TARBIYAH ONLINE

Fiqh

Kamis, 31 Mei 2018

RUKHSHAH BERBUKA BAGI MUSAFIR DAN ORANG SAKIT

Mei 31, 2018

Ketika Allah bersedekah dengan memberi rukhshah untuk hamba-Nya ~

Beberapa sahabat Nabi radhiyallâhu ‘anhum ;

عن شقيق بن سلمة قال أهللنا هلال رمضان بحلوان أو بالمدائن وفينا رجال من أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم فنادى أميرهم من شاء منكم أن يصوم فليصم ومن شاء منكم أن يفطر فليفطر فإن رسول الله صلى الله عليه وسلم قد صام في السفر وأفطر

Dari Syaqiq Ibn Salamah, ia berkata; Kami memulai Ramadhan di Hulwân atau Madâ’in, saat itu kami bersama beberapa sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallaam, lalu pimpinan mereka menghimbau bahwa siapa yang ingin puasa dipersilahkan, dan siapa yang tidak berpuasa juga silahkan, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah melakukan keduanya dalam perjalanan
(Abdurrazzaq, al-Mushannaf, vol.2, hal.569, no.4494)

عن قتادة قال صام بعض أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم في السفر وأفطر بعضهم فلم يعب بعضهم على بعض، قال أخذ هذا برخصة الله وأدى هذا فريضة الله

Qatadah, ia berkata bahwa sebagian sahabat Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam memilih berpuasa dalam perjalanan dan sebagian yang lain memilih tidak berpuasa, kemudian satu sama lain tidak pernah saling merendahkan. Karena yang satu memanfaatkan keringanan dari Allah, dan yang satu lagi telah menunaikan kewajiban yang Allah berikan
(Abdurrazzaq, al-Mushannaf, vol.2, hal.569, no.4500)

Ali Ibn Abi Thalib radhiayallâhu ‘anhu;

عن سعد بن معبد قال؛ أقبلت مع علي بن أبي طالب من ينبع، قال فصام علي وكان علي راكبا وأفطرت لأني كنت ماشيا حتى قدمنا المدينة ليلا

Dari Sa‘d Ibn Ma‘bad, ia berkata; Kami bersama Ali berangkat dari Yanbû‘, -ia melanjutkan- Ali berpuasa karena menunggang, sedangkan saya tidak berpuasa karena saya berjalan, hingga kami tiba di Madinah malam hari
(Abdurrazzaq, al-Mushannaf, vol.2, hal.569, no.4495)

Aisyah Ummul Mukminin radhiyallâhu ‘anhâ;
عن عروة عن عائشة أنها كانت تصوم في السفر

Dari ‘Urwah, dari Aisyah, bahwa beliau berpuasa dalam perjalanan
(Abdurrazzaq, al-Mushannaf, vol.2, hal.569, no.4496)

عن ابن أبي مليكة قال: صحبت عائشة في السفر، فما أفطرت حتى دخلت مكة
Dari Ibn Abi Mulaikah (w.117H), ia berkata; Aku mengawal Aisyah dalam perjalanan, dan ia tidak berbuka hingga sampai ke Makkah
(Ibn Abi Syaibah, al-Mushannaf, vol.3, hal.15, no.9068)

Abdullah Ibn ‘Abbas radhiyallâhu ‘anhumâ;

عن ابن عباس قال لا نعيب على من صام في السفر ولا على من أفطر، قال الله؛ يريد الله بكم اليسر ولا يريد بكم العسر

Dari Ibn Abbas, ia berkata; Kami tidak merendahkan orang orang yang berpuasa dalam perjalanan dan orang yang memilih berbuka. Allah berfirman; Allah menghendaki kemudahan untuk kalian, bukan kesulitan
(Abdurrazzaq, al-Mushannaf, vol.2, hal.569, no.4498)

عن أبي جمرة قال: سألت ابن عباس عن الصوم في السفر فقال: عسر ويسر، خذ بيسر الله عليك

Dari Abu Jamrah (w.128H), ia pernah bertanya kepada Ibn ‘Abbas tentang puasa dalam perjalanan. Ibn Abbas menjawab; Ada yang sulit dan ada yang mudah, maka ambillah kemudahan yang Allah berikan
(Ibn Abi Syaibah, al-Mushannaf, vol.3, hal.14, no.9056)
Abdullah Ibn Umar radhiyallâhu ‘anhumâ;

عن ابن عمر قال: الإفطار في السفر صدقة تصدّق الله بها على عباده
Dari Ibn Umar, ia berkata bahwa berbuka di perjalanan adalah sedekah yang Allah berikan kepada para hamba-Nya”.
(Ibn Abi Syaibah, al-Mushannaf, vol.3, hal.14, no.9060)

Jabir Ibn Abdillah dan Abu Sa‘îd al-Khudrî radhiyallâhu ‘anhum;

عن أبي سعيد الخدري وجابر بن عبد الله رضي الله عنهم قالا؛ سافرنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم فيصوم الصائم ويفطر المفطر فلا يعيب بعضهم على بعض

