TARBIYAH ONLINE

Fiqh

Jumat, 16 Oktober 2020

Wajib Tahu! Bagaimana Hukum Berdandan Bagi Wanita dalam Islam

Oktober 16, 2020

sumber foto: Umma

Fiqh Wanita | Bicara mengenai tentang hukum berdandan bagi wanita, banyak sekali pertanyaan yang keluar berkenaan dengan pembahasan kita kali ini. Mulai dari pengertian tabarruj? Samakah tabarruj dengan bersolek atau berhias? Kalau pengertiannya sama, apakah larangan bertabarruj itu bersifat mutlak?


Kemudian sudah pasti amankah bagi seorang muslimah yang mengenakan pakaian panjang dan berkerudung? Dan masih ada deretan pertanyaan yang belum terjawab.


Allah Swt berfirman:

وَقَرۡنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجۡنَ تَبَرُّجَ ٱلۡجَٰهِلِيَّةِ ٱلۡأُولَىٰۖ

“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu”. (QS. Al-Ahzab: 33)


Hukum berdandan dan larangan bertabarruj bagi wanita muslimah itu setelah adanya perintah untuk menetap di dalam rumah. Ini berarti jika seorang mereka terpaksa keluar rumah untuk suatu keperluan yang tidak bisa ditinggalkan, maka tidak boleh dengan penampilan tabarruj.


Sebenarnya apa pengertian dari tabarruj itu?

Dalam kitab Lisan al-Arabi dijelaskan bahwa tabarruj adalah sesuatu yang tampak jelas dan menonjol. Sedangkan dalam kitab Al-Jadwal fi I’rab Al-Qur’an wa Sharfihi disebutkan bahwa tabarruj adalah memaksakan diri dan bersusah payah untuk menampakkan sesuatu yang tersembunyi.


Imam Al-Raghib berkata dalam Al-Mufradat, al-buruj artinya adalah istana-istana. Kalau dikaitkan dengan perempuan maka pengertiannya adalah seorang wanita menyerupakan diri dengan istana dalam menampakkan berbagai keindahannya sehingga mengundang orang-orang untuk mengerumuninya.


Sedangkan menurut Imam Al-Jauhari dalam Ashihah, tabarruj adalah perilaku menampakkan perhiasan dan berbagai keindahan wanita kepada kaum laki-laki yang bukan mahramnya.


Dari beberapa pengertian tersebut kita bisa mengambil kesimpulan bahwa tabarruj adalah segala usaha untuk menampakkan keindahan dan bagian-bagian yang menonjol dari tubuh seorang wanita di hadapan laki-laki yang bukan mahramnya.


Sikap itu tentu saja sangat berpotensi menarik hasrat dan membangkitkan nafsu syahwat kaum laki-laki yang melihatnya. Karenanya Allah Swt sangat melarangnya dan haram bagi wanita melakukannya.


Bahkan wanita lansia yang dibolehkan menanggalkan pakaian luarnya pun tetap dengan syarat tidak bermaksud menampakkan perhiasannya. Bahkan Allah Swt memerintahkan mereka untuk berlaku sopan dan menjaga diri dengan tetap mengenakan pakaian luarnya demi menjaga kehormatan dirinya dan mengetahui hukum berdandan yang sebenarnya.


Di antara bentuk tabarruj (berdandan) di masa kini adalah:

1. Memukulkan atau menghentakkan kaki-kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan (gelang kaki). Seperti yang tergambar dalam firman Allah berikut:

“Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan dan bertaubatlah kalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”. (QS. An-Nur: 31)


2. Mengenakan wangi-wangian saat bepergian atau keluar rumah. Banyak alasan yang dibuat untuk melegalkan tindakan itu, meskipun kita tahu bahwa memakai wewangian merupakan hal terlarang.


3. Mengenakan benda-benda palsu untuk mempercantik diri dan menipu agar terlihat lebih muda dari usia sebenarnya. Seperti memakai bulu mata palsu, menambahkan emas atau perak pada gigi.


4. Memakai aneka aksesoris yang menempel pada baju dan kerudung, bahkan menempel pada tubuh yang turut pula meramaikan penampilan kita yang tampak oleh lelaki yang bukan mahram.


5. Menyambung rambut.

“Rasulullah Saw melaknat wanita yang menyambung rambutnya dengan rambut lain, dan wanita yang meminta agar rambutnya disambung”.


6. Menggundul kepala.

Rasulullah Saw bersabda, “Aku berlepas diri dari wanita yang menggundul rambut kepalanya, berteriak dengan suara keras, dan merobek-robek pakaiannya (ketika mendapat musibah)”.


7. Membuat tato pada bagian tubuhnya, mencukur alis, dan mengikir sela-sela gigi depan.


8. Menyemir rambut dengan semir hitam.


Rasulullah Saw bersabda, “Pada akhir zaman nanti, akan ada suatu kaum yang mewarnai (rambutnya) dengan warna hitam, seperti dada burung merpati. Mereka tidak akan mencium baunya surga”.


Seorang muslimah yang ideal selalu menyelaraskan kecantikan lahir dan batinnya. Cantik lahir berarti peduli terhadap penampilan, cerdas menilai situasi dan kondisi. Artinya dalam berpenampilan, harus memperhatikan rambu-rambu yang telah ditetapkan syar’i. Di mana kita berada, dengan siapa, kapan, untuk apa, dan bagaimana?


