TARBIYAH ONLINE

Fiqh

Rabu, 16 Mei 2018

POLA PIKIR BERBAHAYA YANG HARUS DIHINDARI

Mei 16, 2018

Ada lima pola pikir yang harus ditolak dan dihindari oleh umat Islam, yaitu pola pikir al-intihār, al-inbihār, al-ijtirār, al-inhisār dan al-ightirār. Berikut penjelasannya:
1. الانتحار (bunuh diri demi mengalahkan lawan). Orang yang memiliki cara berpikir ini mudah mengafirkan orang lain demi menunjukkan diri dan menjaga eksistensi.
2. الانبهار (terpesona dengan orang lain). Orang yang memiliki cara berpikir ini tidak menggunakan sumber-sumber hukum syariat dan tidak lagi bangga dengan peradaban Islam, karena ia telah terpesona oleh sihir peradaban lain, baik dalam hal negatif atau positifnya. 
Setiap hari kita dapat melihat orang yang memiliki pola pikir ini selalu berusaha mengingkari kaidah bahasa Arab, hukum-hukumnya, mengingkari kesepakatan para fuqahā’ dan ulama umat Islam sepanjang sejarah. Ia gemar melontarkan pendapat yang bisa merusak identitas dan menjauhkan karakternya sebagai seorang muslim, demi membangun karakter barunya sebagai penganut sekularisme dan globalisasi peradaban baru yang menyihirnya.
3. الانحسار (menutup diri dari dunia). Orang yang berpikir dengan cara ini memilih untuk melarikan diri dari realitas kehidupan zamannya, dan berlindung di balik mimpi, khayalan dan ilusinya. Hal ini mirip dengan keadaan orang yang melarikan diri dari medan jihad.
Syariat Islam sangat menolak pola pikir ini, karena Islam mengajak pemeluknya untuk hidup bersama masyarakat, melakukan interaksi dengan manusia dan ikut serta memakmurkan dunia. Allah berfirman: “Bersabarlah dengan baik” (QS. Yusuf: 18). Dan Rasulullah bersabda: “Seorang mukmin yang bergaul dengan masyarakat dan bersabar atas gangguan mereka itu lebih baik dari yang tidak bergaul dan tidak bersabar”. (HR. al-Tirmidzi).
4. الاجترار (mengurung diri pada masa lalu). Orang yang berpikir dengan cara ini ditawan oleh semua pembahasan yang ia dapatkan pada khazanah ilmu Islam klasik (turāts), tanpa mau membentuk cara berpikirnya untuk dapat berijtihad. Ia seolah-olah hidup jauh dari realitas zamannya sendiri.
Foto Ahbab Maulana Syaikh Ali Jum'ah.
Cara ideal mengobati pola pikir ini adalah dengan memahami berbagai manhaj turāts yang telah dibangun oleh ulama dan fuqahā’ agar kita mampu berjalan pada jalan lurus mereka, sehingga kita mampu berijtihad sesuai kondisi zaman kita, memperbarui pembahasan mereka agar sesuai realitas modern, dan membuat korelasi yang dinamis antara berbagai unsur yang bisa memengaruhi cara pikir dan karakter ilmiah modern.
5. الاغترار (terperdaya oleh diri sendiri). Pola pikir ini adalah cara pikir orang yang bukan ahli pada sebuah bidang ilmu, karena ia terperdaya oleh derajat pengetahuan yang ia anggap telah mencapai puncak spesialisasi ilmu, sehingga ia merasa bisa mandiri dan tidak perlu lagi belajar atau menimba pengalaman dari para ahli dan ulama yang telah menguasai ilmu ini sesuai unsur sistem pendidikan lengkap, yaitu: pelajar, pengajar, kitab, manhaj dan lingkungan ilmiah.
Lima unsur penting ini pun tidak bisa terlepas dari faktor bakat alami, seperti kesiapan, kecerdasan dalam menghubungkan pengetahuan dengan objektif, kemauan kuat yang mendorongnya untuk mencurahkan seluruh kemampuannya agar terus berada di jalan ini, menggali pengetahuan dan mendalami ilmu yang telah ia jadikan fokus pendidikannya.
Spesialisasi ilmiah membuat sang pencari ilmu memiliki naluri ilmu dan kode etik ilmiahnya, serta dapat mengoptimalkan bakat dan kemampuannya.
Spesialisai ilmiah dengan cara mempelajari dan menyelami ilmu dalam waktu yang lama menjadikannya layak dan mampu menerapkan nya pada realitas dengan sempurna.
Pola pikir ini (al-Ightirār) adalah pola pikir yang PALING BERBAHAYA, karena ia menipu. Sehingga pemilik cara pikir ini mengira ia telah mendapatkan ilmu syariat, padahal ia masih belum menyempurnakan alat-alat yang membuatnya layak untuk sampai pada derajat ulama pembaharu (turāts agar sesuai dengan zaman modern ini).
Foto Ahbab Maulana Syaikh Ali Jum'ah.
Maulana Syaikh Ali Jum’ah, Ulama Al Azhar yang juga merupakan mantan Mufti Mesir
(Tārīkh Ushūl al-Fiqh, hal: 135-137)
Read More

