 30, 2020

Fiqh Puasa | Dalam rutinitas berpuasa dibulan Ramadhan, nafas menjadi sedikit lebih bau daripada hari biasanya. Maka dari itu banyak yang menambah rutinitas sikat gigi. Selain menjaga kesehatan dan kebersihan mulut dari sisa-sisa makanan yang tertinggal di sela-sela gigi.

Lantas apakah hal tersebut bisa membatalkan puasa?

Sebagaimana kita ketehui bahwa menjaga kebersihan gigi dan mulut bagi sebagian orang sudah menjadi suatu kebiasaan. Namun, dibulan puasa seperti saat ini, banyak yang bertanya-tanya terkait dengan penggunaan obat kumur dan juga pasta gigi atau odol saat puasa Ramadhan. Menjawab pertanyaan tersebut, dalam kitab al-Majmuk syarah Muhazzab disebutkan:

‘لو استاك بسواك رطب فانفصل من رطوبته أو خشبه المتشعب شئ وابتلعه افطر بلا خلاف صرح به الفورانى وغيره

Artinya: Jika ada orang yang memakai siwak basah. Kemudian airnya pisah dari siwak yang ia gunakan, atau cabang-cabang (bulu-bulu) kayunya itu lepas kemudian tertelan, maka puasanya batal tanpa ada perbedaan pendapat ulama. Demikian dijelaskan oleh al-Faurani dan lainnya. (Abi Zakriya Muhyiddin bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, juz 6, hal. 343)

Berdasarkan penjelasan diatas dapat kita pahami, apabila air yang bukan barang inti atau bahkan bulu kayu yang merupakan salah satu bagian inti dari siwak (sikat gigi) itu sendiri, dapat membatalkan puasa apalagi pasta gigi dan obat kumur yang keduanya bukan baranga yang diperintahkan syara’.

Beranjak dari itu, bagi orang yang berpuasa dan menggosok gigi menggunakan pasta gigi setelah imsak, kemudian tertelan, walaupun tanpa sengaja bekas bulu sikat dan juga odol, maka puasanya batal. Namun jika tidak ada bekasan air atau pasta yang masuk tenggorokan sama sekali, puasanya tidak batal, masih tetap sah.

Solusi bagi orang yang berpuasa, demi kehati-hatian hendaknya menggosok gigi dahulu sebelum waktu imsak tiba. Jika sudah siang, cukup gosok gigi dengan kayu siwak (arok) atau dengan sikat gigi tanpa menggunakan pasta. Jadi kesimpulannya bisa membatalkan puasa apabila kita menelan bekas dari gosokan gigi berodol.

Teungku Helmi Abu Bakar El Lamkawi, Guru Pengajar di Dayah MUDI Mesra Samalanga
Read More

Rabu, 29 April 2020

Benarkah Menelan Dahak Dapat Membatalkan Puasa?

April 29, 2020


Fiqh Puasa | Dalam keseharian menjalankan ibadah puasa, kita sangat berhati-hati dalam mejaga diri terhadap perkara-perkara yang membatalkan puasa. Diantaranya adalah perihal dahak. Terlebih saat kondisi tubuh sedang kurang sehat, seperti sedang terkena flu atau pilek. Lantas apakah jika menelan dahak dapat membatalkan puasa?

Kita telah memaklumi bersama bahwa salah satu hal yang membatalkan puasa adalah masuknya sesuatu kedalam rongga terbuka. Dan kerongkongan termasuk dalam salah satu rongga terbuka. Dahak, kadang masih berada dalam kerongkongan, belum keluar ke batasan dhahir. Atau kadang juga sudah berada di luar kerongkongan, tapi sulit dikeluarkan.

Terlebih dahulu, kita harus kenal dengan jenis dahak. Yaitu dahak yang turun dari kepala dan dahak yang keluar dari dada. Pertama, dahak yang tidak sampai pada batasan dhahir pada mulut, dari kepala langsung turun ke kerongkongan, tidak melalui batasan dhahir, atau bila dahak dari dada, masih berada dalam kerongkongan, belum sapai batasan dhahir. Hukum untuk kedua jenis dahak ini adalah sah (tidak batal puasa).