Dari Abu Sa‘id al-Khudri dan Jabir Ibn Abdillah radhiyallâhu ‘anhum berkata; Kami pernah melakukan perjalanan bersama Rasulullah shallallahu ‘alaih wa sallam, maka ada yang berpuasa dan ada pula yang tidak, namun tidak ada yang saling merendahkan
(Muslim Ibn Hajjaj, Shahîh Muslim, vol.3, hal.143, no.2675)

Anas Ibn Malik radhiyallâhu ‘anhû;

عن عاصم قال: سئل أنس عن الصوم في السفر فقال: من أفطر فرخصة، ومن صام فالصوم أفضل

Dari Ashim (w.141H), ia berkata bahwa Anas Ibn Malik pernah ditanya tentang puasa dalam perjalanan. Anas menjawab; Yang berbuka berarti mengambil keringanan, dan yang berpuasa itu juga lebih baik
(Ibn Abi Syaibah, al-Mushannaf, vol.3, hal.15, no.9067)

Usman Ibn Abî al-‘Âsh radhiyallâhu ‘anhû;

عن ابن سيرين أن عثمان بن أبي العاص قال: الصوم في السفر أفضل، والفطر رخصة

Dari Ibn Sirin (w.110H), bahwa Usman Ibn Abî al-‘Âsh berkata; Memilih berpuasa dalam perjalanan itu lebih baik, dan memilih tidak berpuasa adalah keringanan
(Ibn Abi Syaibah, al-Mushannaf, vol.3, hal.16, no.9076)

Berikut penjelasan dari para ulama mazhab;

Al-Imam Mâlik Ibn Anas Ibn Mâlik Ibn ‘Âmir al-Madanî (w.179H);

الأمر الذي سمعت من أهل العلم أن المريض إذا أصابه المرض الذي يشق عليه الصيام معه ويتعبه ويبلغ ذلك منه فإن له أن يفطر وكذلك المريض الذي اشتد عليه القيام في الصلاة وبلغ منه ... ودين الله يسر وقد أرخص الله للمسافر في الفطر في السفر وهو أقوى على الصيام من المريض ... فهذا أحب ما سمعت إلي وهو الأمر المجتمع عليه

Satu hal yang pernah saya dengan dari para ulama adalah seseorang mengalami sakit yang kesulitan dan berat untuk berpuasa atau orang sakit yang membuatnya tidak mampu berdiri ketika shalat boleh tidak berpuasa ... dan agama Allah itu berisi kemudahan, dan Dia telah memberikan kemudahan bagi musafir untuk berbuka dalam perjalanannya, padahal mereka tergolong lebih mampu berpuasa daripada orang yang sedang sakit ... Inilah informasi yang sangat aku sukai, dan ini adalah perkara yang telah disepakati
(Malik Ibn Anas, al-Muwattha’ Bi Riwâyah al-Laytsî, vol.1, hal.302)

Al-Imam Abu Bakr Ahmad Ibn Ali al-Jasshâsh (w.370H);

واتفقت الصحابة ومن بعدهم من التابعين وفقهاء الأمصار على جواز صوم المسافر غير شيء يروى عن أبي هريرة أنه قال من صام في السفر فعليه القضاء وتابعه عليه شواذ من الناس لا يعدون خلافا

Para sahabat, tabi‘in, fuqaha’ seantero Mesir sepakat dalam kebolehan musafir untuk berpuasa. Kecuali satu riwayat dari Abu Hurairah yang pernah menyampaikan bahwa orang yang tetap berpuasa dalam perjalanan maka harus mengqadha. Ini pernah diikuti oleh segelintir kelompok, namun itu tidak perlu dianggap sebagai pendapat berbeda
(Al-Jasshash, Ahkâm al-Qur’ân, vol.1, hal.265. Dalam riwayat lain disampaikan bahwa Abu Hurairah telah menarik padangan tersebut dan rujuk kepada riwayat yang valid dari para sahabat lainnya)

Al-Imam Abu Muhammad Ibn Ali Ibn Ahmad Ibn Sa‘id Ibn Hazm al-Andalusi (w.456H);

واتفقوا على أن من آذاه المرض وضعف عن الصوم فله أن يفطر، واتفقوا أن من سافر السفر الذي ذكرنا في كتاب الصلاة أنه إن قصر فيه أدى ما عليه فأهل هلال رمضان وهو في سفره ذلك فانه إن أفطر فيه فلا إثم عليه

Dan mereka sepakat bahwa orang yang kesulitan karena sakitnya dan tidak mampu berpuasa, maka dia boleh berbuka. Dan mereka pun sepakat bahwa orang yang melakukan perjalanan sebagaimana yang telah kami sebutkan dalam pembahasan shalat jika mengqashar berarti telah melakukan apa yang harus dilakukan, kemudian dalam perjalanan itu muncul hilal Ramadhan lalu dia memilih tidak berpuasa, maka dia tidak berdosa
(Ibn Hazm, Marâtib al-Ijmâ‘, hal.40)

