Tarbiyah.Online - Fenomena yang banyak terjadi di kalangan
umat muslim ketika tidak melaksanakan puasa Ramadhan oleh suatu halangan adalah
kecenderungan mengulur waktu mengqadha puasa yang pernah ditinggalkan itu
hingga pada akhirnya bertemu dengan Ramadhan berikutnya tanpa menunaikan
kewajiban qadha puasa sebelumnya tanpa ada uzur.
Berikut ini adalah beberapa alasan atau sebab seseorang tidak berpuasa;
1. Bagi laki-laki maupun perempuan yang
tidak berpuasa karena sakit, kemudian sembuh, atau bagi musafir/ah yang tidak
berpuasa kemudian kembali bermukim, wajib mengqadhanya dalam tempo setelah
‘Idul Fitri hingga satu hari sebelum Sya‘ban usai bila tidak ada halangan atau
uzur.
2. Bagi wanita haid dan nifas saat
Ramadhan, mereka berkewajiban mengqadha puasa yang ditinggalkannya dalam tempo
waktu yang disebutkan di atas saat masa-masa suci bila tidak ada halangan atau
uzur.
3. Bagi wanita hamil dan menyusui di bulan
Ramadhan dan memilih tidak berpuasa, mereka pun dapat mengqadha puasa itu dalam
tempo waktu yang disebutkan di atas bila mampu. Apabila tidak mampu lantaran
uzur disebabkan masih dalam masa hamil atau masih dalam masa menyusui, maka
qadha tersebut dilakukan apabila telah mampu meskipun setelah Ramadhan
berikutnya.
4. Wanita yang pada Ramadhan ini sedang
hamil dan memilih tidak berpuasa karena kuatir pada dirinya atau pun pada
bayinya, lalu ternyata pada Ramadhan sebelumnya pernah tidak berpuasa karena
haid, maka sejatinya dia pernah mendapati momen wajib mengqadha puasa tanpa
halangan -selain haid, sakit, atau safar- terhitung setelah ‘Idul Fitri sampai
awal kehamilannya saat ini. Bahkan bila kehamilannya pada Ramadhan ini telah
memasuki bulan ke-9, bila dihitung mundur, maka akan didapati kehamilannya
dimulai pada bulan Muharram. Artinya, dia memiliki tempo tiga bulan untuk
mengqadha puasanya tanpa halangan -selain haid, sakit ataupun musafirah-, yaitu
pada bulan Syawwal, Dzul Qa‘dah dan Dzul Hijjah.
5. Dan beragam kondisi lainnya.
Mereka yang disebutkan di atas bila tidak
ada halangan mengqadha puasa yang pernah ditinggalkan hingga akhirnya bertemu
dengan Ramadhan berikutnya, maka selain mengqadha, juga ada kewajiban membayar
“kafarat” (baca : Fidyah) sebanyak hari yang ditinggalkan karena faktor
mengulur-ulur waktu tersebut.
Berikut adalah riwayat dari beberapa sahabat terkait qadha puasa dan denda fidyah;
Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu ;
عن أبي هريرة قال من أدركه رمضان وهو مريض ثم
صح فلم يقضه حتى أدركه رمضان آخر صام الذي أدرك ثم صام الاول وأطعم عن كل يوم نصف
صاع من قمح
“Dari Abu Hurairah, ia berkata ; siapa
yang sakit pada bulan Ramadhan, lalu sembuh dan tidak mengqadha puasa yang
ditinggalkan hingga bertemu dengan Ramadhan berikutnya, maka ia tetap
melaksakan puasa Ramadhan yang ada, kemudian dia harus mengqadha puasa yang
lewat ditambah dengan -fidyah- setengah shâ‘ gandung untuk setiap harinya”
(Abdurrazzaq, al-Mushannaf,
vol.4, hal.234, no.7620)
عن أبي هريرة قال إن إنسانا مرض في رمضان ثم
صح فلم يقضه حتى أدركه شهر رمضان آخر فليصم الذي أحدث ثم يقضي الآخر ويطعم مع كل
يوم مسكينا
“Dari Abu Hurairah, ia berkata;
seseorang yang sakit pada bulan Ramadhan (dan tidak berpuasa), kemudian sembuh,
namun puasa itu belum diqadhanya hingga bertemu dengan Ramadhan berikutnya,
maka dia tetap harus puasa Ramadhan yang ada, lalu mengqadha puasa yang lewat
ditambah dengan denda fidyah; satu orang miskin untuk satu hari yang
ditinggalkan”
(Abdurrazzaq, al-Mushannaf,
vol.4, hal.234, no.7621)
سئل سعيد هو ابن أبي عروبة عن رجل تتابع عليه
رمضانان وفرّط فيما بينهما فأخبرنا عن قتادة عن صالح أبي الخليل عن مجاهد عن أبي
هريرة أنه قال: يصوم الذي حضر ويقضي الآخر ويطعم لكل يوم مسكينا
“Sa‘id Ibn Abi ‘Arubah (w.156H) pernah
ditanya tentang seseorang yang bertemu dua Ramadhan dan tidak mengqadha puasa
yang ditinggalkan saat jeda antara dua Ramadhan tersebut. Lalu Ibn Abi ‘Arubah
