TARBIYAH ONLINE: khadijah istri tercinta

Fiqh

Tampilkan postingan dengan label khadijah istri tercinta. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label khadijah istri tercinta. Tampilkan semua postingan

Jumat, 03 Mei 2024

Download Buku Belajar Bisnis Kepada Khadijah, Azti Arlina

Mei 03, 2024

 


Download | "Buku Belajar Bisnis Kepada Khadijah" karya Azti Arlina merupakan sebuah karya yang menarik dan menginspirasi yang mengeksplorasi kisah sukses Khadijah, istri Nabi Muhammad SAW, dalam dunia bisnis. Dia dengan cermat mampu menguraikan kisah perjuangan Khadijah dan bagaimana proses beliau hingga berhasil membangun kekayaan dan reputasi yang luar biasa di masa hidupnya.


Salah satu aspek yang menonjol dari buku ini adalah pendekatan penulis yang memadukan kisah sejarah dengan pelajaran praktis tentang bisnis. Dengan mengambil contoh dari kehidupan Kekasih Hati Rasulullah tersebut, pembaca diajak untuk belajar tentang nilai-nilai seperti keberanian, ketekunan, dan kejujuran dalam menjalankan bisnis.


Selain itu, buku ini juga menghadirkan sudut pandang baru tentang peran wanita dalam dunia bisnis. Dan ternyata dalam sejarah Islam terdapat seorang perempuan yang begitu hebat dalam menjalankan bisnis trans-nasional. Khadijah dipresentasikan sebagai seorang tokoh yang cerdas, berani, dan inovatif, yang berhasil mengubah pandangan masyarakat tentang perempuan dalam bisnis. Termasuk dalam isu kesetaraan gender, yang terkesan Islam sangat anti dengannya.


Azti Arlina juga memberikan wawasan yang berharga tentang bagaimana prinsip-prinsip yang diterapkan oleh Khadijah dapat diterapkan dalam dunia bisnis dewasa ini. Dengan memberikan contoh konkret dan saran-saran praktis, buku ini memberikan nilai tambah bagi para pembaca yang tertarik untuk mengembangkan keterampilan dan strategi bisnis mereka.


Secara keseluruhan, "Belajar Bisnis Kepada Khadijah" adalah sebuah buku yang menginspirasi dan memotivasi pembaca untuk mengeksplorasi potensi bisnis mereka dengan mempelajari kisah sukses seorang wanita yang luar biasa. Dengan gaya penulisan yang mengalir dan isi yang substansial, buku ini cocok bagi siapa pun yang ingin mendapatkan wawasan baru tentang dunia bisnis dan memperoleh inspirasi dari sejarah yang kaya akan pelajaran berharga.


Download PDF

Read More

Selasa, 13 April 2021

Download Buku Wanita Mulia di Sisi Rasulullah [Khadijah Cinta Sejati Rasulullah]

April 13, 2021

 

,Download Kitab | Khadijah dilahirkan pada tahun 68 sebelum Hijriyah, di sebuah keluarga yang mulia dan terhormat. Dia tumbuh dalam suasana yang dipenuhi dengan perilaku terpuji. Ulet, cerdas dan penyayang merupakan karakter khusus kepribadiannya. Sehingga masyarakat di zaman Jahiliyah menjulukinya sebagai At-Thahirah (seorang wanita yang suci).

Selain itu, Khadijah juga berprofesi sebagai pedagang yang mempunyai modal sehingga bisa mengupah orang untuk menjalankan usahanya. Kemudian Khadijah akan membagi keuntungan dari perolehan usaha tersebut. Rombongan dagang miliknya juga seperti umumnya rombongan dagang kaum Quraisy lainnya.

Lalu, suatu saat dia mendengar tentang Rasulullah SAW, sesuatu yang menarik perhatian Khadijah tentang kejujuran, amanah, dan kemuliaan akhlak beliau.

Kemudian Khadijah memberikan pekerjaan kepada Rasulullah agar menjalankan barang dagangannya ke negeri Syam dengan ditemani anak bernama Maisarah. Beliau diberi modal yang cukup besar dibandingkan lainnya. Rasulullah menerima pekerjaan tersebut dan disertai Maisarah menuju kota Syam.