Al-Imam Abu ‘Amr Yusuf Ibn Abdillah Ibn Muhammad Ibn Abdil Barr al-Qurthubi (w.463H);

وعلى إباحة الصوم والفطر للمسافر جماعة العلماء وأئمة الفقه بجميع الأمصار إلا ما ذكرت لك عمن قدمنا ذكره، ولا حجة في أحد مع السنة الثابتة هذا إن ثبت ما ذكرناه عنهم ... وأجمع الفقهاء أن المسافر بالخيار إن شاء صام وإن شاء أفطر إلا أنهم اختلفوا في الأفضل من ذلك
Kebolehan berpuasa maupun tidak berpuasa bagi musafir disepakati oleh para ulama dan para imam fikih di seantero wilayah Islam, kecuali pendapat yang telah saya sebutkan kepadamu sebelumnya. Namun pendapat seseorang tidak dapat dijadikan argumen lagi bila telah jelas argumen sunnahnya, itu pun kalau pendapat itu benar adanya ... Dan para ulama fikih berijma bahwa musafir dapat memilih antara berpuasa atau tidak, namun perbedaan mereka (ulama) hanyalah soal mana yang lebih utama saja
(Ibn Abdil Barr, al-Tamhîd Limâ Fî al-Muwattha’ Min al-Ma‘ânî wa al-Asânîd, vol.2, hal.170 & vol.9 hal.67)
Al-Imam Abu Muhammad Abdullah Ibn Ahmad Ibn Qudamah al-Maqdisi (w.630H);
أجمع أهل العلم على إباحة الفطر للمريض في الجملة ... أن المسافر يباح له الفطر فإن صام كره له ذلك وأجزأه وجواز للمسافر ثابت بالنص والإجماع

Para ulama berijma‘ bahwa secara garis besar orang yang sedang sakit boleh berbuka ... sebagaimana musafir pun demikian. Apabila dia berpuasa tetap sah meskipun makruh. Kebolehan berbuka bagi musafir ini adalah jelas berdasarkan nash dan ijma‘
(Ibn Qudamah, al-Mughnî Syarh Mukhtashar al-Kharqî, vol.3, hal.88 & 90)

Dan banyak lagi penjelasan para ulama mazhab terkait kebaradaan ijma terkait rukhshah ini.

Wallâhu A‘lam
Read More

Jumat, 18 Mei 2018

HIKMAH RAMADHAN PERTAMA: BESARNYA GANJARAN PAHALA

Mei 18, 2018

Salah satu ibadah khusus yang tidak ada di bulan lain bulan Ramadhan, berupa shalat tarawih. Bahkan shalat tarawih dari malam pertama hingga malam ke-30 mempunyai nilai pahala tersendiri dan berbeda-beda.
Penulis mengutip dari berbagai sumber, berikut keutamaan Salat Tarawih di malam pertama bulan Ramadhan:
Pertama, Shalat tarawih merupakan salah satu keistimewaan bulan Ramadhan, tidak ada disunatkan shalat tarawih di luar bulan Ramadhan. Beranjak dariitu kita tidak boleh menyiakan kesempatan berharga ini. Di sebutkan dari Ali bin Abi Thalib berkata: “Aku bertanya kepada Nabi Shallallahu‘Alaihi wa Sallam tentang keutamaan (shalat) Tarawih di bulan Ramadhan lalu beliau Shallallahu ‘Alaihi was Sallam bersabda: Dosa-dosa orang yang beriman keluar darinya pada malam pertama seperti hari dilahirkan ibunya.
Kedua, Diampuni Dosanya
Diketahui dari hadits riwayat Ahmad, Ibnu Majah. Al Bazzar, Abu Ya’la dan Abu Harairah, barang siapa yang melaksanakan Salat Tarawih pada malam pertama bulan ramadan, dia diibaratkan seperti bayi yang dilahirkan kembali oleh ibunya.
Hal ini berarti orang yang melaksanakan Salat Tarawih di hari pertama akan bersih dari dosa dan kesalahan.

إِِنَّ رَمَضَانَ شَهْرٌ فَرَضَ اللَّهُ صِيَامَهُ وَإِنِّي سَنَنْتُ لِلْمُسلِمِيْنَ قِيَامَهُ فَمَنْ صَامَهُ وَقَامَهُ إِعيمَانًا وَاحْتِسَابًا خَرَجَ مِنَْ الذُّنُوبْ كَيَوْم وَلَدَتْهُ أُمُّه

“Sesungguhnya Ramadhan adalah bulan dimana Allah mewajibkan puasanya, dan sesungguhnya aku menyunnahkan qiyamnya untuk orang-orang Islam. Maka barang siapa berpuasa Ramadhan dan qiyam Ramadhan karena iman dan mencari pahala, maka ia (pasti) keluar dari dosa-dosanya sebagaimana pada hari ia dilahirkan oleh ibunya. (HR : Ahmad, Ibnu Majah. Al Bazzar, Abu Ya’la dan Abu Hurairah.)
Ketiga, Dimantapkan Hatinya.
Salat Tarawih pada malam pertama bulan Ramadan sangat dianjurkan agar kita semakin siap memasuki bulan penuh berkah ini. Tarawih malam pertama merupakan sebagai penanda awal ramadhan.