Semua itu adalah pertanyaan yang harus kita jawab sebelum berpenampilan menemui orang-orang. Jika mampu menjawab dengan benar dan tampil dengan tepat sesuai syar’i, maka berarti sudah tampil cantik secara lahiriyah. Meski secara nafsu tidak menarik. Tetapi ada perkara yang tidak boleh di tinggalkan:

- Kebersihan badan, mulut, rambut, pakaian, dan lingkungan.

- Penampilan yang rapi, serasi, dan alami.

- Santun, ramah, dan supel.


Bila tiga poin tersebut benar-benar diperhatikan, insya Allah sudah tampil cantik, menawan, dan memikat bagi siapapun yang halal kita jumpai. Apalagi jika dipadukan dengan kecantikan batin, benar-benar mengagumkan tampil dengan jati diri muslimah sejati. Kecantikan batin dapat kita miliki dengan memberikan nutrisi bagi hati.


Apa saja nutrisi yang penuh gizi bagi hati kita?


Beberapa resep berikut menjadi menu utama bagi hati kita agar tetap tampil bugar dan pancaran kesegarannya dapat dirasakan oleh orang-orang di sekitar kita. Di antaranya adalah:


- Menjaga hati agar terbebas dari berbagai fitnah syahwat dan fitnah syubhat.

- Menigkatkan kualitas iman dan amal shalih.

- Menyibukkan diri dengan Al-Qur’an.

- Melazimi dzikir.

- Tingkatkan kepedulian kita pada sesama.


Demikian lah hukum berdandan bagi wanita dan lima tips untuk mewujudkan kecantikan batiniyah. Mari bekerja keras dan terus berusaha, karena nasib kita terletak pada usaha akhir yang kita lakukan. Jangan pernah menyerah, jangan pula cepat puas.


Selagi kesempatan masih ada, jangan pernah sia-siakan. Kesempatan yang sama tak akan pernah datang untuk kedua kalinya. Kita sudah mengetahui hukum berdandan yang sebenarnya. Yakinlah! Wallahu A’lam.


Sumber tulisan merujuk pada buku: Dosa-Dosa Yang Digemari Wanita Indonesia, Pustaka Arafah, 2014

Artikel ini telah tayang di Pecihitam.org pada Mei 202oleh Khoirul Aini, Santri Ponpes Al Islah Kebagusan Ampelgading, Pemalang.

Read More

Selasa, 13 Oktober 2020

Baca Ini Ba'da Ashar! Ibadah yang Mampu Menghapus Dosa 80 Tahun

Oktober 13, 2020

Doa | Kita dianjurkan untuk memperbanyak bershalawat kepada Nabi Muhammad Saw. Pahala dan hikmah bershalawat sangat banyak bahkan tidak terhingga. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Nawadirul Hikayah karya Syaikh Syihabuddin bin Salamah Al Qulyuby termaktub hadits:

 روي عن أنس رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله غليه وسلم: “من صلى عليّ في يوم الجمغة مائة مرة قضى الله له مائة حاجة, سبعين من حوائج الأخرة وثلاثين من حوائج الدنيا. ويوكل الله بصلاته على ملكا حتى يدخلها على قبري كما تدخل على أحدكم الهداية. ويخبرني بإسمه فأثبته عندي في صحيفة بيضاء وأكفئه بها يوم القيامة.

Artinya: “diriwayatkan dari Anas radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah salallahu ‘alaihi wasalam bersabda:  “Barang siapa bershalawat kepadaku di hari Jumat 100 kali, maka Allah akan mengabulkan baginya 100 hajat (kebutuhan), yang 70 dari kebutuhan akhirat dan 30 dari kebutuhan-kebutuhan duniawi. Dan Allah membebankan shalawat tersebut kepada malaikat hingga menghaturkannya ke kuburanku, layaknya (cahaya) hidayah yang masuk kepada kamu sekalian,  dan malaikat memberi tahu akan namanya, kemudian aku menetapkannya di sampingku di dalam lembaran yang putih bersih, dan dengan shalawatnya, aku mencukupinya (memberi syafaat) kelak di hari kiamat,”.


Dalil lainnya anjuran bersahalawat sebagaimana disebutkan dari Uwais bin Uwasi meriwayatkan suatu ketika sahabat pernah bertanya tentang perintah shalawat, apakah bacaan shalawat mereka sampai kepada Rasulullah SAW ketika beliau sudah wafat nanti. Rasulullah lalu menjawab :

فَأَكْثِرُوا عَلَيَّ مِنْ الصَّلَاةِ فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ مَعْرُوضَةٌ عَلَيَّ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ تُعْرَضُ صَلَاتُنَا عَلَيْكَ وَقَدْ أَرَمْتَ أَيْ يَقُولُونَ قَدْ بَلِيتَ قَالَ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ قَدْ حَرَّمَ عَلَى الْأَرْضِ أَنْ تَأْكُلَ أَجْسَادَ الْأَنْبِيَاءِ عَلَيْهِمْ السَّلَام

“Maka perbanyaklah shalawat kepadaku karena shalawat kalian disampaikan kepadaku.” Mereka (para sahabat) berkata; “Wahai Rasulullah, bagaimana mungkin shalawat kami bisa disampaikan kepada engkau, sedangkan engkau telah meninggal? atau mereka berkata; “Telah hancur (tulangnya)” Rasulullah lalu berkata: “Allah SWT mengharamkan tanah untuk memakan jasad para Nabi.” (Sunan An-Nasai)


Shalawat Ba'da Ashar Jum’at, Diampuni Dosa Selama 80 Tahun, Ini Shalawatnya

Pada malam dan hari Jumat, kita sangat dianjurkan untuk memperbanyak membaca shalawat kepada Nabi Saw. Menurut para ulama, sedikitnya kita dianjurkan membaca shalawat sebanyak tiga ratus kali pada malam dan hari Jumat. Kemudian setelah shalat Ashar, disempurnakan dengan membaca redaksi shalawat berikut sebanyak delapan puluh kali;

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدِ النَّبِيِّ اْلأُمِّيِّ وَعَلىَ آلِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْماً

Allahumma shalli ‘ala muhammadinin nabiyyil ummiyyi wa ‘ala aalihii wa shahbihii wa sallim tasliiman. (Ya Allah, limpahkan rahmat atas Nabi Muhammad yang ummi serta keluarganya, dan berilah mereka keselamatan).


