TARBIYAH ONLINE: hikmah

Fiqh

Tampilkan postingan dengan label hikmah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label hikmah. Tampilkan semua postingan

Selasa, 21 Januari 2020

Kenal Ulama: Imam Ahmad Ar-Rifa’i, Karamah dan Kalam Hikmahnya

Januari 21, 2020

Tokoh Ulama | Imam Ahmad Ar-Rifa’i merupakan seorang wali quthub, Ulama Sufi yang menjadi tonggak thariqah dan tokoh para wali agung, beliau bernama lengkap Syaikh Sayyid Ahmad al-Rifa`i bin Sayyid `Ali, bin Sayyid Yahya, bin Sayyid Tsabit, bin Sayyid Hazim, bin Sayyid Ahmad, bin Sayyid Ali, bin Sayyid Hasan al-Rifa`ah.

Jika Nasabnya diteruskan, maka akan sampai kepada Sayyidina Husain, bin Sayyidina ‘Ali wa Sayyidatina Fatimah az-Zahra, binti Sayyidina Muhammad Rasulullah SAW.

Beliau dilahirkan hari Kamis pada pertengahan bulan Rajab tahun 512 H di Ummi Abidah, daerah yang berada diantara Bashrah dan Baghdad, yang masyhur di Irak

Pertama sekali belajar fikih madzhab Syafi’i pada pamannya sendiri, yang bernama Syekh Abu Bakar al-Wasiti al-Anshari. Beliau sempat mengajar kitab Tanbih, kemudian masuk  ke dunia Thariqah dan menempa dirinya dengan sungguh-sungguh.

Beliau meninggalkan kesenangan duniawi dan memusatkan perhatiannya pada ilmu thariqah, sehingga menjadi seorang wali agung dan sangat ahli dalam bidang ilmu thariqah.

Imam Ahmad Ar-Rifa’i memiliki banyak murid dan sahabat yang sangat menghormatinya. Menurut Syeikh Ibnu Khalkan dan lainnya, santri-santrinya terkenal dengan nama Rifa`iyah, memiliki hal-hal yang aneh dan menakjubkan

Imam Ahmad Ar-Rifa’i rahimahullah wafat pada waktu dhuhur, hari Kamis 12 Jumadil Ula tahun 578 H. Kalimat terakhir yang beliau ucapkan adalah:

أَشْهَدُ أَنْ لَآإِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ

Pada hari wafatnya Imam Ahmad Ar-Rifa’i, ribuan orang datang melayat. Beliau dikebumikan di kuburan Yahya al-Bukhari di Bukhara.

Kisah Karamahnya

* Syaikh Syamsuddin Sibtu bin al-Zauji dalam kitab Tarikhnya mengatakan, bahwa disamping Sayyid Ahmad Ar-Rifa’i yang memiliki berbagai karamah dan maqam/kedudukan, santri-santrinya juga luar biasa. Mereka terkadang menaiki binatang buas dan bermain-main dengan ular. Di antara mereka bahkan ada yang memanjat pohon kurma lalu menjatuhkan diri ke tanah, namun tak merasa sakit sedikitpun.

* Imam Ahmad Ar-Rifa’i sering melihat (Tajalli/tersingkap) Nur kebesaran Allah Swt. Dan ketika hal itu terjadi, dirinya pun meleleh seperti genangan air. Namun dengan berkat Kelembutan dan Kasih Sayang Allah SWT, beliau kembali mengeras sedikit demi sedikit sehingga kembali ke wujud semula. Lantas beliau pun berkata kepada para santrinya: “Sekiranya bukan karena kemurahan Allah SWT, sungguh aku tidak akan kembali pada kalian“.

* Jika ada orang yang meminta dituliskan azimat kepadanya, maka beliau mengambil kertas lalu menuliskannya dengan tangan kosong (tanpa pena/tinta).