Shalat tarawih pada malam pertama adalah pertanda bahwa umat muslim pada keesokan harinya akan mulai melaksanakan ibadah puasa ramadhan.Hal ini juga secara tidak langsung merupakan pemberitahuan kepada setiap umat muslim jika ada diantara mereka yang belum mengetahui kapan dimulainya puasa ramadhan.
Keempat, Doa Dikabulkan
Setelah mendapat kemantapan hati dan ampunan dosa, melaksanakan Salat Trawih mulai dari malam pertama akan membuat doa yang kita minta dikabulkan Allah SWT.

“Sesungguhnya pada malam hari itu benar-benar ada saat yang seorang muslim dapat menepatinya untuk memohon kepada Allah suatu kebaikan dunia dan akhirat, pasti Allah akan memberikannya (mengabulkannya); dan itu setiap malam.” (HR Muslim dan Ahmad).
Kelima, Taqarrub Kepada Allah.
Seseorang yang memulai ibadah di bulan ramadhan dengan melaksanakan Salat Tarawih menandai bahwa kita semakin dekat dengan Allah.

Shalat Tarawih sebagaimana salat malam lainnya sanga dianjurkan untuk dilaksanakan selama bulan ramadhan. Hal ini bisa membantu kita semakin dekat dengan Allah SWT sebagaimana dalam hadits berbunyi :
“Lazimkan dirimu untuk shalat malam karena hal itu tradisi orang-orang saleh sebelummu, mendekatkan diri kepada Allah, menghapus dosa, menolak penyakit, dan pencegah dari dosa.” (HR Ahmad). 
Beranjak dari itu marilah kita raih untaian pahala tarawih malam pertama ini dengan sempurna dan mengharap ridha ilahi.


Helmi Abu Bakar el-Langkawi
Read More

HIKMAH RAMADHAN KE-2: PAHALA SHALAT TARAWIH & MEMBACA ALQURAN

Mei 18, 2018
Shalat tarawih sebagai ibadah khusus bulan Ramadhan, mereka yang beribadah dan melakukan shalat tarawih pada malamkedua akan mendapatkan pahala:

 وفى الليلة الثانية يغفر له ولأبويه ان كان مؤمنين 

Pada Malam yang ke : 2 Orang yang Shalat Tarawih akan diampuni dosanya dan dosa kedua orang tuanya jika keduanya Mukmin.

Membaca Al-Quran

Bulan Ramadhan yang sedang ditempuh saat ini hendaknya kita meningkatkan amal ibdah. Satunya dengan memperbanyak membaca Al-Quran yang merupakan sebagai pedoman dan petunjuk umat Islam. Siapa yang membacanya juga termasuk ibadah walaupun tidak mengerti isi dan kandungannya. Ramadhan di identifikasikan sebagai bulan Al-Quran, hal ini disebabkan pada bulan ini alquran di turunkan. Setidaknya momentum ramadhan ini tentu saja menganjurkan kepada kita untuk lebih giat dan tekun dalam membaca, memahami dan menguak rahasia dalam kitab suci tersebut.

Rasulullah Saw sendiri orang yang sangat giat membaca al-Quran di samping akhlak beliau juga di ibaratkan sebagai al-quran berjalan. Dalam sebuah hadist diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim, dari Ibnu Abbas radiyallahu anhuma, ia berkata: “Nabi shallallahu alaihi wasallam adalah orang yang amat dermawan, dan beliau lebih dermawan pada bulan Ramadhan, saat beliau ditemui Jibril untuk membacakan padanya Al-Qur’an. Jibril menemui beliau setiap malam pada bulan Ramadhan, lalu membacakan padanya Al-Qur’an. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ketika ditemui jibril lebih dermawan dalam kebaikan daripada angin yang berhembus.”
Hadist diatas meununjukkan kepada kita untuk memperbanyak membaca al-quran terlebih di bulan Ramadhan ini. Nabi Saw juga memanjangkan bacaan Alqurannya pada saat shalat malam di bulan Ramadhan, lebih dari malam-malam di bulan lainnya. Ini adalah sesuatu yang disyariatkan bagi mereka yang ingin memanjangkannya sesuai dengan kehendaknya, maka hendaknya ia shalat sendiri.
Namun boleh juga memperpanjang bacaan dalam shalat berjamaah atas persetujuan para jamaah. Selain itu, maka dianjurkan untuk membaca dengan bacaan yang ringan. Imam Ahamd berkata kepada sebagian sahabtnya yang shalat bersamanya di bulan Ramadhan, “Mereka itu orang yang lemah, maka bacalah lima, enam, atau tujuh ayat”. Berdasarkan pernyataan Imam Ahmad rahimahullah untuk memperingatkan agar memperhatikan keadaan para makmum dan jangan membebani mereka.
Apa yang di lakukan oleh Rasulullah juga di praktekkan para salafussaleh, dimana membaca Alquran di bulan Ramadhan di dalam shalat dan di luar shalat. Mereka menambah perhatian mereka terhadap Alquran yang mulia. Al-Aswad rahimahullah mengkhatamkan Alquran setiap dua hari. An-Nakha-I mengkhatamkannya setiap tiga hari, namun di sepuluh hari terakhir beliau tambah giat lagi. Sementara itu Qatadah mengkhatamkan Alquran di setiap tujuh hari dan di sepuluh hari terakhir beliau menyelesaikannya dalam tiga hari. Apabila bulan Ramadhan tiba, Az-Zuhri mengatakan, “Bulan ini adalah bulan membaca Alquran dan memberi makan”. Bahkan Imam Malik apabila masuk bulan Ramadhan meninggalkan membaca hadits dan berdiskusi bersama penuntut ilmu lainnya, beliau memfokuskan diri untuk membaca Alquran dari mushafnya. Qatadah fokus mempelajari Alquran di bulan Ramadhan. Hal ini juga di kerjakan oleh Sufyan ats-Tauri apabila datang bulan Ramadhan beliau meninggalkan ibadah sunnah dan menyibukkan diri dengan membaca Alquran. Dan masih banyak lagi riwayat-riwayat tentang perhatian para salaafush shalih terhadap Alquran di bulan Ramadhan.

