TARBIYAH ONLINE

Fiqh

Rabu, 01 Mei 2024

Download Buku Muttafaqun Alaih Shahih Bukhari-Muslim, Muhammad Fuad Abdul Baqi

Mei 01, 2024



Download | Kitab Muttafaqun 'Alaih ini merupakan terjemahan dari kitab Al-Lu'lu' wa Al-Marjan. Berisi himpunan hadits-hadits sahih yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim. Karenanya, tak berlebihan rasanya jika buku ini disebut sebagai kitab paling sahih setelah Al-Qur'an. Kitab ini disusun oleh ulama pakar hadits dari Mesir, Syekh Muhammad Fuad Abdul Baqi (w. 1388 H). Beliau berhasil menghimpun sejumlah 1906 hadits dalam kitab ini.


Buku ini memuat hadis-hadis yang telah disepakati keasliannya oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, dua ahli hadis terkemuka dalam tradisi Islam. Hadis-hadis ini dikumpulkan berdasarkan tema-tema tertentu seperti ibadah, akhlak, sosial, dan hukum Islam.


Penyusunan hadis-hadis dalam buku ini dilakukan dengan cermat dan sistematis, memungkinkan pembaca untuk dengan mudah mencari informasi yang mereka butuhkan. Setiap hadis dilengkapi dengan referensi sumber aslinya dan penjelasan singkat untuk konteks dan pemahaman yang lebih baik.


"Buku Muttafaqun Alaih Shahih Bukhari-Muslim" menjadi referensi yang penting bagi para peneliti, ulama, dan umat Islam yang ingin memperdalam pemahaman mereka tentang ajaran Islam berdasarkan hadis-hadis yang paling terpercaya. Dengan menyajikan hadis-hadis yang muttafaqun alaih (disepakati oleh keduanya), buku ini menjadi sumber yang dapat diandalkan dalam mempelajari dan memahami ajaran Islam secara komprehensif.


Berbeda dengan versi lainnya, buku ini dilengkapi syarh lafzhiyyah semacam tafsir singkat untuk kata-kata atau kalimat-kalimat yang dipandang penting. Sejumlah fitur unggulan yang memberi nilai tambah juga disertakan, seperti: Biografi Imam Bukhari dan Muslim serta parasahabat periwayat hadits terbanyak, Rekomendasi dan keterangan para ulama terkait hadits-hadits yang disepakati Bukhari dan Muslim, Pengantar ringkas seputar ilmu mushthalah hadits, Indeks hadits serta penomoran sesuai dengan kitab Ash-Shahih yang menjadi rujukan primernya.


Selamat Membaca Buku Ini! Silakan Diunduh, Dipelajari, Diamalkan.


Download PDF

Read More

Senin, 29 April 2024

Syeikh Al Ghazali, Antara Musik, Fikih dan Hadits

April 29, 2024


Tarbiyah Online | Ini adalah poto Syekh Muhammad Al-Ghazali (1917-1996 M.) saat mendengarkan putranya, Alauddin Al-Ghazali, bermain piano. Alauddin Al-Ghazali sendiri adalah Guru Besar Ilmu Komputer dan Sistem Informasi, yang pernah menjabat sebagai Presiden Akademi Ilmu Administrasi Sadat di Kairo, Mesir.


Dalam sebuah kesempatan, Syekh Muhammad Al-Ghazali pernah ditanya tentang sikap Islam terhadap musik, ia pun menjawab:


"...Mungkin ada yang memahami bahwa saya memerangi lagu, musik dan hiburan. Tidak, akan tetapi saya menyadari bahwa bangsa Arab dan Umat Islam ingin sedikit bekerja dan banyak bernyanyi. Sedangkan hiburan dan rekreasi adalah hak orang-orang yang kelelahan, bukan hak orang-orang yang hidup dengan santai!"


