TARBIYAH ONLINE

Fiqh

Selasa, 01 September 2020

Hukum Suami Memasukkan Jari ke Dalam Lubang Vagina Istri

September 01, 2020

Fiqh Nikah | Sebagaimana saat pasangan suami dan istri bercinta, dengan alasan mencari kepuasan seksual, tidak sedikit yang melakukan variasi dalam hubungan intim. Gaya dan variasi ketika hubungan suami istri ini sangat bermacam-macam, salah satunya adalah suami memasukkan jari tangan ke miss v istri. Lantas bolehkah hal demikian?


Pertanyaan seputar hubungan suami istri memang sangat banyak yang menggelitik meski sebagian ada yang dianggap tabu. Namun bukan Islam namnya bila tak membahas detail hingga perkara yang seperti itu.


Dalam Islam, pada prinsipnya saling memberikan kesenangan antara suami dan istri saat bercinta itu merupakan suatu yang dijunjung tinggi oleh agama. Itu sebabnya bercinta adalah salah satu ibadah yang berpahala bagi pasangan suami istri.


Bahkan begitu pentingnya hubungan suami istri, Rasulullah Saw pun mengajarkan doa agar kegiatan tersebut menjadi kegiatan yang baik dan dijauhi dari pengaruh setan di dalamnya. Hal ini seperti yang disebutkan dalam hadis riwayat Imam Bukhari dari Ibn ‘Abbas ra,


لَوْ أَنَّ أَحَدَهُمْ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَأْتِيَ أَهْلَهُ قَالَ بِاسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبْ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا ، فَإِنَّهُ إِنْ يُقَدَّرْ بَيْنَهُمَا وَلَدٌ فِي ذَلِكَ لَمْ يَضُرَّهُ شَيْطَانٌ أَبَدًا

Jika seseorang ingin bercinta dengan ahl ( pasangannya), berdoalah, “Allahumma Jannib as-Syaiton wa jannib as-Syaithona maa razaqtanaa”, maka sesungguhnya ketika ditakdirkan ada keturunan dari hubungan intim itu, setan tidak bisa membahayakan sang buah hati.


Kembali kepada soal memasukkan jari tangan ke miss v istri. Pada dasarnya hukum bervariasi saat berhubungan intim adalah boleh termasuk suami memasukkan jari tangan ke dalam miss V Istri untuk memberikan kesenangan saat bercinta. Hal tersebut dinukilkan sebagaimana terdapat dalam surah Al Baqarah ayat 223:


نِسَآؤُكُمْ حَرْثٌ لَّكُمْ فَأْتُواْ حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ وَقَدِّمُواْ لأَنفُسِكُمْ وَاتَّقُواْ اللّهَ وَاعْلَمُواْ أَنَّكُم مُّلاَقُوهُ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ


Artinya, “Isteri-isterimu adalah ladangmu, maka datangilah ladangmu kapan saja dengan cara yang engkau sukai. Dan utamakanlah (yang baik) untuk dirimu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa engkau (kelak) akan menemui-Nya. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang yang beriman,” (QS. Al-Baqarah: 223)


Dalam kitab Mughni Al-Muhtaj, Imam Khattib As-Syarbini mengutip riwayat dialog antara Abu Hanifah dan muridnya Abu Yusuf yang membicarakan hal ini;


سَأَلَ أَبُو يُوسُفَ أَبَا حَنِيفَةَ عَنْ مَسِّ الرَّجُلِ فَرْجَ زَوْجَتِهِ وَعَكْسِهِ ، فَقَالَ : لَا بَأْسَ بِهِ ، وَأَرْجُو أَنْ يَعْظُمَ أَجْرُهُمَا

“Abu Yusuf bertanya kepada Abu Hanifah tentang seorang lelaki yang menyentuh (untuk merangsang) kemaluan istrinya dan sebaliknya. Abu Hanifah menjawab; Tidak mengapa, dan saya berharap pahala keduanya besar” (Mughni Al-Muhtaj, vol. 12 hlm 68).


Hal ini menunjukkan saat behubungan intim suami boleh merangsang istrinya dengan memasukkan jari ke dalam miss V, tentunya selama hal itu tidak membahayakan.


Dalam persoalan hubungan suami istri, Islam hanya melarang dua hal, yaitu memasukan penis ke vagina istri dalam kondisi haid, dan memasukkan penis atau yang lain semisal jari atau alat bantu seks ke anus atau dubur (anal seks). Ini sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Zainuddin al-Malibari dalam kitab Fathul Mu’in,


يجوز للزوج كل تمتع منها بما سوى حلقة دبرها ولو بمص بظرها أو استمناء بيدها لا بيده وإن خاف الزنا خلافا لأحمد ولا افتضاض بأصبع ويسن ملاعبة الزوجة إيناسا وأن لا يخليها عن الجماع كل أربع ليال مرة

Boleh bagi suami untuk bersenang-senang saat bercinta dengan istri kecuali melakukan anal seks, meski dalam bentuk mencium klitoris, onani dengan tangan istrinya tapi tidak dengan tangannya sendiri meskipun karena tujuan takut jatuh kedalam perzinahan. Ini berbeda dengan pendapat Imam Ahmad (yang memakruhkannya), dan tidak boleh merobek selaput dara dengan jari. Dan disunnahkan foreplay (pemanasan) terlebih dahulu dengan istri, untuk menyenanginya dan tidak membiarkan tidak bercinta lebih dari empat hari.