Kelebihan Membaca -Quran

Termasuk keistimewaan Alqur’an adalah ia bisa diambil berkahnya. Allah berfirman: “Dan ini (Al Quran) adalah kitab yang telah Kami turunkan yang diberkahi; membenarkan kitab-kitab yang (diturunkan) sebelumnya…”QS al An’aam: 92. Imam Darimi meriwayatkan dengan sanad shahih bahwa sesungguhnya Ikrimah bin Abu Jahal seringkali meletakkan mushaf di wajahnya sambil berkata: “Ini adalah kitab Tuhanku, kitab Tuhanku”. Di antara berkahnya adalah bahwa membaca sebagian surat atau ayat darinya bisa mengusir setan dari pembaca dan rumahnya, dan sesungguhnya berkumpul untuk membacanya merupakan jalan bagi turun derasnya rahmat Allah, menarik keridho’annya, tempat datangnya ketenangan dan penyebutan Allah bagi orang – orang yang berkumpul karena Alqur’an.

Menggunakan Alqur’an sebagai pengobatan penyakit fisik dan untuk mengambil berkah tidak lantas mencegah menggunakan Alqur’an untuk penyakit hati, menolak kebodohan dan keraguan dari hati serta mengamalkan syariat dan hukum yang terkandung di dalamnya. Barang siapa setelah ini menyangka bahwa menggunakan Alqur’an pada satu sisi seperti pengobatan bisa membatalkan penggunaannya untuk sisi lain atau menafikannya maka persangkaannya itu didustakan oleh amalan Nabishallallahu alaihi wasallam dan amalan para sahabat serta tabiin. ( Kitab Haula Khasha’ish Alqur’an )
wwww.dinulislamnews.com
Read More

DAWUH SYEIKH PRAMUKIY: DAKWAH ADALAH MENAGAJAK DAN MEMPERBAIKI

Mei 18, 2018

“Kalau ada orang yang suka mabuk-mabukan ya ajak dia baik-baik agar meninggalkannya, dengan sabar, jangan memaki dia, sesungguhnya mereka terkena bala yang sangat sulit ditinggalkan, kasihani mereka.”
 Foto Fauzan Inzaghi.
“Kalau ada pelacur, dakwahi dia dan beri solusi yang lebih baik agar dia berubah, jangan menghina atau merendahkan dia, sesungguhnya mereka terjebak disitu, kasihani mereka.”

“Kalau ada orang yang salah paham tentang kewajiban menutup aurat, muamalah dengan non muhrim, kewajiban sholat, kewajiban menghormati orang berilmu dan hukum syar'i lainnya, kasih tahu dia baik-baik dengan penuh kasih sayang, jangan mencaci mereka dengan kata-kata kotor, walau mungkin awalnya nasehat kita dianggap bodoh dan ketinggalan zaman, sesungguhnya itu terjadi karena mereka tidak tahu, kasihani mereka.”

“Begitu juga kalau ada orang salah paham tentang makna jihad, kafir, harbi, khilafah dan lainnya maka harusnya kita tidak membully mereka, tapi ajaklah mereka berdialog dengan sabar, walau mereka akan mencela kita, itu karena mereka tidak tahu, kasihani mereka.”

“Apapun kesalahan mereka kasihani mereka, dan perbaiki mereka dengan baik, bayangkan saja kita atau saudara kita yang terjebak dalam kesalahan itu, baik kesalahan perbuatan atau pemikiran.”

