TARBIYAH ONLINE

Fiqh

Kamis, 30 April 2020

Hukum Menelan Bekasan Gosokan Gigi Bagi yang Sedang Berpuasa

April 30, 2020

Fiqh Puasa | Dalam rutinitas berpuasa dibulan Ramadhan, nafas menjadi sedikit lebih bau daripada hari biasanya. Maka dari itu banyak yang menambah rutinitas sikat gigi. Selain menjaga kesehatan dan kebersihan mulut dari sisa-sisa makanan yang tertinggal di sela-sela gigi.

Lantas apakah hal tersebut bisa membatalkan puasa?

Sebagaimana kita ketehui bahwa menjaga kebersihan gigi dan mulut bagi sebagian orang sudah menjadi suatu kebiasaan. Namun, dibulan puasa seperti saat ini, banyak yang bertanya-tanya terkait dengan penggunaan obat kumur dan juga pasta gigi atau odol saat puasa Ramadhan. Menjawab pertanyaan tersebut, dalam kitab al-Majmuk syarah Muhazzab disebutkan:

‘لو استاك بسواك رطب فانفصل من رطوبته أو خشبه المتشعب شئ وابتلعه افطر بلا خلاف صرح به الفورانى وغيره

Artinya: Jika ada orang yang memakai siwak basah. Kemudian airnya pisah dari siwak yang ia gunakan, atau cabang-cabang (bulu-bulu) kayunya itu lepas kemudian tertelan, maka puasanya batal tanpa ada perbedaan pendapat ulama. Demikian dijelaskan oleh al-Faurani dan lainnya. (Abi Zakriya Muhyiddin bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, juz 6, hal. 343)

Berdasarkan penjelasan diatas dapat kita pahami, apabila air yang bukan barang inti atau bahkan bulu kayu yang merupakan salah satu bagian inti dari siwak (sikat gigi) itu sendiri, dapat membatalkan puasa apalagi pasta gigi dan obat kumur yang keduanya bukan baranga yang diperintahkan syara’.

Beranjak dari itu, bagi orang yang berpuasa dan menggosok gigi menggunakan pasta gigi setelah imsak, kemudian tertelan, walaupun tanpa sengaja bekas bulu sikat dan juga odol, maka puasanya batal. Namun jika tidak ada bekasan air atau pasta yang masuk tenggorokan sama sekali, puasanya tidak batal, masih tetap sah.

Solusi bagi orang yang berpuasa, demi kehati-hatian hendaknya menggosok gigi dahulu sebelum waktu imsak tiba. Jika sudah siang, cukup gosok gigi dengan kayu siwak (arok) atau dengan sikat gigi tanpa menggunakan pasta. Jadi kesimpulannya bisa membatalkan puasa apabila kita menelan bekas dari gosokan gigi berodol.

Teungku Helmi Abu Bakar El Lamkawi, Guru Pengajar di Dayah MUDI Mesra Samalanga
Read More

Rabu, 29 April 2020

Benarkah Menelan Dahak Dapat Membatalkan Puasa?

April 29, 2020


Fiqh Puasa | Dalam keseharian menjalankan ibadah puasa, kita sangat berhati-hati dalam mejaga diri terhadap perkara-perkara yang membatalkan puasa. Diantaranya adalah perihal dahak. Terlebih saat kondisi tubuh sedang kurang sehat, seperti sedang terkena flu atau pilek. Lantas apakah jika menelan dahak dapat membatalkan puasa?

Kita telah memaklumi bersama bahwa salah satu hal yang membatalkan puasa adalah masuknya sesuatu kedalam rongga terbuka. Dan kerongkongan termasuk dalam salah satu rongga terbuka. Dahak, kadang masih berada dalam kerongkongan, belum keluar ke batasan dhahir. Atau kadang juga sudah berada di luar kerongkongan, tapi sulit dikeluarkan.

Terlebih dahulu, kita harus kenal dengan jenis dahak. Yaitu dahak yang turun dari kepala dan dahak yang keluar dari dada. Pertama, dahak yang tidak sampai pada batasan dhahir pada mulut, dari kepala langsung turun ke kerongkongan, tidak melalui batasan dhahir, atau bila dahak dari dada, masih berada dalam kerongkongan, belum sapai batasan dhahir. Hukum untuk kedua jenis dahak ini adalah sah (tidak batal puasa).

Lalu dahak yang telah sampai pada batasan dhahir dalam mulut. Apabila telah sampai batasan dhahir, ada dua kondisi yang akan dihadapi; Adakalanya ia sanggup meludahnya dan adakalanya tidak. Jika tidak sanggup dikeluarkan dengan cara meludahnya dan dahak itu turun kembali ke dalam kerongkongan, maka hal tersebut tidak membatalkan puasa. Sedangkan jika ia mampu mengeluarkan dahak, maka wajib dikeluarkan dengan cara meludahnya dan dibuang. Dan jika tidak dikeluarkan, lalu tertelan kembali, maka dapat membatalkan puasa.