Wallahu a’lam bisshawab.

Arif Rahman Hakim, Pengurus PWCINU dan LAZIZNU Okinawa - Jepang Tahun 2017

Artikel ini telah tayang di Pecihitam.org pada Juli lalu.

Read More

Hukum Menjimak Istri Ketika Sedang Masa Istihadhah

September 01, 2020

Nikah | Ada beberapa kondisi dimana aktivitas seksual itu dilarang bagi suami. Seperti ketika istri sedang dalam keadaan puasa fardu, ihram, umrah atau haji, sedang haid atau nifas dan sebagainya. Lantas, bagaimana hukum jimak ketika sang istri sedang istihadhah?


Istihadhah adalah darah kotor yang keluar dari rahim di luar hari-hari haid dan nifas, atau dengan kata lain, darah selain haid dan nifas yang berasal dari rahim wanita. Terkait dengan hukum jimak ketika istri sedang masa istihadah, ada dua pendapat.


Pendapat pertama mengatakan boleh

Bersetubuh dengan istri yang sedang mengeluarkan darah istihadah hukumnya boleh dan tidak ada kemakruhan dalam hal ini. Pendapat ini dikatakan oleh jumhur ulama’ baik dari kalangan sahabat, tabiin maupun imam madzhab. Mereka memiliki dasar yang kuat, di antaranya adalah:

Pertama, darah istihadah adalah bukan darah haid. Sehingga, darah istihadah tidak bisa disamakan dengan hukumnya darah haid. Sebagaimana jelas disabdakan oleh Rasulullah saw.


إنما ذلك عرق وليس بالحيضة

Darah istihadah itu hanyalah keringat (suci), bukan (seperti) darah haid” (HR. Al Bukhari dan Muslim).

Kedua, penyakit atau gangguan yang ditimbulkan saat bersetubuh dengan istri yang haid tidak berlaku saat bersetubuh dengan istri yang istihadah.


Ketiga, Istihadah itu dihukumi suci, oleh karena itu bagi wanita yang mengeluarkan darah istihadah ia tetap wajib melakukan semua ibadah seperti salat dan puasa. Mak dari itu, bersetubuh dengan suamipun boleh baginya, karena posisinya sama dengan wanita yang suci.


Imam Ibnu Hajar Al-Haitami mengatakan dalam kitab Alfatawa Alfiqhiyah Alkubro sebagai berikut;


يَجُوزُ عِنْدَنَا وَطْءُ الْمُسْتَحَاضَةِ في الزَّمَنِ الْمَحْكُومِ بِأَنَّهُ طُهْرٌ وَإِنْ كان الدَّمُ جَارِيًا وَهَذَا لَا خِلَافَ فيه عِنْدَنَا 

“Boleh menurut kami bersetubuh dengan istri yang sedang istihadhah dalam masa di mana ia dihukumi suci meskipun darahnya masih mengalir. Ini tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama kami.”


Dalam kitab Mughnil Muhtaj juga disebutkan;

ويجوز وطء المستحاضة في الزمن المحكوم عليه بأنه طهر ولا كراهة في ذلك وإن كان الدم جاريا

“Boleh bersetubuh dengan istri dalam kondisi sedang istihadhah di masa ia dihukumi dalam keadaan suci dan hal demikian tidaklah makruh meskipun darahnya sedang mengalir.”


Bahkan di dalam kitab Sunan Abu Dawud, terdapat sebuah riwayat yang menceritakan bahwa sahabat perempuan, Ummu Habibah dan Hamnah pernah bersetubuh dengan suaminya dalam keadaan istihadah.


عَنْ عِكْرِمَةَ قَالَ : كَانَتْ أُمُّ حَبِيبَةَ تُسْتَحَاضُ فَكَانَ زَوْجُهَا يَغْشَاهَا.


Dari Ikrimah, ia berkata: “Ummu Habibah saat istihadah, suaminya mencumbuinya.” (HR. Abu Dawud)


عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنْ حَمْنَةَ بِنْتِ جَحْشٍ، أَنَّهَا كَانَتْ مُسْتَحَاضَةً وَكَانَ زَوْجُهَا يُجَامِعُهَا.


Dari Ikrimah, dari Hamnah bint Jahsy, bahwasannya ia saat istihadah suaminya mencumbuinya. (HR. Abu Daud).