“Betapa malang nasib kita, kita terjebak dalam lingkungan yang membuat kita salah, disatu sisi saudara kita yang lain dibanding menyelamatkan kita dengan sabar malah memlilih membuly kita.”

“Wahai para pembully, pemaki, dan yang menertawakan kesalahan manusia, jika kalian ingin merubah dan memperbaiki mereka bukan begitu caranya, itu bukanlah dakwah atau mengingatkan yang dikerjakan seorang dai,cara seperti itu sama sekali tidak akan merubah mereka, yang ada membuat mereka makin jauh.”

“Tapi jika niat kalian tidak ingin mengingatkan atau merubah, tapi hanya ingin memvonis dan menertawakan kesalahan orang maka sungguh kalian sudah sukses, sungguh kalian sudah sukses memvonis mereka dalam kesalahan, kalian sukses jadi hakim.”

Read More

Kamis, 17 Mei 2018

WAKTU BERBUKA DAN TERLANJUR BERBUKA SEBELUM WAKTUNYA

Mei 17, 2018

Pada bagian ini dijelaskan tentang waktu berbuka, konsekuensi bila terlanjur berbuka karena mengira matahari telah tenggelam, dan anjuran menyegerakan berbuka meskipun hanya seteguk air maupun sebiji kurma sebelum shalat. Karena mengulur waktu berbuka ternyata juga sebuah kebiasaan kaum yahudi dalam pelaksaan puasa dalam ajaran mereka dengan dalih bersabar untuk mengulur waktu (taswîf) dari menyantap perbukaan dan mendahulukan ibadah, padahal berbuka itu sendiri juga merupakan ibadah bagi orang yang berpuasa.

Berikut adalah riwayat beberapa sahabat radhiyallâhu ‘anhum tentang waktu berbuka ;
1. Umar Ibn al-Khatthab radhiyallâhu ‘anhu ;

عن خالد بن أسلم :أن عمر بن الخطاب أفطر ذات يوم في رمضان في يوم ذي غيم ورأى أنه قد أمسى وغابت الشمس فجاءه رجل فقال يا أمير المؤمنين طلعت الشمس، فقال عمر : الخطب يسير وقد اجتهدنا. قال مالك يريد بقوله "الخطب يسير" القضاء فيما نرى والله أعلم
Dari Khâlid Ibn Aslam bahwa Umar Ibn al-Khatthab pernah berbuka ketika mendung di sore bulan Ramadhan karena melihat saat itu sudah sore dan matahari sudah tenggelam. Lalu datanglah seseorang mengabarkan bahwa matahari muncul. Umar pun berkata : Baik, perkaranya sederhana, dan kita pun hanya berijtihad”. Imam Malik menjelaskan, yang kami pahami dari perkataan Umar “al-Khathbu Yasîr” adalah puasa hari itu dapat diqadha, Wallahâhu A‘lam.
(Malik Ibn Anas, al-Muwattha’ Bi Riwâyah al-Laytsî, No.670)

عن بشر بن قيس قال : كنا عند عمر بن الخطاب في رمضان والسماء مغيمة فأتي بسويق وطلعت الشمس فقال من أفطر فليقض يوما مكانه
Dari Bisyr Ibn Qays, ia berkata : Kami pernah bersama Umar Ibn al-Khatthab pada bulan Ramadhan dengan cuaca mendung (pada sore hari), lalu bubur gandum pun dihidangkan, dan ternyata matahari terlihat, maka Umar berkata ; Siapa yang terlanjur berbuka hendaklah dia mengqadha puasanya di hari lain
(Abdurrazzaq, al-Mushannaf, vol.4, hal.178)
عن سعيد بن المسيب، قال: كان عمر يكتب إلى أمرائه أن لا تكونوا من المسوّفين لفطركم، ولا تنتظروا بصلاتكم اشتباك النجوم
Dari Sa‘îd Ibn al-Musayyab, ia berkata ; Umar pernah menulis surat kepada para gubernurnya agar jangan menjadi orang yang suka mengulur-ulur berbuka dan jangan menunggu bintang tampak terlebih dahulu karena melakukan shalat
(Ibn Abi Syaibah, al-Mushannaf, vol.3, hal.12)

2. Ali Ibn Abi Thalib radhiyallâhu ‘anhu ;

كان علي بن أبي طالب يقول لابن النبّاح: غربت الشمس؟ فيقول: لا تعجل، فيقول: غربت الشمس؟ فيقول: لا تعجل، فيقول: غربت الشمس؟ فإذا قال: نعم، أفطر، ثم نزل فصلى
Ali Ibn Abi Thalib pernah bertanya kepada Ibn al-Nabbâh ; Apakah matahari telah tenggelam? Ibn al-Nabbâh menjawab ; Tidak perlu buru-buru. Ali bertanya lagi ; Apakah matahari telah tenggelam? Ibn al-Nabbâh menjawab lagi ; Tidak perlu buru-buru. Ali bertanya lagi ; Apakah matahari telah tenggelam? Bila ia menjawab sudah, maka Ali pun berbuka, kemudian turun untuk shalat
(Ibn Abi Syaibah, al-Mushannaf, vol.3, hal.13. Ibn al-Nabbâh adalah ‘Âmir Ibn al-Nabbâh, muadzzin Ali Ibn Abi Thalib)