Lalu dimana batasan dhahir yang dimaksud? Oleh para ulama menyebutkan batasan dhahir adalah batasan makhraj Ha (ح). Sedangkan hukum menarik/mengeluarkan dahak dari dalam dada adalah boleh dan tidak membatalkan puasa karena dahak ini tidak disamakan dengan muntah. Muntah secara sengaja bisa membatalkan puasa, sedangkan mengeluarkan dahak secara sengaja tidak membatalkan puasa.

Sementara itu Syekh Ali Jum'ah Muhammad pernah ditanya tentang ini, beliau menjawab: "Apabila dahak itu melewati batas atau keluar dari batas anggota bathin di dalam tenggorokan (tempat keluarnya huruf Hamzah dan Haa`, bukan Kha` menurut Imam al-Zayyadi, dan bukan pula Ha` menurut Imam Nawawi), maka menelannya membatalkan puasa. Dan apabila belum melewati batas anggota bathin dalam tenggorokan maka menelannya tidak membatalkan puasa. Sedangkan menurut pendapat bahwa menelan dahak itu tidak membatalkan puasa; yakni selagi dahak itu tidak keluar ke mulut atau masih ada di dalam rongga mulut." (Darul Ifta-Piss-ktb)

Referensi Kitab Fiqh Shiyam Syeikh Hasan Hitu, hal 78
:ابتلاع النخامة
ومما يؤدى الى الفطر ويجب الاحتراز عنه النخامة سواء أكانت نازلة من الرأس او خارجة من الصدر ولها حالتان
الحالة الاولى ان لا تصل ألى حد الظاهر من الفم وإنما تنزل من الرأس إلى الحلق دون أن تخرج إلى حد الظاهر من الفم وهذه لا تضر بالاتفاق
والحالة الثانية أن تصل ألى حد الظاهر من الفم وقد ضبطه الفقهاء بكخرج الحاء فإن وصلت حد الظاهر وهو مخرج الحاء فإما أن يقدر على قطعها ومجها وإما أن لا يقدر.
فإن لام يقدر على قطعها ومجها حتى نزلت إلى جوفه لم تضر لعدم تقصيره . وإن قدر على قطعها ومجها إلا أنه إبتلعها فإنه يفطر على ما ذهب إليه الجمهور

Wallahu a'lam bisshawab
Tgk. Helmi Abu Bakar El-Lamkawi, Guru Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga
Read More

Puasa Batal Karena Keluar Mani di Siang Hari?

April 29, 2020

Fiqh Puasa | Bulan Ramadhan merupakan bulan untuk menahan diri dari hal yang dilarang dalam syariat. Tidak hanya hal yang dilarang pada bulan selain Ramadhan, beberapa perkara mubah bahkan sunnah pun terlarang dan menyebabkan batalnya puasa. Salah satunya diantaranya yang membatalkan puasa adalah jima’ (bersetubuh) dengan istri. Adakah itu sampai keluar mani atau tidak. Demikian juga jika sengaja mengeluarkan mani, baik itu dengan cara masturbasi, bercumbu rayu dengan istri tanpa penghalang atau cara lainnya. Istimna’ atau dalam bahasa kita biasa disebut dengan onani atau masturbasi saat puasa menyebabkan puasa batal.

Dalam kitab al-Fiqh al-Manhaji karya Musthafa Khan dan Musthafa al-Bugha disebutkan bahwa onani saat puasa dapat membatalkan puasa jika disengaja.

الاستمناء: وهو استخراج المني بمباشرة تقبيل ونحوه، أو بواسطة اليد، فإن تعمد ذلك الصائم أفطر. أما إن غلب على أمره فلا يفطر.
“Istimna’ (onani) adalah berusaha mengeluarkan mani secara langsung atau dengan tangan. Jika dilakukan secara sengaja oleh orang yang berpuasa, maka membatalkan puasa. Adapun jika tidak disengaja, maka tidak membatalkan puasa.”

Dalam I’anatut Thalibin, Syekh Abu Bakar Syatha juga menjelaskan bahwa melakukan onani saat puasa itu termasuk hal yang membatalkan puasa sebagaimana keterengan berikut.

ويفطر باستمناء، وهو استخراج المني بغير جماع – حراما كان كإخراجه بيده، أو مباحا كإخراجه بيد حليلته أو بلمس لما ينقض لمسه بلا حائل
“Puasa itu batal sebab melakukan onani, yaitu berusaha mengeluarkan mani tanpa melalui jimak atau hubungan intim. Adakah itu onani yang memang haram, seperti mengeluarkan mani dengan cara menggerakkan kemaluan dengan tangannya sendiri, atau onani yang mubah, seperti meminta tolong istri melakukan onani dengan tangan istri. Atau juga hanya dengan sekedar menyentuh kulit seseorang yang membatalkan wudhu bila persentuhannya tanpa penghalang (maninya keluar).”

Sementara itu, keluar mani dengan tidak sengaja karena menghayal, bercumbu rayu dengan istri menggunakan penghalang (berpakaian) dan keluar mani karena bermimpi saat tidur, maka itu tidak membatalkan puasa, karena tidak terdapat unsur kesengajaan di dalamnya. Dan keluarnya mani adalah hal yang berada diluar kemampuannya.