Ia melanjutkan, "Lagu hanyalah sebuah susunan kata-kata bermakna. Kata yang mengandung makna baik, maka baik. Dan yang mengandung makna buruk, maka buruk. Orang yang bernyanyi atau mendengar nyayian dengan makna yang baik serta irama yang indah, maka tidak ada masalah baginya! Kita tidaklah memerangi kecuali nyayian picisan yang mengandung makna dan irama murahan." (Lih: 100 Pertanyaan tentang Islam, Muhammad Al-Ghazali, Jil. 1, hal. 247-256)


Semasa hidupnya, Syekh Muhammad Al-Ghazali senantiasa berada di garda terdepan dalam menghadapi pemikiran-pemikiran ekstrem, baik ekstrem kanan maupun ekstrem kiri. Guru Syekh Yusuf Al-Qaradhawi (penulis buku "Fikih Lagu dan Musik") yang sangat produktif menulis ini, kata-katanya selalu tajam dan kritikannya selalu menghujam ke dalam nalar orang-orang yang kerap menyitir Hadits namun tidak diiringi dengan piranti Fikih dalam memahami teks-teks Nabawi tersebut. 


Fenomena itulah yang kemudian mendorong Syekh Muhammad Al-Ghazali untuk menulis buku berjudul "As-Sunnah An-Nabawiyyah Baina Ahl Al-Fiqh wa Ahl Al-Hadits" (Sunnah Nabi, antara Pakar Fikih dan Pakar Hadits). Buku ini pun mendapat beragam respons, mulai dari pujian hingga kecaman.


Namun ternyata Allah punya cara lain dalam menolong dakwah Syekh Al-Ghazali, di akhir hayatnya, Syekh Al-Ghazali ditakdirkan wafat di Arab Saudi, yaitu saat ia mengisi seminar, lalu ada yang menuduhnya bahwa ia telah memerangi Sunnah Nabi. Maka Syekh Al-Ghazali pun membantahnya, dan ketika dia mengatakan: "Kita ingin mewujudkan di dunia ini, Laa Ilaaha Illallaah..." seketika napasnya berhenti, dan itulah kalimat yang diucapkannya sebelum akhirnya dia mengembuskan napas terakhirnya.


Lalu, atas instruksi dari pangeran Abdullah (Putra Mahkota Kerajaan Arab Saudi saat itu), dan juga rekomendasi dari Syekh Abdullah Bin Baz (Mufti Kerajaan Arab Saudi kala itu), maka jasad Syekh Muhammad Al-Ghazali pun diperintahkan untuk dimakamkan di Baqi', Madinah Al-Munawwarah. Uniknya, setiap kali digali kuburan untuknya, tanahnya selalu keras dan tidak bisa digali. Hingga akhirnya ditemukanlah tanah yang mudah digali untuk memakamkan jasadnya, dan tanah itu terletak di antara makam Nafi' Maula Ibnu Umar (Ahli Hadits dari kalangan Tabi'in) dan Imam Malik (Ahli Fikih pendiri Mazhab). 


Sebagaimana diketahui, dalam Ilmu riwayat (dan ini adalah pendapat Imam Bukhari), apabila ada sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik, dari Nafi', dari Ibnu Umar, maka itu adalah sanad riwayat yang disebut sebagai "Silsilah Dzahabiyah" (mata rantai emas, atau sanad sahih dengan kualitas premium grade-1). Seakan-akan di sini terdapat isyarat, bahwa Syekh Muhammad Al-Ghazali semasa hidupnya telah berkiprah dalam memadukan antara Hadits dan Fikih secara harmonis, sehingga di akhir hayatnya dia mendapat kemuliaan untuk dimakamkan di antara dua Imam mulia yang dikenal dalam sejarah Umat Islam itu.

 

Wallahu A'lam. (Ust. Yusuf Al Amien

Read More

Jumat, 26 April 2024

Download Buku Bisnis Ala Nabi, Mustafa Kamal Rokan

April 26, 2024

 



Download | "Buku Bisnis Ala Nabi" karya Mustafa Kamal Rokan adalah sebuah panduan praktis yang menggabungkan prinsip-prinsip bisnis sehat dengan ajaran-ajaran agama yang diambil dari kehidupan Nabi Muhammad SAW. Tidak seperti kebanyakan yang kita dapati dalam pratek bisnis, dalam buku ini disajikan gagasan dalam ajaran Islam, terutama yang terkait dengan etika dan nilai-nilai, dapat diaplikasikan dalam dunia bisnis untuk mencapai kesuksesan yang berkelanjutan.