3. Abdullah Ibn Abbas radhiyallâhu ‘anhumâ;

عن أبي جمرة الضبعي أنه كان يفطر مع ابن عباس في رمضان، فكان إذا أمسى بعث ربيبة له تصعد ظهر الدار، فإذا غابت الشمس أذن، فيأكل ونأكل، فإذا فرغ أقيمت الصلاة فيقوم يصلي ونصلي معه
Dari Abu Jamrah al-Dhuba‘i, ia pernah berbuka puasa Ramadhan bersama Ibn ‘Abbas. Ketika telah sore, Ibn ‘Abbas meminta asuhannya menaiki atap rumah untuk melihat apakah matahari telah terbenam. Bila terbenam maka ia mengumandangkan azan. Kemudian Ibnu Abbas makan, dan kami pun ikut makan. Bila makan telah selesai, iqamah pun dilaksanakan, dan kami ikut shalat dengannya
(Ibn Abi Syaibah, al-Mushannaf, vol.3, hal.12)

4. Abu Musa al-Asy‘rî radhiyallâhu ‘anhu ;

قال رجل لعمار بن ياسر: إن أبا موسى قال: لا تفطروا حين تبدو الكواكب، فإن ذلك فعل اليهود
Seseorang berkata kepada ‘Ammâr Ibn Yâsir bahwa Abû Mûsa pernah berkata ; Janganlah kalian mulai berbuka hingga menunggu bintang terlihat, karena itu adalah kebiasaan orang-orang yahudi
(Ibn Abi Syaibah, al-Mushannaf, vo.3, hal.12)

5. Abu Darda’ radhiyallâhu ‘anhu ;

عن أبي الدرداء قال : ثَلاث من أخلاق النبيين التبكير في الإفطار، والإبلاغ في السحور، ووضع اليمين على الشمال في الصلاة
Dari Abu Darda’, ia berkata ; tiga hal yang merupakan akhlak para nabi ; menyegerakan berbuka, mengakhirkan sahur, dan meletakkan (tangan) kanan di atas tangan kiri dalam shalat
(Ibn Abi Syaibah, al-Mushannaf, vol.3, hal.13)

Berikut kutipan statement Ijma’ ulama tentang waktu berbuka;
Al-Imam Abu al-Hasan Ali Ibn Khalaf Ibn Abdil Malik Ibn Batthal (w.449H);

أجمع العلماء أنه إذا غربت الشمس فقد حل فطر الصائم، وذلك آخر النهار وأول أوقات الليل
Para ulama berijma’ bahwa apabila matahari telah tenggelam maka telah halal berbuka, itulah waktu akhir siang dan awal waktu malam
(Ibn Batthal, Syarh Shahîh al-Bukhârî, vo.4, hal.102)

Al-Imam Abu Muhammad Ibn Ali Ibn Ahmad Ibn Sa‘id Ibn Hazm al-Andalusi (w.456H);

واتفقوا على أن كل ذلك حلال من غروب الشمس إلى مقدار ما يمكن الغسل قبل طلوع الفجر الآخر
Mereka sepakat bahwa itu semua halal semenjak matahari terbenam hingga kira-kira cukup waktu untuk mandi sebelum terbit fajar shadiq
(Ibn Hazm, Marâtib al-Ijmâ‘, hal.39)

Al-Imam Abu ‘Amr Yusuf Ibn Abdillah Ibn Muhammad Ibn Abdil Barr al-Qurthubi (w.463H);

والنهار الذي يجب صيامه من طلوع الفجر إلى غروب الشمس، على هذا إجماع علماء المسلمين فلا وجه للكلام فيه
Waktu siang yang wajib berpuasa padanya adalah semenjak terbit fajar hingga terbenam matahari, ini berdasarkan ijma’ ulama kaum muslimin, sehingga tidak perlu diperdebatkan
(Ibn Abdil Barr, Al-Tamhîd Limâ Fî al-Muwattha’ Min al-Ma‘ânî wa al-Asânîd, vol.10, hal.62)

Al-Imam Abu al-Fadhl Ahmad Ibn Ali Ibn Hajar al-‘Asqalani (w.852H);

واتفق العلماء على أن محل ذلك إذا تحقق غروب الشمس بالرؤية أو بأخبار عدلين
Dan para ulama sepakat bahwa waktu berbuka adalah bila telah dipastikan matahari terbenam, baik dengan cara melihatna maupun dengan kabar dari dua orang adil
(Ibn Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bârî Bi Syarh Shahîh al-Bukhârî, vol.4, hal.199).