Sesampainya di negeri tersebut beliau mulai menjual barang dagangannya, dan kemudian hasil dari penjualan tersebut beliau belikan barang lagi untuk dijual di Makkah. Setelah misi dagangnya selesai, beliau bergabung dengan kafilah kembali ke Makkah bersama Maisarah. Keuntungan yang didapatkan Rasulullah sungguh berlipat ganda, sehingga Khadijah menambahkan bonus untuk beliau dari hasil penjualan tersebut.

Sesampainya di Makkah, Maisarah menceritakan perilaku baik Rasulullah yang dilihatnya dengan mata kepala sendiri. Khadijah merasa tertarik dengan cerita tersebut dan segera mengutus Maisarah untuk datang pada Rasulullah. Dan menyampaikan pesannya untuk beliau.

“Wahai anak pamanku, aku senang kepadamu karena kekerabatan, kekuasaan terhadap kaummu, amanahmu, kepribadianmu yang baik, dan kejujuran perkataanmu.” Kemudian Khadijah menawarkan dirinya kepada Rasulullah.

[Republika.co.id]

Download

Read More

Minggu, 19 November 2017

Seri Sirah Nabawiyah | Awal Kisah Cinta Saiyidah Khadijah Cinta Sejati Baginda Nabi SAW

November 19, 2017

Tarbiyah.online | Perkenalan Saiyidah Khadijah dengan Baginda Nabi Muhammad telah dimulai sejak awal, ketika Muhammad mendagangi barang-barang Khadijah di pasar Hubasyah.

Sebelum Muhammad menjalankan bisnisnya ke Syam. Muhammad memang telah dikenalnya juga melalu pembicaraan para warga Mekkah, bagaimana sikap jujur, bersih, menjaga diri dan sopannya serta jiwa ksatrianya. Ia tahu Muhammad bukanlah pemuda biasa. Ditambah lagi dengan cerita Maisarah ketika menemani dan membantu Muhammad selama di Syam.

Cerita-cerita Maisarah tentang keajaiban yang terjadi pada Muhammad semakin membuat Khadijah berdecak kagum dan menaruh hormat kepada Muhammad. Tiba-tiba menyelinap rasa penasaran yang lebih besar dalam diri Khadijah. Dan ia teringat akan cerita sepupunya yang merupakan seorang ahli kitab yang masih sangat ketat ketauhidannya. Ia menyembah Allah yang satu, dengan mewarisi ajaran Ibrahim, serta tekun mempelajari kitab Taura dan Injil.. Ia juga sangat anti dan mencela kebiasaan orang Qurays yang menyembah berhala dan menyekutukan Allah, Waraqah bin Nauval. Ia pernah bercerita akan segera datang Nabi yang menyeru kepada Tauhid, mengajak kepada kebaikan dan menghindari segala perbuatan yang buruk dan menghinakan.

Khadijah yang mengingat cerita tersebut, teringat akan Muhammad. Ia merasakan getir-getir bahwa Muhammad sepertinya orang yang diceritakan. Karena keluhuran sikapnya, dan keajaiban perlindungan yang didapatkannya.

Segera Khadijah berangkat menuju Waraqah. Dia pun bercerita tentang apa yang diceritakan Maisarah kepadanya. Waraqah pun berdecak kagum. Dan meminta Khadijah menceritakan ulang dari awal. Sehingga ia tak bisa berkata-kata untuk waktu yang sementara. Keduanya terdiam, lalu dengan sedikit gugup, Waraqah mencoba membuka mulut. “Kalau benar apa yang telah kau ceritakan itu, wahai Khadijah, sungguh tak ayal, itu adalah ciri-ciri dari Nabi umat ini. Inilah saat yang ditunggu-tunggu itu. Setelah berkata demikian, Waraqah mengangkat tangan ke langit dan berseru setengah berteriak, “Sampai kapan, sampai kapan?”

Khadijah pun beranjak meninggalkan sepupunya itu dengan perasaan tak menentu. Berjuta rasa bergejolak dalam jiwanya. Makin hari, semakin tak terkendali. Ia membayangkan Muhammad, namun ia berusaha menepisnya. Tapi ayal, semakin ditepis, bayangan itu semakin nyata dalam benaknya. Ia menutup mulut rapat-rapat, tak menceritakan kepada siapapun apa yang dipikirkan dan dirasa olehnya. Ia pun berusaha untuk menjadikan bayangan itu menjadi impian saja. Membuat hatinya sedikit lebih tenang. Hanya saja, semakin berlalunya waktu, impian yang dikenangnya itu semakin membuncah hendak keluar dari alam mimpi. Ia benar-benar tak berkutik, ak mampu ia menanggung perasaannya.