AWAL IMSAK DAN KEYAKINAN TERBITNYA FAJAR

Mei 16, 2018

Pada bagian ijma‘ ulama mengenai fajar ini yang dilengkapi dengan keterangan riwayat dari para sahabat Nabi, terlahirlah hukum-hukum fikih yang berbicara tentang kasus keragu-raguan dalam antara dua pilihan masalah atau lebih. Dan dari itu semua terlahir jugalah sebuah kaedah fikih, yaitu :

اليقين لا يُزال بالشك
Keyakinan tidak dapat dihilangkan oleh keraguan
Dari sini dapat dipahami bahwa suatu amalan harus berlandaskan keyakinan, bukan keragu-raguan. Itulah prinsip yang diajarkan agama bagi pemeluknya agar hasil dari amalan itu tidak membuahkan kerapuhan dan waswas dalam diri pengamalnya lantaran dilandasi keragu-raguan.

Berikut adalah beberapa cuplikan dari ayat dan atsar para sahabat serta kesepakatan para ulama terkait menghentikan makan sahur harus dilandasi dengan keyakinan terbitnya fajar sebagai tanda dimulainya waktu berpuasa.

Allah subhânahu wa ta‘âlâ berfirman ;

وكلوا واشربوا حتى تيبين لكم الخيط الأبيض من الخيط الأسود من الفجر
Makan dan minumlah hingga fajar (shâdiq) telah tampak jelas olehmu” (Surat al-Baqarah, 187)
Ayat di atas menjelaskan bahwa makan dan minum dihentikan ketika waktu fajar subuh telah tiba, sehingga orang yang pada malam itu telah berbuka memulai lagi untuk menahan dari dari makan dan minum.

1. Abu Bakr al-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu berkata :

إذا نظر رجلان إلى الفجر فشك أحدهما فليأكلا حتى يتبين لهما
Apabila dua orang laki-laki melihat ke arah fajar, lalu salah satunya ragu (apakah itu fajar atau tidak) maka hendaklah keduanya tetap makan hingga fajar itu benar-benar tampak
(Riwayat Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf)

2. Aun Ibn Abdillah (w.119H) meriwayatkan secara mursal, ia berkata :

دخل رجلان على أبي بكر وهو يتسحر، فقال أحدهما: قد طلع الفجر، وقال الآخر: لم يطلع بعد، قال أبو بكر: كل قد اختلفَا
Ada dua orang yang datang ke tempat Abu Bakr ketika ia sedang sahur. Lalu salah satunya mengatakan fajar telah terbit namun yang satu lagi mengatakan belum. Abu Bakr menimpali : Makanlah, kalian berdua masih berbeda pendapat
(Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam kitab al-Mushannaf)

3. Riwayat al-Hasan al-Bashri dari Umar Ibn al-Khatthab radhiyallahu ‘anhu secara mursal:

قال عمر : إذا شك الرجلان في الفجر فليأكلا حتى يستيقنا
Umar berkata : Apabila dua orang laki-laki ragu tentang terbit fajar maka tetaplah keduanya makan hingga yakin fajar telah terbit
(Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf. Al-Hasan al-Bashri lahir saat dua tahun menjelang kepemimpinan Umar Ibn al-Khatthab usai yang ditandai dengan wafatnya beliau)