Wallahu a’lam


Read More

Rabu, 16 Mei 2018

POLA PIKIR BERBAHAYA YANG HARUS DIHINDARI

Mei 16, 2018

Ada lima pola pikir yang harus ditolak dan dihindari oleh umat Islam, yaitu pola pikir al-intihār, al-inbihār, al-ijtirār, al-inhisār dan al-ightirār. Berikut penjelasannya:
1. الانتحار (bunuh diri demi mengalahkan lawan). Orang yang memiliki cara berpikir ini mudah mengafirkan orang lain demi menunjukkan diri dan menjaga eksistensi.
2. الانبهار (terpesona dengan orang lain). Orang yang memiliki cara berpikir ini tidak menggunakan sumber-sumber hukum syariat dan tidak lagi bangga dengan peradaban Islam, karena ia telah terpesona oleh sihir peradaban lain, baik dalam hal negatif atau positifnya. 
Setiap hari kita dapat melihat orang yang memiliki pola pikir ini selalu berusaha mengingkari kaidah bahasa Arab, hukum-hukumnya, mengingkari kesepakatan para fuqahā’ dan ulama umat Islam sepanjang sejarah. Ia gemar melontarkan pendapat yang bisa merusak identitas dan menjauhkan karakternya sebagai seorang muslim, demi membangun karakter barunya sebagai penganut sekularisme dan globalisasi peradaban baru yang menyihirnya.
3. الانحسار (menutup diri dari dunia). Orang yang berpikir dengan cara ini memilih untuk melarikan diri dari realitas kehidupan zamannya, dan berlindung di balik mimpi, khayalan dan ilusinya. Hal ini mirip dengan keadaan orang yang melarikan diri dari medan jihad.
Syariat Islam sangat menolak pola pikir ini, karena Islam mengajak pemeluknya untuk hidup bersama masyarakat, melakukan interaksi dengan manusia dan ikut serta memakmurkan dunia. Allah berfirman: “Bersabarlah dengan baik” (QS. Yusuf: 18). Dan Rasulullah bersabda: “Seorang mukmin yang bergaul dengan masyarakat dan bersabar atas gangguan mereka itu lebih baik dari yang tidak bergaul dan tidak bersabar”. (HR. al-Tirmidzi).
4. الاجترار (mengurung diri pada masa lalu). Orang yang berpikir dengan cara ini ditawan oleh semua pembahasan yang ia dapatkan pada khazanah ilmu Islam klasik (turāts), tanpa mau membentuk cara berpikirnya untuk dapat berijtihad. Ia seolah-olah hidup jauh dari realitas zamannya sendiri.
Foto Ahbab Maulana Syaikh Ali Jum'ah.
Cara ideal mengobati pola pikir ini adalah dengan memahami berbagai manhaj turāts yang telah dibangun oleh ulama dan fuqahā’ agar kita mampu berjalan pada jalan lurus mereka, sehingga kita mampu berijtihad sesuai kondisi zaman kita, memperbarui pembahasan mereka agar sesuai realitas modern, dan membuat korelasi yang dinamis antara berbagai unsur yang bisa memengaruhi cara pikir dan karakter ilmiah modern.
5. الاغترار (terperdaya oleh diri sendiri). Pola pikir ini adalah cara pikir orang yang bukan ahli pada sebuah bidang ilmu, karena ia terperdaya oleh derajat pengetahuan yang ia anggap telah mencapai puncak spesialisasi ilmu, sehingga ia merasa bisa mandiri dan tidak perlu lagi belajar atau menimba pengalaman dari para ahli dan ulama yang telah menguasai ilmu ini sesuai unsur sistem pendidikan lengkap, yaitu: pelajar, pengajar, kitab, manhaj dan lingkungan ilmiah.
Lima unsur penting ini pun tidak bisa terlepas dari faktor bakat alami, seperti kesiapan, kecerdasan dalam menghubungkan pengetahuan dengan objektif, kemauan kuat yang mendorongnya untuk mencurahkan seluruh kemampuannya agar terus berada di jalan ini, menggali pengetahuan dan mendalami ilmu yang telah ia jadikan fokus pendidikannya.
Spesialisasi ilmiah membuat sang pencari ilmu memiliki naluri ilmu dan kode etik ilmiahnya, serta dapat mengoptimalkan bakat dan kemampuannya.
Spesialisai ilmiah dengan cara mempelajari dan menyelami ilmu dalam waktu yang lama menjadikannya layak dan mampu menerapkan nya pada realitas dengan sempurna.
Pola pikir ini (al-Ightirār) adalah pola pikir yang PALING BERBAHAYA, karena ia menipu. Sehingga pemilik cara pikir ini mengira ia telah mendapatkan ilmu syariat, padahal ia masih belum menyempurnakan alat-alat yang membuatnya layak untuk sampai pada derajat ulama pembaharu (turāts agar sesuai dengan zaman modern ini).
Foto Ahbab Maulana Syaikh Ali Jum'ah.
Maulana Syaikh Ali Jum’ah, Ulama Al Azhar yang juga merupakan mantan Mufti Mesir
(Tārīkh Ushūl al-Fiqh, hal: 135-137)
Read More