* Suatu hari Imam Ahmad Ar-Rifa’i berangkat ke Mekkah untuk melaksanakan Haji, disaat berziarah ke Maqam Nabi Muhammad Saw, keluarlah tangan dari dalam kubur Nabi SAW lalu bersalaman dengan Imam Ahmad, lantas beliau pun mencium tangan yang mulia Nabi SAW. Kejadian tersebut dapat disaksikan oleh orang ramai yang juga berziarah ke Maqam Nabi Saw ketika itu.

* Ketika sedang mengajar di atas kursinya, Orang yang jauh sekalipun akan mendengar suara beliau seperti sedang berada di dekatnya. Bahkan, semua penduduk desa Ummi Abidah dan sekitarannya pun turut mendengar seperti berada di tempat pengajiannya. Hingga orang tuli pun apabila datang ke majelis pengajiannya, maka akan dibukakan pendengarannya oleh Allah SWT.

Beberapa Kalam Hikmahnya

1. Aku telah mencoba menempuh semua jalan menuju kepada Allah SWT. Namun tidak kutemukan jalan yang lebih mudah, lebih dekat dan lebih pantas selain dari kefakiran, kehinaan dan kesusahan.
Di antara tanda-tanda tenang bersama Allah SWT, adalah merasa resah ketika berada bersama orang-orang kecuali para wali. Sebab tenang bersama para waliyullah berarti tenang bersama Allah SWT.

2. Sesuatu yang lebih dekat dengan murka Allah SWT, adalah melihat (dengan penuh rasa bangga) pada diri sendiri, tingkah laku dan amal kebajikannya. Yang lebih parahnya lagi adalah meminta imbalan atas suatu amalan (ibadah)”.

Demikian biografi dan sejarah singkat Raja para Waliyullah, Imam Ahmad Ar-Rifa’i, serta beberapa karomah dan kalam hikmahnya. Semoga bermanfaat. Wallahua’lambisshawab!

(Referensi: Disarikan dari kitab Nur al-Abshar, Jami’ al-Karamat al-Auliya’, Thabaqat al-Kubra dan  Kitab A’lam al-Shufiyah)

Oleh Muhammad Haekal, Alumni Ponpes Moderen Babun Najah Banda Aceh | Santri di Dayah Raudhatul Hikmah Al-Waliyyah, Banda Aceh

Artikel ini telah tayang di Pecihitam.org
Read More

Rabu, 03 April 2019

Hikmah Shalat Maktubah yang Jumlahnya 17 Raka'at

April 03, 2019

Tarbiyah.Online | Shalat wajib lima waktu atau yang sering disebut dengan shalat maktubah juga shalat mafrudhah yang berarti shalat yang wajib dikerjakan, fardhu 'ain. Wajib disini bermakna wajib syar'i. Yakni, mendapat pahala ketika dikerjakan dan berdosa jika ditinggalkan.

Masing-masing shalat maktubah ini memiliki jumlah raka'at yang bervariasi. Dan jika dikalkulasikan bilangan raka'atnya maka jumlahnya ada tujuh belas (17raka'at.

Nah, pernahkah Anda bertanya kenapa shalat maktubah itu harus berjumlah lima waktu? Atau kenapa jumlah raka'atnya berbeda? Atau kenapa sehingga jumlah keseluruhan raka'atnya ada tujuh belas?

Jika tiga pertanyaan ini pernah terlintas di benak Anda, maka jawabannya adalah "fata'abbudy". Demikian jawaban simple dari Imam Syaikh Syihabuddin Al-Qulyuby dalam sebuah hasyiahnya.

Ta'abbudy itu sendiri berarti "Melakukan suatu ibadat semata-mata karena Allah tanpa didasari oleh alasan tertentu", red.

Pun demikian, terkait tujuh belas raka'at dari jumlah keseluruhan shalat maktubah, beliau, Imam Al-Qulyuby melanjutkan bahwa sebagian Ulama telah menyebutkan hikmah di sebaliknya. Yakni, dalam satu hari (24 jam) manusia berada dalam keadaan terjaga (yaqdhah) selama 17 jam. Dengan rincian 12 jam pada waktu siang hari, sekitar 3 jam pada awal waktu malam, dan 2 jam pada penghujung malam (menjelang subuh).