Sebagaimana tersebut dalam kitab Hasyiah Syarqawi Ala Tahrir: 1/435: “Walhasil bahwa mengeluarkan mani secara muthlak dan keluar mani dengan menyentuh tanpa penghalang, sekalipun tanpa syahwat dikala terjaga (tidak tidur), adalah membatalkan puasa. Lain halnya kalau keluar mani pada saat tidur (bermimpi), menghayal bersentuhan dengan ada penghalang, maka sesungguhnya tidak membatalkan puasa walaupun dengan syahwat.”

Wallahu a'lam bis shawab.

Tgk. Helmi Abu Bakar El-Lamkawi, Guru Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga
Read More

Selasa, 28 April 2020

Sahkah Puasa Wanita yang Sengaja Menunda Haid dengan Mengkonsumsi Obat?

April 28, 2020

Fiqh Puasa | Ramadhan merupakan bulan kewajiban berpuasa kepada mereka yang telah difardhukan untuk melaksanakan termasuk mereka kaum wanita. Namun mereka kaum hawa ada masa liburnya. Yaitu  disaat haid atau sejenisnya. Maka kewajiban tersebut berubah menjadi hal terlarang.

Dalam hal ini Al-Imam Abu al-Hasan Ali Ibn Muhammad Ibn Muhammad Ibn Habib al-Mawardi (w.450H);

لا اختلاف بين الفقهاء أن الحائض لا صوم عليها في زمان حيضها بل لا يجوز لها، ومتى طرأ الحيض على الصوم أبطله، إلا طائفة من الحرورية تزعم أن الفطر لها رخصة فإن صامت أجزأها

“Tidak ada perbedaan pendapat ulama fikih tentang larangan berpuasa bagi wanita selama mereka haid. Bahkan ketika haid muncul saat berpuasa otomatis puasa tersebut batal, kecuali menurut pendapat satu kelompok Harûriyyah (khawarij) yang menganggap berbuka bagi wanita haid hanyalah sebuah rukhshah, dan tetap sah apabila mereka tetap memilih berpuasa”. (Al-Mawardi, al-Hâwî al-Kabîr Syarh Mukhtashar al-Muzanî, vol.3, hal.962)

Keberadaan wanita tidak wajib berpuasa merupakan ijmak ulama, hal ini sebagaimana diungkapkan Al-Imam Abu Muhammad Abdullah Ibn Ahmad Ibn Qudamah al-Maqdisi (w.630H), ia berkata: 

أجمع أهل العلم على أن الحائض والنفساء لا يحل لهما الصوم وإنهما يفطران رمضان ويقضيان وإنهما إذا صامتا لم يجزئهما الصوم
“Ulama berijma‘ tidak halal berpuasa bagi wanita haid dan nifas karena mereka harus tidak berpuasa Ramadhan dan harus mengqadha puasa tersebut. Apabila mereka tetap berpuasa maka puasanya belum sah”. (Ibn Qudamah, al-Mughnî Syarh Mukhtashar al-Kharqî, vol.3, hal.83)

Haid sudah menjadi kodrat wanita. Namun dewasa ini keinginan wanita untuk beribadah dibulan ini begitu menggebu. Sehingga ada sebagian mereka menunda haid demi bisa berpuasa sebulan penuh dengan mengkonsumsi obat anti haid. Lantas bagaimana syari'at Islam memandang yang demikian?

Menurut kalangan Syafi'iyyah diperbolehkan asalkan tidak menimbulkan bahaya pada dirinya. Berikut juga pendapat kalangan madzhab selain syafiiyyah tentang wanita yang minum obat pencegah datangnya haid.

"Dalam Fatawa Al Qammaath (Syeikh Muhammad ibn al Husein al Qammaath) disimpulkan diperbolehkannya menggunakan obat untuk mencegah datangnya haid." (Ghayatut Talkhis: 196).

Sementara itu dalam kalangan Malikiyyah berpendapat: "Haid adalah darah yang yang keluar dari alat kelamin wanita pada usia yang ia bisa hamil menurut kebiasaan umum. Bila wanita menjalani puasa akibat obat yang mencegah haid hadir dalam masanya, menurut pendapat yang zhahir masa-masa tidak dikatakan haid dan tidak menghabiskan masa iddahnya, berbeda saat ia menjalani haid dan meminum obat untuk menghentikan haidnya diselain waktu kebiasaannya, maka ia dinyatakan suci namun iddahnya dapat terputus karena sesungguhnya tidak boleh bagi seorang wanita mencegah atau mempercepat keluarnya darah haid bila membahayakan kesehatannya. Karena menjaga kesehatan wajib hukumnya." (Kitab Fiqh ‘alaa Madzaahib al-Arba’ah I/103).


Berdasarkan pembahasan di atas, sah puasa seorang wanita yang menunda haid dengan minum obat selama tidak mendatangkan kemudharatan terhadap dirinya.

oleh

Artikel ini telah tayang di Theglobal.id
Read More

Batalkah Puasa Dengan Sebab Menghimpun Air Liur Lalu Menelannnya?