4. Makhul dari Abdullah Ibn Umar radhiyallahu ‘anhuma :

عن مكحول قال: رأيت ابن عمر أخذ دلوا من زمزم، فقال لرجلين: أطلع الفجر؟ فقال أحدهما: لا، وقال الآخر: نعم، قال: فشرب
Dari Makhul, ia berkata : Aku melihat Ibn Umar mengambil segayung air zamzam, kemudian ia bertanya kepada dua orang laki-laki apakah fajar telah terbit? Yang satu menjawab belum dan yang lain menjawab sudah. Lalu Ibn Umar tetap minum
(Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf)

5. Abdullah Ibn al-‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata :

أحل الله لك الشراب ما شككت حتى لا تشك
Allah menghalalkan minum bagimu selama kamu masih ragu (waktu fajar) hingga akhirnya kamu yakin
(Riwayat Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf)

6. Riwayat ‘Atha’ dari Abdullah Ibn ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma :

عن عطاء عن ابن عباس قال لغلامين له، وهو في دار أم هانئ في شهر رمضان وهو يتسحر، فقال أحدهما: قد طلع الفجر، وقال الآخر: لم يطلع، قال: أسقياني
Diriwayatkan oleh Atha’ dari Ibn ‘Abbas bahwa ia menanyakan perihal fajar kepada dua pembantunya ketika sedang sahur di rumah Ummu Hani’ pada bulan Ramadhan. Salah satunya menjawab sudah terbit dan yang lain menjawab belum. Kemudia Ibnu Abbas meminta minum kepada keduanya
(Riwayat Ibn Abi Syaibah dalam al-Mushannaf)

Terkait azan Ibnu Ummi Maktum sebagai pertanda larangan melanjutkan makan sahur, di dalam Syarh Shahîh al-Bukhârî, Al-Imam Abu al-Hasan Ali Ibn Khalaf Ibn Abdil Malik Ibn Batthal (w.449H):

للإجماع أن الصيام واجب من أول الفجر
Karena ada ijma bahwa berpuasa wajib dilaksanakan mulia awal terbit fajar
(Ibn Batthal, Syarh Shahîh al-Bukhârî, vol.2, hal.248)

Berikut pandangan para ulama terkait imsak permulaan puasa;

Al-Imam Abu al-Hasan Ali Ibn Muhammad Ibn Muhammad Ibn Habib al-Bashri al-Mawardi (w.450H);

وكما ذهب حذيفة بن اليمان إلى أن أول الصوم إسفار الصبح فلم يعتدّوا بخلافه وأجمعوا على أنه من طلوع الفجر
Dan sebagaimana Hudzaifah Ibn al-Yaman mengatakan bahwa awal berpuasa adalah dengan datangnya waktu subuh, tidak ada satupun sahabat lain yang berbeda dengannya, dan mereka ijma bahwa puasa dimulai semenjak terbit fajar
(Al-Mawardi, al-Hâwî al-Kabîr Syarh Mukhtashar al-Muzanî, vol.16, hal.213)

Al-Imam Abu ‘Amr Yusuf Ibn Abdillah Ibn Muhammad Ibn Abdil Barr al-Qurthubi (w.463H);

السحور لا يكون إلا قبل الفجر ... وهو إجماع لم يخالف فيه إلا الأعمش فشذ ولم يعرج على قوله، والنهار الذي يجب صيامه من طلوع الفجر إلى غروب الشمس، على هذا إجماع علماء المسلمين فلا وجه للكلام فيه
Waktu sahur adalah sebelum fajar...dan itu berdasarkan ijma yang tidak ada yang menyelisihi selain al-A‘masy (w.147H), akan tetapi pendapatnya (dalam hal ini) Syâdz dan tidak dapat dijadikan pegangan. Waktu terang wajib berpuasa dimulai semenjak terbit fajar hingga terbenam matahari. Hal ini telah menjadi ijma para ulama, sehingga tidak perlu diperdebatkan lagi
(Ibn Abdil Barr, al-Tamhîd Limâ Fî al-Muwattha’ Min al-Ma‘ânî wa al-Asânîd, vol.10, hal.62)
وقد أجمعوا أن الصيام من أول الفجر
Dan mereka telah ijma bahwa berpuasa dimulai semenjak awal fajar terbit
(Ibn Abdil Barr, al-Istidzkâr, vol.1, hal.406)

Al-Imam Abu al-Walid Sulaiman Ibn Khalaf Ibn Sa‘d Ibn Ayyub al-Baji (w.474H);

ولا خلاف أنه لا يجوز الأكل بعد طلوع الفجر
Tidak ada perbedaan pendapat ulama dalam larangan makan setelah terbit fajar
(Al-Baji, Al-Muntaqâ Fî Syarh al-Muwattha’, vol.1, hal.168).

