TARBIYAH ONLINE

Fiqh

Senin, 27 April 2020

Ketahuilah 40 Sunnah di Bulan Ramadhan, Biar Puasa mu Tambah Berkah (3)

April 27, 2020

Fiqh Puasa | Al Habib Segaf bin Ali Alaydrus dalam kitabnya “Ithaful Ikhwan” menyebutkan 40 sunah di Bulan Ramadhan. Berikut intisarinya:

21. Mencari-cari dan memperhatikan orang yang membutuhkan 

Rasulullah SAW mensifati Bulan Ramadhan dengan Syahr Muwasah, bulan untuk saling membantu sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya. Mencari-cari dan memperhatikan fakir miskin dan memenuhi kebutuhan orang yang membutuhkan orang yang membutuhkan adalah ketaatan yang paling utama dan kebaikan yang paling indah. Di dalam hadits dikatakan:

وَأَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ سُرُورٍ تُدْخِلُهُ عَلَى مُسْلِمٍ ، أَوْ تَكْشِفُ عَنْهُ كُرْبَةً ، أَوْ تَقْضِي عَنْهُ دِينًا ، أَوْ تُطْرَدُ عَنْهُ جُوعًا ،

Amalan yang paling dicintai oleh Allah SWT adalah kebahagiaan yang engkau masukan ke dalam hati seorang muslim, atau engkau menyingkirkan darinya kesusahanya, atau engkau mengusir rasa lapar darinya, atau engkau melunasi hutangnya. (HR Thabrani)

22. Bagi lelaki disunahkan beritikaf di masjid

Kesunahan itikaf baik di siang atau malam Ramadhan lebih ditekankan. Termasuk petunjuk Nabi SAW adalah bahwa beliau bertikaf dan menganjurkan untuk melaksanakannya. Sahabat Anas RA mengatakan bahwa ia mendengar Nabi SAW bersabda:

من اعتكف يوما ابتغاء وجه الله جعل الله بينه وبين النار ثلاث خنادق ، كل خندق أبعد مما بين الخافقين

Siapa yang beritikaf sehari karena mengharapkan keridhoan Allah SWT, maka Allah akan menjadikan tiga parit yang menghalanginya dari neraka. Setiap parit lebarnya melebihi dua ufuk langit. (HR Thabrani dalam Ausath, al Baihaqi, dan Hakim beliau mengatakan isnadnya shahih)

Para ulama mengatakan kesunahan itikaf di sepuluh malam terakhir dari Ramadhan lebih ditekankan dan lebih utama untuk meneladani Nabi SAW dan mencari malam Lailatul Qodar.

23. Meninggalkan perdebatan, perselisihan dan saling caci

Semua itu disunahkan di setiap saat tapi di saat berpuasa kesunahannya menjadi lebih kuat. Di dalam hadits dikatakan:

الصِّيَامُ جُنَّةٌ فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَجْهَلْ وَإِنْ امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ مَرَّتَيْنِ

Puasa adalah benteng. Jika salah seorang dari kalian berpuasa maka janganlah berkata kasar, jangan pula berbuat bodoh. Jika ada seorang yang berselisih dengannya atau mencelanya katakanlah “Aku tengah berpuasa” dua kali. (HR Bukhari-Muslim)

Dalam hadits lain dikatakan:

ليس الصيام من الأكل والشرب ، إنما الصيام من اللغو والرفث

Puasa itu bukanlah sekedar dari makan dan minum, melainkan dari ucapan sia-sia dan ucapan kotor. (HR Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban)

Para ulama berkata: Seyogyanya bagi seorang muslim untuk meninggalkan ucapan mubah yang tidak berfaidah dan tidak bermanfaat bagi agama dan dunianya, hendaknya ia menyibukan lisannya dengan dzikir dan istigfar.

24. Meninggalkan perbuatan yang tidak berguna

Sebagaimana dianjurkan meninggalkan ucapan yang tidak berfaidah walaupun mubah, begitupula dianjurkan meninggalkan perbuatan mubah yang tidak bermanfaat dan tidak ada kebaikan di dalamnya. Nabi SAW bersabda:

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

Siapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta dan perbuatannya maka Allah tidak peduli ia meningalkan makanan dan minumannya. (HR Bukhari )

25. Meninggalkan berbekam dan cantuk

Ini karena bekam dan cantuk dapat membuat lemas orang yang berpuasa. Sahabat Anas RA pernah ditanya, “Apakah kalian tidak menyukai berbekam bagi orang puasa?”  Beliau menjawab:

لَا إِلَّا مِنْ أَجْلِ الضَّعْفِ

Beliau menjawab “Tidak, kecuali bahwa itu dapat menyebabkan lemah.” (HR Bukhari)

Termasuk hal itu adalah pengambilan darah (donor) dikatakan itu akan melemaskan orang yang berpuasa.

26. Segera mandi junub sebelum shubuh

Disunahkan bagi yang akan berpuasa agar segera mandi junub sebelum masuk Waktu Shubuh. Ini adalah sunah bukan wajib untuk keluar dari khilaf ulama yang mengatakan bahwa puasa batal karena junub dengan dalil hadits Nabi SAW:

مَنْ أَدْرَكَهُ الْفَجْرُ جُنُبًا فَلَا يَصُمْ

Siapa yang datang waktu fajar dalam keadaan junub maka tidak ada puasa baginya. (HR Bukhari-Muslim)

Hadits ini hukumnya telah dihapus. Dalil bolehnya mengakhirkan mandi junub setelah masuk waktu shubuh adalah hadits Sayidah Aisyah dan Ummu Salamah RA, keduanya berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيُصْبِحُ جُنُبًا مِنْ جِمَاعٍ غَيْرِ احْتِلَامٍ فِي رَمَضَانَ ثُمَّ يَصُومُ

Pernah Nabi SAW berpagi hari dalam keadaan junub karena bersetubuh bukan karena mimpi di Bulan Ramadhan kemudian beliau berpuasa. (HR Bukhari-Muslim)

27. Tidak berlebihan dalam makan dan minum

Hendaknya orang yang berpuasa memperhatikan kesederhanaan dalam berbuka dan makan sahur jangan sampai terlalu kenyang. Sebab maksud dari puasa adalah agar kita dapat menahan syahwat terhadap makanan, minuman dan lainnya.

28. Berumrah di Bulan Ramadhan jika mampu

Dalam Hadits disebutkan bahwa Nabi SAW bersabda:

فَإِنَّ عُمْرَةً فِي رَمَضَانَ تَقْضِي حَجَّةً أَوْ حَجَّةً مَعِي

Umrah di bulan ramadhan sebanding dnegan haji, dalam riwayat lain :sebanding dengan haji bersamaku. (HR Bukhari)

Renungkan bagaimana umrah yang perbuatannya sangat mudah dan sedikit dapat sebanding dengan haji yang hanya sebagian saja yang mampu. Terlebih bahwa di dalamnya terdapat anjuran yang agung dengan disebutkan sebanding dengan haji bersama Rasulullah SAW.