Dalil dari Shalawat diatas berdasarkan riwayat hadis yang bersumber dari Abu Hurairah, dia berkata bahwa Nabi Saw bersabda;

من صلى صلاة العصر من يوم الجمعة فقال قبل أن يقوم من مكانه اللهم صل على محمد النبي الأمي وعلى آله وسلم تسليماً ثمانين مرة غفرت له ذنوب ثمانين عاماً وكتبت له عبادة ثمانين سنة

Barangsiapa shalat Ashar pada hari Jumat, kemudian sebelum berdiri dari tempatnya membaca ‘Allahumma shalli ‘ala muhammadinin nabiyyil ummiyyi wa ‘ala aalihii wa shahbihii wa sallim tasliiman’ sebanyak delapan puluh kali, maka dosanya diampuni sebanyak delapan puluh tahun dan dicatat sebagai ibadah delapan puluh tahun.


Kita setiap saat boleh bershalawat dan kapan saja. Keutamaan shalawat di hari sayyidul Ayyam telah dijelaskan dalam banyak nash dan kitab turast klasik. Salah satu shalawat dengan ganjaran pahalanya diampunkan dosa selama 80 tahun khususnya hari jum’at. Benarkah ada shalawat ini? Jangan menganggap sepele di balik bershalawat khusus hari Jum’at.  Bahkan baginda Rasulullah SAW telah mengajarkan satu bacaan shalawat yang barang siapa membacanya akan diampuni dosanya selama 80 tahun.


Dalam redaksi shalawat yang lain dan ada sedikit perbedaan dengan shalawat di atas, namun fadhilah juga sama. Bacaan Shalawatnya sebagai berikut:

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ عَبْدِك وَنَبِيِّك وَرَسُولِك النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ

Allahumma Shalli ‘Ala Muhammadin ‘Abdika Wa Nabiyyika Wa Rasulikannabiyyil Ummiyyi (Baca 80 kali)


Penjelasan tersebut berdasarkan hadis Rasulullah Saw berbunyi:

مَنْ صَلَّى عَلَيَّ يَوْمَ الْجُمُعَةِ ثَمَانِينَ مَرَّةً غُفِرَ لَهُ ذُنُوبُ ثَمَانِينَ سَنَةٍ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ الصَّلَاةُ عَلَيْك قَالَ تَقُولُ اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ عَبْدِك وَنَبِيِّك وَرَسُولِك النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ وَتَعْقِدُ وَاحِدَةً

Artinya: “Siapa yang bershalawat kepadaku pada hari jumat 80 kali maka akan diampuni dosanya selama 80 tahun” Lalu para sahabat bertanya “Bagaimana bacaan shalawat tersebut ya Rasul ?” Lalu Rasulullah SAW menjawab “Ya Allah, limpahkanlah sholawat-Mu kepada Muhammad, hamba, Nabi dan Rasul-Mu, seorang Nabi yang ummi’” dan kamu hitung satu kali“. (HR. Daruquthni)


Beranjak dari itu, marilah kita membumikan kegemaran bershalawat. Ajak keluarga dan masyarakat untuk bershalawat dan mencintai shalawat sebagai refleksi realisasi mahabbah kepada sang baginda nabi Muhammad Saw.


Tgk. Helmi Abu Bakar, Guru Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga dan Dosen IAI Al-Aziziyah Samalanga, Bireuen, Aceh.

Artikel ini telah tayang di Harakatuna.com pada September lalu.

Read More

Rabu, 07 Oktober 2020

Bahaya Lisan Menurut Imām al-Ghazali dalam Kitab al-Arba‘in Fī Ushuliddīn

Oktober 07, 2020

Tasawuf | Pada hakikatnya manusia diciptakan dalam keadaan fitrah, namun banyaknya perbuatan-perbuatan yang dapat membuat hati kotor, dengan banyaknya pergaulan dalam kehidupan dapat menjurumuskan kita dalam sifat ria, iri dan dengki, Imam Ghazali berpendapat bahwa dengan banyak nya pergaulan akan menjdi pemicu hati kotor, namun perlu dipahami bahwa pergaulan disini berbeda halnya dengan pergaulan bersama alim Ulama, yang mana jika dalam perkumpulan itu terdapat majlis ilmu.


Hati yang kotor salah satunya disebabkan oleh lemah nya iman, terutama diakibatkan oleh lisan, karena lisan seperti pedang, disini dapat dilihat betapa bahayanya lisan ketika berbicara, kebohongan-kebohongan yang diucapkan oleh lisan serta mengunjing orang lain atau ghibah yang berasal dari lisan.


Sebagaimana Allah berfirman dalam surat, al-Nisa ayat 114 sebagai berikut.