Ummu Habibah adalah istri Abdurrahman bin Auf sedangkan Hamnah merupakan istri Thalhah bin Ubaidillah. Mereka berdua adalah sahabat perempuan yang meriwayatan hadis tentang hukum istihadah.


Pendapat kedua adalah tidak boleh

Pendapat ini dikatakan oleh Ibnu Sirrin, An Nakhai dan Hakam. Mereka menyandarkan pada riwayat Aisyah ra. sebagaimana yang termaktub dalam kitab Sunan Al Baihaqi


عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: ” الْمُسْتَحَاضَةُ لَا يَغْشَاهَا زَوْجُهَا “


Dari Aisyah ra, ia berkata: “Wanita yang istihadah itu tidak boleh dicumbui suaminya.” (HR. Al Baihaqi).


Namun Imam Nawawi mengatakan dalam kitab Al Majmu’ Syarh Muhadzhab bahwa riwayat Aisyah ra. tersebut tidak shahih, sehingga kurang kuat dijadikan dalil.


Demikianlah hukum jimak ketika istri sedang istihadhah. Pendapat yang paling kuat adalah boleh dan tidak ada kemakruhan didalamnya. Karena wanita yang mengeluarkan darah istihadah itu tidak pada masa haid dan nifas, sehingga ia dihukumi suci.


Namun, terlepas dari hukum kebolehannya, jika istri merasa kurang nyaman, atau ada hal-hal yang dikhawatirkan baik dari segi kesehatan maka sebaiknya berhubungan dihindari terlebih dahulu. Karena dari sisi medis pun istihadhah merupakan darah kotor, yang kemungkinan punya dampak kurang baik entah untuk istri maupun suami.


Wallahua’lam bisshawab.


Lukman Hakim Hidayat, Alumni Al-Iman Islamic Boarding School Purworejo

Artikel ini telah tayang di Pecihitam.org pada Maret lalu.


Read More

Kamis, 02 Juli 2020

4 Hal Yang Membuat Ilmu Hilang Berkah dan Tidak Bermanfaat

Juli 02, 2020

Tasawuf | Mencari ilmu bagi orang Islam hukumnya adalah wajib. Hal ini ditegaskan melalui sabda Nabi Muhammad yang berbunyi “Mencari ilmu merupakan kewajiban bagi orang Islam baik laki-laki maupun perempuan”.


Banyak sekali keistimewaan para pencari Ilmu, dalam Al-Quran sendiri disebutkan bahwa Allah akan mengangkat derajat orang yang berilmu. Karena keistimewaan ini, bahkan orang Islam sangat dianjurkan untuk mencari ilmu walaupun harus sampai ke Negeri China, begitulah sabda Nabi Muhammad.


Para mencari ilmu selalu berharap kepada Allah SWT semoga ilmu yang didapatkan akan bermanfaat baik untuk dirinya, agamanya, bangsanya, negaranya dan masyarakat tentunya. Seorang bijak bestari yang juga merupakan kekasih Allah, Syeikh Abu Hasan As-Syadzili menyatakan tidak akan bermanfaat ilmu seseorang selama masih dibarengi dengan empat hal, yaitu:


1. Cinta Dunia

Cinta dunia merupakan pangkal dari segala kerusakan yang ada di dunia ini, Nabi Muhammad bersabda

حب الدنيا رأس كل خطيئة

Artinya: “Cinta dunia merupakan pangkal dari kerusakan dan kesalahan”. [HR. Baihaki].


Orang yang sudah cinta dunia biasanya dan kebanyakan akan lupa kepada kehidupan akhirat. Mereka yang sudah terlenakan dengan cinta dunia akan terus menerus mengejar dunia. Mereka menyangka bahwa harta dunia bisa membuatnya abadi, padahal tidak, justru harta benda akan menghancurkannya seperti kisah Qorun.


Dalam Al-Quran sendiri orang telah cinta dunia akan terus mengejar harta benda dan yang bisa menghentikan semua itu adalah kematian. Padahal sebagaimana diketahui bahwa dunia adalah tempat sementara dan akhirat adalah tempat keabadian.


Dengan demikian orang yang masih memiliki sifat cinta dunia ilmu tidak akan bermanfaat karena ilmu yang dimiliki akan kalah dengan godaan dunia berupa uang pangkat dan jabatan.


2. Lupa Kehidupan Akhirat.

Ilmu yang dimiliki seseorang tidak akan bermanfaat apabila dalam hatinya ada rasa lalai terhadap kehidupan akhirat. Lupa terhadap akhirat ini diawali dengan rasa cinta kepada dunia yang berlebihan.


Sejatinya hadirnya agama Islam di dunia ini selain untuk menyempurnakan ahlak juga untuk memberi tahu manusia akan kehidupan yang abadi. Sehingga orang yang hidup didunia ini bisa menahan untuk berbuat maksiat karena setiap hal yang dilakukan akan dimintai pertanggung jawaban.