Buku ini menguraikan berbagai konsep bisnis, seperti kepemimpinan, pemasaran, manajemen waktu, dan keuangan. Semua konsep itu bersumer dari dari kehidupan Nabi Muhammad yang disebut sebagai teladan umat di segala lini dan lintas profesi. Penulis menyoroti sikap-sikap proaktif, etika kerja, dan strategi-strategi yang diterapkan oleh Nabi dalam menjalankan aktivitas bisnisnya dan membangun hubungan dengan komunitasnya.


Salah satu aspek yang menonjol dari buku ini adalah fokus pada keadilan, kejujuran, dan altruisme (memperhatikan manfaat yang diterima oleh orang lain) dalam bisnis. Mustafa Kamal Rokan, disini menekankan pentingnya mempertimbangkan kepentingan semua pihak terlibat dalam setiap transaksi bisnis, sejalan dengan prinsip-prinsip yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW.


Dengan gaya penulisan yang mudah dipahami dan penuh dengan contoh praktis, "Buku Bisnis Ala Nabi" cocok bagi para pembaca yang ingin mengintegrasikan nilai-nilai spiritual dan moral dalam praktik bisnis mereka. Ini adalah sumber inspirasi bagi para pengusaha Muslim yang ingin mengikuti jejak Nabi Muhammad dalam mencapai kesuksesan yang berkelanjutan dan bermanfaat bagi masyarakat.


Download PDF

Read More

Rabu, 24 April 2024

Download Buku Bahagia Tanpa Jeda, Mencerdaskan Jiwa Cara Sufi

April 24, 2024




Download | Kebahagiaan atau kedamaian diperoleh karena adanya keselarasan. Ketidaktenangan, sebaliknya, muncul akibat ketaksesuaian; antara harapan dan kenyataan, antara diri dan lingkungan, atau antara hati, kata, dan perbuatan. Maka, untuk bisa bahagia, kita perlu membuat segalanya serasi dan sejalan satu sama lain. Tipsnya: jangan terikat oleh keinginan. Semakin kita terbelenggu oleh keinginan, semakin besar peluang kita untuk menjumpai ketidakselarasan dan, karenanya, merasakan kepedihan.

Buku ini memandu pembaca memahami segi-segi terdalam dan hakiki dari kehidupan. Pikiran kita dibuka, kesadaran kita disentak. Penulis berhasil membeberkan rahasia di balik kecenderungan serta perilaku hidup manusia, dan akhirnya merekomendasikan pentingnya keberserahan diri dan pengamalan Islam sebagai "Jalan".

Download



Read More

Senin, 22 April 2024

"Tajsim dan Mujassim", Istilah Ilmiah, Tidak Perlu Merasa Diserang

April 22, 2024

 


Tarbiyah Online | Ilmu aqidah tidak bisa dilepaskan dari pembahasan tentang alam semesta, karena dari alam semesta lah manusia bisa mengetahui bahwa apakah alam semesta ini butuh pada penciptaan atau tidak. Makanya ulama aqidah dalam 𝘵𝘢𝘳𝘪𝘲𝘢𝘩 Mutakalimin selalu membahas alam semesta terlebih dahulu sebelum membahas tentang penciptanya.


Nah, untuk mengetahui apakah alam semesta membutuhkan penciptanya, maka ulama harus lebih dahulu mencari tahu apa hakikat alam semesta dan apa saja yang ada di dalamnya. Setelah melihat (𝘪𝘴𝘵𝘪𝘲𝘳𝘢') pada segala yang ada di alam semesta, ulama akhirnya mengambil satu kesimpulan bahwa, segala yang ada di alam semesta ini pada hakikatnya bisa diklasifikasikan menjadi dua kategori.