 لَا خَيْرَ فِيْ كَثِيْرٍ مِّنْ نَّجْوٰىهُمْ اِلَّا مَنْ اَمَرَ بِصَدَقَةٍ اَوْ مَعْرُوْفٍ اَوْ اِصْلَاحٍۢ بَيْنَ النَّاسِۗ وَمَنْ يَّفْعَلْ ذٰلِكَ ابْتِغَاۤءَ مَرْضَاتِ اللّٰهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيْهِ اَجْرًا عَظِيْمًا

Tidak ada kebaikan dari banyak pembicaraan rahasia mereka, kecuali pembicaraan rahasia dari orang yang menyuruh (orang) bersedekah, atau berbuat kebaikan, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Barangsiapa berbuat demikian karena mencari keridaan Allah, maka kelak Kami akan memberinya pahala yang besar.


Menurut Imam al-Ghazali dalam Kitab Arba’in fi Ushul al-Din Yang dimaksud adalah janganlah berbicara jika tidak bermanfaat, dan bicarakanlah pada hal-hal yang penting, maka akan mendapat keselamatan, selanjutnya, keteuhilah perkara bencana yang menimbulkan dosa ialah : berbohong, ghibah, ingin dipuji dan banyak bercanda. Maka tidak lepas seorang hamba yang berbohong dan berusaha untuk terus berbohong sampai Allah akan menetapkan dirinya sebagai seorang pembohong, bahwa berbohong itu haram dalam segala perkara, kecuali dalam keadaan darurat, sebagaimana seorang wanita kepada anak kecil.


Namun terdapat keringanan apabila berbohong itu lebih baik daripada jujur seperti dalam perkara dibolehkan bagi sesorang yang apabila meninggalkan perkara itu akan mendapatkan perkara yang bahaya akan datang apabila tidak melakukannya seperti memakan bangkai, sebagaimana dikatakan oleh Ummu Kultsum r.a, Rasulullah SAW tidak memberikan keringanan dalam kebohongan kecuali tida perkara:

– Seseorang yang berkata dalam maksud kebaikan

– Seseorang yang berkata dalam peperangan, disini dapat digaris bawahi disini guna melindungi seseorang dari lawan

– Dan seorang suami yang berbicara kepada istri (berkata baik kepada istri agar tidak menyakiti hatinya).


Menurut Imam Ghazali, ghibah secara istilah berarti tidak hanya melakukan pengungkapan aib seseorang secara lisan, melainkan termasuk pula pengungkapan melalui perbuatan, seperti melalui isyarat tangan, mata, tulisan, cerita dan sebagainya yang dapat dimengerti maksudnya. Di antara aib tersebut adalah kekurangan seseorang pada tubuh, keturunan, akhlak, perbuatan, ucapan, agama, pakaian, tempat tinggal,kendaraan, dan lain sebagainya, begitupulah dengan seseorang yang mendengarkan ghibah yang terkadang tampak jelas menyukai dari perkatan seorang yang ghibah sampai bertambah semangatnya dalam ghibah (Imam al-Ghazali Kitab al-Arba’in Fi Ushul al-Din Beyrut hlm.84-85)


Akibat dari ghibah ialah dapat melukai hati seseorang, menimbulkan permusuhan, mengacaukan hubungan kemasyarakatan, dan memunculkan rasa saling curiga, berbagai potensi dampak ini kemudian mendorong Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa terkait gosip atau gibah di media social (Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 24 Tahun 2017, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, hlm. 1-20) adanya fatwa dari lembaga Majelis Ulama Indonesia tidak lantas menghentikan perilaku masyarakat dalam bergosip baik melalui media sosial maupun secara langsung. Membicarakan keburukan sesama manusia seolah telah menjadi sebuah kewajaran di masa kini dengan adanya tayangan-tayangan yang menyajikan acara gossip, Sebagaimana dalam surat al-Hujurat ayat 12.


يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِّنَ الظَّنِّۖ اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ وَّلَا تَجَسَّسُوْا وَلَا يَغْتَبْ بَّعْضُكُمْ بَعْضًاۗ اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَّأْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ تَوَّابٌ رَّحِيْمٌ


Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang.


Sama halnya dengan pendapat Yusuf Al Qardhawi mengharamkan ghibah Karena ghibah merupakan perbuatan yang menunjukan kelicikan Ini menunjukan kelicikannya, sebab sama dengan menusuk dari belakang, sikap semacam ini salah satu bentuk daripada penghancuran. Sebab pengumpatan ini berarti melawan orang yang tidak berdaya. Ghibah disebut juga suatu ajakan merusak, sebab sedikit sekali orang yang lidahnya dapat selamat dari cela dan cerca (Yusuf Al Qardhawi, Al Halal Wa al Haram Fi al Islam, hal. 305).

Namun dalam beberapa hal tertentu, ada bentuk ghibah yang wajib untuk di lakukan, seperti hal nya menggungkapkan keburukan orang lain saat menjadi saksi di pengadilan. Namun dalam hal ini penulis tidak membahas mengenai tentang kewajiban seorang saksi.


Oleh Ulfah Nur Azizah, Mahasiswi Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Pegiat Kajian Keislaman dan Al-Qur'an, dan Muballigh Koordinasi Dakwah Islam DKI Jakarta.


Artikel ini telah tayang di situs Harakatuna pada September lalu.

Read More

Jangan Sembarang! Ada 3 Hukum Membatalkan Tunangan dalam Islam

Oktober 07, 2020

Fiqh Nikah | Salah satu hal kesunahan sebelum melakukan pernikahan adalah adanya khitbah atau lamaran atau tunangan. Tunangan adalah sebuah janji untuk melaksanakan pernikahan. Namun demikian perlu dijelakan bahwa pernikahan dan tunangan itu berbeda.


