Tarbiyah.Online - Beberapa teman dari kalangan Salafi/ Wahabi menuliskan beberapa
status di berbagai sosial media yang mereka punya dengan makna yang hampir
senada, "Isra' dan Mi'raj diperingati, tapi Allah di Langit
diingkari."
Nah, dengan diketemukannya beberapa suara dan tulisan yang menurut
kami merupakan sebuah syubhat baru -sejauh yang kami ketahui- yang disasarkan oleh teman-teman Salafi ini,
teman-teman dari santri Aswaja, terutama komunitas pemuda Raisul Fata dan
At-Thalib meminta kepada kami untuk menuliskan sedikit tulisan, bisa berupa
pengumpulan kutipan dalil-dalil, perkataan ulama atau pun juga bantahan
analogi. Karena syubhat baru ini dinilai perlu direspon walau selakadar.
Pertama, hal yang ingin kita sampaikan adalah, kita belum
menemukan dalil tentang mukjizat peristiwa Isra' dan Mi'raj digunakan sebagai
dalil yang menyatakan Allah SWT di langit.
Klaim atau syubhat ini tidak diketemukan di zaman sebelumnya -sejauh pengetahuan kami-, jika
tidak pasti ia telah menjadi perbincangan ulama dalam memberi bantahan. Selama
ini kaum Salafi/Wahabi selalu berkutat dengan dalil Surah Thaha ayat 5 dan
hadits Nabi tentang seorang wanita yang ditanya oleh Nabi tentang Allah SWT
lalu dijawab di Langit.
Mengenai klaim tafsiran berdalilkan Ar-Rahman 'Alal 'Arsyi istawa
dan hadits tersebut, sungguh telah diuraikan dengan sangat panjang lebar oleh
Ulama Ahlussunnah Al Jama'ah, baik dari sisi bahasa, perbandingan serta
penggabungan berbagai ayat dan hadits yang dijadikan dalil, dengan takwilan yang tidak mengotori sifat kesucian Allah SWT.
Kedua, jika memang syubhat tersebut masih terus disasarkan kepada
kaum muslimin secara liar, maka perlu kita tanggapi sedikit. Bahwasanya, dalam
sejarah peristiwa luarbiasa yang disebut dengan Isra dan Mi'raj, tidak ada
satupun ulama yang menyatakan Allah berada di Sidratul Muntaha (di luar lapisan
langit ketujuh, tempat tertinggi yang bahkan Jibril, Mikail dan Israfil pun
tidak bisa mendekatinya). Melainkan itu adalah tempat dimana Nabi SAW menerima
wahyu tentang syari'at shalat 5 waktu dalam sehari semalam.
Adapun riwayat yang menceritakan tentang bolak-baliknya Nabi
Muhamad SAW ketika bernegosiasi (dari 50 waktu awalnya menjadi 5 waktu) di
langit ketiga ketika menjumpai Nabi Musa AS, sungguh tidak bisa serta merta
dijadikan dalil Allah bertempat. Melainkan, Rasulullah kembali ke tempat yang
mulia itu, karena disanalah tempat yang seharusnya Nabi Muhammad SAW menerima
wahyu berupa (belas kasih sifat Rahiim Allah) jawaban atas kegundahan dan
permintaan hati Rasulullah SAW demi umatnya.
Kenapa demikian?
Hal ini senada dengan apa yang dilakukan oleh Nabi Musa AS ketika
naik ke atas bukit Tursina yang amat sangat terjal, lalu memohon kepada Allah
untuk membuka hijab pandangannya (Musa AS) agar bisa melihat wujud Allah SWT
(hingga detail riwayat, gunung meleleh dalam sekejap karena tidak mampu menahan
cahaya Allah yang Agung padahal masih terhijab dengan puluhan hijab (ghaib)
Musa AS mendapatkan 10 ajaran utama dalam syari'atnya). Riwayat dan kisah Nabi
Musa AS yang berbicara dengan Allah SWT di bukit Tursina, tidak menjadikan Tursina
sebagai tempat yang ditempati oleh Allah SWT.
Sama halnya juga dengan kisah Nabi Ibrahim yang disebutkan dalam
Al Quran kisah agungnya, ketika ia ditanya hendak kemana, ia menjawab hendak
bertemu dengan Rabb nya, Allah SWT. Padahal, pada pandangan kasat mata, ia
beranjak ke Palestina, dimana Baitul Maqdis berada saat ini. -Q.S Ash-Shaffat:99-. Bukankah Baitul
Maqdis juga tidak dikatakan dimana Allah bertempat dan bersemayam. Demikian
juga dengan Ka'bah Baitullah yang jika diartikan dalam bahasa Indonesia sebagai
rumah Allah. Dan rumah adalah tempat dimana penghuninya tinggal disana.
Demikian, pemaknaan terhadap dalil, harus mengacu kepada kaidah
memaknai dalil -tafsir- yang tepat. Ia tidak bisa berada sendiri, atau direka-reka sesuka hati.
Ada masanya, akal bisa dijadikan dalil. Namun dalil 'aql (akal)
dituntut tidak boleh bertentangan dengan dalil naql (khabar: ayat quran dan
sunnah). Dalam keilmuan ahlussunnah wal jama'ah kajian tauhid dan kalam telah
dirumuskan dengan sangat rapi tanpa cacat melalui Sifat 20 atau I'tiqad 50,
dimana akal dan khabar berjalan beringan dan saling menguatkan.
Maka dari itu, syubhat yang menyatakan Isra' dan Mi'raj adalah
dalil bagi Allah mengambil tempat di langit telah tertolak dengan ayat-ayat
yang menceritakan mukjizat Nabi Musa AS di Tursina, dan perjalanan Nabi Ibrahim
AS ke Baitul Maqdis.
Aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah meyakini Allah Ada Tanpa Bertempat.
Karena baginya Laitsa Kamitslihi Syaiun (Tidak Serupa Bagaimana di (sesuatu
pun) dengan apa pun)
Wallahu 'alam bish-shawab.