Pertama, sesuatu yang mengambil tempat/ruang, ini yang dinamakan dengan zat atau materi, seperti batu, angin, air, cahaya, bintang, materi gelap, blackhole, api, planet, dll. Ulama ilmu kalam menamakannya sebagai 𝗝𝗮𝘂𝗵𝗮𝗿, kadang mereka juga memakai istilah 𝗝𝗶𝘀𝗺 atau 𝗝𝗶𝗿𝗺. Kedua, sesuatu yang menjadi sifat dari Jauhar, seperti warna gelap, terang, bersatu, terpisah, bergerak, diam, cepat, lambat, lembut, keras, panas, dingin, cair, padat, bisa disentuh, tidak bisa disentuh, berubah, tetap, panjang, kecil, pipih, tebal, keberadaan di tempat tertentu, di waktu tertentu, dll. sifat itu semua dinamakan dengan 𝗔𝗿𝗮𝗱𝗵.


Misal praktisnya, sebuah benda dinamakan batu alam, dia sendiri dinamakan dengan Jauhar, karena dia mengambil ruang/space dari semesta, adapun sifatnya keras, padat, mengeluarkan energi dingin, berada di gunung, tidak bergerak, ukuran sekian meter, dll, itu dinamakan dengan Aradh. Gas misalnya, dia mengambil ruang tertentu, gas itu dinamakan Jauhar, sedangkan ringannya, warna bening tak terlihat, bau menyengat, bergerak, dll, itu dinamakan dengan aradh. Qiyaskan ini pada benda lain, mulai matahari, blackhole, atom, partikel cahaya, bumi, air, kudis, kurap, dll.


Kemudian ulama mencoba sedikit memerincikan klasifikasi terhadap materi, secara logika materi itu ada dua kemungkinan. Pertama, materi yang paling kecil yang dengannya terbentuk benda-benda besar. Jika dia sendiri dan tidak bisa dibagi/dipecah lagi maka itu dinamakan dengan 𝗝𝗮𝘂𝗵𝗮𝗿 𝗙𝗮𝗿𝗱 bahasa jakselnya jauhar yang lagi jomblo ahhaha. Kedua, gabungan dua Jauhar Fard atau lebih yang membentuk materi yang lebih besar, dinamakan dengan 𝗝𝗶𝘀𝗺. Kadang Jism itu bisa kita lihat dengan mata telanjang seperti debu, bola, bumi, bintang, dll. Kadang harus pakai alat bantu seperti atom, virus, sel, dll. Kadang kita belum punya alat bantu untuk melihatnya, seperti atom di masa lalu, bakteri sebelum ditemukan mikroskop, dll.


Dari kesimpulan di atas kita bisa pahami bahwa kata "Jism" bagi ulama kalam hanya sebuah istilah yang dipakai untuk mengungkapkan atau menamakan bagi "sesuatu" yang mengambil ruang/tempat. Jadi murni penamaan, kita bisa menamakannya dengan nama lain, dengan menerjemahkannya, atau apa saja tergantung disiplin ilmu, tapi ulama aqidah/ilmu kalam  menamakanya sebagai Jism. Jadi gak ada tendensi apa-apa dalam penamaan itu, murni istilah ilmiyah.


Kemudian ulama kita ketika membahas tentang ketuhanan, mereka menyimpulkan bahwa semesta secara logika wajib ada yang menciptakan, dengan dalil/argumen yang bukan sekarang pembahasannya. Lalu mereka juga menyimpulkan melalui dalil, bahwa pencipta semesta yang kita namakan dengan Tuhan tidak boleh sama dengan alam semesta ciptaannya (𝘭𝘢𝘪𝘴𝘢 𝘬𝘢𝘮𝘪𝘴𝘭𝘪𝘩𝘪 𝘴𝘺𝘢𝘪𝘶𝘯), jika tidak maka dia juga butuh pencipta sebagaimana alam semesta juga butuh pencipta, karena ada kesamaan.


Karena tidak boleh ada kesamaan antara alam semesta dan Tuhan, maka ulama mengatakan bahwa tuhan pencipta alam ini bukan, bahkan tidak boleh Aradh, tidak boleh juga Jism/Jauhar, karena keduanya adalah semesta itu sendiri. Jadi, jika ada yang berpikir kalau Tuhan itu mempunyai tangan yang mengambil ruang sebagaimana jism, atau duduk di atas arasy besar yang mempunyai batas ruang, atau berada di atas secara fisik dari sebuah tempat/ruangan, maka itu semua dianggap sebuah bentuk 𝘮𝘦𝘯𝘫𝘪𝘴𝘪𝘮𝘬𝘢𝘯 atau 𝘮𝘦𝘯𝘫𝘢𝘶𝘩𝘢𝘳𝘬𝘢𝘯 Tuhan yang seharusnya berbeda segalanya dengan alam semesta.