Maka (hikmahnya adalah) setiap satu raka'at shalat maktubah dapat menghapus dosa yang terjadi dalam durasi satu jam. Alhasil, tujuh belas (17raka'at shalat maktubah yang kita kerjakan dapat menghapus dosa yang terjadi dalam durasi tujuh belas jam dalam satu hari, insyaAllah.

Subhanallah. Demikianlah hikmahnya.

Tetapi jangan lupa, perlu digarisbawahi bahwa dosa yang diampuni disini hanyalah dosa-dosa kecil, tidak dengan dosa besar, tidak pula dengan dosa terhadap manusia. Karena dosa besar hanya bisa terhapus dengan tetesan air mata taubat nasuha, dan dosa sesama manusia hanya bisa terhapus dengan meminta maaf kepada manusia.

Kecuali itu, meninggalkan shalat maktubah adalah dosa besar. Dan orang yang tidak shalat sama derajatnya dengan binatang "ghairu muhtaram" alias binatang yang tidak terhormat. Dimana dalam kasus terntentu misalkan ketika sedang berlayar di tengah samudera, sedang kapal hampir karam karena kelebihan muatannya, maka orang yang tidak melakukan shalat lah yang harus didahulukan untuk disingkirkan, atau dilempar ke lautan hidup-hidup, guna menyelamatkan yang lainnya. (Adak surah lam kapai yang ineuk ngop karna leubeh muatan, maka "ureung hana seumayang" phon yang wajeb tatiek lam laot).

Dikutip dari kitab Mahli (Hasyiah Qulyubi) oleh Tgk. Muhammad Yusuf Aree, S.Sos.
Pengajar di Dayah Ummul Ayman, Samalanga.
Read More

Sabtu, 14 April 2018

MI'RAJ TIDAK MENUNJUKKAN ALLAH BERTEMPAT DI LANGIT

April 14, 2018
Tarbiyah.OnlineBeberapa teman dari kalangan Salafi/ Wahabi menuliskan beberapa status di berbagai sosial media yang mereka punya dengan makna yang hampir senada, "Isra' dan Mi'raj diperingati, tapi Allah di Langit diingkari."


Nah, dengan diketemukannya beberapa suara dan tulisan yang menurut kami merupakan sebuah syubhat baru -sejauh yang kami ketahui- yang disasarkan oleh teman-teman Salafi ini, teman-teman dari santri Aswaja, terutama komunitas pemuda Raisul Fata dan At-Thalib meminta kepada kami untuk menuliskan sedikit tulisan, bisa berupa pengumpulan kutipan dalil-dalil, perkataan ulama atau pun juga bantahan analogi. Karena syubhat baru ini dinilai perlu direspon walau selakadar.

Pertama, hal yang ingin kita sampaikan adalah, kita belum menemukan dalil tentang mukjizat peristiwa Isra' dan Mi'raj digunakan sebagai dalil yang menyatakan Allah SWT di langit.

Klaim atau syubhat ini tidak diketemukan di zaman sebelumnya -sejauh pengetahuan kami-, jika tidak pasti ia telah menjadi perbincangan ulama dalam memberi bantahan. Selama ini kaum Salafi/Wahabi selalu berkutat dengan dalil Surah Thaha ayat 5 dan hadits Nabi tentang seorang wanita yang ditanya oleh Nabi tentang Allah SWT lalu dijawab di Langit.

Mengenai klaim tafsiran berdalilkan Ar-Rahman 'Alal 'Arsyi istawa dan hadits tersebut, sungguh telah diuraikan dengan sangat panjang lebar oleh Ulama Ahlussunnah Al Jama'ah, baik dari sisi bahasa, perbandingan serta penggabungan berbagai ayat dan hadits yang dijadikan dalil, dengan takwilan yang tidak mengotori sifat kesucian Allah SWT.
 