29. Disunahkan berusaha untuk mendapatkan malam Lailatul Qadar

Dalam hadits dikatakan:

تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْوِتْرِ مِنْ الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ

Carilah malam Lailatul Qodar di sepuluh malam terakhir dari Ramadhan (HR Bukhari-Muslim)

Mencarinya dengan cara bersemangat memakmurkan sepuluh malam itu dengan ibadah dengan memperhatikan shalat tarawih di masjid sampai selesai, dan juga dengan melaksanakan Shalat Isya dan Shubuh secara berjamaah disertai melazimi dzikir-dzikir, doa-doa dan tilawah al Quran. Jika ia melakukan itu setiap malamnya pasti ia mendapatkan malam Lailatul Qodar.

30. Disunahkan memperbanyak doa di bulan Ramadhan secara umum, dan di sepuluh hari terakhir secara khusus

Terlebih doa :

اللَّهُمَّ إِنَّكَ عُفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي

Ya Allah sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf dan mencintai maaf maka maafkanlah kami. (HR Turmudzi)

Ini adalah doa yang dianjurkan oleh Nabi SAW kepada Sayidah Aisyah RA untuk diperbanyak di Malam Lailatul Qadar. Maka perbanyaklah doa ini terutama di sepuluh malam terakhir Ramadhan.


Secara umum hendaknya kaum muslim bersemangat melakukan semua amal shaleh dan ketaatan dan memperbanyaknya. Di dalam hadits dikatakan:

من تقرب فيه بخصلة من الخير كان كمن أدى فريضة فيما سواه ومن أدى فيه فريضة كان كمن أدّى سبعين فريضة فيما سواه

Siapa yang melakukan satu kebaikan (sunah) di dalamnya (Ramadhan) maka ia seperti orang yang melakukan perbuatan wajib di bulan lain. Dan siapa yang melakukan perbuatan wajib maka ia seperti orang yang melakukan tujuh puluh perbuatan wajib di bulan lain. (HR Ibnu Khuzaimah)


Semoga Allah memberikan petunjuk agar kita dapat melakukan perbuatan yang dicintai Allah dan membuat-Nya ridho. Semoga Allah menyampaikan kita ke puncak keridhaan-Nya. Semoga Allah mengajarkan kepada kita apa yang bermanfaat bagi kita, dan memberikan manfaat kepada kita atas apa yang telah diajarkan oleh-Nya. Aamiin Ya Rabbal `alamin. Dan semoga shalawat serta salam terlimpah kepada Nabi Muhammad SAW, para sahabatnya, keluarganya serta yang mengikuti mereka dalam kebaikan sampai hari kiamat. Aamiin.
Read More

Ketahuilah 40 Sunnah di Bulan Ramadhan, Biar Puasa mu Tambah Berkah (2)

April 27, 2020

Fiqh Puasa | Al Habib Segaf bin Ali Alaydrus dalam kitabnya “Ithaful Ikhwan” menyebutkan 40 sunah di Bulan Ramadhan. Berikut intisarinya:

11. Memberi makanan berbuka bagi yang berpuasa 

Sunah menyediakan makanan berbuka (takjil) untuk orang yang berpuasa. Sahabat Zaid bin Khalid al Juhani RA meriwayatkan sabda Nabi SAW:

 مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لَا يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا

Siapa yang memberikan makanan berbuka bagi orang yang berpuasa maka ia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang berpuasa itu tanpa mengurangi sedikit pun pahalanya. (HR Turmudzi dan Nasai)

Para ulama mengatakan, pahala ini didapatkan walaupun dengan hanya memberikan makanan yang sedikit untuk orang yang berpuasa, namun lebih sempurna lagi jika ia memberikan makanan yang dapat mengenyangkannya. Di dalam hadits dikatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda:

مَنْ فَطَّرَ فِيهِ صَائِماً كَانَ مَغْفِرَةً لِذُنُوبِهِ وَعِتْقَ رَقَبَتِهِ مِنَ النَّارِ ، وَكَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْتَقِصَ مِنْ أَجْرِهِ شَيْءٌ » ، قَالُوا : لَيْسَ كُلُّنَا نَجِدُ مَا يُفَطِّرُ الصَّائِمَ ، فَقَالَ : « يُعْطِي اللهُ هَذَا الثَّوَابَ مَنْ فَطَّرَ صَائِماً عَلَى تَمْرَةٍ ، أَوْ شُرْبَةِ مَاءٍ ، أَوْ مِذْقَةِ لَبَنٍ

“Siapa yang menyediakan makanan berbuka untuk orang yang berpuasa maka itu adalah penghapus dosanya, dapat memerdekakannya dari api neraka, dan ia mendapatkan pahala seperti pahala orang yang berpuasa itu tanpa mengurangi sedikit pun pahalanya.”

Para sahabat bertanya, “Tidak semua dari kita mampu memberikan makanan untuk orang yang berpuasa.” Maka Nabi SAW bersabda: “Allah memberikan pahala ini bagi orang yang menyediakan makanan berbuka untuk orang yang berpuasa walau pun hanya dengan sebutir kurma, seteguk air atau sehisap susu.” (HR Ibnu Khuzaimah)

Usahakan dengan sungguh-sungguh agar niatnya dalam memberi makanan itu adalah untuk mengikuti sunah Nabi SAW dan mendapatkan pahala bukan sekedar  adat yang berlangsung setiap tahun.

12. Disunahkan bagi yang berbuka di rumah atau tempat orang lain, untuk mendoakan pemilik rumah

Doakan dengan doa yang datang dalam hadits Nabi SAW. Nabi SAW pernah berbuka di kediaman Sahabat Saad bin Ubadah RA, maka Nabi SAW berdoa:

أَفْطَرَ عِنْدَكُمْ الصَّائِمُونَ وَأَكَلَ طَعَامَكُمْ الْأَبْرَارُ وَصَلَّتْ عَلَيْكُمْ الْمَلَائِكَةُ

Orang-orang yang berpuasa telah berbuka di tempat kalian, orang-orang yang baik telah memakan makanan kalian, dan semoga malaikat bershalawat kepada kalian. (HR Abu Dawud)

13. Menghidupkan malam Ramadhan dengan ibadah

Disunahkan menghidupkan malam-malam Ramadhan dengan ibadah, yaitu dengan shalat Tarawih dan Witiir. Ini adalah ibadah yang sangat agung pahalanya dan termasuk salah satu dari syiar (symbol) dari syiar-syiar Ramadhan. Rasulullah SAW selalu menganjurkan para sahabatnya untuk shalat di malam Ramadhan. Beliau SAW bersabda:

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Siapa yang shalat (tarawih) di bulan Ramdhan karena dasar iman dan mengharapkan pahala maka dosa-dosanya yang terdahulu akan diampuni. (HR Bukhari dan Muslim)

Dalam hadits lain disebutkan bahwa Nabi SAW bersabda:

إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى فَرَضَ صِيَامَ رَمَضَانَ عَلَيْكُمْ وَسَنَنْتُ لَكُمْ قِيَامَهُ فَمَنْ صَامَهُ وَقَامَهُ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا خَرَجَ مِنْ ذُنُوبِهِ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ

Sesungguhnya Allah mewajibkan puasa Ramadhan dan aku sunahkan bagi kalian shalatnya (Tarawih). Siapa yang berpuasa Ramadhan dan melaksanakan shalatnya karena iman dan mengharapkan pahala maka ia keluar dari dosa-dosanya seperti hari ketika ibunya melahirkannya. (HR Nasai)

Para ulama mengatakan bahwa pahala ini dikhususkan hanya untuk mereka yang melaziminya setiap malam. Maka tidak selayaknya bagi orang yang bersemangat memburu kebaikan untuk meninggalkan shalat tarawih. Jika ia tidak mampu melakukannya secara sempurna di satu dari malam-malanya karena suatu udzur, sakit atau bepergian maka shalatlah semampunya walau hanya delapan rakaat. Di dalam hadits dikatakan:

إذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ

Jika aku memerintahkan kalian dengan suatu perintah, laksanakanlah semampu kalian. (HR Bukhari dan Muslim)

14. Membaca Al-Quran

Disunahkan untuk memperbanyak membaca Al-Quran di sepanjang Bulan Ramadhan yang mulia ini, sebab ini adalah Bulan Al Quran. Hendaknya ia dapat mengkhatakamkan Al-Quran di dalam bulan ini beberapa kali sebagaimana yang dilakukan para salaf. Imam Manshur bin Zadan RA dalah satu Tabiin yang ahli ibadah mengkhatamkan al Quran dua kali lebih di waktu antara Maghrib dan Isya. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dawud dengan sanad shahih bahwa Imam Mujahid RA mengkhataman Al Quran di Bulan Ramadhan di antara Maghrib dan Isya. Begitulah sebagaimana dituliskan dalam kitab Al Adzkar karya Imam Nawawi.

15. Tadabbur AlQuran dan Tartil dalam membacanya

Hendaknya ia memperhatikan agar merenungi makna al Quran yang dibacanya dan membacanya dengan tartil. Sebab maksud dari membaca al Quran adalah untuk merenungi maknanya dan mengambil pelajaran dan nasihat yang terkandung di dalamnya. Allah SWT berfirman:

كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آَيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ

Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran. (QS Shaad: 29)

Ibu Abbas RA mengatakan: “Membaca satu Surat dengan tartil lebih aku sukai daripada membaca seluruh al Quran tanpa tartil.”

Imam Mujahid RA pernah ditanya mengenai dua orang lelaki. Yang pertama membaca surat Al Baqarah dan Ali Imran sedangkan yang satu hanya membaca Al Baqarah saja. Waktu membacanya sama, rukuk keduanya sama, sujud keduanya sama, duduk keduanya sama. Maka beliau mengatakan, “Yang membaca al Baqarah saja itu yang lebih utama.”

16. Mudarasah/ Tadarus (Saling menyimak al Quran)

Nabi SAW menyodorkan bacaan Al Qurannya kepada Malaikat Jibril AS setiap malam di bulan Ramadhan. Imam Nawawi dalam kitab Majmuknya mengatakan, “Ulama Syafiiyah mengatakan bahwa hukumnya sunah untuk memperbanyak membaca al Quran di bulan Ramadhan dan mudarasah Al Quran. Mudarosah adalah membacakan al Quran kepada orang lain, lalu orang itu membacakan al Quran untuknya.”

Hikmah disunahkannya mudarasah adalah karena lebih dapat mentadaburi al Quran dan memahami makna-maknanya yang agung.

17. Istiqamah menghadiri majlis ilmu

Hendaknya orang yang berpuasa melazimi untuk selalu hadir dalam majlis ilmu, dzikir dan fiqih. Pahalanya sangat besar dan agung. Ibnu Abbas Ra mengatakan:

وَكَانَ أَجْوَدُ مَا يَكُونُ فِي رَمَضَانَ حِينَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ وَكَانَ يَلْقَاهُ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ

Rasulullah SAW lebih dermawan di Bulan Ramadhan ketika bertemu dengan Jibril. Dan Jibril menemuninya setiap malam kemudian melakukan mudarosah al Quran. (HR Bukhari-Muslim)

Para ulama mengambil kesimpulan dari hadits ini disyariatkannya pula berdiskusi dalam kebaikan dan ilmu.

18. Menjaga waktu untuk dzikir

Hendaknya orang yang berpuasa sangat memperhatikan waktunya dan memakmurkanya dengan dzikir kepada Allah. Hendaknya ia menentukan wakktu-waktu untuk beristigfar, bertasbih, bertahlil, berhamdalah, bershalawat kepada Nabi SAW dan lainnya. Termasuk dzikir-dzikir yang diajarkan Nabi adalah:

أَشْهَدُ أَلَّا إِلَهَ إِلَّا اللهُ أَسْتَغْفِرُ اللهَ نَسْأَلُكَ الْجَنَّةَ وَنَعُوذُ بِكَ مِنَ النَّارِ

Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, aku memohon ampunan kepada Allah. Kami memohon surga kepada-Mu dan meminta perlindungan kepada-Mu dari neraka.