Lalu dahak yang telah sampai pada batasan dhahir dalam mulut. Apabila telah sampai batasan dhahir, ada dua kondisi yang akan dihadapi; Adakalanya ia sanggup meludahnya dan adakalanya tidak. Jika tidak sanggup dikeluarkan dengan cara meludahnya dan dahak itu turun kembali ke dalam kerongkongan, maka hal tersebut tidak membatalkan puasa. Sedangkan jika ia mampu mengeluarkan dahak, maka wajib dikeluarkan dengan cara meludahnya dan dibuang. Dan jika tidak dikeluarkan, lalu tertelan kembali, maka dapat membatalkan puasa.

Lalu dimana batasan dhahir yang dimaksud? Oleh para ulama menyebutkan batasan dhahir adalah batasan makhraj Ha (ح). Sedangkan hukum menarik/mengeluarkan dahak dari dalam dada adalah boleh dan tidak membatalkan puasa karena dahak ini tidak disamakan dengan muntah. Muntah secara sengaja bisa membatalkan puasa, sedangkan mengeluarkan dahak secara sengaja tidak membatalkan puasa.

Sementara itu Syekh Ali Jum'ah Muhammad pernah ditanya tentang ini, beliau menjawab: "Apabila dahak itu melewati batas atau keluar dari batas anggota bathin di dalam tenggorokan (tempat keluarnya huruf Hamzah dan Haa`, bukan Kha` menurut Imam al-Zayyadi, dan bukan pula Ha` menurut Imam Nawawi), maka menelannya membatalkan puasa. Dan apabila belum melewati batas anggota bathin dalam tenggorokan maka menelannya tidak membatalkan puasa. Sedangkan menurut pendapat bahwa menelan dahak itu tidak membatalkan puasa; yakni selagi dahak itu tidak keluar ke mulut atau masih ada di dalam rongga mulut." (Darul Ifta-Piss-ktb)

Referensi Kitab Fiqh Shiyam Syeikh Hasan Hitu, hal 78
:ابتلاع النخامة
ومما يؤدى الى الفطر ويجب الاحتراز عنه النخامة سواء أكانت نازلة من الرأس او خارجة من الصدر ولها حالتان
الحالة الاولى ان لا تصل ألى حد الظاهر من الفم وإنما تنزل من الرأس إلى الحلق دون أن تخرج إلى حد الظاهر من الفم وهذه لا تضر بالاتفاق
والحالة الثانية أن تصل ألى حد الظاهر من الفم وقد ضبطه الفقهاء بكخرج الحاء فإن وصلت حد الظاهر وهو مخرج الحاء فإما أن يقدر على قطعها ومجها وإما أن لا يقدر.
فإن لام يقدر على قطعها ومجها حتى نزلت إلى جوفه لم تضر لعدم تقصيره . وإن قدر على قطعها ومجها إلا أنه إبتلعها فإنه يفطر على ما ذهب إليه الجمهور

Wallahu a'lam bisshawab
Tgk. Helmi Abu Bakar El-Lamkawi, Guru Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga
Read More

Puasa Batal Karena Keluar Mani di Siang Hari?

April 29, 2020

Fiqh Puasa | Bulan Ramadhan merupakan bulan untuk menahan diri dari hal yang dilarang dalam syariat. Tidak hanya hal yang dilarang pada bulan selain Ramadhan, beberapa perkara mubah bahkan sunnah pun terlarang dan menyebabkan batalnya puasa. Salah satunya diantaranya yang membatalkan puasa adalah jima’ (bersetubuh) dengan istri. Adakah itu sampai keluar mani atau tidak. Demikian juga jika sengaja mengeluarkan mani, baik itu dengan cara masturbasi, bercumbu rayu dengan istri tanpa penghalang atau cara lainnya. Istimna’ atau dalam bahasa kita biasa disebut dengan onani atau masturbasi saat puasa menyebabkan puasa batal.