langsung menyampaikan riwayat kepada kami dari Qatadah (w.100H)), dari Shalih
Ibn Abi Khalil, dari Mujahid (w.101H)), dari Abu Hurairah, ia berkata ; (orang
itu) tetap berpuasa Ramadhan ini, lalu harus mengqadha puasa yang ia tinggalkan
sekaligus membayar denda fidyah; satu hari yang ditinggalkan untuk satu orang
miskin”
(Al-Baihaqi, al-Sunan
al-Kubra, vol.4, hal.253, no.8471)
Abdullah Ibn ‘Abbâs radhiyallâhu ‘anhumâ;
عن ابن عباس: في رجل أدركه رمضان وعليه رمضان
آخر قال: يصوم هذا ويطعم عن ذاك كل يوم مسكينا ويقضيه
“Dari Ibn Abbas, tentang seseorang yang
bertemu dengan Ramadhan yang baru sementara ia memiliki kewajiban puasa yang
lalu, maka Ibn Abbas mengatakan; Dia tetap melakukan puasa yang sekarang, lalu
memberikan makan satu orang miskin untuk satu hari yang ditinggalkan dan
disertai dengan mengqadha puasa tersebut”
(Al-Baihaqi, al-Sunan
al-Kubra, vol.4, hal.253, no.8470)
Berikut keterangan para ulama;
Al-Imam Abu al-Hasan
Ali Ibn Khalaf Ibn Abdul Malik Ibn Batthal al-Qurthubi (w.449H);
وأجمع أهل العلم على أن من قضى ما عليه من
رمضان فى شعبان بعده أنه مؤد لفرضه غير مفرط
“Ulama berijma‘ bahwa orang yang
mengqadha puasa Ramadhannya yang lalu di bulan Sya‘ban (sebelum Ramadhan yang
baru) berarti telah menunaikan kewajibannya, tidak melampaui masa dia harus
mengqadha”
(Ibn Batthal, Syarh
Shahih al-Bukhari, vol.4, hal.95)
Al-Imam Abu al-Hasan
Ali Ibn Muhammad Ibn Muhammad Ibn Habib al-Bashri (w.450H);
وإن أخره غير معذور فعليه مع القضاء الكفارة
عن كل يوم بمد من طعام، وهو إجماع الصحابة ... هذا مع إجماع ستة من الصحابة لا
يعرف لهم خلاف
“Jika seseorang mengundur qadha puasa
tanpa uzur maka di samping mengqadha, dia juga harus membayar denda fidyah
sebanyak satu mudd untuk satu hari yang ditinggalkan, dan ini adalah ijma‘ para
sahabat ... meskipun sahabat yang berijma ada enam orang, namun tidak diketahui
ada yang berpandangan berbeda”
(al-Mawardi, al-Hâwî
al-Kabîr Syarh Mukhtashar al-Muzanî, vol.3, hal.983 & 984)
Al-Imam Abu Muhammad
Abdullah Ibn Ahmad Ibn Qudamah al-Maqdisi (w.620H);
فإن كان لغير عذر فعليه مع القضاء إطعام
مسكين لكل يوم، وبهذا قال ابن عباس وابن عمر وأبو هريرة ... ولنا ما روي عن ابن
عمر وابن عباس وأبي هريرة أنهم قالوا: أطعم عن كل يوم مسكينا ولم يرو عن غيرهم من
الصحابة خلافهم
“Maka jika seseorang (belum mengqadha
puasa) tanpa uzur, maka di samping mengqadha itu dia harus membayar denda
fidyah memberi makan satu orang miskin untuk satu hari puasa yang ditinggalkan.
Ibn Abbas, Ibn Umar dan Abu Hurairah berpendapat demikian. Kami memiliki
riwayat dari mereka (ketika ditanya) mereka menjawab; Beri makanlah satu orang
miskin untuk satu hari yang ditinggalkan, dan tidak ada riwayat dari sahabat
lain yang berpendapat berbeda”
(Ibn Qudamah, al-Mughni
Syarh Mukhtashar al-Imâm Abî al-Qâsim al-Kharqî, vol.3, hal.85)
Al-Imam Abu al-‘Abbas
Ahmad Ibn Idris Ibn Abdirrahman al-Qarrâfî (w.684H);
وجوابه أن ابن عمر وابن عباس وأبا هريرة رضي
الله عنهم كانوا يقولون بذلك من غير نكير فكان إجماعا
“Dan jawab atas itu adalah tidak adanya
pengingkaran dari sahabat lain atas perkataan Ibn Umar, Ibn Abbas dan Abu
Hurairah (terkait Qadha dan denda Fidyah ini), sehingga menjadi ijma‘”
(Al-Qarrâfî, al-Dzakhîrah,
vol.2, hal.525)
Al-Imam al-Hafizh Abu
al-Fadhl Ahmad Ibn Ali Ibn Muhammad Ibn Ahmad Ibn Hajar al-‘Asqalani (w.852H) ketika memberikan catatan
tambahan untuk hadis yang diriwayatkan al-Baihaqi di atas, ia mengatakan ;
وحكى الطحاوي عن يحيى بن أكتم أن في هذه
المسألة قول ستة من الصحابة وسمى منهم صاحب المهذب عليا وجابرا والحسين بن علي
“Dan al-Thahâwî meriwayatkan dari Yahyâ
Ibn Aktam bahwa masalah ini ada argumen dari perkataan enam orang sahabat.
Penulis al-Muhadzzab (al-Syîrâzî) menyebutkan di antara nama mereka yatu; Ali,
Jabir, Husain Ibn Ali”
(Ibn Hajar
al-Asqalani, Talkhîsh al-Habîr Fî Takhrîj Ahâdîts al-Râfi‘î al-Kabîr,
vol.2, hal.456)
Wallahu A’lam