Dalam hadits dikatakan bahwa Nabi SAW bersabda:

وَاسْتَكْثِرُوا فِيهِ مِنْ أَرْبَعِ خِصَالٍ: خَصْلَتَيْنِ تُرْضُونَ بِهِمَا رَبَّكُمَ ، وَخَصْلَتَيْنِ لَا غِنَى بِكُمْ عَنْهُمَا ، فَأَمَّا الْخَصْلَتَانِ اللَّتَانِ تُرْضُونَ بِهِمَا رَبَّكُمْ : فَشَهَادَةُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ ، وَتَسْتَغْفِرُونَهُ ، وَأَمَّا اللَّتَانِ لَا غِنَى بِكُمْ عَنْهُمَا : فَتَسْأَلُونَ اللهَ الْجَنَّةَ ، وَتَعُوذُونَ بِهِ مِنَ النَّارِ

Perbanyaklah di dalamnya (di dalam Ramadhan) empat hal. Dua hal dapat membuat Tuhan kalian ridho dan dua hal lain adalah hal yang pasti kalian butuhan. Dua hal pertama yang dapat membuat Tuhan kalian Ridho adalah bersyahadat bahwa Tiada Tuhan selain Allah dan beristigfar kepada-Nya. Dan dua hal yang pasti kalian butuhkan adalah kalian meminta surga kepada Allah dan berlindung kepada-Nya dari neraka. (HR Ibnu Khuzaimah)

19. Berdoa di malam dan siang hari

Hendaknya orang yang berpuasa banyak berdoa di siang hari Ramadhan dan di malam harinya. Orang yang berpuasa termasuk salah satu dari orang yang tidak tertolak doanya. Dalam hadits dikatakan:

Ada tiga hal yang merupakan kepastian bagi Allah untuk tidak menolak doa mereka. Orang yang berpuasa sampai berbuka, orang yang dizalimi sampai mendapatkan haknya, orang yang bepergian sampai kembali. (HR Bazzar)

Puasa juga termasuk kondisi dimana doa disunahan, begituمah pula bulan Ramadhan bulan dikabulkannya doa. Nabi SAW bersabda:

أتاكم رمضان شهر بركة ، فيه خير يغشيكم الله  فيه ، فتنزل الرحمة ، وتحط الخطايا ، ويستجاب فيه الدعاء ،

Telah datang kepada kalian Ramadhan, bulan penuh berkah yang Allah limpahkan kebaikan kepada kalian di dalamnya. Bulan dimana rahmat diturunkan, kesalahan-kesalahan dihapus dan doa di dalamnya dikabulkan. (HR Thabrani)

Imam Nawawi RA dalam Majmu menyebutkan:

“Disunahkan bagi orang yang berpuasa untuk berdoa ketika ia berpuasa dengan hal-hal penting yang terkait dengan akhirat dan dunnianya untuk dirinya sendiri dan untuk orang yang ia cintai serta untuk umat Islam.”

20. Melebihkan nafkah untuk keluarga

Disunahkan bagi seorang muslim untuk melebihkan nafkah keluarganya di Bulan Ramadhan jika Allah membuatnya mampu. Nabi SAW adalah manusia yang paling dermawan, dan beliau lebih dermawan di Bulan Ramadhan.

Ibnu Abbas mengatakan:

كَانَ أَجْوَدُ مَا يَكُونُ فِي رَمَضَانَ حِينَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ

Rasulullah SAW lebih dermawan di Bulan Ramadhan ketika bertemu dengan Jibril. (HR Bukhari-Muslim)

Imam Nawawi dalam Majmu mengatakan:

“Al Mawardi mengatakan: disunahan bagi lelaki untuk melebihkan nafkah bagi keluarganya di Bulan Ramadhan. Dan berbuat baik kepada kerabat serta tetangga-tetangganya terlebih di sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan. “

Orang islam ketika ia berderma di bulan Ramadhan dan memberikan nafakah yang lebih banyak kepada keluarganya ia tengah mengikuti tuntunan Nabi SAW.

Secara umum hendaknya kaum muslim bersemangat melakukan semua amal shaleh dan ketaatan dan memperbanyaknya. Di dalam hadits dikatakan:

من تقرب فيه بخصلة من الخير كان كمن أدى فريضة فيما سواه ومن أدى فيه فريضة كان كمن أدّى سبعين فريضة فيما سواه

Siapa yang melakukan satu kebaikan (sunah) di dalamnya (Ramadhan) maka ia seperti orang yang melakukan perbuatan wajib di bulan lain. Dan siapa yang melakukan perbuatan wajib maka ia seperti orang yang melakukan tujuh puluh perbuatan wajib di bulan lain. (HR Ibnu Khuzaimah)

Semoga Allah memberikan petunjuk agar kita dapat melakukan perbuatan yang dicintai Allah dan membuat-Nya ridha. Semoga Allah menyampaikan kita ke puncak keridhaan-Nya. Semoga Allah mengajarkan kepada kita apa yang bermanfaat bagi kita, dan memberikan manfaat kepada kita atas apa yang telah diajarkan oleh-Nya. Aamiin Ya Rabbal `alamin. Dan semoga shalawat serta salam terlimpah kepada Nabi Muhammad SAW, para sahabatnya, keluarganya serta yang mengikuti mereka dalam kebaikan sampai hari kiamat.

Aamiin.
Read More

Ketahuilah 40 Sunnah di Bulan Ramadhan, Biar Puasa mu Tambah Berkah (1)

April 27, 2020

Fiqh Puasa | Al Habib Segaf bin Ali Alaydrus dalam kitabnya “Ithaful Ikhwan” menyebutkan 40 sunah di Bulan Ramadhan. Berikut intisarinya:

1. Makan Sahur

Disunahkan bagi yang akan berpuasa untuk makan sahur. Telah banyak hadits yang menganjurkanm untuk melakukan sahur dan menjelaskan bahwa di dalam makanan sahur terdapat keberkahan. Rasulullah SAW bersabda:

 تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السُّحُورِ بَرَكَةً

Bersahurlah karena di dalam sahur terdapat keberkahan. (HR Bukhari-Muslim)

Makanlah sahur walaupun sedikit Rasulullah SAW bersabda:

السَّحُورُ أَكْلُهُ بَرَكَةٌ فَلَا تَدَعُوهُ وَلَوْ أَنْ يَجْرَعَ أَحَدُكُمْ جُرْعَةً مِنْ مَاءٍ فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الْمُتَسَحِّرِينَ

Makan sahur itu memaannya adalah berkah. Maka jangan kalian tinggalkan walaupun hanya dengan meminum seteguk air. Karena Allah SWT dan para malaikat-Nya bershalawat bagi orang-orang yang sahur. (HR Ahmad)

2. Disunahkan untuk menjadikan kurma sebagai salah satu menu sahur

Nabi SAW bersabda:

 نِعْمَ سَحُورُ الْمُؤْمِنِ التَّمْرُ

Sebaik-baiknya makanan sahur orang beriman adalah kurma. (HR Abu Dawud dan Ibnu Hibban dan Shahihnya)

3. Mengakhirkan sahur 

Disunahkan mengakhirkan makan sahur sampai mendekati Waktu Shubuh asalkan jangan terlalu akhir sehingga kita ragu apakah waktu sahur masih tersisa atau tidak.

Rasulullah SAW bersabda:

لَا تَزَالُ أُمَّتِي بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْإِفْطَارَ وَأَخَّرُوا السُّحُورَ

Umatku akan selalu berada dalam kebaikan selama menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur. (HR Ahmad)

Adapun mengakhirkan sahur sampai ragu apakah waktu sahur masih ada, itu tidak dianjurkan. Waktu sahur di mulai sejak tengah malam (Yaitu pertengahan antara waktu Maghrib dan waktu Shubuh) sampai sebelum Fajar.