Ia pun memutuskan untuk menceritakan kepada orang lain. Dia memilih Nafisah binti Munyah, yang merupakan teman terdekatnya. Selama ini, kedekatan mereka sangatlah rapat. Hampir tidak ada rahasia diantara keduanya. Selain bisa dipercaya untuk berbagi cerita, Bnafisah juga memiliki pendapat dan pandangan yang mantap terhadap apa saja curhatan yang dilontarkan Khadijah selama ini.

Di suatu sore, mereka perempuan yang anggun lagi terhormat ini duduk berdua, Khadijah mencoba menjadi seperti biasanya, mereka bercanda, saling menggoda dan bercerita hatta perihal cinta. Tiba-tiba Nafisah memotong pembicaraan dan menembak ke arah Khadijah, “Kulihat ada yang berbeda dengan mu hari ini duhai sahabat ku. Wajah mu sedikit mendung, adakah yang kau sembunyikan dariku? Atau hanya dugaan ku saja.” Khadijah pun terdiam, serasa tertembak di ulu hati, ia tercekat.

Nafisah yang melihat gelagat sahabatnya pun melanjutkan,” Katakanlah pada ku, ceritakan apa yang sedang kau hadapi saat ini, apa yang kau pikir dan kau rasakan. Barangkali aku bisa membantu mu menyelesaikan masalahnyaa. Siapa tahu aku bisa menghapus kesedihan yang tersrat di wajah anggun mu.”

Khadijah masih terdiam, lalu ia menarik nafas dalam-dalam untuk memantapkan perasaannya. Lalu ia pun berkata, “Baiklah. Ini semua terjadi karena ada keinginan dihati ku yang membuat aku kacau.”
“Orang seperti mu bisa dihampiri oleh perasaan dan keinginan yang membuat mu kacau juga?” timpal Nafisah dengan nada bertanya. Khadijah menngangkat sebelah tangannya dan menyapu ke wajah sahabatnya itu, “masalahnya tak sesederhana yang kau duga.” Kilah Khadijah.

“Lalu?”, Nafisah penasaran.
Khadijah pun kembali terdiam. Nafisah menunggu hampir putus asa, tak ada jawaban dari Khadijah. “Apa pendapatmu tentang Muhammad?” Tanya Khadijah memcah kesunyian diantara mereka.

“Kenapa dengan Muhammad? Apa peduli mu tetang dirinya?” sentak kemudian, Nafisah yang berkata seperti itu sadar, apa yang sebenarnya sedang bergejolak di hati sahabatnya itu. Matahari sore yang memantul diatas ufuk langit Mekkah pun mewarnai kesunyian diantara mereka.

Khadijah sadar temannya telah mengetahui maksud dan arah pembicaraannya, ia pun memberanikan diri untuk bercerita lebih lanjut,”tetapi mana mungkin aku dengan Muhammad? Dia adalah seorang pemuda belia yang gagah perkasa, sedangkan aku sudah tua, umurku telah mencapai empat puluh, lima belas tahun lebih tua darinya, aku juga seorang janda yang ditinggal mati dua kali. Dia adalah orang yag terpandang dari keturunan ternama, dimuliakan di tengah kaumnya, nasabnya bersih. Apakah mungkin dia mau menerima ku?”.

“Tidak Khadijah!” Sergah Nafisah. “Meskipun umur mu tak lagi muda, di tengah kaummu, kau tetap utama, kau juga memiliki nasab yang agung, kau tampak masih muda dan kuat, bahkan jujur saja, kau tampak masih berumur tiga puluh tahun bahkan lebih muda. Dan jangan lupa, hampir setiap lelaki membincangkan mu, mereka datang melamar mu, namun semuanya kau tolak. Itu cukup sebagai bukti.”