Nah, perbuatan yang 𝘮𝘦𝘯𝘫𝘪𝘴𝘪𝘮𝘬𝘢𝘯 Tuhan dinamakan dengan 𝗧𝗮𝗷𝘀𝗶𝗺, dan orang yang menjisimkan Tuhan dinamakan Mujasimah. Jadi, Mujasimah bagi ulama Mutakalimin adalah penamaan bagi orang yang menganggap bahwa Tuhan itu punya bentuk fisik, atau bertempat secara fisik, bisa ditunjuk arahnya, punya ukuran fisik, dll, yang intinya punya kesamaan dengan jism atau dia punya sifat Jism/Aradh seperti bergerak, diam, dll. Jadi Mujasimah itu lintas agama, bukan tuduhan bagi kelompok tertentu karena rivalitas, bukan sekedar label karena membenci. Tapi itu murni istilah ilmiyah untuk orang yang berkeyakinan bahwa Tuhan 𝘣𝘦𝘳𝘫𝘪𝘴𝘮 atau punya kesamaan dengan jism, di mana hal itu ditolak oleh ulama Ahlussunnah wa al-Jama'ah.


Jadi, istilah "Mujasim" bukan label, stempel, apalagi tuduhan karena kebencian pada kelompok atau orang tertentu. Tapi murni term/isitilah ilmiyah. Jadi tinggal dilihat aja apakah aqidah kita, kelompok yang kita ikuti, ustazd yang kita ikuti, kelompok lain atau agama lain tentang Tuhan seperti Mujasim atau tidak? Kalau iya, berarti orang/kelompok itu ya Mujasim, walau mereka mengaku Ahlusunnah dan menuduh orang lain sebagai Mujasim. Kalau tidak, maka mereka bukan Mujasim, walau seluruh dunia menuduh mereka Mujasim, bahkan jika mereka melabeli nama kelompok mereka sebagai Mujasim tetap aja mereka bukan Mujasim menurut term ulama ilmu kalam.


Jika kita memahami istilah itu, maka kita akan paham kapan seorang sedang menyifati suatu pemahaman aqidah dengan tajsim sesuai istilah dengan benar, kapan mereka sedang menuduh dan salah pakai istilah, atau bahkan tidak paham dengan istilah, atau hanya ikut-ikutan saja jadi gak serampangan. Nah, kalau ada sebagian orang membolehkan sifat jism bagi Tuhan, dia tidak mengangapnya salah, ya bebas saja, itu hak dia, berarti dia menganggap aqidah tajsim benar, walaupun dia tidak terima dinamakan Mujasim, bahkan menuduh orang lain sebagai Mujasim, orang seperti itu hanya tidak paham istilah saja, tapi aqidahnya tajsim dalam istilah Mutakalimin atau ulama aqidah.


Pada akhirnya aqidah dia berbeda dengan ulama yang menganggap Tajsim adalah sebuah kesalahan, dan dia berhak berbeda dan membela argumennya di dunia, tapi istilah jism, tajsim, dan mujasimah bagi ulama kalam tidak akan berubah, jism artinya ya sesuatu yang ngambil tempat. Seringkali orang gak paham istilah seperti ini berargumen untuk membela aqidah tajsimnya, walau dia tidak terima dinamakan mujasim, dalam debat dan diskusi ini agak aneh memang, tapi itu kenyataan yang sering kita temui.