April 28, 2020

Fiqh Puasa | Salah satu kondisi yang sering terjadi selama bulan Ramadhan adalah menelan liur. Keadaan ini terkadang menjadi problema tersendiri bagi yang sedang berpuasa. Apakah hal tersebut bisa membatalkan puasa ataupun tidak?

Menjawab pertanyaan ini, Imam Nawawi menjelaskan tentang hukum menelan air liur:

ابتلاع الريق لا يفطر بالاجماع إذا كان على العادة لانه يعسر الاحتراز منه 

Artinya: “Menelan air liur itu tidak membatalkan puasa sesuai kesepakan para ulama. Hal ini berlaku jika orang yang berpuasa tersebut memang biasa mengeluarkan air liur. Sebab susahnya memproteksi air liur untuk masuk kembali.” (Abi Zakariya Muhyiddin bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’, juz 6, hal, 341)

Tentunya liur yang ditelan itu merupakan liur murni tanpa bercampur dengan benda asing lain. Liur yang masih berada dalam rongga mulut (belum keluar dari mulut) adalah liur yang masih murni, maka bila ditelan tidak membatalkan puasa. Menelan liur yang masih ada dalam mulut bila liur tersebut suci atau tidak najis, misalnya karena bercampur dengan darahnya gusi, dan liur tersebut tidak bercampur zat lain maka tidak membatalkan puasa.

Ringkasnya, setidaknya ada tiga syarat tidak membatalkan puasa menelan air liur. Pertama, air liur harus murni. Tentunya air liur yang tidak boleh ada benda lain yang merubah warna dan rasa air liur itu sendiri. Seperti penjahit yang memasukkan benang ke dalam mulut. Kemudian pewarna benang tersebut ada yang mengontaminasi warna air liur sehingga tidak lagi putih atau bening. Maka hal itu membatalkan puasa.  Atau ada pula yang air liurnya terkontaminasi oleh darah sebab luka pada gusi kemudian ditelan, maka itu juga bisa membatalkan puasa. 

Kedua, air liur yang masuk ke tubuh adalah air liur yang keluar dari tubuhnya sendiri dan tidak keluar dari batas ma’fu, yaitu bibir bagian luar. Disinilah terdapat sedikit kemiripan antara batas dhahir wudhu dan shalat yang terjadi pada bab puasa. Jadi, air liur yang sudah keluar dari tenggorokan –yang semula dianggap sudah bagian luar- namun karena hajat, selama tidak melewati bibir luar, tidak membatalkan puasa.  Ketiga, menelan liur secara wajar sebagaimana adat umumnya , yakni ia terkumpul dan tertelan secara alamiah tanpa sadar.

Mengumpulkan Air Liur Dan Menelannya

Sementara itu, ada sebagian masyarakat kita yang kesehariannya mengumpulkan liur dalam mulut dan masih murni, tidak tercampur zat lain, kemudian menelan kembali. Kondisi seperti inilah yang menjadi pertanyaan, apakah membatalkan puasa atau tidak?

Menghimpun liur dengan sengaja dan menelannya terdapat khilaf pendapat ulama. Namun pendapat yang kuat menyatakan tidak membatalkan puasa. Sementara menghimpun liur tanpa sengaja seperti akibat banyak berbicara, para ulama sepakat bahwa bisa batal puasanya. Hal ini sebagaimana diungkapakan dalam kitab Majmuk Syarah Muhazzab berbunyi:

 فَلَوْ جَمَعَهُ قَصْدًا ثُمَّ ابْتَلَعَهُ فَهَلْ يُفْطِرُ فِيهِ وَجْهَانِ مَشْهُورَانِ ذَكَرَهُمَا الْمُصَنِّفُ بِدَلِيلِهِمَا (أَصَحُّهُمَا) لَا يُفْطِرُ وَلَوْ اجْتَمَعَ رِيقٌ كَثِيرٌ بِغَيْرِ قَصْدٍ بِأَنْ كَثُرَ كَلَامُهُ أَوْ غَيْرُ ذَلِكَ بِغَيْرِ قَصْدٍ فَابْتَلَعَهُ لَمْ يُفْطِرْ بِلَا خِلَافٍ

Artinya: "Jikalau seorang secara sengaja menghimpun liur kemudian menelannya ,apakah membatalkaan puasanya? Ada dua pendapat yang masyhur dan musannif menyebut dalill  keduanya serta pendapat yang paling ashah dari kedua pendapat tersebut tidak membatalkan puasa.  Dan jikalau menghimpun liurnya yang banyak tanpa ada renacana bisa jadi dengan banyak berbicara atau lainnya tanpa renacana, maka ia menelannya tidak membatalkan puasa dengan tiada perbedaan pendapat ulama." (Kitab Majmuk Syarah Muhazzab, Jld.6, hal. 317-318).

oleh Tgk. Helmi Abu Bakar El-Lamkawi, Guru Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga

Artikel ini telah tayang di Theglobal.id
Read More

Senin, 27 April 2020

Ketahuilah 40 Sunnah di Bulan Ramadhan, Biar Puasa mu Tambah Berkah (4 Akhir)

April 27, 2020

Fiqh Puasa | Al Habib Segaf bin Ali Alaydrus dalam kitabnya “Ithaful Ikhwan” menyebutkan 40 sunah di Bulan Ramadhan. Berikut intisarinya:

31. Mandi pada malam- malam Ramadhan

Disunahkan mandi setiap malam di sepuluh malam terakhir Ramadhan, sebagian ulama menyunahan mandi setiap malam Ramadhan sejak awal sampai akhir. Ini untuk menambah semangat beribadah.