Al-Imam Abu Zakariya Muhyiddin Yahya Ibn Syarf al-Nawawi (w.676H);

ولا يتعلق بالفجر الأول الكاذب شيء من الأحكام بإجماع المسلمين ... هذا الذي ذكرناه من الدخول في الصوم بطلوع الفجر وتحريم الطعام والشراب والجماع به هو مذهبنا ومذهب أبى حنيفة ومالك وأحمد وجماهير العلماء من الصحابة والتابعين فمن بعدهم
Tidak ada kaitan hukum dengan fajar kadzib (pertama) berdasarkan ijma‘ umat muslim... Kemudian mengenai dimulainya puasa dengan sebab terbit fajar, haramnya makanan, minuman dan jima‘, itu adalah mazhab kami (syafi‘iyyah)), mazhab Abu Hanifah, Malik, Ahmad dan jumhur sahabat, tabi‘in dan orang-orang setelah mereka
(Al-Nawawi, al-Majmû‘ Syarh al-Muhadzzab, vol.6, hal.305)

Wallâhu A‘lam

Read More

KUIS BERKAH RAMADHAN

Mei 16, 2018
Tes pengetahuan Anda tentang Ramadhan disini!
Foto Grosir Kaos Anak Karinda.

KUIS BERKAH RAMADHAN 1
Read More

Selasa, 15 Mei 2018

HUKUM SANTAP SAHUR

Mei 15, 2018


Laksanakanlah sahur, karena mengandung keberkahan
Begitulah sabda yang pernah diutarakan oleh Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam dalam hadis riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim untuk menyuruh umatnya untuk bersahur sebelum berpuasa karena keberkahan ada di dalamnya. Bila diamati, keberkahan tersebut dapat berupa hal-hal berikut ;

1. Memberikan kemampuan tambahan bagi orang yang berpuasa pada siang hari hingga saatnya berbuka.
2. Dapat meringankannya melaksanakan tugas saat berpuasa dari merasakan rasa lapar dan haus yang cukup berat.
3. Mengurangi potensi malas di siang hari lantaran kekurangan energi akibat tidak ada zat yang cukup untuk dicerna oleh organ.
4. Memberikan kestabilan organ pencernaan dan kadar gula darah.
5. Dan yang tidak kalah penting adalah sebagai bentuk upaya melaksanakan anjuran Nabi Muhammad shallallâhu ‘alahi wa sallam.
6. Bahkan dalam satu riwayat juga disebutkan bahwa sahur adalah waktu diijabahnya doa disamping memang masuk sepertiga malam terakhir.
Keterangan dari para sahabat Nabi;

عن أبي الوليد عبد الله بن الحارث الأنصاري أن نفرا من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم قالوا تسحروا ولو بجرع من ماء
Dari Abi al-Walîd Abdullâh Ibn al-Hârits al-Anshârî, bahwa beberapa sahabat Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam berkata; Bersahurlah meskipun hanya seteguk air
(Abdurrazzaq, al-Mushannaf, vol.4, hal.227, no.7599)

Hafshah Ummul Mu’minin radhiyallâhu ‘anhâ;

عن حفصة قالت: تسحروا ولو بشربة من ماء، فإنها قد ذكرت فيه دعوة
Dari Hafshah, ia berkata; Bersahurlah meskipun seteguk air, karena pada saat sahur itu doa dikabulkan
(Ibn Abi Syaibah, al-Mushanaf, vol.3, hal.8, no.9012)

Abu Darda’ radhiyallâhu ‘anhu;

عن أبي الدرداء قال: من أخلاق النبيين الإبلاغ في السحور
Dari Abu Darda’, ia berkata bahwa di antara akhlak para Nabi adalah mendekatkan momen sahur dengan waktu fajar
(Ibn Abi Syaibah, al-Mushannaf, vol.3, hal.9, no.9014)