Tapi jika aku boleh memberi saran, sebelum membela membabi buta atau menyerang lawan habis-habisan, aku menyarankan untuk sedikit merenung sendirian dengan istilah itu, apa benar aqidahku Mujasimah menurut istilah mereka? Atau orang yang aku bela Mujasimah? Atau mazhab yang aku bela Mujasimah? Ibnu Taimiyah Mujasimah? Karamiyah Mujasimah? Dst, bisa jadi memang iya, bisa jadi nggak. Jawabannya didapatkan hanya dengan perlu jujur pada diri sendiri, dan membuang ego, perhatikan istilah itu, lalu lihat apa yang ditulis dan diyakini orang/kelompok yang dituduh sebagai Mujassim.


Jawabannya ada dua, bisa jadi tuduhan itu salah, maka kita harus membela habis-habisan yang benar, dan membela yang dituduh karena itu bentuk membela kezaliman. Tapi bisa jadi juga tuduhan itu benar, maka kenapa kita harus membela sesuatu yang salah, egokah? Fanatikkah? Gengsikah? Bukankah ini perkara akhirat? Kenapa harus gengsi mengaku salah? Mau sampai kapan membela ego dan taashub? Nah, pada akhirnya semua orang punya hak dan bebas dalam memilih aqidah dan membela aqidahnya dengan argumen, kita cuma bisa mengatakan, bagiku agamaku dan bagimu agamamu. 

Ustadz Fauzan Inzaghi

Read More

Selasa, 20 September 2022

Tidak Hanya Disetir Penguasa, Ulama Juga Tidak Boleh Ikuti Awam

September 20, 2022

Syeikh Buthy


Tarbiyah Online - Thalibul ilm dan orang alim itu tidak boleh disetir oleh penguasa, disatu waktu dia juga tidak boleh disetir oleh umat dan jamaah. Walau seluruh umat memprotes dan memprovokasi agar pak ustadz memfatwakan sesuai keinginan mereka, maka itu tidak boleh, walau resikonya dihujat, dibully, bahkan lebih dari itu.


Tekanan publik tidak boleh membuat seorang alim merubah suatu hukum, walau nanti akan disebut pengecut, disebut penjilat,  disebut ulama suu`, disebut liberal, bahkan jika dibunuh. Sebagaimana tekanan penguasa, tidak boleh membuat seorang ulama merubah hukum, walau nantinya dipenjara, dikekang, diancam, dikatakan radikal, bahkan dibunuh.


Karena seharusnya merekalah yang mengikuti penjelasan para ulama dan thalibul ilm tentang agama, bukan sebaliknya. Jadi mereka mau mengatakan apapun, itu urusan mereka, urusan para thalibul ilm, ustadz dan ulama hanya menyampaikan risalah, baik sesuai nafsu atau keingingan mereka maupun tidak.


Itu bentuk tanggungjawab ilmiah, tidak perlu terganggu dengan opini yang bukan spesialis dibidang itu, karena mereka tidak sedang beropini pada suatu pendapat berdasarkan agama, tapi menurut pendapat sendiri. Lihatlah dalam kejadian beberapa waktu lalu, berapa banyak dari mereka berpendapat dan beropini, bahkan dengan bawa embel-embel alquran dan hadis?


Tapi dari banyaknya "menurutku", ada berapa dari mereka yang menguasai alat untuk berfatwa dan berijtihad?


Atau minimal ilmu alat yang berfungsi agar seorang bisa memahami suatu kejadian berdasarkan ajaran agama? Berapa orang? Berapa orang bersabar untuk bisa ke tahap itu? Dan apakah orang yang tidak menguasai alat itu bisa beneran menjelaskan ajaran agama pada suatu kejadian? Tidak!


Yang mereka lakukan adalah berpendapat dengan pendapat sendiri dengan mengatas-namakan islam!!  Baik penguasa atau publik itu awam. Awam tidak punya kapasitas dalam berbicara agama kecuali dalam masalah "ma ulima minaddin biddharurah". Diluar itu, mereka berbicara tidak pada kapasitasnya sebagai awam.


Berpendapat memang gampang, semua orang bebas, tapi berpendapat berdasarkan ilmu? Siapa yang mau istiqamah untuk belajar? Jadi jangan terlalu terpengaruh dengan opini atau desakan netizen, disuruh ngomong, disuruh kritik, dll. Mereka setuju atau tidak, orang alim hanya harus menjelaskan sesuatu secara ilmiah saja!! 