Ucapan dari sang sahabat dekat mampu membuat Khadjiah sedikit leboh tenang. Ia lega dengan kalimat yang dilontarkan sahabatnya. Seolah menumbuhkan harapan baru terhadap mimpinya bisa menjadi kenyataan. Atau setidaknya, ia telah merasa lega, karena telah meluahkan perasaanya yang selama ini mendidih di dalam jiwanya. Sejurus kemudian, Khadijah malah berkata,” tetapi, manakah jarak hasrat ku dan hasrat Muhammad ibn Abdillah, antara cinta ku dan cintanya? Bagaimana ia bisa tahu jalan menuju keberadaan ku? Nafisah, apa yang kita bicarakan ini tak lebih dari seiris mimpi yang jauh dari kenyataan, yang akan segera sirna disaat mata terjaga. Mugkin ini hanya puncak lamunan ku saja.”

Nafisah pun tersenyum, lalu samil menepuk dada tanda percaya diri yang tinggi, ia berujar, “Serahkan urusan itu pada ku, pasti bisa kuselesaikan dengan mulus seperti ingin mu.” Setelah berkata itu, Nafisah bangkit dan berlalu, meninggalkan Khadijah sendirian. Ia pun ikut beranjak, sambil berjalan ia melihat para gadis dan anak-anak sedang bermain di dekatnya. Pikirannya malah melayang ke sebuah kejadian beberapa tahun lalu.

Waktu itu waktu dhuha, Khadijah yang sedang bermain-main bersama teman-teman ciliknya di sebuah suddut kota Mekkah, didatangi oleh seorang kaum Yahudi yang entah darimana datangnya. Mungkin ada sebuah kekuatan ghaib yang mengarahkan dan membawanya ke bumi Mekkah. Pria itu berhenti tepat di hadapan Khadijah dan teman-temannya, dan tertawa sejadi-jadinya. “telah datang masa kedatangan nabi terakhir, siapa diantara kalian yang dapat menjadi istrinya, maka lakukanlah!” teriaknya.

Tersentak para wanita-wanita tersebut, mereka mencemooh, mengusir dan melempari dengan batu si Yahudi. Karena menganggap dia orang yang tidak waras, dengan sikapnya seperti orang gila. Hanya Khadijah yang tidak ikut serta. Khadijah malah terkesan dengan kata-kata yang keluar darinya.



Khadijah yang terkenang akan masa lalunya, bertanya-tanya pada dirinya sendiri, apa gerangan yang membuatnya malah mengingat kenangan itu, apa di balik semua ini?

Hari-hari pun terus berlalu. Khadijah tetap berada dalam posisi menunggu dengan perasaan tak karuan. Sementara Nafisah telah menyusun rencana. Di pagi hari, Nafisah bergegas menuju Ka’bah dan mencari Muhammad. Begitu ia melihat dan mendapati Muhammad, ia buntuti dari belakang. Ia menunggu kesempatan untuk bisa berbicara dengan Muhammad, hanya berdua saja. Maka, tiba di tempat yang sunyi, Nafisahh mendekat dan setengah berbisik berkata kepada Muhammad,” Muhammad, aku nafisah binti Munyah. Aku datang membawa berita tentang perempuan agung yang suci dan mulia. Dia sosok yang sempurna, cocok untuk mu. Kalau engkau bersedia, ku sebutkan namanya, dan menyebut namamu disisinya.”

Muhammad terdiam sesaat. Kata-katanya mengejutkan beliau, “Siapakah dia?” Muhammad penasaran.

“Ia adalah Khadijah binti Khuwailid. Tentu kau sudah mengenalnya.” Melihat gurat wajah penuh kharisma yang sedang dilanda rasa beragam rupa, Nafisah melanjutkan,”Tak usah kau jawab sekarang, ambillah waktu mu untuk berpikir-pikir dahulu dengan matang. Aku akan menemui mu kembali besok atau lusa.” Nafisah pun berlalu, khawatir dilihat oleh orang lain.

Perkataan Nafisah menjadi beban pikiran Muhammad. Ia heran kenapa ada perempuan yang menyodorkan berita yang belum pernah terlintas dipikirannya selama ini. Adakah ini hanya basa-basi atau ledekan dari perempuan yang sedang iseng? Atau ini murni dari hati Khadijah? Atau memang sekedar olok-olok. Dalam hati kecil Muhammad bertanya, apakah mungkin Khadijah mau dengannya? Khadijah adalah perempuan yang cerdas, terpandang dan kaya raya. Keagungannya tidak diragukan lagi, sedangkan dirinya hanya pemuda biasa bahkan tergolong miskin. Ia hanya pembantu bisnis Khadijah.