Dalam kitab al-Fiqh al-Manhaji karya Musthafa Khan dan Musthafa al-Bugha disebutkan bahwa onani saat puasa dapat membatalkan puasa jika disengaja.

الاستمناء: وهو استخراج المني بمباشرة تقبيل ونحوه، أو بواسطة اليد، فإن تعمد ذلك الصائم أفطر. أما إن غلب على أمره فلا يفطر.
“Istimna’ (onani) adalah berusaha mengeluarkan mani secara langsung atau dengan tangan. Jika dilakukan secara sengaja oleh orang yang berpuasa, maka membatalkan puasa. Adapun jika tidak disengaja, maka tidak membatalkan puasa.”

Dalam I’anatut Thalibin, Syekh Abu Bakar Syatha juga menjelaskan bahwa melakukan onani saat puasa itu termasuk hal yang membatalkan puasa sebagaimana keterengan berikut.

ويفطر باستمناء، وهو استخراج المني بغير جماع – حراما كان كإخراجه بيده، أو مباحا كإخراجه بيد حليلته أو بلمس لما ينقض لمسه بلا حائل
“Puasa itu batal sebab melakukan onani, yaitu berusaha mengeluarkan mani tanpa melalui jimak atau hubungan intim. Adakah itu onani yang memang haram, seperti mengeluarkan mani dengan cara menggerakkan kemaluan dengan tangannya sendiri, atau onani yang mubah, seperti meminta tolong istri melakukan onani dengan tangan istri. Atau juga hanya dengan sekedar menyentuh kulit seseorang yang membatalkan wudhu bila persentuhannya tanpa penghalang (maninya keluar).”

Sementara itu, keluar mani dengan tidak sengaja karena menghayal, bercumbu rayu dengan istri menggunakan penghalang (berpakaian) dan keluar mani karena bermimpi saat tidur, maka itu tidak membatalkan puasa, karena tidak terdapat unsur kesengajaan di dalamnya. Dan keluarnya mani adalah hal yang berada diluar kemampuannya.

Sebagaimana tersebut dalam kitab Hasyiah Syarqawi Ala Tahrir: 1/435: “Walhasil bahwa mengeluarkan mani secara muthlak dan keluar mani dengan menyentuh tanpa penghalang, sekalipun tanpa syahwat dikala terjaga (tidak tidur), adalah membatalkan puasa. Lain halnya kalau keluar mani pada saat tidur (bermimpi), menghayal bersentuhan dengan ada penghalang, maka sesungguhnya tidak membatalkan puasa walaupun dengan syahwat.”

Wallahu a'lam bis shawab.

Tgk. Helmi Abu Bakar El-Lamkawi, Guru Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga
Read More

Selasa, 28 April 2020

Sahkah Puasa Wanita yang Sengaja Menunda Haid dengan Mengkonsumsi Obat?

April 28, 2020

Fiqh Puasa | Ramadhan merupakan bulan kewajiban berpuasa kepada mereka yang telah difardhukan untuk melaksanakan termasuk mereka kaum wanita. Namun mereka kaum hawa ada masa liburnya. Yaitu  disaat haid atau sejenisnya. Maka kewajiban tersebut berubah menjadi hal terlarang.

Dalam hal ini Al-Imam Abu al-Hasan Ali Ibn Muhammad Ibn Muhammad Ibn Habib al-Mawardi (w.450H);

لا اختلاف بين الفقهاء أن الحائض لا صوم عليها في زمان حيضها بل لا يجوز لها، ومتى طرأ الحيض على الصوم أبطله، إلا طائفة من الحرورية تزعم أن الفطر لها رخصة فإن صامت أجزأها

“Tidak ada perbedaan pendapat ulama fikih tentang larangan berpuasa bagi wanita selama mereka haid. Bahkan ketika haid muncul saat berpuasa otomatis puasa tersebut batal, kecuali menurut pendapat satu kelompok Harûriyyah (khawarij) yang menganggap berbuka bagi wanita haid hanyalah sebuah rukhshah, dan tetap sah apabila mereka tetap memilih berpuasa”. (Al-Mawardi, al-Hâwî al-Kabîr Syarh Mukhtashar al-Muzanî, vol.3, hal.962)