4. Menentukan waktu imsak (jarak antara selesai sahur dan adzan shubuh)

Disunahkan untuk membuat jarak waktu pemisah antara  waktu sahur dan adzan Shubuh  (waktu imsak). Jangan sampai ia masih makan sahur ketika Adzan Shubuh berkumandang. Sahabat Anas RA menceritakan bahwa Sahabat Zaid bin Tasbit RA mengatakan:

تَسَحَّرْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ قُلْتُ كَمْ كَانَ بَيْنَ الْأَذَانِ وَالسَّحُورِ قَالَ قَدْرُ خَمْسِينَ آيَةً

“Kami sahur bersama Nabi SAW, setelah itu kami shalat.” Aku (Sahabat Anas) bertanya: “Berapa jarak antara adzan dan sahurnya?” Dijawabnya, “Seukuran 50 ayat.” Jawabnya. (HR Bukhari-Muslim)

Sebagian ulama mengirakan bahwa ukuran 50 ayat adalah 15-20 menit. Maka hendaknya berhenti makan sahur lima belas menit sebelum adzan shubuh.

Pemisahan ini adalah bentuk kehati-hatian dalam beribadah. Dan hati-hati dalam ibadah itu dianjurkan berdasarkan sabda Nabi SAW:

دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيبُكَ

Tinggalkan apa yang membuatmu ragu, kepada apa yang tidak membuatmu ragu. (HR Ahmad)

5. Berkumpul untuk sahur

Sunah bersahur bersama-sama.  Ini berdasarkan hadits Zaid bin Tsabit di atas :

تَسَحَّرْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قُمْنَا إِلَى الصَّلَاةِ

Kami sahur bersama dengan Rasulullah SAW kemudian kami shalat. (HR Bukhari-Muslim)

Selain itu berkumpul dalam menyantap makanan itu adalah berkah. Di dalam hadits dikatakan:

خير الطعام ما تكاثرت فيه الأيدي

Sebaik-baik makanan adalah apa yang banyak tangan  (ikut makan) di dalamnya.

 6. Membersihkan sela-sela gigi

Sangat ditekankan agar ia membersihkan sela-sela gigi setelah makan sahur. Nabi SAW bersabda:

تخللوا ، فإنه نظافة ، والنظافة تدعو إلى الإيمان ، والإيمان مع صاحبه في الجنة

Sela-selailah gigi karena itu adalah kebersihan dan kebersihan mengajak kepada iman dan iman bersama orang yang beriman ada di dalam surga. (HR Thabrani)

Dikatakan bahwa kesunahan menyela-nyelai gigi lebih ditekankan bagi orang berpuasa dibandingkan bersiwak.

7. Menyegerakan berbuka

Sunah menyegerakan berbuka ketika telah yakin masuk Waktu Maghrib. Nabi SAW bersabda:

لَا يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ

Manusia selalu dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka (HR Bukhari-Muslim)

Allah SWT berfirman dalam hadits qudsi:

أَحَبُّ عِبَادِي إِلَيَّ أَعْجَلُهُمْ فِطْرًا

Sesungguhnya hamba yang paling Aku cinrai adalah yang paling segera berbuka. (HR Ahmad dan Turmudzi)

Jika ia masih ragu masuknya waktu Maghrib, maka tidak sunah menyegerakan berbuka, bahan haram hukumnya ia berbuka dalam keadaan ragu tersebut.

8. Berbuka dengan Ruthob (kurma basah)

Disunahkan berbuka dengan Ruthob , jika tidak ada maka dengan kurma kering (kurma yang biasa ada di pasaran), jika tidak ada maka dengan air. Sahabat Anas Ra mengatakan:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُفْطِرُ عَلَى رُطَبَاتٍ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٌ فَعَلَى تَمَرَاتٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ

Rasulullah SAW berbuka sebelum melaksanakan shalat dengan beberapa butir Ruthob (kurma basah), jika tidak ada maka beberapa butir tamr (kurma kering) dan jika tidak ada maka  dengan beberapa hirup air. (HR Abu Dawud dan Turmudzi)

Nabi SAW juga bersabda:

إِذَا أَفْطَرَ أَحَدُكُمْ فَلْيُفْطِرْ عَلَى تَمْرٍ فَإِنَّهُ بَرَكَةٌ فَإِنْ لَمْ يَجِدْ تَمْرًا فَالْمَاءُ فَإِنَّهُ طَهُورٌ

Jika salah satu dari kalian berbuka, berbukalah dengan kurma karena itu adalah berkah. Jika tidak mendapatkan kurma berbukalah dengan air sebab itu adalah suci dan mensucikan. (HR Abu Dawud dan Turmudzi)

9. Memperhatikan makanan berbukanya agar benar-benar berasal dari yang halal

Sebagian orang shaleh mengatakan:

“Jika kamu puasa maka perhatikan makanan berbukamu, karena makanan haram adalah racun yang membinasakan agama.”

Nabi SAW bersabda:

مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا عَلَى طَعَامٍ، وَشَرَابٍ مِنْ حَلالٍ، صَلَّتْ عَلَيْهِ الْمَلائِكَةُ فِي سَاعَاتِ شَهْرِ رَمَضَانَ، وَصَلَّى جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلامُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ” .

Siapa yang menyediakan makanan berbuka bagi yang berpuasa dengan makanan dan minumam yang halal maka malaikat akan bershalawat kepadanya di setiap saat pada bulan Ramadhan, dan Malaikat Jibril akan bershalawat kepadanya pada malam lailatul qodar. (HR Thabrani)

Dalam riwayat lain dikatakan:

Dan malaikat jibril akan bermushofahah (menyalaminta) pada malam lailatul qodar;

10. Disunahkan berdoa ketika berbuka

Karena doa ketika berbuka adalah doa yang diijabahi. Rasulullah SAW bersabda:

ثَلَاثَةٌ لَا تُرَدُّ دَعْوَتُهُمْ الْإِمَامُ الْعَادِلُ وَالصَّائِمُ حِينَ يُفْطِرُ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ

Tiga orang yang tidak akad ditolak doanya: Imam yang  adil, Orang yang berpuasa ketika berbuka dan doa orang yang dizalimi (HR Ahmad dan Turmudzi)

Dengan doa apa saja maka ia mendapatan kesunahan tapi yang utama hendaklah ia berdoa dengan doa yang datang dari nabi saw. Di antaranya:

 ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتْ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ

Telah hilang dahaga telah basah urat-urat dan telah ditetapkan pahalanya insya Allah Taala. (HR Abu Dawud dan Nasai)

Dan :

اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ

Ya Allah untuk-Mu aku berpuasa dan dengan rizki dari-Mu aku berbuka (HR Abu Dawud)

Dan:

اَلْحَمْدُ لِلّهِ الَّذِي أَعَانَنِي فَصُمْتُ وَرَزَقَنِي فَأَفْطَرْتُ

Segala puji bagi Allah yang menolong aku sehingga aku dapat berpuasa dan memberiku rizki sehingga aku dapat berbuka. (HR Ibnu Sunni)

Dan:

إِذَا أَفْطَرَ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِرَحْمَتِكَ الَّتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ أَنْ تَغْفِرَ لِي

Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dengan rahmat-Mu yang mencakup segala sesuatu agar Engau mengampuni Aku. (HR Ibnu Majah)


Secara umum hendaknya kaum muslim bersemangat melakukan semua amal shaleh dan ketaatan dan memperbanyaknya. Di dalam hadits dikatakan:

من تقرب فيه بخصلة من الخير كان كمن أدى فريضة فيما سواه ومن أدى فيه فريضة كان كمن أدّى سبعين فريضة فيما سواه

Siapa yang melakukan satu kebaikan (sunah) di dalamnya (Ramadhan) maka ia seperti orang yang melakukan perbuatan wajib di bulan lain. Dan siapa yang melakukan perbuatan wajib maka ia seperti orang yang melakukan tujuh puluh perbuatan wajib di bulan lain. (HR Ibnu Khuzaimah)

Semoga Allah memberikan petunjuk agar kita dapat melakukan perbuatan yang dicintai Allah dan membuat-Nya ridho. Semoga Allah menyampaikan kita ke puncak keridhaan-Nya. Semoga Allah mengajarkan kepada kita apa yang bermanfaat bagi kita, dan memberikan manfaat kepada kita atas apa yang telah diajarkan oleh-Nya. Aamiin Ya Rabbal `alamin. Dan semoga shalawat serta salam terlimpah kepada Nabi Muhammad SAW, para sahabatnya, keluarganya serta yang mengikuti mereka dalam kebaikan sampai hari kiamat. Aamiin.
Read More

Minggu, 26 April 2020

Lupa Berniat Puasa di Malam Hari? Tenang, Ini Cara Agar Puasa Tetap Sah

April 26, 2020

Fiqh Puasa | Puasa Ramadhan merupakan kewajiban setiap muslim yang telah mencukupi syarat dan rukun. Sahnya puasa Ramadhan tidak terlepas dari adanya niat malam hari dari tenggelamnya matahari sampai sebelum terbitnya fajar, sebagai rukun pertama.

Keterangan ini sebagaimana hadis Nabi Saw: “Barang siapa yang tidak berniat puasa di malam hari sebelum terbitnya fajar, maka tidak ada puasa baginya.”(HR. Abu Daud, at Tirmidzi, an Nasa’i, Ibnu Majah dan Ahmad). Berdasarkan dari hadis tersebut, sangat jelas bahwa orang yang tidak niat puasa fardlu di malam harinya, maka puasanya tidak sah.

Namun, bagaimana jika ada seseorang yang lupa berniat dimalam harinya, tetapi dia makan sahur, apakah dengan makan sahur tersebut sudah mewakili niatnya yang tak terbersitkan di dalam hati?

Al Alim al Allamah Asy Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari, murid imam ahli fikih Ibnu Hajar al Haitami dalam kitab Fathul Mu’in telah membahas permasalahan ini. Beliau mengatakan: Makan sahur tidak cukup sebagai pengganti niat, meskipun ia makan sahur bermaksud agar kuat melaksanakan puasa. Dan mencegah dari hal-hal yang dapat membatalkan puasa karena khawatir akan terbitnya fajar juga tidak mencukupi sebagai pengganti niat selama tidak terbersit (di dalam hatinya) niat puasa dengan sifat-sifat yang wajib disinggung di dalam niat." (Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari, kitab Fathul Mu’in)

Berdasarkan keterangan tersebut, maka sangat jelas bahwa makan sahur belum mewakili niat puasa. Sehingga puasa yang dilakukan oleh orang yang lupa niat puasa dimalam harinya dianggap tidak sah, dan ia harus meng-qadha puasa tersebut di luar bulan Ramadan.

Meskipun puasanya tidak sah, bukan berarti ia boleh makan dan minum sepuasnya atau melakukan hal-hal yang membatalkan puasa selama satu hari itu. Orang tersebut tetap disyari'atkan menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa selama satu hari itu. Yang demikian itu untuk menghormati waktu yang banyak orang melaksanakan puasa didalamnya, yakni bulan Ramadan. Meskipun puasanya tidak dianggap tetapi ia tetap mendapatkan pahala dengan menahan diri tidak makan dan melakukan perkara yang membatalkan puasa.

Meski demikian, ulama mazhab Syafi’i tetap memberi solusi bagi siapa saja yang lupa belum berniat puasa Ramadan pada malam harinya. Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Majmû’ Syarhul Muhadzdzab menuturkan solusi tersebut sebagai berikut: “Disunahkan (bagi yang lupa niat di malam hari) berniat puasa Ramadhan dipagi harinya. Karena yang demikian itu mencukupi menurut Imam Abu Hanifah, maka diambil langkah kehati-hatian dengan berniat.” (Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmû’ Syarhul Muhadzdzab, [Jedah: Maktabah Al-Irsyad, tt.], juz VI, hal. 315).

Berdasarkan dari keterangan di atas, orang yang lupa belum berniat puasa Ramadan pada malam harinya ia masih memiliki kesempatan untuk melakukan niat tersebut pada pagi harinya dengan catatan bahwa niat yang ia lakukan pada pagi hari itu juga mesti ia pahami dan niati sebagai sikap taqlid atau mengikuti dengan apa yang diajarkan oleh Imam Abu Hanifah.

Niatan taqlid seperti ini perlu. Mengingat umat muslim Indonesia adalah pengikut mazhab Syafi’i yang dalam aturannya mengharuskan niat dimalam hari, tidak boleh niat dipagi hari (seteleh terbit fajar). Bila niat berpuasa dipagi hari tidak diniati sebagai langkah taqlid terhadap Imam Abu Hanifah maka ia dianggap mencampuradukkan ibadah yang rusak.