Nabi SAW dan para sahabat telah melakukan hal ini. Diriwayatkan dari Sayidah Aisyah RA:

كان رسول الله صلى الله عليه و سلم إذا كان رمضان قام و نام فإذا دخل العشر شد المئزر و اجتنب النساء و اغتسل بين الأذانين و جعل العشاء سحور

Apabila datang Ramadhan, Rasulullah SAW shalat dan tidur. Dan jika telah datang sepuluh hari terakhir, beliau mengeratkan sarungnya, menjauhi istri-istrinya, mandi antara dua adzan dan mengakhirkan makan malamnya di waktu sahur (HR Ibnu Abi Ashim )

Imam Ibnu Jarir Ra mengatakan: Para ulama menyunahkan mandi setiap malam di sepuluh malam terakhir Bulan Ramadhan. Imam An Nakhai melakukan itu setiap malam-malam itu.

32. Berhias dan memakai wewangian untuk ibadah

Sunah membersihkan diri, berhias dan memakai wewangian untuk beribadah pada sepuluh malam terakhir Bulan Ramadhan, terlebih di malam-malam yang diharapkan adalah malam Lailatul Qadar.

Telah datang atsar dari para salaf, sahabat dan tabiin bahwa mereka mandi, membersihkan diri, berhias dan kadang mewangikan masjid di malam-malam ini.

Dinukilkan perbuatan ini dari Sahabat Annas, Zur bin Hubaisy, Tamim ad Dari, Ayub as Sakhtiyani, Tsabit al Banani, Humaid at Thowil dan para salaf lainnya. Al-Hafidz Ibnu Rajab menukilkan perbuatan mereka itu kemudian beliau berkata, “Menjadi jelas dengan ini semua kesunahan untuk membersihkan diri, berhias mewangikan diri dengan mandi dan wewangian, memakai pakaian indah pada malam-malam yang diharapkan adalah malam Lailatul Qodar sebagaimana disyariatkan di hari Jumat dan dua hari Id.”

33. Puasa bagi yang bepergian

Jika ia memulai bepergian setelah Waktu Shubuh di Bulan Ramadhan, maka wajib untuk berpuasa dan tidak boleh membatalkannya kecuali setelah ia tidak mampu lagi menahan lapar atau haus.

Jika ia memulai bepergian sebelum Waktu Shubuh, maka ia boleh memilih untuk tetap berpuasa atau tidak berpuasa dan menggantikannya di hari lain. Disunahan bagi yang kuat untuk tetap berpuasa, ini berdasarkan firman Allah SWT:

وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ

Dan berpuasa lebih baik bagimu. (QS al Baqarah: 184)

Jika ia termasuk orang yang lemah, dan puasa dapat memberatkannya maka lebih utama untuk tidak berpuasa berdasarkan hadits:

 لَيْسَ مِنْ الْبِرِّ الصِّيَامُ فِي السَّفَرِ

Bukan termasuk kebaikan memaksakan berpuasa ketika dalam perjalanan (bagi yang tidak kuat)(HR Abu Dawud)

34. Menahan (imsak) bagi yang hilang udzurnya di tengah hari puasa

Apabila seorang tidak berpuasa karena suatu udzur, kemudian di tengah hari udzurnya hilang, maka sunah baginya untuk berprilaku seperti orang yang berpuasa dengan tidak makan, tidak minum dan lainnya sampai Maghrib.

Seperti jika ada anak kecil tidak berpuasa kemudian ia menjadi baligh di tengah hari, atau wanita yang tidak puasa karena haid kemudian ia suci di tengah hari, atau orang sakit yang sembuh di tengah hari puasa, atau orang yang bepergian kemudian sampai tujuan mukim di tengah hari puasa, semuanya itu sunah untuk menahan diri (imsak) dan berprilaku seperti orang berpuasa sampai Mahgrib. Ini adalah bentuk penghormatan kepada Bulan Ramadhan juga agar ia menyerupai orang puasa sehingga menghilangkan prasangka tidak baik dari orang yang tidak mengetahui udzurnya.

35. Meninggalkan kesenangan nafsu

Disunahkan bagi yang berpuasa untuk meninggalkan kesenangan nafsu yang tidak membatalkan puasa seperti wewangian, pandangan kepada yang indah, mendengar suara yang indah dan lainnya. Allah SWT mensifati orang yang berpuasa dalam Hadits Qudsi:

 يَتْرُكُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِي

Ia meninggalkan makanannya, minumannya dan kesenangan syahwatnya karena Aku. (HR Bukhari)

Syahwat adalah semua yang disukai nafsu bik yang dipandang oleh mata, yang didengar oleh telinga atau yang dicium dengan hidung. Imam Nawawi dalam Minhaj mengatakan, “Hendaknya ia (orang yang berpuasa) menjaga dirinya dari kesenangan syahwat.”

