TARBIYAH ONLINE

Fiqh

Senin, 14 Mei 2018

SEBAB WAJIB PUASA, PERIODE WAJIB, WAKTU BERHENTI BERPUASA DAN KESAKSIAN

Mei 14, 2018

Dalam beberapa hadis Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun hadis Mawqûf Bi Hukm al-Marfû‘ dari para sahabat radhiyallâhu ‘anhum, banyak riwayat yang berbunyi sebagaimana berikut ;
إذا رأيتم الهلال نهارا فلا تفطروا حتى يشهد رجلان لرأيناه بالأمس
Apabila kalian melihat hilal pada siang hari -menjelang akhir Ramadhan-, jangan buru-buru berbuka hingga ada dua orang yang bersaksi bahwa hilal itu memang telah terlihat satu hari sebelumnya

(Perkataan Umar Ibn al-Khatthab radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Imam Abdur-Razzaq dalam al-Mushannaf)

إذا رأيتم الهلال نهارا قبل أن تزول الشمس تمام ثلاثين فأفطروا، وإذا رأيتموه بعد أن تزول الشمس فلا تفطروا حتى تمسوا
“Apabila kalian melihat hilal pada siang hari sebelum matahari condong ke barat saat puasa hari ke 30, maka berbukalah (karena umur Ramadhan saat itu adalah 29 hari), dan apabila kalian melihatnya setelah matahari condong ke barat, maka jangan berbuka hingga sore (magrib, karena hilal itu adalah untuk keesokan harinya)”
(Perkataan Umar Ibn al-Khatthab radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Imam Abdur-Razzaq dalam al-Mushannaf)

ربيع بن عميلة قال : كنا مع سلمان بن ربيعة الباهلي ببلنجر فرأيت الهلال ضحى لتمام ثلاثين فأتيت سلمان بن ربيعة فحدثته فجاء معي فأريته إياه من ظل تحت شجرة فأمر الناس فأفطروا
“Rabî‘ Ibn ‘Umailah berkata, ketika suatu hari kami di wilayah Balanjar bersama Salman Ibn Rabî‘ah al-Bâhilî -radhiayallâhu ‘anhu-, kami melihat hilal pada waktu dhuha di hari ke 30 -Ramadhan-, lalu aku mendatangi Salmân Ibn Rabî‘ah dan menceritakannya. Kemudian ia ikut denganku melihat hilal tersebut dari bawah pohon, maka seketika itu ia menyuruh pasukannya untuk berbuka (karena hari itu terhitung tanggal 1 Syawwâl)”
(Mushannaf Ibn Abî Syaibah. Balanjar adalah satu daerah yang berada di wilayah Kaukasus bagian utara, tepatnya sebelah utara laut hitam. Pada saat itu Salman Ibn Rabi‘ah radhiyallâhu ‘anhu sedang melakukan penaklukkan wilayah tersebut bersama dengan 4000 pasukan muslim; Mu‘jam al-Buldân karya Yaqût al-Hamawî)

إن الهلال رئي في زمن عثمان بن عفان بعشي فلم يفطر عثمان حتى غابت الشمس
Sesungguhnya hilal terlihat pada masa Usman Ibn ‘Affan setelah matahari tergelincir ke barat, lalu Usman tetap berpuasa hingga terbenam matahari
(Al-Syafi‘i, dalam Kitab al-Umm)

عن الشعبي عن علي؛ أنه كان يخطب إذا حضر رمضان فيقول: ألا لا تقدّموا الشهر، إذا رأيتم الهلال فصوموا، وإذا رأيتم الهلال فأفطروا، فإن أغمي عليكم فأتموا العدة، قال: كان يقول ذلك بعد صلاة العصر وبعد صلاة الفجر
Dari al-Sya‘bî (w.105H), dari ‘Alî ; ketika Ramadhan tiba, ‘Alî berkhutbah : Jalan ada yang mendahului bulan (untuk berpuasa/berbuka), apabila kalian telah melihat hilal (Ramadhan) maka berpuasalah, dan apabila kalian melihat hilal (Syawwal) maka berbukalah. Namun apabila hilal tak terlihat, maka sempurnakanlah harinya (menjadi 30 hari). Al-Sya‘bî berkata ; ‘Alî menyampaikan itu setelah shalat ashar dan setelah shalat subuh

(Ibnu Abî Syaibah, al-Mushannaf. Beberapa ulama hadis mengatakan bahwa al-Sya‘bî tidak pernah mendengar riwayat hadis dari Ali Ibn Abi Thalib melainkan beberapa hadis dan minimal satu hadis. Namun Abu Dawud mengatakan bahwa riwayat Mursal al-Sya‘bi lebih aku suka daripada Mursal al-Nakha‘î ; Taqrîb al-Tahdzîb karya al-Hâfizh Ibn Hajar. Al-Hâfizh al-Dzahabî dalam Siyar A‘lâm al-Nubalâ’ menegaskan bahwa al-Sya‘bî pernah shalat menjadi makmum Ali Ibn Abi Thalib, dan meriwayatkan dari beberapa sahabat senior radhiyallâhu ‘anhum. Inti dari riwayat ini sangat shahih karena banyak riwayat terkait).

عن أبي قلابة، قال: كانوا ينظرون إلى الهلال فإن رأوه صاموا، وإن لم يروه نظروا ما يقول إمامهم
Abû Qilâbah (w.104/105/106/107H) berkata ; Para sahabat melakukan pengamatan hilal, bila melihatnya mereka mulai berpuasa, bila tidak melihatnya mereka menunggu keputusan pemimpin
(Ibnu Abî Syaibah, al-Mushannaf).

