Ada lima pola pikir yang harus ditolak dan
dihindari oleh umat Islam, yaitu pola pikir al-intihār, al-inbihār, al-ijtirār,
al-inhisār dan al-ightirār. Berikut penjelasannya:
1.
الانتحار (bunuh diri demi mengalahkan lawan). Orang yang memiliki cara
berpikir ini mudah mengafirkan orang lain demi menunjukkan diri dan menjaga
eksistensi.
2.
الانبهار (terpesona dengan orang lain). Orang yang memiliki cara berpikir
ini tidak menggunakan sumber-sumber hukum syariat dan tidak lagi bangga dengan
peradaban Islam, karena ia telah terpesona oleh sihir peradaban lain, baik
dalam hal negatif atau positifnya.
Setiap hari kita dapat melihat orang yang memiliki pola pikir ini selalu
berusaha mengingkari kaidah bahasa Arab, hukum-hukumnya, mengingkari
kesepakatan para fuqahā’ dan ulama umat Islam sepanjang sejarah. Ia gemar
melontarkan pendapat yang bisa merusak identitas dan menjauhkan karakternya
sebagai seorang muslim, demi membangun karakter barunya sebagai penganut
sekularisme dan globalisasi peradaban baru yang menyihirnya.
3.
الانحسار (menutup diri dari dunia). Orang yang berpikir dengan cara ini
memilih untuk melarikan diri dari realitas kehidupan zamannya, dan berlindung
di balik mimpi, khayalan dan ilusinya. Hal ini mirip dengan keadaan orang yang
melarikan diri dari medan jihad.
Syariat Islam sangat menolak pola pikir ini, karena Islam mengajak pemeluknya
untuk hidup bersama masyarakat, melakukan interaksi dengan manusia dan ikut
serta memakmurkan dunia. Allah berfirman: “Bersabarlah dengan baik” (QS. Yusuf:
18). Dan Rasulullah bersabda: “Seorang mukmin yang bergaul dengan masyarakat
dan bersabar atas gangguan mereka itu lebih baik dari yang tidak bergaul dan
tidak bersabar”. (HR. al-Tirmidzi).
4. الاجترار (mengurung diri pada masa lalu). Orang yang berpikir dengan
cara ini ditawan oleh semua pembahasan yang ia dapatkan pada khazanah ilmu
Islam klasik (turāts), tanpa mau membentuk cara berpikirnya untuk dapat
berijtihad. Ia seolah-olah hidup jauh dari realitas zamannya sendiri.

Cara
ideal mengobati pola pikir ini adalah dengan memahami berbagai manhaj turāts
yang telah dibangun oleh ulama dan fuqahā’ agar kita mampu berjalan pada jalan
lurus mereka, sehingga kita mampu berijtihad sesuai kondisi zaman kita,
memperbarui pembahasan mereka agar sesuai realitas modern, dan membuat korelasi
yang dinamis antara berbagai unsur yang bisa memengaruhi cara pikir dan
karakter ilmiah modern.
5. الاغترار (terperdaya oleh diri sendiri). Pola pikir ini adalah cara
pikir orang yang bukan ahli pada sebuah bidang ilmu, karena ia terperdaya oleh
derajat pengetahuan yang ia anggap telah mencapai puncak spesialisasi ilmu,
sehingga ia merasa bisa mandiri dan tidak perlu lagi belajar atau menimba
pengalaman dari para ahli dan ulama yang telah menguasai ilmu ini sesuai unsur
sistem pendidikan lengkap, yaitu: pelajar, pengajar, kitab, manhaj dan
lingkungan ilmiah.
Lima
unsur penting ini pun tidak bisa terlepas dari faktor bakat alami, seperti
kesiapan, kecerdasan dalam menghubungkan pengetahuan dengan objektif, kemauan
kuat yang mendorongnya untuk mencurahkan seluruh kemampuannya agar terus berada
di jalan ini, menggali pengetahuan dan mendalami ilmu yang telah ia jadikan
fokus pendidikannya.
Spesialisasi
ilmiah membuat sang pencari ilmu memiliki naluri ilmu dan kode etik ilmiahnya,
serta dapat mengoptimalkan bakat dan kemampuannya.
Spesialisai ilmiah dengan cara mempelajari dan menyelami ilmu dalam waktu yang lama menjadikannya layak dan mampu menerapkan nya pada realitas dengan sempurna.
Spesialisai ilmiah dengan cara mempelajari dan menyelami ilmu dalam waktu yang lama menjadikannya layak dan mampu menerapkan nya pada realitas dengan sempurna.
Pola
pikir ini (al-Ightirār) adalah pola pikir yang PALING BERBAHAYA, karena ia
menipu. Sehingga pemilik cara pikir ini mengira ia telah mendapatkan ilmu
syariat, padahal ia masih belum menyempurnakan alat-alat yang membuatnya layak
untuk sampai pada derajat ulama pembaharu (turāts agar sesuai dengan zaman
modern ini).

Maulana Syaikh Ali Jum’ah, Ulama Al Azhar yang juga merupakan mantan Mufti Mesir
(Tārīkh Ushūl al-Fiqh, hal: 135-137)