Statement Ijma oleh ulama;

Al-Imâm Abû Bakr Muhammad Ibn Ibrâhîm Ibn al-Mundzir al-Naisabûrî (w.318H);
وقد أجمعوا على أن ذلك مندوب مستحب، ولا إثم على من تركه
Dan mereka telah ijma‘ bahwa sahur itu sangat disunnatkan, dan yang tidak melakukannya tidak berdosa
(Ibn al-Mundzir, al-Isyrâf ‘Alâ Madzâhib al-‘Ulamâ’, vol.3, hal.120)

Al-Imâm al-Qâdhî Abû al-Fadhl ‘Iyâdh Ibn Mûsâ Ibn ‘Iyâdh Ibn ‘Amrûn al-Yashûbî (w.544H);

وأجمع الفقهاء على أن السحور مندوب إليه ليس بواجب
Ulama fikih berijma‘ bahwa melaksanakan sahur hukumnya sunnat, bukan wajib
(Al-Qadhi ‘Iyadh, Ikmâl al-Mu‘lim Bi Fawâ’id Muslim, vol.4, hal.33)

Al-Imam Abu Muhammad Abdullah Ibn Ahmad Ibn Qudamah al-Maqdisi (w.630H);

في استحبابه ولا نعلم فيه بين العلماء خلافا
Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat ulama dalam kesunnahan sahur
(Ibn Qudâmah al-Maqdisî, al-Mughnî Fi Syarh Mukhtashar al-Kharqî, vol.3, hal.108)

Wallâhu A‘lam

Read More

WAJIB BERNIAT PUASA DI MALAM HARI

Mei 15, 2018

Pada bagian ini, kesepakatan ulama dalam persoalan niat berpuasa wajib adalah dari segi waktu pelaksaannya, yaitu di malam hari. Bukan dari segi pelaksanaannya setiap malam atau cukup satu kali, karena di dalam mazhab maliki diriwayatkan bahwa niat puasa Ramadhan dianggap sah bila dilakukan di malam pertama bulan Ramadhan tanpa harus berniat di setiap malamnya. Titik sepakatnya adalah pelaksaannya di malam hari. Kemudian hal lain yang disepakati dalam persoalan niat puasa disini adalah statusnya sebagai penentu keabsahan puasa seseorang, baik niat itu dianggap rukun puasa oleh sebagian mazhab maupun dianggap syarat oleh mazhab lainnya.
Foto HF YouTube Channel.
Berikut kutipan urgensi niat dari beberapa sahabat radhiyallâhu ‘anhum;

Abdullah Ibn Umar radhiyallâhu ‘anhumâ;

لا يصوم إلا من أجمع الصيام قبل الفجر
“Tidak sah puasa -wajib- orang yang tidak meniatkannya sebelum fajar”
(Malik Ibn Anas, al-Muwattha’ Bi Riwâyah al-Syaibânî, no.371, ... Bi Riwâyah al-Laytsî, no.633)

عن عائشة وحفصة زوجي النبي صلى الله عليه وسلم بمثل ذلك
Dari Aisyah dan Hafshah –dua Istri Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam- dengan riwayat sama
(Malik Ibn Anas, al-Muwattha’ Bi Riwâyah al-Laytsî, no.633)

Ummul Mu’minîn Hafshah bint Umar Ibn al-Khatthâb radhiyallâhu ‘anhumâ;

عن حفصة، أنها قالت: لا صيام لمن لم يجمع الصيام قبل الفجر
Dari Hafshah, ia berkata; Tidak sah puasa orang yang tidak meniatkannya sebelum fajar
(Ibnu Abi Syaibah, al-Mushanaf, vol.3, hal.32)

Berikut nukilan keterangan ijma’ oleh para ulama;

Al-Imam Abu Zur‘ah Waliyyudin Ahmad Ibn Abdurrahim Ibn al-Husain al-Kurdi al-‘Iraqi (w.826H);