Saat ulama diam pada suatu permasalahan mereka kerap memaksa ulama berbicara  dengan alasan jangan diam pada kezaliman. Padahal kalau ternyata pendapat ulama tidak sesuai dengan yang dia inginkan, ngamuk!!ketika mereka meminta tidak diam sebenarnya mereka ingin mengatakan "berbicaralah dengan sesuatu yang sesuai dengan keinginan kami!!".


Ini persis dokter dipaksa untuk mengatakan bahwa covid tidak ada, berdasarkan pendapat awam, jika tidak mau akan dihujat, kemudian awam yang tidak tahu apa-apa tentang kedokteran itu mulai menjelaskan virus, obat, dll. Seolah mereka sangat pakar dalam kedokteran. Bukankah ini bahaya? Jadi apa yang mau diikuti dari pendapat mereka!!! Wallahualam.


Oleh: Ustad Fauzan Inzaghi

Read More

Senin, 19 September 2022

Filsafat; Ilmu atau Pendapat Para Filsuf yang Bermasalah

September 19, 2022


Tarbiyah Online - Salah satu sebab kenapa ulama melarang pembelajaran filsafat adalah karena buku-buku filsafat yang lebih cenderung menjelaskan pendapat para filsuf, sehingga dalam pembelajar tersebut sangat sulit membedakan mana filsafat murni yang dibahas sebagai ilmu dan mana mazhab filsafat yang merupakan pendapat pribadi para filsuf ketika melihat hakikat sesuatu. 


Hal ini berlangsung sampai datangnya Imam ar-Razy yang mulai mentanqih ilmu filsafat, sehingga kita pun dengan mudah dapat membedakan antara pembahasan filsafat murni dan pendapat kelompok filsuf dalam pembahasan itu. Makanya, setelah era ar-Razy kitab-kitab filsafat mulai diajarkan dalam dunia Islam tanpa perlu khawatir lagi terhadap murid yang mempelajarinya akan mudah terpengaruh dengan pendapat para filsuf. Karena mereka sudah lebih dahulu diajarkan alat-alat untuk mentanqih sendiri mana filsafat yang diajarkan sebagai ilmu dan mana yang dipelajari sebagai pendapat.


Ada beberapa kitab populer yang mendapat khidmah besar di dunia Islam, karena sering dijadikan kurikulum untuk membuka kunci ilmu filsafat, di antaranya Hidayah Atsiriyah  dan al-Hikmahnya al-Katiby. Kitab-kitab ini diajarkan secara berjenjang, jadi, thalib memang beneran bisa memahaminya. Makanya jangan heran, ketika filsafat Barat menyebar ke seluruh dunia melalui imperialisme di abad 19 M, yang paling sedikit terkena dampak pemikiran adalah dunia Islam dan madrasah-madrasah Islam yang waktu itu menjadikan filsafat sebagai kurikulum pendidikan.


Padahal waktu itu, sebagian dunia malah seperti mensucikan filsafat orang Barat, dan itu terjadi di mana saja, seperti di negara-negara Asia Timur, Anak Benua, Afrika Barat, Latin, Eropa Timur, dst. Bahkan para intelektual di sana menganggap itulah puncak ilmu pengetahuan, sehingga perjuangan-perjuangan kebebasan ala liberal, kesetaraan ala komunis atau sosialis, dll, menyebar di kalangan intelektual di seluruh dunia, bahkan ada yang rela mati untuk nilai-nilai itu. 


Di dunia Islam tentu saja ada yang terpengaruh dengan pemikiran-pemikiran itu, tapi mereka yang terpengaruh kebanyakannya adalah orang-orang yang sebelumnya tidak pernah mempelajari filsafat yang sudah ditanqih. Sedangkan ulama yang sudah mempelajari filsafat secara berjenjang, mereka biasa saja melihat pemikiran-pemikiran itu, sama sekali tidak silau. Mereka mampu memilah mana yang benar dan mana yang salah, sebagian bahkan mengkonternya. Hal yang demikian sering terjadi, kita bisa membaca kisah-kisah perdebatan para ulama terhadap filsafat Barat, seperti perdebatan ulama al-Azhar ketika masa penjajahan prancis misalnya.