3. Takut Akan Kemiskinan

Ilmu yang dimiliki seseorang juga tidak akan pernah bermanfaat apabila dalam dirinya juga bersemayan rasa takut akan kemiskinan. Pada umumnya orang yang takut miskin akan melakukan segala hal yang menjadikanya kaya. Ia tidak lagi mempedulikan lagi mana batasan halal dan haram dalam mencari rezeki. Padahal mencari harta yang halal adalah kewajiban bagi setiap orang Islam.


Jika telah demikian, bagiamana mungkin ilmunya akan bermanfaat apabila ia menerjang ketentuan-ketentuan yang telah diatur agama…?


4. Takut Kepada Manusia

Orang yang takut kepada manusia biasanya ilmunya juga tidak bermanfaat. Biasanya orang seperti ini akan tunduk kepada ketentuan-ketentuan manusia lainnya, sehingga ilmu yang dimilikinya akan kalah tunduk dengan ketentuan-ketentuan manusia.


Orang yang takut pada manusia sudah tentu akan melakukan sesuatu yang diridhoi oleh manusia. Padahal mencari ridho atau kesenangan manusia terhadap dirinya adalah hal yang mustahil.


Demikian empat hal yang apabila dimiliki oleh orang yang berilmu, ilmunya tidak akan pernah bermanfaat. Semoga Allah selalu memberkahi ilmu yang kita miliki dan menjauhkan dari empat hal ini, Amin.

Oleh Khalwani Ahmad, Pemerhati Sejarah Peradaban Islam Nusantara.

Artikel ini telah tayang di Harakatuna pada Juni lalu.

Read More

Sabtu, 23 Mei 2020

Lima Amalan Sunnah Sebelum Melaksanakan Shalat Hari Raya Idul Fitri

Mei 23, 2020

Fiqh | Ramadhan pun telah berlalu dan Idul Fitri tiba setelah sebulan melaksanakan ibadah puasa Ramadhan. Tidak banyak yang menyadari bahwa Idul Fitri itu adalah momentum untuk meningkatkan ketakwaan kepada Allah Sang Pemberi Nikmat. Setelah gugur dosa-dosa kepada Tuhan dengan hikmah berpuasa Ramadhan, manusia bersalam-salaman antar sesama dan saling memaafkan segala khilaf dan salah.

Telah disebutkan dalam Bughyatul Mustarsyidin, “Laisa al ‘id li man labisa al jadid, wa lakinna al ‘id li man tha’atuhu tazid.” Hari raya bukanlah untuk mereka yang baru pakaiannya, namun bagi mereka yang bertambah ketaatannya.

Kita tahu menyemarakkan hari raya Idul Fitri merupakan bagian dari sunah dan syi'ar Islam. Setiap orang dianjurkan untuk menyambutnya dengan penuh kebahagiaan dan kesenangan. Sebab itu, pada hari Idul Fitri, umat Islam diwajibkan membayar zakat sebelum melaksanakan shalat agar fakir miskin bisa ikut berbahagia pada hari yang mulia tersebut.

Salah satu ibadah yang dianjurkan ketika hari raya Idul Fitri adalah melaksanakan shalat sunat Idul Fitri. Dan lagi, ada beberapa perkara sunat yang dianjurkan dalam syariat Islam sebelum pelaksanaan shalat, di antaranya:

Pertama, Mandi Dahulu Sebelum Shalat Idul FitriSunnah mandi ini sebagaimana diriwayatkan dari Nafi’ bahwa Abdullah Ibnu Umar ra mandi pada hari 'Ied sebelum berangkat shalat. Dalil yang paling kuat tentang kesunahan mandi didua hari raya adalah riwayat dari Al-Baihaqi melalui asy-Syafi’i tentang seseorang yang pernah bertanya kepada Ali ra tentang mandi, ia menjawab, “Mandilah setiap hari jika engkau mengehendakinya.” Kata orang itu, ”Bukan itu yang kumaksud, tapi mandi yang memang mandi (dianjurkan). Ali menjawab , ”Hari Jum’at, Hari Arafah, Hari Nahr dan hari Fitri.

Ibnu Qudamah mengatakan bahwa karena hari Ied adalah hari berkumpulnya kaum muslimin untuk shalat, maka ia disunahkan untuk mandi sebagaimana hari Jum’at.

Kedua, Berhias, Memotong Kuku dan Memakai Minyak Wangi (bagi laki-laki) serta Bersiwak
Sebelum shalat Idul Fitri kita juga dianjurkan untuk memotong kuku, memakai minyak wewangian sebagaimana ia juga dianjurkan ketika mendatangi mesjid untuk shalat Jum’at, berdasarkan hadis Ibnu Abbas Nabi SAW telah bersabda pada suatu hari Jum’at: “Sesungguhnya hari ini adalah hari Ied yang telah ditetapkan oleh Allah untuk orang-orang Islam, maka barang siapa yang mendatangi Jum’at hendaknya ia mandi, jika ia memiliki minyak wangi maka hendaknya ia mengolesinya, dan hendaknya kalian semua bersiwak.” (HR Ibnu Majah).