Kedua, jika memang syubhat tersebut masih terus disasarkan kepada kaum muslimin secara liar, maka perlu kita tanggapi sedikit. Bahwasanya, dalam sejarah peristiwa luarbiasa yang disebut dengan Isra dan Mi'raj, tidak ada satupun ulama yang menyatakan Allah berada di Sidratul Muntaha (di luar lapisan langit ketujuh, tempat tertinggi yang bahkan Jibril, Mikail dan Israfil pun tidak bisa mendekatinya). Melainkan itu adalah tempat dimana Nabi SAW menerima wahyu tentang syari'at shalat 5 waktu dalam sehari semalam.

Adapun riwayat yang menceritakan tentang bolak-baliknya Nabi Muhamad SAW ketika bernegosiasi (dari 50 waktu awalnya menjadi 5 waktu) di langit ketiga ketika menjumpai Nabi Musa AS, sungguh tidak bisa serta merta dijadikan dalil Allah bertempat. Melainkan, Rasulullah kembali ke tempat yang mulia itu, karena disanalah tempat yang seharusnya Nabi Muhammad SAW menerima wahyu berupa (belas kasih sifat Rahiim Allah) jawaban atas kegundahan dan permintaan hati Rasulullah SAW demi umatnya.


Kenapa demikian?
Hal ini senada dengan apa yang dilakukan oleh Nabi Musa AS ketika naik ke atas bukit Tursina yang amat sangat terjal, lalu memohon kepada Allah untuk membuka hijab pandangannya (Musa AS) agar bisa melihat wujud Allah SWT (hingga detail riwayat, gunung meleleh dalam sekejap karena tidak mampu menahan cahaya Allah yang Agung padahal masih terhijab dengan puluhan hijab (ghaib) Musa AS mendapatkan 10 ajaran utama dalam syari'atnya). Riwayat dan kisah Nabi Musa AS yang berbicara dengan Allah SWT di bukit Tursina, tidak menjadikan Tursina sebagai tempat yang ditempati oleh Allah SWT.

Sama halnya juga dengan kisah Nabi Ibrahim yang disebutkan dalam Al Quran kisah agungnya, ketika ia ditanya hendak kemana, ia menjawab hendak bertemu dengan Rabb nya, Allah SWT. Padahal, pada pandangan kasat mata, ia beranjak ke Palestina, dimana Baitul Maqdis berada saat ini. -Q.S Ash-Shaffat:99-. Bukankah Baitul Maqdis juga tidak dikatakan dimana Allah bertempat dan bersemayam. Demikian juga dengan Ka'bah Baitullah yang jika diartikan dalam bahasa Indonesia sebagai rumah Allah. Dan rumah adalah tempat dimana penghuninya tinggal disana.

Demikian, pemaknaan terhadap dalil, harus mengacu kepada kaidah memaknai dalil -tafsir- yang tepat. Ia tidak bisa berada sendiri, atau direka-reka sesuka hati.

Ada masanya, akal bisa dijadikan dalil. Namun dalil 'aql (akal) dituntut tidak boleh bertentangan dengan dalil naql (khabar: ayat quran dan sunnah). Dalam keilmuan ahlussunnah wal jama'ah kajian tauhid dan kalam telah dirumuskan dengan sangat rapi tanpa cacat melalui Sifat 20 atau I'tiqad 50, dimana akal dan khabar berjalan beringan dan saling menguatkan.

Maka dari itu, syubhat yang menyatakan Isra' dan Mi'raj adalah dalil bagi Allah mengambil tempat di langit telah tertolak dengan ayat-ayat yang menceritakan mukjizat Nabi Musa AS di Tursina, dan perjalanan Nabi Ibrahim AS ke Baitul Maqdis.

Aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah meyakini Allah Ada Tanpa Bertempat. Karena baginya Laitsa Kamitslihi Syaiun (Tidak Serupa Bagaimana di (sesuatu pun) dengan apa pun)

Wallahu 'alam bish-shawab.
Read More