Keberadaan wanita tidak wajib berpuasa merupakan ijmak ulama, hal ini sebagaimana diungkapkan Al-Imam Abu Muhammad Abdullah Ibn Ahmad Ibn Qudamah al-Maqdisi (w.630H), ia berkata: 

أجمع أهل العلم على أن الحائض والنفساء لا يحل لهما الصوم وإنهما يفطران رمضان ويقضيان وإنهما إذا صامتا لم يجزئهما الصوم
“Ulama berijma‘ tidak halal berpuasa bagi wanita haid dan nifas karena mereka harus tidak berpuasa Ramadhan dan harus mengqadha puasa tersebut. Apabila mereka tetap berpuasa maka puasanya belum sah”. (Ibn Qudamah, al-Mughnî Syarh Mukhtashar al-Kharqî, vol.3, hal.83)

Haid sudah menjadi kodrat wanita. Namun dewasa ini keinginan wanita untuk beribadah dibulan ini begitu menggebu. Sehingga ada sebagian mereka menunda haid demi bisa berpuasa sebulan penuh dengan mengkonsumsi obat anti haid. Lantas bagaimana syari'at Islam memandang yang demikian?

Menurut kalangan Syafi'iyyah diperbolehkan asalkan tidak menimbulkan bahaya pada dirinya. Berikut juga pendapat kalangan madzhab selain syafiiyyah tentang wanita yang minum obat pencegah datangnya haid.

"Dalam Fatawa Al Qammaath (Syeikh Muhammad ibn al Husein al Qammaath) disimpulkan diperbolehkannya menggunakan obat untuk mencegah datangnya haid." (Ghayatut Talkhis: 196).

Sementara itu dalam kalangan Malikiyyah berpendapat: "Haid adalah darah yang yang keluar dari alat kelamin wanita pada usia yang ia bisa hamil menurut kebiasaan umum. Bila wanita menjalani puasa akibat obat yang mencegah haid hadir dalam masanya, menurut pendapat yang zhahir masa-masa tidak dikatakan haid dan tidak menghabiskan masa iddahnya, berbeda saat ia menjalani haid dan meminum obat untuk menghentikan haidnya diselain waktu kebiasaannya, maka ia dinyatakan suci namun iddahnya dapat terputus karena sesungguhnya tidak boleh bagi seorang wanita mencegah atau mempercepat keluarnya darah haid bila membahayakan kesehatannya. Karena menjaga kesehatan wajib hukumnya." (Kitab Fiqh ‘alaa Madzaahib al-Arba’ah I/103).


Berdasarkan pembahasan di atas, sah puasa seorang wanita yang menunda haid dengan minum obat selama tidak mendatangkan kemudharatan terhadap dirinya.

oleh

Artikel ini telah tayang di Theglobal.id
Read More

Batalkah Puasa Dengan Sebab Menghimpun Air Liur Lalu Menelannnya?

April 28, 2020

Fiqh Puasa | Salah satu kondisi yang sering terjadi selama bulan Ramadhan adalah menelan liur. Keadaan ini terkadang menjadi problema tersendiri bagi yang sedang berpuasa. Apakah hal tersebut bisa membatalkan puasa ataupun tidak?

Menjawab pertanyaan ini, Imam Nawawi menjelaskan tentang hukum menelan air liur:

ابتلاع الريق لا يفطر بالاجماع إذا كان على العادة لانه يعسر الاحتراز منه 

Artinya: “Menelan air liur itu tidak membatalkan puasa sesuai kesepakan para ulama. Hal ini berlaku jika orang yang berpuasa tersebut memang biasa mengeluarkan air liur. Sebab susahnya memproteksi air liur untuk masuk kembali.” (Abi Zakariya Muhyiddin bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’, juz 6, hal, 341)

Tentunya liur yang ditelan itu merupakan liur murni tanpa bercampur dengan benda asing lain. Liur yang masih berada dalam rongga mulut (belum keluar dari mulut) adalah liur yang masih murni, maka bila ditelan tidak membatalkan puasa. Menelan liur yang masih ada dalam mulut bila liur tersebut suci atau tidak najis, misalnya karena bercampur dengan darahnya gusi, dan liur tersebut tidak bercampur zat lain maka tidak membatalkan puasa.