وقد أجمعوا على وجوب النية فيه
Dan mereka berijma‘ bahwa wajib berniat saat itu (sebelum fajar)
(Abu Zur‘ah, Tharh al-Tatsrîb Fî Syarh Taqrîb al-Asânîd wa Tartîb al-Masânîd, vol.2, hal.12)
Al-Imam Abu Bakr Muhammad Ibn Ibrahim Ibn al-Mundzir al-Naisaburi (w.319H);
وأجمعوا على أن من نوى الصيام كل ليلة من الصيام شهر رمضان فصام أن صومه تام
Dan mereka berijma‘ bahwa orang yang berniat puasa setiap malam Ramadhan, lalu puasa itu dilaksanakannya maka puasanya sempurna
(Ibn al-Mundzir, al-Ijmâ‘, hal.48)

Al-Imam Abu al-Hasan Ali Ibn Khalaf Ibn Abdil Malik Ibn Batthal (w.449H);

إجماع الجميع من أهل العلم على أن المرء قد يكون مفطرًا بترك العزم على الصوم من الليل مع تركه نية الصوم نهاره أجمع، وإن لم يأكل ولم يشرب
Berdasarkan ijma‘ seluruh ulama bahwa seseorang dinggap telah berbuka disebabkan tidak berkeinginan berpuasa semenjak malam harinya serta tidak berniat di malam harinya untuk puasa di siang harinya meskipun dia sama sekali tidak makan dan tidak minum
(Ibn Batthal, Syarh Shahîh al-Bukhârî, vol.4, hal.102)

Al-Imam Abu Muhammad Ibn Ali Ibn Ahmad Ibn Sa‘id Ibn Haz al-Andalusi (w.456H);

قد صح الإجماع على أن من صام ونواه من الليل فقد أدى ما عليه، ولا نص ولا إجماع على أن الصوم يجزئ من لم ينوه من الليل
Jelas ada ijma‘ bagi orang yang berniat puasa di malam hari maka dia telah menunaikan kewajibannya, dan tidak ada nash maupun ijma‘ yang menetapkan bahwa puasa –wajib- orang yang tidak berniat di malam hari dianggap sah
(Ibn Hazm, al-Muhallâ, vol.6, hal.160)

Al-Imam Abu Muhammad Abdullah Ibn Ahmad Ibn Qudamah al-Maqdisi (w.620H);

وجملته أنه لا يصح صوم إلا بنية إجماعا فرضا كان أو تطوعا لأنه عبادة محضة فافتقر إلى النية كالصلاة
Dari itu semua, tidak sah puasa tanpa niat berdasarkan ijma‘, baik puasa fardhu maupun puasa sunnat, karena puasa itu adalah ibadah mahdhah yang membutuhkan niat sebagaimana shalat
(Ibn Qudamah, al-Mughni Syarh Mukhtashar al-Imâm Abî al-Qâsim al-Kharqî, vol.3, hal.17)

Al-Imam Abu Zakariya Yahya Ibn Syaraf al-Nawawi (w.676H);

تبييت النية شرط في صوم رمضان وغيره من الصوم الواجب فلا يصح صوم رمضان ولا القضاء ولا الكفارة ولا صوم فدية الحج غيرها من الصوم الواجب بنية من النهار بلا خلاف
Berniat di malam hari adalah syarat dalam puasa Ramadhan dan puasa wajib lainnya, sehingga tidak ada perbedaan pendapat ulama bila puasa Ramadhan, puasa qadha’, puasa kaffarat, puasa fidyah haji dan puasa wajib lainnya diniatkan di siang hari
(al-Nawawi, al-Majmû‘ Syarh al-Muhadzzab, vol.6, hal.289-290).

Wallâhu A‘lam

Read More

10 FAEDAH MENAHAN LAPAR (PUASA)

Mei 15, 2018


Sebulan ke depan kita akan menjalani hari-hari dengan berpuasa. Menahan lapar dan dahaga sejak mulai dari terbit fajar (subuh) hingga tenggelamnya matahari (maghrib).
Menahan lapar tentu bukanlah perkara gampang. Namun demikian ternyata banyak sekali faedah bagi diri dengan menahan lapar. Puasa adalah cara terbaik untuk mengendalikan nafsu yang liar.