Pernikahan adalah ikatan janji antara suami dan istri yang dilaksanakan dengan memenuhi rukun-rukun pernikahan. Sedangkan pertunangan belum ada ikatan resmi secara agama dan masih hanya sebatas lamaran saja. Sehingga Ketika seseorang sudah melakukan lamaran bukan berarti semua hal dapat dilakukan. Tidak boleh melakukan perbuatan yang mendekati zina. Hal ini penting untuk ditekankan karena sering kali disalahpahami bahwa setelah lamaran maka sudah boleh melakukan apapun.


Terkadang setelah melalakukan lamaran seiring berjalannya waktu dari kedua calon mempelai merasa ragu dan tidak cocok sehingga ingin membatalkan lamaranya. Lantas bolehkan membatalkan lamaranya dalam Islam..?


Membatalkan Tunangan dalam Islam

Imam Al Buhuti dalam hal ini secara terperinci menjelaskan hukum membatalkan pernikahan


( وَلاَ يُكْرَهُ لِلْوَلِيِّ ) الْمُجْبِرِ الرُّجُوْعُ عَنِ اْلإِجَابَةِ لِغَرَضٍ ( وَلاَ ) يُكْرَهُ ( لِلْمَرْأَةِ ) غَيْرَ الْمُجْبَرَةِ ( الرُّجُوْعُ عَنْ اْلإِجَابَةِ لِغَرَضٍ) صَحِيْحٍ ِلأَنَّهُ عَقْدُ عُمْرٍ يَدُوْمُ الضَّرَرُ فِيْهِ فَكَانَ لَهَا اْلاحْتِيَاطُ لِنَفْسِهَا وَالنَّظَرُ فِيْ حَظِّهَا وَالْوَلِيُّ قَائِمٌ مَقَامَهَا فِيْ ذَلِكَ (وَبِلاَ غَرَضٍ ) صَحِيْحٍ ( يُكْرَهُ ) الرُّجُوْعُ مِنْهُ وَمِنْهَا لِمَا فِيْهِ مِنْ إخْلاَفِ الْوَعْدِ وَالرُّجُوْعِ عَنِ الْقَوْلِ وَلَمْ يَحْرُمْ ِلأَنَّ الْحَقَّ بَعْدُ لَمْ يَلْزَمْ

Artinya: “Tidak dimakruhkan bagi pihak wali yang memiliki kuasa atas perempuan untuk menarik kembali lamaran yang sudah disetujui sebab sebuah tujuan. Tidak pula dimakruhkan bagi perempuan yang independen. Keduanya itu jika dengan tujuan yang dibenarkan. Sebab pernikahan merupakan ikatan berkelanjutan yang dampaknya akan dirasakan selamanya. Maka seorang perempuan atau wali bisa lebih berhati-hati dalam mempertimbangkannya. Dan bila tanpa adanya tujuan yang dibenarkan, maka dimakruhkan menarik kembali dari khitbah yang sudah disetujui. Sebab hal ini termasuk bentuk pengingkaran terhadap janji ataupun menarik kembali kata-kata yang telah terucap. Namun tidak sampai mencapai taraf haram, sebab hak yang ada dalam khitbah yang telah disetujui itu bukanlah hak yang mengikat.” (Kasyaf Al Qana’, V/20).


Dari sini bisa diperinci mengenai hukum membatalkan tunangan.

Pertama, membatalkan pertunangan itu diperbolehkan ketika ada alasan dan sebab yang bisa dibenarkan. 

Kedua, membatalkan pertunangan apabila tidak disertai dengan alasan dan sebab maka hukumnya makruh, karena hal ini sama saja mengingkari sebuah kesepakatan. 

Ketiga, membatalkan pertunangan ini tidak sampai jatuh kepada keharaman karena pada dasarnya pertunangan itu bukanlah hal yang mengikat.

Wallahu A’lam Bisshawab


Khalwani Ahmad, Pemerhati Sejarah Peradaban Islam Nusantara

Artikel ini telah tayang di Harakatuna.org pada September lalu.

Read More

Selasa, 06 Oktober 2020

Status dan Hak Anak dari Orangtua yang Bercerai Secara Li’an

Oktober 06, 2020

Fiqh Nikah | Seperti yang kita tahu, sumpah li’an adalah sebuah problema dari sepasang kekasih, dalam artian suami istri. Setelah sumpah li’an dikeluarkan, maka itu adalah akhir dari hubungan antar keduanya.


Namun bagaimana jika sepasang kekasih tersebut adalah seorang ayah dan ibu? Bagaimana nasib anak-anaknya? Berikut penjelasannya


Status Anak Terhadap Mantan Suami Dari Istri yang Dicerai Li’an

Pada dasarnya anak istri itu dibangsakan kepada suami dengan tanpa pengakuan, apakah suami itu meninggal atau hidup selama dia tidak menafikannya dan ber-lian dan itu (anak) lazim bagi yang kurang akal dan tidak membutuhkan kepada dakwaan anak dari istri.


Dan anak itu tidak dinafikan dari suami kecuali dari keadaan yang dinafikan daripadanya oleh Rasulullah saw, bahwa Ajlany menuduh istrinya dan mengingkari kehamilan istrinya lalu dia mendatangi Rasulullah saw, dan nabi meli`ankan diantara keduanya dan nabi menafikan anak diantara keduanya.