Setelah menganalisa berbagai kejadian terutama, kenekadan Nafisah yang dengan polos dan bersihnya cara penyampaian, kuat keyakinan bahwa itu benar-benar utusan Khadijah. Disampaikanlah kepada Abu Thalib dan seluruh keluarga besarnya, untuk bahan pertimbangan melalui musyawarah keluarga besar hingga akhirnya sepakat untuk datang melamar Khadijah.

In syaa Allah akan dilanjutkan pada tulisan berikutnya bagaimana proses lamaran dan awal mula kehidupan Nabi Muhammad SAW bersama Khadijah sang Istri Tercinta.
Read More

Kamis, 16 November 2017

Seri Sirah Nabawiyah | Awal Mula Muhammad SAW Mengenal Dagang dan Bertemu Saiyidah Khadijah

November 16, 2017

Tarbiyah.online – Hari demi hari berlalu, pengetahuan dan pengalaman Muhammad semakin matang dan mahir. Ia menjalankan bisnis perdagangan level domestik di pasar-pasar terdekat di kota Mekkah dan sekitarnya. Seperti pasar Hubasyah di dekat Mekkah, pusat lalu lintas meuju Yaman. Bila pekan dagang telah dibuka di bulan Rajab, Muhammad tak pernah menyia-nyiakan peluang tersebut. Ia terjun kesana untuk membeli dan menjual barang dagangan. Biasanya ia ke pasar tidak sendirian, tetapi mengajak teman sehingga bisa saling membantu dan mengatasi kesulitan yang dihadapi dalam perjalanan.

Kadang Muhammad bekerja pada orang-orang kaya, konglomerat Mekkah, sepert yang pernah dilakukannya pada Khadijah binti Khuwailid.

Tiba di Mekkah dari Hubasyah, ia dan temannya tak lagsung pulang ke rumah, tetapi duluan menghadap kepada bos untuk memaparkan hasil dagang mereka, berapa laba yang diraup. Khadijah memuji Muhammad. Ia bersikap hormat dan ramah kepada Muhammad, bahkan melebihi sikap seorang majikan kepada pembantunya. Bahkan Muhammad melukiskan kebaikan Khadijah begini, “Belum pernah kudapati seorang majikan yang sebaik Khadijah. Setiap aku dan temanku pulang, ia secara semunyi-sembunyi memberi kami makan.”

Abu Thalib tetap masih sangat perhatian kepada Muhammad. Melihat kematangan yang telah diraih Muhammad dan usianya yang semakin matang, sang paman mulai berpikir untuk mengajak Muhammad berdagang secara mandiri, dan mengajaknya ikut serta dalam perjalanan dagang ke Syam. Disaat hari-hari menjelang kafilah dagang Mekkah berangkat ke Syam, Abu Thalib pun bertutur kepada Muhammad sang keponakan tersayang, “Sudah saatnya engkau duhai Muhammad, berdagang secara mandiri. Kau bisa ikut serta dalam kafilah dagang ke Syam. Bukankah usia mu telah sampai dua puluh lebih? Apalagi keadaan saat ini sangat sulit. Sudah berapa tahun kita dicekik paceklik.”

Muhammad terdiam. Setelah berpikir, ia berkata, “Tetapi paman, dari mana harta yang bisa kubawa dan kuperdagangkan dalam ekspedisi musim panas ini.?”

Abu Thalib melemparkan pandangannya ke arah kawanan, dan berkata “Lihatlah pemuda-pemuda Qurays itu! Mereka bekerja pada orang lain denga cara bagi hasil. Kenapa kau tidak ikut bekerja seperti mereka?”.


Hati dan pikiran Muhammad pun terbuka. Ia merasa tertarik dengan usul pamannya. Lalu kembali terdiam dan berpikir, bagaimana caranya membangun relasi dengan para pemilik dagang? Apakah mereka mau menerima dirinya? Belum lagi penduduk Mekkah adalah pedagang tulen, mana mau mereka menyerahkan bisnisnya kepada orang lain, pasti mereka akan menjalankannya sendiri atau menyerahkannya kepada anak-anak mereka. Dalam kekalutan pikirannya, ia bertanya kepada paman, “Siapa yang rela menyerahkan barang dagangannya ku bawa ke tempa yang sangat jauh.?”