Dalam kitab Tashfiyatul Qulub ... Syeikh Yahya bin Hamzah al Yamani Adz-Dzimari menuturkan ada setidaknya 10 manfaat dan faedah daripada menahan lapar (puasa), sebagai berikut:


Faedah yang pertama, membeningkan hati, mempertajam matahati dan menyalakan bakat. Karena sebaliknya, kenyang menimbulkan kedunguan dan membutakan hati, memperbanyak uap pada otak melalui enzim-enzim sehingga karenanya hati dan benak akan kesulitan untuk berpikir. Orang kenyang kebanyakan berat dan malas berpikir.


Faedah yang kedua, melembutkan hati. Hati yang lembut akan dengan mudah merasakan manisnya munajat kepada Allah Swt. Ada banyak zikir lisan yang menuntuk hadirnya hati, namun malah terasa kering kerontang, akibat hati tak mampu terpengaruh. Mengosongkan perut (puasa) adalah cara yang paling baik untuk melembutkan hati.

Faedah yang ketiga, menimbulkan rasa hina dan patah hati. Ia akan melenyapkan kesombongan dan kecongkakan yang merupakan sumbu dari kezaliman serta kelalaian kepada Allah swt.

Faedah keempat, mengingatkan siksa Allah dan mereka yang mendapatkan bala (ahli bala). Kenyang akan menyebabkan lupa kepada orang-orang yang merasakan kelaparan. Rasa lapar dan haus akan memberikan gambaran kepadanya dahsyatnya sakratul maut dan perihnya siksa neraka. Dimana di dalamnya ia yang dalam keadaan disiksa hanya diberikan makan dari pohon dzaqqum adh-ahri (pohon untuk makanan ahli neraka yang berduri) dan minuman al ghassaq (air yang teramat dingin).

Faedah yang kelima, menjadi penghancur syahwat kemaksiatan dan mengalahkan nafsu pemicu tindakan jahat dan maksiat. Sebab, punca dari segala maksiat adalah nafsu syahwat. Syahwat bergerak bersebab kekuatan, dan kekuatan didapat melalui makan. Maka mengurangi makan dengan menahan lapar (puasa) akan menjadikan syahwat melemah.

Faedah yang keenam, lapar menghilangkan kantuk dan menjadikan mata tetap terjaga. Tentu saja hal ini dibutuhkan bagi pencari rahmat Tuhan di malam hari. Para shiddiqin mensedikitkan makan dan minum agar mereka kuat berjaga demi bersimpuh dan beribadah kepada Allah 'Azza wa jalla. Dan tidur yang banyak bakal menghilangkan banyak kesempatan dan ketersediaan umur.

Faedah yang ketujuh, rasa lapar akan memudahkan ketekunan dalam beribadah, sedangkan kenyang akan menjadikan malas. Makan tentu akan menghabiskan waktu kepada hal yang selain ibadah. Dimulai dari membeli dan/ atau memasak, mencuci tangan, mengunyah hingga bolak-balik ke jamban. Bagi para mujahidin dan 'abidin (pejalan di jalan ibadah) waktu akan selalu diusahakan menjadi peluang beribadah.

Faedah yang kedelapan, puasa menyehatkan badan dan menangkal berbagai penyakit. Karena kebanyakan penyakit berasal dari endapan ampas makanan di dalam perut dan usus. Sakit akan menghambat ibadah dan aktivitas.

Faedah yang kesembilan, lapar menunjukkan sikap hemat (meringankan suplai). Orang yang sedikit makan, ia dapat hidup dan merasa cukup dengan sedikit harta. Sedangkan bagi mereka yang banyak makan, hidupnya terus dihantui pertanyaan "apa yang harus kumakan hari ini?" Tuntutan untuk kenyang, juga akan membuka matanya kepada hal-hal yang idak baik, seperti ketamakan. Tamak merupakan puncak kehinaan.

Faedah yang kesepuluh, lapar akan menggugah rasa sosial ('itsar), mengutamakan orang lain diatas kepentingannya pribadi. Hal ini akan membuka ruang ibadah berupa sedekah kepada anak yatim dan fakir miskin. Makanan yang ia miliki bisa dibagikan, harta yang ia punya bersedia disedekahkan. Hal ini dikarenakan ia merasa cukup dengan makanan yang sedikit.