Disamping itu juga menjelang shalat Idul fitri, kita dianjurkan pakaian yang paling bagus, tetapi bukanlah pakaian yang terbuat dari kain sutera. Berdasarkan hadits Ibnu Umar ra ia berkata: “Umar mengambil sebuah jubah dari sutera yang dibeli dari pasar, kemudian ia membawanya kepada Rasulullah saw dan berkata: “Wahai Rasulullah berhiaslah Anda dengan mengenakan ini ketika 'Ied dan ketika menjadi duta." Rasulullah saw bersabda,”Pakaian ini hanya untuk orang yang tidak punya bagian (di akhirat, maksudnya orang kafir, pent).” (Muttafaq alaih).

Ketiga, Makan Sebelum Shalat Idul Fitri
Sebelum melakukan shalat Idul Fitri dianjurkan agar makan kurma terlebih dahulu, dan lebih utama jika dalam jumlah ganjil, sementara itu dalam shalat Idul Adha sebaliknya tidak dianjurkan makan dulu. Diriwayatkan dari Buraidah ra: “Rasulullah tidak keluar pada hari Idul fithri sebelum makan, dan tidak makan pada hari Idul Adha hingga beliau menyembelih qurban.” (HR Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Keempat, Berbeda Jalan ketika Berangkat dan Pulang Shalat
Perkara sunat lainnya, memilih jalan berbeda saat pergi dan pulang menuju mejid atau tanah lapang untuk shalat Idul Fitri. Sebagaimana dalam hadits Jabir ra ia berkata: “Adalah Rasulullah saw ketika di hari ‘Ied berbeda jalan (ketika berangkat dan pulang).” (HR. Bukhari).

Kelima, Bertakbir Ketika Berangkat Berangkat
Kita disunahkan mengumandangkan takbir sejak tenggelamnya matahari pada malam 'Ied, dan takbir ini menjadi kesepakatan oleh empat mazhab (Mahzab Hanafi, Syafi’i, Maliki dan Hanbali) bahkan sebagian ulama ada yang mewajibkannya berdasarkan firman Allah Swt: “Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al-Baqarah: 185).

Ibnu Mas’ud mengatakan bahwa Nabi saw mengucapkan: Allahu Akbar, Allahu Akbar Laa Ilaha Ilallah Walahu Akbar Allahu Akbar Walilahi Hamd “Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, tiada tuhan yang berhak disembah dengan sebenarnya kecuali Allah, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, dan hanya bagi Allahlah segala pujian. ”Beliau mengucapkan takbir ini di mesjid, di rumah dan di jalan-jalan. (HR. Mushanaf Abi Syaibah).

Teungku Helmi Abu Bakar el Lamkawi, Guru Dayah MUDI Mesra Samalanga
Read More

Sabtu, 09 Mei 2020

Bagaimana Hukum Menggosok Gigi Setelah Waktu Matahari Tergelincir?

Mei 09, 2020

Fiqh Puasa | Menggosok gigi adalah bagian dari sunah yang sangat dianjurkan sebagai bagian dari perintah menjaga kebersihan. Kondisi sedang berpuasa tidak menghalangi kesunnahan bagi seseorang menggosok gigi. Ia tidak membatalkan puasa selama tidak sampai memasukkan sesuatu ke dalam tenggorokan. Karena sedang berpuasa, tidak selayaknya dijadikan alasan untuk tidak menjaga kebersihan, termasuk kebersihan mulut. Hanya saja, perlu ada kehati-hatian dalam melaksanakan gosok gigi agar jangan sampai saat berkumur, ada air yang tertelan.

Disamping itu, perlu adanya pengaturan waktu dalam melaljkan aktivitas ini. Pertama dilakukan dimasa setelah sahur, sebelum imsak. Dengan tujuan, sela-sela gigi sudah bersih dari sisa makanan Karena jika ada sisa makanan yang tetelan, bisa menyebabkan batal puasa. Sedangkan apabila dilakukan setelah imsak, harus adanya pejagaan ekstra, agar tidak ada sisa bekas odol atau bulu sikat yang tertelan.

Setelah imsak, masih boleh terus menggosok gigi dan berkumur. Agar nafas tetap segar, gigi dan mulut pun sehat terawat. Namun jika waktunya sudah Zhuhur, para ulama menganjurkan agar aktivitas siwak atau gosok gigi ini dihentikan bagi orang yang menjalankan puasa.