Ringkasnya, setidaknya ada tiga syarat tidak membatalkan puasa menelan air liur. Pertama, air liur harus murni. Tentunya air liur yang tidak boleh ada benda lain yang merubah warna dan rasa air liur itu sendiri. Seperti penjahit yang memasukkan benang ke dalam mulut. Kemudian pewarna benang tersebut ada yang mengontaminasi warna air liur sehingga tidak lagi putih atau bening. Maka hal itu membatalkan puasa.  Atau ada pula yang air liurnya terkontaminasi oleh darah sebab luka pada gusi kemudian ditelan, maka itu juga bisa membatalkan puasa. 

Kedua, air liur yang masuk ke tubuh adalah air liur yang keluar dari tubuhnya sendiri dan tidak keluar dari batas ma’fu, yaitu bibir bagian luar. Disinilah terdapat sedikit kemiripan antara batas dhahir wudhu dan shalat yang terjadi pada bab puasa. Jadi, air liur yang sudah keluar dari tenggorokan –yang semula dianggap sudah bagian luar- namun karena hajat, selama tidak melewati bibir luar, tidak membatalkan puasa.  Ketiga, menelan liur secara wajar sebagaimana adat umumnya , yakni ia terkumpul dan tertelan secara alamiah tanpa sadar.

Mengumpulkan Air Liur Dan Menelannya

Sementara itu, ada sebagian masyarakat kita yang kesehariannya mengumpulkan liur dalam mulut dan masih murni, tidak tercampur zat lain, kemudian menelan kembali. Kondisi seperti inilah yang menjadi pertanyaan, apakah membatalkan puasa atau tidak?

Menghimpun liur dengan sengaja dan menelannya terdapat khilaf pendapat ulama. Namun pendapat yang kuat menyatakan tidak membatalkan puasa. Sementara menghimpun liur tanpa sengaja seperti akibat banyak berbicara, para ulama sepakat bahwa bisa batal puasanya. Hal ini sebagaimana diungkapakan dalam kitab Majmuk Syarah Muhazzab berbunyi:

 فَلَوْ جَمَعَهُ قَصْدًا ثُمَّ ابْتَلَعَهُ فَهَلْ يُفْطِرُ فِيهِ وَجْهَانِ مَشْهُورَانِ ذَكَرَهُمَا الْمُصَنِّفُ بِدَلِيلِهِمَا (أَصَحُّهُمَا) لَا يُفْطِرُ وَلَوْ اجْتَمَعَ رِيقٌ كَثِيرٌ بِغَيْرِ قَصْدٍ بِأَنْ كَثُرَ كَلَامُهُ أَوْ غَيْرُ ذَلِكَ بِغَيْرِ قَصْدٍ فَابْتَلَعَهُ لَمْ يُفْطِرْ بِلَا خِلَافٍ

Artinya: "Jikalau seorang secara sengaja menghimpun liur kemudian menelannya ,apakah membatalkaan puasanya? Ada dua pendapat yang masyhur dan musannif menyebut dalill  keduanya serta pendapat yang paling ashah dari kedua pendapat tersebut tidak membatalkan puasa.  Dan jikalau menghimpun liurnya yang banyak tanpa ada renacana bisa jadi dengan banyak berbicara atau lainnya tanpa renacana, maka ia menelannya tidak membatalkan puasa dengan tiada perbedaan pendapat ulama." (Kitab Majmuk Syarah Muhazzab, Jld.6, hal. 317-318).

oleh Tgk. Helmi Abu Bakar El-Lamkawi, Guru Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga

Artikel ini telah tayang di Theglobal.id
Read More