36. Memperbanyak sedekah

Sunah memperbanyak sedekah baik dengan harta, makanan, pakaian atau lainnya. Nabi SAW pernah ditanya, “Sedekah apa yang paling utama?”
Beliau SAW menjawab:

 صَدَقَةٌ فِي رَمَضَانَ

Sedekah di bulan Ramadhaan (HR Turmudzi)

Imam Nawawi dalam kitab Majmu` mengatakan, “Ulama Syafiiyah mengatakan, sunah banyak memberi dan berderma di bulan Ramadhan dan lebih utama lagi di sepuluh hari terakhir untuk meneladani Rasulullah SAW dan para salaf. Juga karena ini adalah bulan mulia, kebaikan di bulan ini lebih utama dari selainnya.  Selain itu, pada bula ini banyak manusia sibuk dengan puasanya dan menambah ibadah dan meninggalkan pekerjaannya sehingga mereka butuh untuk dibantu dan ditolong.”

37. Mengajarkan anak-anak berpuasa

Sunah untuk memerintahkan anak-anak kecil baik lelaki maupun perempuan untuk berpuasa sehingga mereka akan terbiasa berpuasa jika sudah baligh.

Para sahabat SAW biasa mengajak anak-anak mereka berpuasa. Ketika ada seorang yang mabuk di Bulan Ramadhan dan dihadapkan kepada Sayidina Umar RA untuk dihukum, Beliau Ra mengingkari perbuatannya itu seraya berkata:

وَيْلَكَ وَصِبْيَانُنَا صِيَامٌ

Celaka engkau! (Engkau mabuk) padahal anak-anak kami berpuasa?” (HR Bukhari)


38. Disunahkan untuk tidak mengatakan setelah sempurna puasa Ramadhan dan tarawihnya

“Aku telah puasa sebulan penuh” atau “Aku telah melaksanakan tarawih sebulan penuh”

Ini karena itu adalah bentuk memuji diri sendiri yang tercela. Nabi SAW bersabda:

لَا يَقُولَنَّ أَحَدُكُمْ إِنِّي صُمْتُ رَمَضَانَ كُلَّهُ وَقُمْتُهُ كُلَّهُ

Jangan salah satu dari kalian mengatakan “aku telah berpuasa Ramadhan secara sempurna dan Shalat tarawih secara sempurna.”  (HR Abu Dawud)

39. Puasa enam hari Syawal

Disunahkan bagi orang yang telah Berpuasa Ramadhan untuk melanjutkan puasa enam hari di Bulan Syawal setelah Id. Nabi SAW menganjurkan puasa ini dan mengabarkan bahwa orang yang berpuasa enam hari di Bulan Syawal setelah Ramadhan seperti berpuasa setahun. Ulama mengatakan kesunahan puasa ini didapat baik dengan berpuasa enam hari berturut-turut atau terpisah-pisah di Bulan Syawal. Dan sama saja apakah puasa itu dilakukan langsung setelah hari Id atau dipisah beberapa hari. Tapi yang lebih utama hendaknya berpuasa langsung setelah hari Id secara berturut-turut.

40. Meninggalkan Maksiat dan melakukan taat

Orang yang berpuasa hendaknya melakukan ketaatan yang paling utama yaitu meninggalkan dosa dan maksiat. Hindari dosa yang kecil dan yang besar, yang zahir atau yang batin. Dikatakan bahwa ketaatan yang paling utama adalah meninggalkan maksiat.

Rasulullah SAW juga bersabda:

فَاتَّقُوا شَهْرَ رَمَضَانَ فَإِنَّ الْحَسَنَاتِ تُضَاعَفُ فِيهِ وَكَذَلِكَ السَّيِّئَاتُ

Hati-hati di bulan Ramadhan sebab kebaikan-kebaikan di dalamnya dilipat-gandakan begitupula keburukannya. (HR Abu Qosim)

Secara umum hendaknya kaum muslim bersemangat melakukan semua amal shaleh dan ketaatan dan memperbanyaknya. Di dalam hadits dikatakan:

من تقرب فيه بخصلة من الخير كان كمن أدى فريضة فيما سواه ومن أدى فيه فريضة كان كمن أدّى سبعين فريضة فيما سواه

Siapa yang melakukan satu kebaikan (sunah) di dalamnya (Ramadhan) maka ia seperti orang yang melakukan perbuatan wajib di bulan lain. Dan siapa yang melakukan perbuatan wajib maka ia seperti orang yang melakukan tujuh puluh perbuatan wajib di bulan lain. (HR Ibnu Khuzaimah)