Jika seorang laki-laki tidak mengakui anaknya karena li`an, hubungan nasab antara bapak dan anaknya terputus, anak tersebut dinisbatkan kepada ibunya.


“Dari ibnu umar ra. Meriwayatkan bahwa seorang laki-laki meli`an istrinya pada masa Rasulullah saw, lalu Rasulullah saw menceraikan keduanya dan mengikutkan anak mereka kepada ibunya.”


“Ibn Umar ra. berkata : Nabi saw telah menyumpah li`an antara seorang suami dengan istrinya, dengan membebaskannya dari anak itu (anak itu tidak bernasab kepadanya), dan memisahkan diantara keduanya dan melanjutkan nasab anak itu kepada ibunya”. (HR. Bukhari).


“Dari Umar bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya, berkata. Rasulullah memutuskan tentang anak dari suami istri yang berli`an, bahwa anak itu menjadi ahli waris ibunya dan ibu mewarisi harta anaknya, orang yang menuduh ibunya berzina dihukum cambuk 80 kali” (HR. Ahmad).


Hadits ini dikuatkan oleh dalil lain yang menyatakan bahwa anak hanya dinisbatkan kepada suami yang setempat tidur,


“Dari Abi Hurairah r.a. dari nabi saw beliau bersabda: anak itu untuk tikar dan bagi orang yang zina mendapat batu” (Muttafaq Alaih).


Berdasarkan hadits ini, anak itu menjadi hak bagi orang yang memiliki tempat tidur, yakni suami. Dan orang yang zina mendapat bagian batu, yakni dirajam dengan batu. Sehingga jika terjadi suatu sengketa tentang anak ini, apakah anak ini dari suaminya si istri atau dari orang lain, maka menurut ketentuan harus di hak kan kepada suami. Sedangkan disini tidak ada suami yang setempat tidur tersebut karena suami telah menyangkalnya.


Hukum menempatkan si anak sebagai anak anak ayahnya, untuk ikhtiyat (hati-hati), karenanya anak tersebut tidak boleh menerima zakat yang dikeluarkan ayahnya. Seandainya ayahnya tersebut membunuhnya, tidak ada hukuman qishasnya.


Antara anak tersebut dan anak-anak dari ayahnya menjadi mahram. Tidak boleh saling menjadi saksi di pengadilan, anak ini tidak boleh dianggap bahwa nasabnya tidak ada. Dan karenanya tidak boleh menasabkan anak tersebut kepada orang lain.


Hak Anak dari Istri yang Dicerai Li’an

“Dari Umar bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya, berkata. Rasulullah memutuskan tentang anak dari suami istri yang berli`an, bahwa anak itu menjadi ahli waris ibunya dan ibu mewarisi harta anaknya, orang yang menuduh ibunya berzina dihukum cambuk 80 kali” (HR. Ahmad).


Anak yang telah dinafi`kan dari ayahnya itu terhalang warisnya dari sudut ayahnya, pada waktu hidupnya karena anak itu dinafi`kan dari warisan yang dicegahnya karena asal urusannya adalah nasabnya, maka sesungguhnya anak itu ternafi` selama ayahnya berli`an yang menetapkan atas penafi`anya dengan li`an.


Menurut Sayid Syabiq, seseorang dapat mewarisi harta peninggalan karena tiga hal yaitu sebab hubungan kerabat/nasab, perkawinan, dan wala` (pemerdekaan budak). Adapun pada literatur hukum islam lainnya disebutkan ada empat sebab hubungan seseorang dapat menerima harta warisan dari seseorang yang telah meninggal dunia yaitu;

Perkawinan

Kekerabatan/nasab

Wala` (pemerdekaan budak)

Hubungan sesama islam.


Namun karena anak tersebut telah dinafikan oleh suami (ayahnya) maka hubungan nasab antara ayah dan anak terputus, sehingga ayah tidak wajib memberi nafkah, tidak boleh saling mewarisi, sedangkan antara anak dan ibu boleh saling mewarisi.


Ash-Shawabu Minallah A'lam


Mochamad Ari Irawan, Alumni Pondok Pesantren Qomaruddin | Sarjana Hukum Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Prodi Perbandingan Madzhab.

Artikel ini telah tayang di Pecihitam.org pada Agustus lalu.

Read More

Dasar Hukum Haram untuk Menikah Kembali Bagi Pasangan yang Berli’an

Oktober 06, 2020

Fiqh Nikah | Li'an adalah masalah yang serius dalam rumah tangga, bagaimanapun problemnya hendaknya kita menghindari li’an sebagai jalan keluar.


Diantara hal yang menjadikan li’an ini dikatakan “serius”,  adalah larangan atau keharaman pasangan yang berli’an untuk menikah lagi untuk selama-lamanya. Tentunya hal ini melalui beberapa ketentuan hukum dan pertimbangan yang mengakibatkan keharaman tersebut.


Secara tegas fikih menetapkan konsekuensi hukum tersebut melalui sabda Nabi Muhammad SAW dan beberapa nilai penting dalam perkawinan yang notabene telah dilanggar melalui sumpah li’an yang dijatuhkan.


Adapun penjelasannya akan lebih detail penulis sampaikan melalui pendapat Syaikh Abu Syujak berikut ini.