Ini sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ibnu Hajar Al-Haitami dalam kitab fatwanya: “Dalam kitab Al-Majmû’ disebutkan, disunahkan bagi orang yang lupa berniat puasa di bulan Ramadhan untuk berniat pada pagi hari karena bagi Imam Abu Hanifah hal itu sudah mencukupi, maka diambil langkah kehati-hatian dengan niat. Niat yang demikian itu mengikuti (taqlid) Imam Abu Hanifah. Bila tidak diniati taqlid maka ia telah mencampurkan satu ibadah yang rusak dalam keyakinannya dan hal itu haram hukumnya.” (Ibnu Hajar Al-Haitami, Al-Fatâwâ Al-Fiqhiyyah Al-Kubrâ, juz IV, hal. 307)

Akhirul kalam, apabila ada orang yang lupa berniat puasa pada malam hari masih dapat terselamatkan puasanya. Namun sekali lagi perlu ditegaskan bahwa solusi ini hanya untuk mereka yang lupa tidak berniat, bukan sengaja tidak berniat di malam hari. Catatan penting yang harus digaris bawahi adalah jangan sampai terjadinya talfiq dalam beribadah. Berkaitan dengan puasa Ramadhan, pada problem lupa berniat malam harinya apabila mengikuti (taqlid) Imam Abu Hanifah. Apabila tidak bertaqlid, kewajiban berpuasa tetap dilanjutkan siang harinya dan mengqadhanya di hari lainnya.
Wallahu Muwaffiq Ila Aqwamith Tariq, Wallahu Alam


Tgk. Helmi Abu Bakar El-Lamkawi, Guru Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga
Read More

Sabtu, 25 April 2020

Kapankah Niat Puasa Ramadhan Harus Diniatkan?

April 25, 2020

Fiqh Puasa | Ibadah tidak boleh lepas dari niat. Keberadaan niat merupakan salah satu perkara yang sangat sakral dalam sebuah ibadah termasuk puasa. Puasa di bulan Ramadan adalah ibadah wajib bagi setiap muslim yang telah baligh dan berakal. Niat puasa Ramadan terkadang menjadi problema dan polemik yang salah ditafsirkan oleh segelintir masyarakat awam.

Niat adalah rukun pertama dalam ibadah, termasuk puasa Ramadan. Niat adalah iktikad, dimana suasana hati yang tanpa ragu untuk melaksanakan sebuah perbuatan. Kata kuncinya adalah adanya maksud secara sengaja bahwa setelah terbit fajar ia akan menunaikan puasa. Imam Syafi’i, penggagas mazhab Syafi'i sendiri berpendapat bahwa makan sahur tidak serta merta dapat menggantikan kedudukan niat, kecuali apabila terbersit (khathara) dalam hatinya maksud untuk berpuasa sejak terbit fajar. (al-Fiqh al-Islami, III, 1670-1678).

Mengupas niat sudah pasti itu urusan hati, melafalkannya (talaffuzh) akan membantu seseorang untuk menegaskan niat tersebut. Talaffuzh berguna dalam memantapkan iktikad. Karena niat dapa terekspresi dalam wujud yang konkret, yaitu bacaan atau lafal.

Kapan Niat Puasa Ramadhan?

Karena niat merupakan rangkaian yang dikerjakan menyertai dengan sebuah pekerjaan, namun khusus untuk ibadah puasa dibolehkan tidak serta berbarengan dengan permulaan waktu ibadah. Seseorang yang berpuasa boleh meniatkan semenjak mulai malam untuk ia berpuasa di besoknya. Tidak mesti berniat menjelang terbitnya fajar. Hal ini dibolehkan karena syariat melihat adanya kesukaran (masyakkah) untuk dilakukan. Sangat sulit menentukan kapan tepatnya menit dan detik terbitnya fajar secara pasti.

Niat adalah bermaksud untuk melaksanakan puas. Redaksi lafaz niat yang sempurna seperti: Saya bermaksud untuk melaksanakan puasa esok hari sebagai pelaksanaan kewajiban puasa di bulan Ramadan tahun ini karena Allah Swt.

Berniat dilakukan di dalam hati, dan dianjurkan untuk dilafazkan dengan lisan. Hukumnya sunat. Namun tidak cukup hanya dengan berniat secara lisan saja, tanpa berniat di hati. Apabila ada yang berniat hanya di lisan dan tidak dibarengi dengan berniat di hati, maka ia tidak dianggap berniat.

Apabila diniatkan untuk berpuasa setiap hari sepanjang Ramadan dengan sistem rapel, yaitu cukup niat dimalam pertama Ramadan untuk berpuasa selama sebulan penuh, maka maka puasanya hanya sah untuk puasa pada hari pertama dan tidak sah untuk hari selanjutnya. Untuk hari kedua dan hari selanjutnya, ia wajib mengulangi niat kembali pada malam harinya. Karena ibadah puasa setiap harinya adalah ibadah terpisah, yang berdiri sendiri, dengan bukti;

Pertama, Masuk waktunya sejak terbit fajar sampai terbenam matahari. Ada pembatas waktu antara ibadah puasa pada suatu hari dengan hari sebelum dan sesudahnya, yaitu malam hari, sebagai waktu tidak melaksanakan puasa.

Kedua, Apabila puasa batal satu hari, tidak menyebabkan batal puasa seluruh hari yang dilaksanakan dihari sebelumnya atau sesudahnya.

Makanya niat puasa Ramadan dalam mazhab Syafi'i adalah tabyit niat (niat puasa di malam hari), yaitu antara tenggelamnya matahari hingga terbitnya fajar.

Lalu bagaimana dengan meniatkan di awal Ramadan untuk sebulan penuh?  Nah, apabila meniatkan untuk sebulan sekalian, terdapat beberapa faedah; Pertama ialah sahnya puasa hari yang lupa tabyit niat (niat puasa di malam hari) di dalamnya menurut madzhab Imam Malik. Manfaat kedua adalah mendapat pahala puasa secara  penuh jikalau meninggal dalam bulan Ramadan sebelum ia berpuasa sebulan penuh, karena mengambil ibarat dari niatnya.

Jika memang ingin mengamalkan pendapat Imam Malik secara penuh, maka harus mengetahui rukun dan syarat puasa, membatalkan puasa serta hal lainnya yang berkaitan dengan puasa Ramadan dalam mazhab Imam Malik. Hal ini untuk menghindari talfik madzhab dalam ibadah.

Beranjak dari itu marilah untuk berusaha tidak lupa dengan niat puasa Ramadhan untuk membiasakan berniat sesaat setelah berbuka puasa atau ba'da shalat tarawih. Niat itu dalam hati, dan tidak disyaratkan dilafadzkan, tetapi disunnahkan melafadzkannya untuk membantu hati menetapkan niat.


Tgk. Helmi Abu Bakar El-Lamkawi, Guru Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga,
Read More

Jumat, 14 Februari 2020

Kenal Ulama: Imam al Mawardi, Ilmuwan Muslim Peletak Dasar Ilmu Politik Islam

Februari 14, 2020

Tokoh Ulama | Imam al Mawardi, ialah sang pemikir ulung terkait konsep kenegaraan dan hukum yang pernah ada. Bahkan pemikiran beliau dibidang politik tertuang banyak dalam karya besarnya yang salah satunya berjudul al ahkaam al Shultoniyah (Hukum dan Prinsip kekuasaan) sekaligus menjadi masterpiece-nya yang sempat diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa.