Dengan lugas pamannya menjawab,”Khadijah bint Khuwailid! Banyak laki-laki dari kaum mu bekerja padanya. Mereka untung. Aku yakin, kalau kamu kesana, dia pasti akan memilih mu daripada yang lain. Bukankah dia sudah mengenal mu saat kamu bersama teman mu menjalankan bisnisnya di Hubasyah beberapa waktu lalu?”.

Pendapat sang paman banyak benarnya dan sunggug memikat, tapi masalahnya adalah Muhammad tak berai menawarkan diri, ia takut ditolak dengan cara yang tidak layak. Lagi pun, terlalu agung dirinya untuk hal semacam ini. “Mudah-mudahan Khadijah menyuruh orang kesini.” Muhammad berkata kepada pamannya. Tapi jawaban ini tidak memuaskan hati sang paman. Ia berpikir, bagaimana mungkin Khadijah akan ingat kepada Muhammad, sedangkan ia dikelilingi oleh banyak sekali pemuda yang menawarkan diri untuk pekerjaan serupa. Abu Thalib pun berkata, “kamu lah yang harus kesana. Dan itu tidak sulit.”
Keesokan paginya, datang seorang utusan dari Khadijah secara tiba-tiba. Ia meminta Muhammad mendatangi Khadijah, jika bersedia. Dimintanya juga agar Muhammad yang mengurusi bisnis Khadijah untuk diberangkatkan ke Syam bersama kafilah dagang.
Mungkin, Khadijah yang tengah duduk bersama beberapa wanita di tempatnya, dan ada yang datang membisikkan tentang pembicaraan Muhammad bersama Abu Thalib. Bisa jadi juga, fathimah binti Asad yang menyampaikan kepada beberapa kenalan Khadijah, dan mereka meneruskan hingga ke Khadijah. Satu hal yang pasti, Khadijah merasa sangat senang dengan berita yang diterimanya. Ia sangat bangga, jika dagangannya akan diurus oleh seorang laki-laki berjuluk Al Amin. Sebagaiman Khadijah merasa senang melihat laku dan perangai Muhammad yang agung. Ia pun menghapus nama-nama pemuda lain dari benaknya untuk urusan ini. Harapannya fokus kepada Muhammad, hingga ia putuskan untuk mengirimkan utusan untuk meminta Muhammad bersedia mengurusi pekerjaan ini.

Muhammad sangat senang dan menerima dengan bijak. Sebuah impiannya dan juga impian pamannya terpenuhi berkat pertolongan Allah.


Hanyasanya, sontak wajah Abu Thalib berubah menjadi murung. Sesuatu melintas dalam benaknya. Fahimah binti Asad sang istri menangkap dengan cepat perubahan gelagat sang suami. Ia bertanya, “Ada apa duhai suami ku, kenapa tiba-tiba wajah mu berubah lesu dan tampak gelisah sekali?”

Dengan nada sedih, lelaki tua itu menjawab, “Muhammad sebentar lagi akan bertolak ke Syam, negeri yang jauh dari Mekkah.”
“Lho,bukankah kau sendiri yang meminta dan membujuknya untuk pergi? Ada apa?”. Tanya Fathimah keheranan.

“Aku khawatir jika akan terjadi sesuatu padanya.” Abu Thalib menjawab singkat.
“Sudahlah, yang kamu khawatirkan itu, seorang pemuda yang telah berusia lebih dua puluh tahun.” Jawab Fathimah.

Lalu Abu Thalib diam dengan waktu yang cukup lama. Wajahnya keruh terpahat gelisah. Istirnya pun ikut serta cemas. Ia menunggu jawaban dari suaminya, namun tak juga keluar dari mulutnya. Ia mencoba membacahati dan pikiran sang suami melalui dua mata yang telah menua, hingga Abu Thalib berkata dalam nada tanyaa,” Masih ingatkah engkau Fathimah, apa yang dulu pernah kuceritakan pada mu saat usia Muhammad masih belasan tahun? Kau ingat apa yang dikatakan oleh Rahib itu tentang keponakan ku ini.?”