Semoga Allah memberikan petunjuk agar kita dapat melakukan perbuatan yang dicintai Allah dan membuat-Nya ridho. Semoga Allah menyampaikan kita ke puncak keridhoan-Nya. Semoga Allah mengajarkan kepada kita apa yang bermanfaat bagi kita, dan memberikan manfaat kepada kita atas apa yang telah diajarkan oleh-Nya. Aamiin Ya Rabbal `alamin.. Dan semoga shalawat serta salam terlimpah kepada Nabi Muhammad SAW, para sahabatnya, keluarganya serta yang mengikuti mereka dalam kebaikan sampai hari kiamat. Aamiin.
Read More

Ketahuilah 40 Sunnah di Bulan Ramadhan, Biar Puasa mu Tambah Berkah (3)

April 27, 2020

Fiqh Puasa | Al Habib Segaf bin Ali Alaydrus dalam kitabnya “Ithaful Ikhwan” menyebutkan 40 sunah di Bulan Ramadhan. Berikut intisarinya:

21. Mencari-cari dan memperhatikan orang yang membutuhkan 

Rasulullah SAW mensifati Bulan Ramadhan dengan Syahr Muwasah, bulan untuk saling membantu sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya. Mencari-cari dan memperhatikan fakir miskin dan memenuhi kebutuhan orang yang membutuhkan orang yang membutuhkan adalah ketaatan yang paling utama dan kebaikan yang paling indah. Di dalam hadits dikatakan:

وَأَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ سُرُورٍ تُدْخِلُهُ عَلَى مُسْلِمٍ ، أَوْ تَكْشِفُ عَنْهُ كُرْبَةً ، أَوْ تَقْضِي عَنْهُ دِينًا ، أَوْ تُطْرَدُ عَنْهُ جُوعًا ،

Amalan yang paling dicintai oleh Allah SWT adalah kebahagiaan yang engkau masukan ke dalam hati seorang muslim, atau engkau menyingkirkan darinya kesusahanya, atau engkau mengusir rasa lapar darinya, atau engkau melunasi hutangnya. (HR Thabrani)

22. Bagi lelaki disunahkan beritikaf di masjid

Kesunahan itikaf baik di siang atau malam Ramadhan lebih ditekankan. Termasuk petunjuk Nabi SAW adalah bahwa beliau bertikaf dan menganjurkan untuk melaksanakannya. Sahabat Anas RA mengatakan bahwa ia mendengar Nabi SAW bersabda:

من اعتكف يوما ابتغاء وجه الله جعل الله بينه وبين النار ثلاث خنادق ، كل خندق أبعد مما بين الخافقين

Siapa yang beritikaf sehari karena mengharapkan keridhoan Allah SWT, maka Allah akan menjadikan tiga parit yang menghalanginya dari neraka. Setiap parit lebarnya melebihi dua ufuk langit. (HR Thabrani dalam Ausath, al Baihaqi, dan Hakim beliau mengatakan isnadnya shahih)

Para ulama mengatakan kesunahan itikaf di sepuluh malam terakhir dari Ramadhan lebih ditekankan dan lebih utama untuk meneladani Nabi SAW dan mencari malam Lailatul Qodar.

23. Meninggalkan perdebatan, perselisihan dan saling caci

Semua itu disunahkan di setiap saat tapi di saat berpuasa kesunahannya menjadi lebih kuat. Di dalam hadits dikatakan:

الصِّيَامُ جُنَّةٌ فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَجْهَلْ وَإِنْ امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ مَرَّتَيْنِ

Puasa adalah benteng. Jika salah seorang dari kalian berpuasa maka janganlah berkata kasar, jangan pula berbuat bodoh. Jika ada seorang yang berselisih dengannya atau mencelanya katakanlah “Aku tengah berpuasa” dua kali. (HR Bukhari-Muslim)

Dalam hadits lain dikatakan:

ليس الصيام من الأكل والشرب ، إنما الصيام من اللغو والرفث

Puasa itu bukanlah sekedar dari makan dan minum, melainkan dari ucapan sia-sia dan ucapan kotor. (HR Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban)

Para ulama berkata: Seyogyanya bagi seorang muslim untuk meninggalkan ucapan mubah yang tidak berfaidah dan tidak bermanfaat bagi agama dan dunianya, hendaknya ia menyibukan lisannya dengan dzikir dan istigfar.

24. Meninggalkan perbuatan yang tidak berguna

Sebagaimana dianjurkan meninggalkan ucapan yang tidak berfaidah walaupun mubah, begitupula dianjurkan meninggalkan perbuatan mubah yang tidak bermanfaat dan tidak ada kebaikan di dalamnya. Nabi SAW bersabda:

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

Siapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta dan perbuatannya maka Allah tidak peduli ia meningalkan makanan dan minumannya. (HR Bukhari )

25. Meninggalkan berbekam dan cantuk

Ini karena bekam dan cantuk dapat membuat lemas orang yang berpuasa. Sahabat Anas RA pernah ditanya, “Apakah kalian tidak menyukai berbekam bagi orang puasa?”  Beliau menjawab:

لَا إِلَّا مِنْ أَجْلِ الضَّعْفِ

Beliau menjawab “Tidak, kecuali bahwa itu dapat menyebabkan lemah.” (HR Bukhari)

Termasuk hal itu adalah pengambilan darah (donor) dikatakan itu akan melemaskan orang yang berpuasa.