Dasar Keharaman Menikah Pasangan Berli’an Menurut Syaikh Abu Syujak

Dasar keharaman untuk menikah kembali selama-lamanya antara suami istri yang telah berli'an sebagaimana Syaikh Abu Syujak berkata :

Dan ada lima ketentuan hukum yang berkaitan dengan li`an dari orang laki-laki, yaitu;

Gugur hukuman (had) pada si lelaki

Wajib had atas si perempuan

Hilang tikar (cerai antara suami istri)

Kalau ada anak, anak itu tidak dapat diakui suami

Haram (kawin) selama-lamanya.


Apabila suami meli`an istrinya dan sudah melengkapi hal-hal yang berkenaan dengan li`an, berlakulah hukum berturut-turut sebagai berikut;

Gugur hukuman/pukulan (had) atas suami

Si istri wajib dihukum (had), apabila suami menuduhnya berzina yang dihubungkannya pada keadaan suami istri, sedangkan istri seorang muslimah, sesuai dengan firman Allah Ta`ala dalam al-Qur`an surat an-Nur, ayat 8 :

“Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah Sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta


Terjadi perceraian antara suami istri. Perceraian ini terjadi lahir batin, baik si istri benar maupun si suami yang benar. Ada yang mengatakan kalau si istri benar tidak terjadi perceraian batin.


Kalau ada anak, anak itu tidak dapat diakui suami, sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang artinya :

“Ibnu umar r.a. berkata: Nabi saw. Telah menyumpah li`an antara seorang suami dengan istrinya, dan membebaskannya dari anak itu (anak itu tidak bernasab kepadanya), dan memisahkan diantara keduanya dan melanjutkan nasab anak itu kepada ibunya”


Haram selama-lamanya antara kedua suami istri apabila terjadi perceraian dengan sumpah li`an karena al-Ajlany berkata sesudah berli`an, “Aku berdusta kepadanya jika aku masih menahannya, dia di talak tiga”, kemudian Rasulullah saw, bersabda :

“Ibnu Umar r.a. berkata: Nabi saw. bersabda kepada kedua suami istri yang berli`an : perhitunganmu berdua ditangan Allah, salah satu kamu ada yang dusta, dan kamu (suami) tidak ada hak untuk kembali kepada istrimu (yang dili`an)”. (HR. Bukhari)


Nabi meniadakan jalan secara mutlak. Kalau suami telah mentalaknya dengan talak bain sebelum li`an, kemudian ia meli`annya, maka juga menjadi haram selamalamanya.


Ketentuan-ketentuan ini tergantung semata-mata kepada li`an dari suami dan ketentuan-ketentuan tersebut sedikitpun tidak tergantung atas li`an dari istri.


“Dari ibn abbas, Rasulullah bersabda : suami istri yang telah bermula`anah bila telah berpisah, mereka tidak dapat kembali lagi selama-lamanya”.


“Ali dan Ibnu Mas`ud berkata, menurut sunnah dua orang suami istri yang telah bermula`anah tidak dapat kembali lagi untuk selamanya.”


Hal ini karena antara suami istri yang bermula`anah sudah terjadi saling benci dan memutus hubungan yang bersifat selama-lamanya, sementara kehidupan rumah tangga memerlukan dasar ketenangan, kasih sayang dan cinta. Jadi mereka telah kehilangan dasar-dasar tersebut, karena itu mereka harus berpisah untuk selamalamanya.


Ash-Shawabu Minallah A'lam


Mochamad Ari Irawan, Alumni Pondok Pesantren Qomaruddin | Sarjana Hukum Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Prodi Perbandingan Madzhab.

Artikel ini telah tayang di Pecihitam.org pada Agustus lalu.

Read More

Senin, 05 Oktober 2020

Jangan Asal, Begini Tatacara Sumpah Li’an yang Benar dalam Hukum Islam

Oktober 05, 2020

Fiqh Nikah | Para pakar hukum islam mengingatkan agar para hakim dalam menerapkan sumpah li`an ini terlebih dahulu memperingatkan dan menasihati agar para pihak tidak melaksanakan li`an sebab resikonya besar sekali baik di dunia maupun di akhirat nanti.


Sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Nasai, Ibnu Majah, dan disahihkan oleh Ibnu hiban dan al Hakim ;

“Dari Abi Hurairah ra. Beliau mendengar Rasulullah saw bersabda ketika telah turun ayat mutala`inain. Manakala seorang perempuan masuk kedalam suatu kaum yang bukan keluarganya, maka ia tidak akan mendapat bagian apapun dari AllahSWT dan ia tidak akan masuk ke surga. Manakala seorang laki-laki menyangkal anak padahal ia tahu anak itu adalah anaknya, maka Allah akan menjauh daripadanya, Allah akan menghinakannya dihadapan orang-orang terdahulu maupun yang akan datang.” (HR. Abu Daud, Nasai, Ibnu Majah)


Tatacara Melakukan Sumpah Li’an

Para ulama` sepakat bahwa menurut sunnah dalam li`an, laki-laki didahulukan yaitu dia mengucapkan kesaksian sebelum istrinya. Tapi, para ulama juga berselisih pendapat tentang keharusan mendahulukan ini.


Syafi`i dan lainnya berkata, “wajib laki-laki dahulu”. Jika perempuan mengucapkan li`an lebih dulu maka li`an nya tidak sah. Alasan mereka karena li`an itu untuk menolak tuduhan suami.

Syafi’i berkata: “Dan laki-laki memulai ber-li`an hingga dia sempurnakan li`an itu, maka apabila telah ia sempurnakan lima kali maka ber-li`an-lah perempuan”.


Karenanya, kalau istri mendahului mengucapkan li`an, berarti menolak perkara yang belum ada. Akan tetapi, Abu Hanifah dan Malik berpendapat bahwa kalau istri memulai li`an, hukumnya sah.