Mayoritas ulama berpendapat, bersiwak termasuk menggosok gigi setelah Zhuhur hukumnya makruh.Hal ini disampaikan Syekh Muhammad Nawawi Al-Bantani dalam Nihayatuz Zain sebagai berikut:

ومكروهات الصوم ثلاثة عشر: أن يستاك بعد الزوال

Artinya, “Hal yang makruh dalam puasa ada tiga belas. Salah satunya bersiwak setelah zhuhur,” (Nihayatuz Zein fi Irsyadil Mubtadi’in, Cetakan Al-Maarif, Bandung, Hal. 195).

Pernyataan tersebut juga diperkuat dengan ungkapan Al-Habib Abdulah bin Husein bin Thahir dalam karyanya Is‘adur Rafiq wa Bughyatut Tashdiq:

 ويكره السواك بعد الزوال للصائم لخبر "لخلوف" أي لتغير "فم الصائم يوم القيامة أطيب عند الله من رائحة المسك

Artinya, “Bagi orang berpuasa, makruh bersiwak setelah zhuhur berdasarkan hadits, ‘Perubahan aroma mulut orang yang berpuasa lebih wangi di sisi Allah pada hari Kiamat daripada wangi minyak misik,’” ( Kitab Is‘adur Rafiq, Cetakan Al-Hidayah, Surabaya, Juz I, Hal. 117).

Hal ini didasarkan pada pemahaman  diatas, secara eksplisit adanya anjuran untuk tidak lagi menggosok gigi setelah waktu Zhuhur juga dimaksudkan sebagai langkah preventif agar tidak dijadikan sarana untuk menyegarkan diri yang bisa jadi membatalkan puasa. Disamping itu terdapat pendapat yang menyebutkan tidak makruh hukumnya menggosok gigi setelah tergelincir matahari apabila ada hal yang menghendaki untuk bolehnya bersiwak (Kitab Syarkawi, jld 1, h. 446).

Penjelasan ini juga diungkapkan dalam kitab Kifayatul Akhyar Jld. 1 hal 16-17:

و هل يكره للصائم بعد الزوال فيه خلاف؟ الراجح فى الرافعى و الروضة انه يكره لقوله عليه الصلاة و السلام لخلوف فم الصائم الطيب عند الله من الريح المسك رواه البخارى.و فى رواية مسلم يوم القيامة. و الخلوف بضم الخاء واللام هو التغييرو خص بما بعده الزوال لان تغيير الفم بسبب الصوم حينئذ يظهر، فلو تغير فمه بعد الزوال بسبب اخر كنوم او غيره فاستاك لاجل ذلك لا يكره و قيل لا يكره الا ستياك مطلقا و به قال الائمة الثلاثة و رجحه النووى فى الشرح المهذبكفاية الاخيار ١/١٦_١٧

Apakah makruh bagi orang yg berpuasa bersiwak setelah lingsir matahari? Hal ini terjadi perbedaan pendapat. Pendapat yang rajih dari Imam Rafi'i adalah makruh hal ini didasarkan atas hadis dari imam Bukhari dan Imam Muslim. "Bahwasanya perubahan bau mulut orang yg berpuasa disisi Allah adalah lebih wangi dibanding misik." Dikhususkan dengan lingsir matahari, karena pada waktu itu perubahan bau mulut karena berpuasa akan tampak. Apabila perubahan bau mulut sesudah matahari tergelincir disebabkan oleh hal lain semisal karena habis tidur maka bersiwak tidak dimakruhkan. Pendapat yang kedua menghukuminya tidak makruh secara mutlak. Dan ini adalah pendapat tiga Imam Madzhab. Dan Imam Nawawi merajihkan dalam kitabnya Syarah al-Muhadzab. (Kifayatul Akhyar: 1;16-17)


Teungku Helmi Abu Bakar El Lamkawi, Dewan Guru Dayah MUDI Mesra Samalanga.
Read More

Kamis, 07 Mei 2020

Ternyata Mandi di Siang Hari Bisa Menyebabkan Batal Puasa

Mei 07, 2020

Fiqh Puasa | Salah satu aktifitas yang sering dilakukan saat siang Ramadhan melakukan mandi atau berwudhu. Sehingga air kadang dapat masuk ke lubang terbuka, selain rongga mulut, ada lubang hidung dan telinga. Lantas bagaimana hukum puasanya, apakah batal atau tidak?

Masuknya air ke telinga orang yang sedang puasa atau lubang-lubang yang ada di tubuhnya kemasukan air secara tidak disengaja, baik ketika berkumur atapun membersihkan lubang hidung, maka hukumnya ada tiga:

Pertama, orang tersebut puasanya tidak batal. Ini apabila mandi orang tersebut mandi wajib atau mandi sunat, kemudian ada hal yang masuk ke dalam tubuh orang tersebut baik melalui telinga atau mulut dan lainnya. Maka hal ini tidak membahayakan puasanya dengan syarat dia tidak berlebihan ketika berkumur atau membersihkan hidungnya.