Sontak kedua mata wanita ini membeku, hatinya semakin kelu. Nafasnya terisak dan suaranya terbata, ia menjawab,”Aku masih ingat, bahkan aku hafal denga kata-katanya. Ia menyuruh mu hati-hati untuk menjaga Muhammad dari orang-orang Yahudi. Bukankah demikian?”.
“Ya, itulah yang aku cemaskan. Aku takut, jika apa yang diramalkan rahib itu menjadi kenyataan.”

Fathimah pun duduk terdiam, ia membisu. Karena merasakan kegelisahan luar biasa. Bahkan dalam hatinya ia berharap, kalau Khadijah akan menarik kembali rencanaya itu, atau berharap Muhammad membatalkan, bahkan ia berpikir jika Abu Thalib saja yang akan menahan Muhammad untuk berangkat. Semua yang ada dipikirannya adalah cara supaya Muhammad tetap tinggal di Mekkah dalam keadaan aman dan tenang.

Sementara itu Khadijah telah membulatkan tekad untuk menyerahkan hartanya pada Muhammad untuk diperdagangkan. Muhammad pun menjanjikan laba yang berlipat, melebihi pedagang lainnya. Muhammad pun diberikan kepercayaan oleh Khadijah dengan membawa bersamanya seorang teman yang bisa membantunya. Orang kepercayaannya, Maisarah. Ia berpesan kepada Maisarah untuk patuh kepada Muhammad dan mengurusi segala keperluannya. Muhammad pun berterimakasih atas kebaikan Khadijah yang luar biasa –ini pula yang menjadi pintu pembuka lembaran hidup baru di masa depan-.

Begitu kafilah berangkat meninggalkan Mekkah, Abu Thalib semakin bersedih. Hari demi hari berasa duri yang menyakitkan, ia dirundung rasa gelisah dan sedih seara terus menerus. Demikian juga dengan Fathimah istrinya, meskipun ia mencoba menghibur sang suami dengan rasa optimis, bahwa Muhammad akan baik-baik saja, ia akan dilindungi oleh Yang MahaKuasa, padahal pikirannya kacau, nuraninya teriris pilu. Hingga sampailah hari bahagia, hari ketika kafilah datang kembali tanpa ada yang kurang.

Orang-rang berkumpul di dekat Ka’bah, Rumah Suci Allah menyambut kedatangan kembali putra-putranya, suami dan kerabatnya yang kembali dengan selamat dan dagangan yang berlimpah. Semua merasa bahagia, terlebih Abu Thalib bersama istrinya. Wajahnya berseri-seri melebihi keceriaan wajah yang lain. Bahagia yang dirasa Abu Thalib berlapis, keselamatan Muhammad, dan juga pembuktian keponakan kesayangannya telah mendapatkan pekerjaan. Pekerjaan yang ditekuninya dengan tetap hingga hari setelah itu.

Muhammad langsung menuju majikannya. Ia menyerahkan laba yang melimpah dari hasil dagangan barang-barang yang ia bawa ke Syam. Ia juga membawa pulang barang belian dari Syam untuk dijual di Mekkah dengan laba yang berlipat.

Khadijah pun merasa sangat puas dan semakin terkagum pada Muhammad atas pencapaiannya. Ditambah lagi cerita khusus dari Maisarah tentang Muhammad selama perjalanan dan perdagangan selama di Syam. Bagaimana kejujurannya, gaya menjual dan membeli barang, interaksinya dengan pembeli atau orang sekitar, tidak perah terlibat pertengkaran. Juga menceritakan kemuliaan akhlak dan kebiasaan Muhammad ketika makan, minum dan tidur.

Bahkan lebih dari itu, Maisarah pun ikut menceritakan bagaimana hal yang aneh bin ajaib terjadi, dimana awan senantiasa meneduhi Muhammad dengan berarak di langit sepanjang perjalanan dalam teriknya matahari. Tentang rahib di Basrah yang saat melihat Muhammad tidur sejenak di bawah pokok kayu di dekat pertapaanya, berkata,”Orang yang berada di bawah pohon itu tak lain adalah Nabi.”

Semua diceritakan oleh Maisarah kepada Khadijah. Bak seorang informan, atau intelijen, begitulah Maisarah bertugas. Ia membantu Muhammad sepanjang ekspedisi, dan juga memantau Muhammad dengan segenap jiwanya, lalu dilaporkan kepada sang majikannya, Khadijah. Alhamdulillah, setiap detail laporannya adalah positif, bahkan besar nilai plus nya.
Read More