Demikian 10 faedah daripada menahan lapar (berpuasa). Dalam satu riwayat disebutkan, dengan makna: Rasul berdo'a kepada Allah swt agar ia dijadikan lapar sehari, dan kenyang sehari. Ketika ia Saw ditanya, ia menjawab, karena rasa lapar dan dahaga akan mengingatkan ku kepada mereka yang lebih membutuhkan (anak yatim dan fakir miskin).

Wallahu a'lam

Read More

DENGAN 6 HAL INI, SURGA MENDATANGI MU DAN NERAKA LARI DARI MU

Mei 15, 2018

Seluruh manusia yang beriman dan percaya kepada hari akhir, surga dan neraka tentu sangat menginginkan surga serta berharap tidak mendekati neraka sama sekali. Lalu bagaimana jika ada amalan yang bisa dilakukan dan dikerjakan oleh umat Islam, surga yang akan mendatanginya, serta neraka yang akan lari darinya.

Amirul Mukminin, Saiyidina Ali bin Abi Thalib karamallahu wajhah meriwayatkan, "Siapa yang saja yang mengerjakan enam perkara, maka dia tidak perlu meminta surga dan tak perlu ia melarikan diri dari neraka. Enam perkara dimaksud adalah :
1. Setelah mengenal Allah Swt, ia mena'ati-Nya.
2. Setelah ia mengenal setan, dia mendurhakainya.
3. Setelah mengetahui tentang kebenaran, ia mengikutinya.
4. Setelah mengetahui kebathilan, ia menjauhinya.
5. Setelah ia mengenal dunia, ia menolaknya.
6. Setelah ia mengenal akhirat, ia bersungguh-sungguh mencarinya.

Dengan mengetahui pesan yang enam diatas, tampak betapa mudahnya surga diraih dan neraka dihindari. Kesemua itu adalah inti dari ajaran Islam, pokok dari kebaikan. Disana tertanam aqidah yang kokoh, amalan fiqih yang kuat dan tasawuf yang bersih.

Mengenal Allah Swt dengan segala kekuasaan-Nya, dengan segala rahmat dan azab-Nya tentu akan menggetarkan hati dan menundukkan jiwa. Raja dari segala raja yang harus dita'ati, setiap perintah dan larangan-Nya adalah mutlak.

Setan atau syaithan merupakan musuh bagi manusia. Ia yang selalu mengajak, merayu dan menipu umat manusia kepada kesesatan. Mengikutinya menjadi kerugian tersebar, terlebih setelah sepenuhnya sadar bahwa setan adalah musuh yang nyata.

Segala kebenaran bersumber dari Allah dan Rasul-Nya. Pembawa berita gembira dan penunjuk ke jalan yang benar. Alquran sebagai pedoman bagi umat manusia. Wajib bagi sekalian umat mengikutinya. Demikian juga dengan sunnah, dimana dengannya Alquran tampak semakin nyata. Perkataan Nabi Saw menjadi penjelas, perilakunya mencontohkan segala kebaikan dan kebenaran. Diam dan juga pembiarannya membuka ruang berpikir.

Kebathilan/ keburukan adalah lawan dari kebenaran. Tidak ada jiwa yang fitrah menginginkan berlakunya keburukan, kecuali nafsu-nasfu yang telah dikuasai setan. Maka lawanlah. Durhakai segala keburukan, jauhi, tinggalkan.

Dunia hanyalah alam fana. Wujudnya fatamorgana oase di tengah gurun tandus. Dunia suka menipu, dunia senang merayu umat manusia agar terbuai di dalamnya. Melupakan hakikat penciptaan. Kesenangan dunia berlaku sementara, tidak bijak bahi manusia berakal untuk mengejar dunia hingga melupakan kehidupan selanjutnya, dimana ia akan dihisab. Jadikanlah dunia sebagai ladang untuk bertani. Demi memanen hasilnya di kampung akhirat yang abadi.

Akhirat adalah kampung halaman, seluruh manusia yang pernah hidup, meski hanya sehela nafas, akan dibangkitkan di yaumil ba'ats, dimintakan pertanggungjawaban. Carilah akhiratmu di dunia.

Wallahu a'lam

Kitab Tashfiyatul Qulub min Daranil Awzar wadz-dzunub karya Syeikh Yahya bin Hamzah al Yamani (w.749)
Read More