Kedua, apabila mandi orang tersebut bukanlah mandi wajib dan juga bukan mandi sunat tapi mandi untuk menghilangkan najis. baik itu dari telinganya atau yang lainnya kemudian sampai kemasukan air tanpa di sengaja, maka hal ini tidak mebatalkan puasanya dengan syarat air atau benda tersebut masuk dengan tanpa disengaja.

Ketiga, mandi orang tersebut bukan mandi wajib, bukan juga sunat, tetapi hanya untuk mendinginkan diri saja karena gerah. Apabila kemasukan air dari sebab berkumur atau membersihkan hidung maupun telinganya, maka hukum puasanya batal. Adakah dengan berlebihan dalam berkumur atau membersihkan hidung juga telinganya, ataupun secara tidak berlebihan. Namun jika mandinya dengan cara menyelam maka puasanya batal, karena menyelam ketika puasa hukum dasarnya makruh. Tetapi kalau mandinya bukan dengan cara menyelam melainkan dengan cara digayung airnya atau melalui pancuran maka hal ini tidak membatalkan puasanya. Dengan syarat dia tidak menyengaja memasukkan air dengan cara memiringkan telinganya atau memang sudah kebiasaan baginya kalau mandi pasti kemasukan air.

Kalau memang sudah kebiasaannya kemasukan air maka para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini diantara mereka ada yang memperbolehkan dan ada juga yang tidak memperbolehkan.

Tiga perincian di atas berdasarkan keterangan dalam Kitab I’anatut Thalibin sebagai berikut:

والحاصل) أن القاعدة عندهم أن ما سبق لجوفه من غير مأمور به، يفطر به، أو من مأمور به - ولو مندوبا - لم يفطر.ويستفاد من هذه القاعدة ثلاثة أقسام: الاول: يفطر مطلقا - بالغ أو لا - وهذا فيما إذا سبق الماء إلى جوفه في غير مطلوب كالرابعة، وكانغماس في الماء - لكراهته للصائم - وكغسل تبرد أو تنظف.الثاني: يفطر إن بالغ، وهذا فيما إذا سبقه الماء في نحو المضمضة المطلوبة في نحو الوضوء.الثالث: لا يفطر مطلقا، وإن بالغ، وهذا عند تنجس الفم لوجوب المبالغة في غسل النجاسة على الصائم وعلى غيره لينغسل كل ما في حد الظاهر. 

Artinya, “Kesimpulannya, kaidah menurut ulama adalah, air yang tidak sengaja masuk ke dalam rongga tubuh dari aktivitas yang tidak dianjurkan, dapat membatalkan puasa, atau dari aktivitas yang dianjurkan meski anjuran sunah, maka tidak membatalkan. Dari kaidah ini, dapat dipahami tiga pembagian perincian hukum. Pertama, membatalkan secara mutlak, baik melebih-lebihkan (dalam cara menggunakan air) atau tidak. Ini berlaku dalam permasalahan masuknya air dalam aktivitas yang tidak dianjurkan seperti basuhan ke empat, menyelam ke dalam air, karena makruh bagi orang yang berpuasa, mandi dengan tujuan menyegarkan atau membersihkan badan. Kedua, membatalkan jika melebih-lebihkan, ini berlaku dalam aktivitas semacam berkumur yang dianjurkan saat berwudhu. Ketiga tidak membatalkan secara mutlak meski melebih-lebihkan, ini berlaku ketika mulut terkena najis karena wajibnya melebih-lebihkan dalam membasuh najis bagi orang yang berpuasa dan lainnya agar anggota zhahir terbasuh (suci dari najis),” ( Syekh Abu Bakr bin Syatha, I’anatut Thalibin, juz II, hal 265).


Tgk. Helmi Abu Bakar El-Lamkawi, Guru Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga
Read More

Selasa, 05 Mei 2020

Apakah Menyuntikkan Nutrisi Makanan Dapat Membatalkan Puasa?

Mei 05, 2020

Fiqh Puasa | Salah satu yang membatalkan puasa adalah memasukkan sesuatu ke dalam rongga terbuka, baik berupa makanan maupun bukan. Maka bila suntikan tersebut di lakukan pada bagian yang bisa menyebabkan sampai sesuatu secara langsung ke dalam rongga terbuka maka bisa membatalkan puasa. Sedangkan suntikan pada lengan atau daerah lain yang tidak sampai ke dalam rongga maka tidaklah membatalkan puasa, sama seperti masuk air dalam badan melalui pori-pori kulit.