Abu al Hasan Ali bin Habib al Mawardi, atau yang sering disebut dengan nama Imam al Mawardi. Beliau lahir di kota pusat peradaban Islam Klasik (Baghdad) pada tahun 386 H/975 M. Dalam menempuh pendidikan pertamanya, beliau tetap menjadikan tanah kelahirannya sebagai tempat belajar terutama pada ilmu hukum dari (ahli hukum yang bermazhabkan Imam Asy Syafi’i).

Usai itu, beliau berpindah ke Baghdad dalam menuntut ilmu-ilmu lainnya seperti tata bahasa dan kesusastraan dari Abdullah al Bafi dan Syaikh Abdul Hamid al Isfrani. Sebagai penuntut ilmu yang memang memiliki kecerdasan yang luar biasa, tentu membuat al Mawardi menguasai berbagai disiplin ilmu dalam waktu yang singkat.

Dari kepiawaiannya inilah mengantarkan beliau pada kedudukan penting diantara sarjana sarjana muslim pada waktu itu. Bahkan beliau mendapatkan pengakuan sebagai seorang ahli hukum terbesar di zamannya (dalam pemerintahan Daulah Abbasiyyah).

Sedangkan sumbangsih lainnya, beliau mengemukakan fiqh mazhab Syafi’i dalam karyanya al Hawi yang digunakan sebagai sumber rujukan tentang  Mazhab Syafi’i oleh para ahli hukum.

Saat memasuki tahun 1037 M, Khalifah pada masa itu yakni al Qadir atau yang bernama lengkap Ahmad bin Ishaq bin Al-Muqtadir mengundang empat ahli hukum mewakili keempat mazhab fikih (Mazhab Hanafi, Malik, Syafi’i dan Hanbali). Keempat ahli hukum ini rupanya diminta untuk menulis sebuah buku fikih, dan rupanya al mawardi terpilih dalam menulis buku fikih Mazhab Syafi’i.

Dan setelah selesai perintah sang khalifah, diantara keempat ahli hukum hanya ada dua orang yang memenuhi atas dasar yang diperintah Khalifah. Yakni al Quduri dalam bukunya al Mukhtashor dan al Mawardi dengan kitabnya kitab al igna’.

Tidak sampai disana, kitab yang disusun al Mawardi pada saat itu diperintahkan oleh sang raja untuk kepada para penulis untuk menyalin kitabnya, berhubung kitab dari al Mawardi ini dinilai sebagai kitab terbaik. 

Pemikirannya tentang Seorang Imam (Pemimpin)

Adapun pandangan atau pemikiran Imam al Mawardi terkait seorang Imam (Raja, Presiden ataupun Sultan) maka baginya itu adalah suatu keniscayaan. Artinya sesuatu yang memang sangat dibutuhkan dalam bermasyakarat dan bernegara, karena tanpa seorang Imam tentulah kehidupan bermasyarakat akan mengalami kekacauan dan tak terkontrol.

Mengingat seorang imam adalah seorang pemimpin bagi rakyat rakyatnya, tentulah kepemimpinan ini harus dipegang oleh orang benar benar terpercaya dan dapat mengembang amanah guna membentuk negara yang tata hidup masyarakat didalamnya aman, tenteram damai dan sejahtera.

Maka tak salah jika Imam al Mawardi beranggapan bahwa Imamah (Kepemimpinan) dibentuk untuk menggantikan fungsi kenabian guna memelihara agama dan mengatur dunia.

Memandang hal ini, al Mawardi memiliki beberapa syarat bagi seorang pemimpin yang hendak dipilih,

1. Adil dalam arti yang luas, punya ilmu untuk dapat melakukan ijtihad didalam menghadapi persoalan persoalan dan hukum.
2. Sehat pendengaran mata dan lisannya supaya dapat berurusan langsung dengan tanggung jawabnya.
3. Sehat badan sehingga tidak terhalang untuk melakukan gerakan dan melangkah cepat.
4. Pandai dalam mengendalikan urusan rakyat dan kemashalahatan umum.
5. Berani dan tegas membela rakyat dan menghadapi musuh, dan keturunan quraish.
6. Selain itu, beliau pun menentapkan 3 syarat yang perlu dimiliki oleh seorang pemilih imam, yakni
7. Kredibilitas pribadinya atau keseimbangan (al ‘Adalah) memenuhi semua kriteria.
8. Mempunyai ilmu sehingga tahu siapa yang berhak dan pantas memangku jabatan kepala negara dengan syarat syaratnya,
9. Dan memiliki pendapat yang kuat dan hikmah yang membuatnya dapat memilih siapa yang paling pantas untuk memangku jabatan kepala negara dan siapa yang paling mampu dan pandai dalam membuat kebijakan yang dapat mewujudkan kemashalahatan umat.

Sedangkan masalah pemecatan seorang pemimpin, beliau menyebutkan dua alasan yang dapat dijadikan sebagai patokan dalam pemecatan seorang pemimpin yaitu

Pertama, cacat akibat keadilannya dan itu karena syahwat ataupun karena syubhat
Kedua, cacat tubuh seperti hilang ingatan secara permanen dan hilang pengliatan. Selain itu cacat organ tubuh dan cacat tindakan. Adapun cacat yang tidak menghalanginya untuk dipilih atau diangkat menjadi seorang pemimpin ialah, seperti cacat hidung yang mengakibatkannya tidak mampu lagi mencium bau sesuatu dan cacat alat perasa seperti tidak lagi bisa membedakan rasa makanan.

Pemikirannya tentang konsep Jihad

Dalam konsep ini, al Mawardi tidak hanya beranggapna bahwa jihad yang dimaksud agama adalah jihad dalam memerangi orang orang kafir, melainkan mereka yang beragama Islam sekalipun yang dibaginya atas tiga bagian, diantaranya:

1. Jihad melawan orang orang murtad, bagi al mawardi orang orang murtad yang dimaksud dibagi atas dua kondisi, yakni mereka yang berdomisili negara Islam dan tidak memiliki wilayah otonom dan mereka yang memiliki wilayah otonom dan berada diluar wilayah Islam.
2. Jihad melawan para pemberontak yaitu Jihad dalam melawan pemberontak yang merupakan salah satu kelompok kaum muslimin kemudian menentang pendapat dari jamaah kaum muslimin dan menganut pendapat mereka sendiri.
Dan yang terakhir ialah Jihad dalam melawan para pengacau keamanan.

Oleh Nonna, Mahasiswa UIN Alauddin Makassar, Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir
Artikel ini telah tayang di Pecihitam.org
Read More