Tentu saja kita sedang membicarakan para ulama Mutakalimin yang mengkonternya setelah memahami mazhab yang dihadapinya tersebut. Bukan seperti sebagian dai yang mengkonter hanya dengan modal doktrin dan fanatisme terhadap perbedaan akidah, biasanya mereka mengkonter narasi pemikiran filsafat dengan retorika, di mana retorika -apalagi jika dilakukan oleh yang bukan ahli- seringkali tidak memakai argumen akal yang kuat, walaupun mampu mempengaruhi pemikiran pendengar, tapi nilai ilmiahnya sering berkurang.


Tentunya berbeda dengan para Mutakalimin seperti Asyraf Ali Tahanawi, Mustafa Shabry, dll, yang merupakan spesialis ilmu akliyat (logika). Mereka berhasil menjawab narasi mazhab yang disebarkan Barat dengan argumen logis yang kuat, sebagaimana ar-Razy dulu menjawabnya, dan sampai sekarang hujjah dan argumen mereka masih susah dilihat celah fallacynya. Kenapa mereka mampu? Karena mereka memahami apa yang dibicarakan, itu memang spesialis para Mutakalimin.


Mereka benar-benar menguasai ilmunya, ilmu yang sudah ditanqih, dipelajari secara berjenjang dan dipersiapkan memang agar mampu menghadapi segala aliran pemikiran baru secara ilmiah, tanpa perlu mengandalkan emosi. Hal ini disebabkan karena mereka sudah tahu apa itu filsafat, tahu cara kerjanya, tahu mana filsafat sebagai ilmu dan sebagai pendapat, mengetahui celah pendapat jika melihat fallacy atau kesalahan berpikir dalam suatu tesis atau argumen pada sebuah teori.


Karena, mereka begitu mengerti tentang tabiat filsafat, sampai ada perumpamaan masyhur di kalangan mereka. Ilmu filsafat diibaratkan sebagai lautan, lautan yang berbeda dengan lautan lainnya, di mana lautan filsafat itu pinggirnya dalam dan sering membuat orang tenggelam, tapi tengahnya dangkal dan bisa menjadi tempat rekreasi seperti pantai, jadi filsafat itu tidak bisa dinikmati saat kita berada di pantainya. Makanya, kalau mau menikmati filsafat, kita harus lebih dulu mempersiapkan sekoci penolong melalui kitab-kitab munaqahah, sehingga kita bisa mencapai tengah lautan dan berekreasi di sana, di pantai tengah laut.


Jadi, teman-teman yang mau mempelajari filsafat, tidak perlu terburu-buru mencobanya, kadang gak penting juga dipelajari, karena gak semua orang membutuhkannya. Kita bisa hidup dan berfilsafat tanpa perlu mempelajari dan membacanya, karena dalam menjalani hidup sehari-hari sebenarnya kita sudah berfilsafat. Adapun jika memang harus mempelajarinya, pasti karena ada kaitan dengan spesialisasi ilmu, seperti karena kita masuk jurusan ilmu sosial atau jurusan hukum, politik, dll, atau karena beberapa pembahasan sains yang membutuhkan filsafat sebagai landasan argumen keilmuan yang logis, atau karena harus mengurus negara. 


Atau karena masuk jurusan ilmu agama, dll, di mana kadang membutuhkan ilmu filsafat sebagai landasan keilmuan dan argumen, agar mampu membuktikan keilmiahan suatu dakwa. Jika memang harus mempelajarinya, maka pelajarilah secara berjenjang melalui buku-buku yang sudah ditanqih. Insyaallah, kita bisa berpikir filosofis atau bisa berfilsafat tanpa harus terpengaruh dengan pemikiran para filsuf yang sebenarnya cuma hasil buah pikir manusia. Walaupun mereka manusia pintar, tapi tetap saja manusia yang bisa salah dan yang tidak perlu diikuti mentah-mentah, apalagi sampai mempertahankannya mati-matian. Biasa saja lah. Wallahualam.


Oleh: Ustad Fauzan Inzaghi

Read More