Maka dapat diklarifikasi ada dua pendapat tentang suntikan nutrisi makanan yaitu: Pertama, batal puasa. Sebagian ulama berpendapat bahwa menyuntikkan zat yang bisa mengenyangkan bisa membatalkan puasa. Pendapat ini di anggap kuat oleh Habib Hasan bin Ahmad bin Muhammad al-Kaf dalam kitab Taqrirat as-Sadidah fi Masail Mufidah hal 452 Dar Mirats an-Nabawi. Bahkan Habib Muhammad bin Ahmad asy-Syathiri dalam kitab Yaqut an-Nafis jilid 1 hal 467 Dar Hawi, mengatakan ijmak para ulama bahwa suntik zat yang bisa mengenyangkan bisa membatalkan puasa. Namun kutipan ijmak ini rasanya sangat perlu ditinjau kembali karena pada pengarang Taqrirat Sadidah menyebutkan adanya khilaf para ulama.

Kedua, tidak batal puasa. Dalam penjabaran para ulama dalam kitab terdahulu yang menjelaskan tidak batal puasa apabila memasukkan sesuatu ke selain rongga terbuka tanpa merinci lebih lanjut bahwa yang masuk tersebut zat yang mengeyangkan atau tidak. Sehingga dapat ada kesimpulan, hal ini berlaku umum baik yang masuk tersebut adalah zat yang bisa mengenyangkan ataupun bukan, keduanya sama-sama tidak membatalkan puasa. Bahkan juga ditemukan penjelasan Syeikh Ali Jum’ah yang mengutip penjelasan Syeikh bakhit al-Muthi`i setelah beliau membawa nash-nash para ulama dari empat mazhab:

ومن هذا يُعلَم أن الحقنة تحت الجلد لا تفسد الصوم باتفاق المذاهب الأربعة، سواء كانت للتداوي أو للتغذية أو للتخدير، وفي أي موضع من ظاهر البدن؛ لأن مثل هذه الحقنة لا يصل منها شيء إلى الجوف من المنافذ المعتادة أصلاً، وعلى فرض الوصول فإنما تصل من المَسَامّ فقط، وما تصل إليه ليس جوفًا ولا في حكم الجوف، وليست تلك المَسَامُّ مَنْفَذًا منفتحًا لا عُرفًا ولا عادةً

Artinya : Dan dari ini semua bisa diketahui bahwa suntik di bawah kulit tidak membatalkan puasa berdasarkan kesepakatan Mazhab yang empat. Baik suntikan itu untuk berobat atau mengenyangkan ataupun untuk pembiusan, dan dimana saja (disuntik tetap puasanya tidak akan batal) dari dhahir badan karena suntikan ini sama sekali tidak menyampaikan sesuatu ke dalam rongga dari jalur yang biasa. Kalaupun kita katakan sampai, maka hanya sampai (ke dalam rongga) melalui pori-pori kulit, tempat (pori-pori) tidak di namakan jauf (rongga) ataupun pada kedudukan jauf. Dan pori-pori kulit tidaklah termasuk dalam rongga terbuka secara uruf dan adat.

Dalam mazhab Syafii, illat batal puasa adalah masuk sesuatu ke dalam rongga terbuka, tanpa ada perbedaan pada zat yang masuk itu apakah bisa mengenyangkan atau tidak. Adapun masalah ia tidak merasakan lapar di siang harinya, sehingga menghilangkan maksud syara` dari disyariatkannya puasa, hal ini hanya menyebabkan hilangnya hikmah dar puasa tersebut.

Hikmah tidak sama seperti illat yang memiliki keterikatan erat dengan hukum (muththarid). Ketika hilangnya hikmah dari satu hukum ibadat belum tentu hukum tersebut akan ikut berubah. Sama halnya dengan seseorang yang berendam dalam air selama puasa sehingga masuk air ke dalam badannya melalui pori-pori kulitnya. Dan ia tidak merasakan lapar dan haus sedikitpun, puasanya tersebut tetap tidak batal.

Maka atas dasar pemahaman terhadap nash-nash kitab Fiqh Syafiiyah yang mu`tabarah dan dengan didukung penjelasan Syeikh Bakhit al-Muthi`i yang juga di kutip oleh Syeikh Ali Jumah maka kami tidak sependapat dengan penjelasan kitab Yaqut Nafis yang mengatakan bahwa ijmak ulama suntik zat makanan bisa membatalkan puasa dan juga keterangan kitab Taqrirat as-Sadidah bahwa pendapat yang kuat suntikan dengan memakai zat yang mengenyangkan membatalkan puasa.

Kami sependapat dengan penjelasan Syeikh Bakhit al-Muthi`y bahwa bahwa suntik zat makanan tidak membatalkan puasa. Bahkan beliau mengatakan hal tersebut berdasarkan kesepakatan mazhab yang empat. Hal ini juga dikuatkan dengan fatwa Abuya Muda Waly dalam Kitab Fatawa beliau, dimana beliau menjawabnya tanpa membedakan antara suntikan zat makanan dengan bukan zat makanan.

Teungku Helmi Abu Bakar El Lamkawi, dikutip dari: LBM MUDI
Read More