Alasan mereka bahwa dalam al-Qur`an, Allah memakai kata penghubung wawu (dan) berarti tidak mengharuskan mendahulukan yang satu dari yang lain, bahkan menunjukkan “gabungan” yaitu secara umum saja.


Menurut Imam Syafi`i, li`an itu ialah bahwa imam berkata kepada suami: ”Katakanlah saya naik saksi dengan nama Allah bahwa saya ini orang-orang yang benar mengenai apa yang saya tuduhkan kepada istriku si fulanah binti fulan mengenai perbuatan zina”


Lalu dia mengisyaratkan kepada wanita itu kalau wanita itu hadir. Kemudian dia mengulang lagi lalu dia mengucapkannya lagi hingga sempurna yang demikian itu empat kali.


Dan apabila telah selesai empat kali, maka imam menghentikannya dan mengingatkan laki-laki kepada Allah ta`ala dan imam berkata “Saya takut jika kamu tidak benar, engkau ditimpa laknat Allah”.


Kalau imam melihat laki-laki itu mau meneruskan (ucapannya), maka imam memerintahkan seseorang untuk meletakan tangannya pada mulut laki-laki itu dan berkata:

”Bahwa ucapanmu atasku laknat Allah, jika saya dari orang yang berdusta itu mewajibkan kalau engkau berdusta”, jika laki-laki itu enggan (untuk meneruskan ucapannya) maka dia meninggalkannya.


Dan imam berkata: ”Katakan atasku laknat Allah jika saya berdusta mengenai yang saya tuduh si fulanah dari perbuatan zina”.


Jika laki-laki menuduh wanita dengan dengan salah seorang laki-laki yang ditentukan namanya (apakah) laki-laki (yang dituduh itu) satu atau dua orang atau lebih banyak, pada setiap syahadah hendaknya laki-laki itu mengucap:

”Saya bersaksi kepada Allah bahwa saya itu benar mengenai yang saya tuduhkan mengenai zina kepada wanita dengan si fulan atau fulan dan fulan”, kemudian dia mengucap waktu dia ber-li`an “Atas saya laknat Allah kalau saya berdusta mengenai yang saya tuduhkan kepada wanita tentang zina dengan fulan atau fulan dan fulan”.


Kalau perempuan itu mempunyai anak lalu dia menafikan anak itu atau dia mengandung lalu dia menafikan kandungan itu, hendaklah dia berkata pada setiap kali syahadah:

”Saya bersaksi dengan Allah bahwa saya ini benar mengenai yang saya tuduhkan kepada wanita daripada zina, dan anak ini adalah anak zina bukan anak dari saya”.


Dan kalau anak itu masih dalam kandungan, hendaklah laki-laki berkata: ”Dan bahwa kehamilan ini (kalau wanita dalam keadaan hamil) adalah hamil yang disebabkan zina bukan dari saya”.


Dan dia berkata pada saat li`an: ”Atas saya laknat Allah jika saya dari orang yang dusta mengenai yang saya tuduhkan kepada wanita daripada zina, dan anak ini adalah anak zina bukan dari anak saya”. Kalau laki-laki telah mengucapkan ini berarti dia telah selesai berli`an.


Apabila imam bersalah dan tidak menyebutkan tentang menafikan anak atau menafikan kandungan didalam li`an, lalu imam itu berkata kepada suami: ”Jika kau ingin menafikan anak itu maka saya mengulangi li`an atasmu”.


Dan wanita tidak mengulangi li`an sesudah li`an suami, kalau wanita selesai berli`an setelah li`an suami, dimana imam itu lalai mengenai penafikan anak atau kehamilan dan kalau imam bersalah dimana laki-laki telah menuduh wanita dengan seorang laki-laki dan ia tidak berli`an dari tuduhannya itu, maka laki-laki yang dituduh itu menjatuhkan hukuman had atasnya, maka imam harus mengulangi li`an, kalau tidak laki-laki itu dijatuhi hukuman had jika tidak berli`an.


Setelah laki-laki selesai berli`an, kemudian disuruh berdiri wanita (yang dituduh) lalu dia mengucapkan:

”Saya naik saksi dengan nama Allah bahwa suami saya si fulan (dan dia mengisyaratkan kepadanya kalau dia hadir) adalah orang yang dusta mengenai tuduhan zina kepada saya”,


Lalu wanita itu mengulang yang demikian itu sampai empat kali, lalu dihentikan oleh imam dan imam mengingatkan wanita itu kepada Allah ta`ala dan imam berkata: ”Hindarilah (hai wanita) dari kemarahan Allah kalau engkau tidak benar mengenai sumpahmu”.


Dan kalau imam melihat wanita itu mau meneruskan ucapannya dan disitu hadir wanita lain lalu imam menyuruh wanita itu untuk meletakan tangannya atas mulut perempuan, dan kalau tidak ada wanita lain yang hadir, lalu imam melihat bahwa wanita itu mau meneruskan ucapannya, lalu imam berkata kepada wanita itu:

”Katakan hai wanita, atas saya murka Allah kalau laki-laki itu benar mengenai tuduhannya kepada saya daripada zina”. Dan apabila telah selesai mengucapkan itu maka dia selesai berli`an.


Ash-Shawabu Minallah.


Mochamad Ari Irawan, Alumni Pondok Pesantren Qomaruddin | Sarjana Hukum Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Prodi Perbandingan Madzhab.

Artikel ini telah tayang di Pecihitam.org pada Agustus lalu.

Read More