26. Segera mandi junub sebelum shubuh

Disunahkan bagi yang akan berpuasa agar segera mandi junub sebelum masuk Waktu Shubuh. Ini adalah sunah bukan wajib untuk keluar dari khilaf ulama yang mengatakan bahwa puasa batal karena junub dengan dalil hadits Nabi SAW:

مَنْ أَدْرَكَهُ الْفَجْرُ جُنُبًا فَلَا يَصُمْ

Siapa yang datang waktu fajar dalam keadaan junub maka tidak ada puasa baginya. (HR Bukhari-Muslim)

Hadits ini hukumnya telah dihapus. Dalil bolehnya mengakhirkan mandi junub setelah masuk waktu shubuh adalah hadits Sayidah Aisyah dan Ummu Salamah RA, keduanya berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيُصْبِحُ جُنُبًا مِنْ جِمَاعٍ غَيْرِ احْتِلَامٍ فِي رَمَضَانَ ثُمَّ يَصُومُ

Pernah Nabi SAW berpagi hari dalam keadaan junub karena bersetubuh bukan karena mimpi di Bulan Ramadhan kemudian beliau berpuasa. (HR Bukhari-Muslim)

27. Tidak berlebihan dalam makan dan minum

Hendaknya orang yang berpuasa memperhatikan kesederhanaan dalam berbuka dan makan sahur jangan sampai terlalu kenyang. Sebab maksud dari puasa adalah agar kita dapat menahan syahwat terhadap makanan, minuman dan lainnya.

28. Berumrah di Bulan Ramadhan jika mampu

Dalam Hadits disebutkan bahwa Nabi SAW bersabda:

فَإِنَّ عُمْرَةً فِي رَمَضَانَ تَقْضِي حَجَّةً أَوْ حَجَّةً مَعِي

Umrah di bulan ramadhan sebanding dnegan haji, dalam riwayat lain :sebanding dengan haji bersamaku. (HR Bukhari)

Renungkan bagaimana umrah yang perbuatannya sangat mudah dan sedikit dapat sebanding dengan haji yang hanya sebagian saja yang mampu. Terlebih bahwa di dalamnya terdapat anjuran yang agung dengan disebutkan sebanding dengan haji bersama Rasulullah SAW.

29. Disunahkan berusaha untuk mendapatkan malam Lailatul Qadar

Dalam hadits dikatakan:

تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْوِتْرِ مِنْ الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ

Carilah malam Lailatul Qodar di sepuluh malam terakhir dari Ramadhan (HR Bukhari-Muslim)

Mencarinya dengan cara bersemangat memakmurkan sepuluh malam itu dengan ibadah dengan memperhatikan shalat tarawih di masjid sampai selesai, dan juga dengan melaksanakan Shalat Isya dan Shubuh secara berjamaah disertai melazimi dzikir-dzikir, doa-doa dan tilawah al Quran. Jika ia melakukan itu setiap malamnya pasti ia mendapatkan malam Lailatul Qodar.

30. Disunahkan memperbanyak doa di bulan Ramadhan secara umum, dan di sepuluh hari terakhir secara khusus

Terlebih doa :

اللَّهُمَّ إِنَّكَ عُفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي

Ya Allah sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf dan mencintai maaf maka maafkanlah kami. (HR Turmudzi)

Ini adalah doa yang dianjurkan oleh Nabi SAW kepada Sayidah Aisyah RA untuk diperbanyak di Malam Lailatul Qadar. Maka perbanyaklah doa ini terutama di sepuluh malam terakhir Ramadhan.


Secara umum hendaknya kaum muslim bersemangat melakukan semua amal shaleh dan ketaatan dan memperbanyaknya. Di dalam hadits dikatakan:

من تقرب فيه بخصلة من الخير كان كمن أدى فريضة فيما سواه ومن أدى فيه فريضة كان كمن أدّى سبعين فريضة فيما سواه

Siapa yang melakukan satu kebaikan (sunah) di dalamnya (Ramadhan) maka ia seperti orang yang melakukan perbuatan wajib di bulan lain. Dan siapa yang melakukan perbuatan wajib maka ia seperti orang yang melakukan tujuh puluh perbuatan wajib di bulan lain. (HR Ibnu Khuzaimah)


Semoga Allah memberikan petunjuk agar kita dapat melakukan perbuatan yang dicintai Allah dan membuat-Nya ridho. Semoga Allah menyampaikan kita ke puncak keridhaan-Nya. Semoga Allah mengajarkan kepada kita apa yang bermanfaat bagi kita, dan memberikan manfaat kepada kita atas apa yang telah diajarkan oleh-Nya. Aamiin Ya Rabbal `alamin. Dan semoga shalawat serta salam terlimpah kepada Nabi Muhammad SAW, para sahabatnya, keluarganya serta yang mengikuti mereka dalam kebaikan sampai hari kiamat. Aamiin.
Read More