Inti dari riwayat-riwayat di atas serta paparan para ulama berikut ini adalah tempo wajib berpuasa dimulai ketika telah ada sebab yang menunjukkan masuknya bulan Ramadhan, dan berakhir dengan adanya sebab yang menunjukkan usainya bulan Ramadhan atau masuknya bulan Syawwal.
Berikut adalah cuplikan dari para ulama pemuka mazhab terkait awal dan akhir Ramadhan ditandai dengan sebab dan tanda-tanda seperti hilal.

1. Al-Imam Abu Muhammad Ali Ibn Ahmad Ibn Sa‘id Ibn Hazm al-Andalusi (w.456H);

اتفقوا على أن صيام نهار رمضان ... فرض مذ يظهر الهلال من آخر شعبان إلى أن يتيقن ظهوره من أول شوال
Mereka sepakat bahwa puasa di siang bulan Ramadhan ... adalah fardhu terhitung semenjak hilal terlihat pada akhir Sya‘ban hingga terlihat lagi dengan yakin di awal bulan Syawwal
(Ibn Hazm, Marâtib al-Ijmâ‘, hal.39)

واتفقوا أن الهلال إذا ظهر بعد زوال الشمس ولم يعلم أنه ظهر بالأمس فإنه لليلة مقبلة
Dan mereka sepakat bila hilal tampak setelah tergelincir matahari, dan tidak ada kabar kemarin hari hilal itu telah terlihat, maka hilal -yang terlihat itu- adalah hilal untuk hari esoknya
(Ibn Hazm, Marâtib al-Ijmâ‘, hal.40)

2. Al-Imam Abu ‘Amr Yusuf Ibn Abdillah Ibn Muhammad Ibn Abdil Barr al-Qurthubi (w.463H);

أما الشهادة على رؤية الهلال فأجمع العلماء على أنه لا تقبل في شهادة شوال في الفطر إلا رجلان عدلان
Adapun kesaksian melihat hilal, ulama berijma bahwa kesaksian untuk berbuka di awal bulan Syawwal itu harus dilakukan oleh dua orang yang adil
(Ibn Abdil Barr, al-Tamhîd Limâ Fi al-Muwattha’ Min al-Ma‘ânî wa al-Asânîd, vol.14, hal.354)

3. Al-Imam Abu al-Walid Sulaiman Ibn Khalaf Ibn Sa‘d Ibn Ayyub al-Baji (w.474H);

الرؤية تكون عامة وخاصة فأما العامة فهي أن يرى الهلال الجم الغفير والعدد الكثير حتى يقع بذلك العلم الضروري فهذا لا خلاف في وجوب الصوم والفطر به لمن رآه ومن لم يره
Ru’yah atau melihat bulan adakalanya bersifat umum, adakalanya bersifat khusus. Ru’yah ‘Ammah adalah dengan melihat bulan sabit dengan ukurannya yang sudah cukup besar sehingga mudah dilihat tanpa upaya khusus. Dengan ini, tidak ada perbedaan pendapat ulama dalam wajibnya berpuasa Ramadha maupun berbuka di akhirnya, baik bagi yang melihatnya maupun bagi yang belum melihatnya
(Al-Baji, al-Muntaqa Fî Syarh al-Muwattha’, vol.2, hal.152)

ولا خلاف بين الناس أنه إذا رئي بعد الزوال فإنه لليلة القادمة
Tidak ada perbedaan pendapat ulama apabila hilal terlihat setelah tergelincir matahari maka hilal itu adalah untuk malam berikutnya
(Al-Baji, al-Muntaqa Fî Syarh al-Muwattha’, vol.2, hal.155)

4. Al-Imam Abu Bakr Muhammad Ibn Abdillah Ibn Muhammad Ibn al-‘Arabi al-Ma‘afiri (w.543H);

أما الفطر فاتفق العلماء على أن لا يكون إلا باثنين
Sedangkan berbuka puasa (di akhir Ramadhan), ulama bersepakat bahwa harus disaksikan oleh dua orang
(Ibn al-‘Arabi, al-Qabas Fî Syarh Muwattha’ Mâlik Ibn Anas, vol.1, hal.485)

5. Al-Imam al-Qadhi Abu al-Fadhl ‘Iyadh Ibn Musa Ibn ‘Iyadh Ibn ‘Amrûn al-Yahshubi (w.544H);

الرؤية إذا كانت فاشية صيم بغير خلاف، وإن كان الغيم قبل فيه الشهادة بغير خلاف
Apabila melihat bulan menghasilkan terlihatnya bulan, maka puasa pun dapat dimulai tanpa perbedaan pendapat. Namun apabila ada yang terhalang, maka dapat menggunakan kesaksian tanpa perbedaan pendapat
(Al-Qadhi ‘Iyadh, Ikmal al-Mu‘lim Bi Fawa’id Muslim, vol. 4, hal.11)
6. Al-Imam Abu Muhammad Abdullah Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibn Qudamah al-Maqdisi (w.620H);

فإذا رأوه وجب عليهم الصيام اجماعا
Apabila mereka telah melihat (hilal) maka ulama ijma bahwa mereka wajib berpuasa
(Ibn Qudamah, al-Mughnî Syarh Mukhtashar al-Imâm Abî al-Qâsim al-Kharqî, vol.3, hal.6)

7. Al-Imam Abu Muhammad Baha’uddin Abdurrahman Ibn Ibrahim Ibn Ahmad al-Maqdisi (w.624H);

ويجب بأحد ثلاثة أشياء: كمال شعبان ثلاثين يوما إجماعا
Berpuasa wajib dilaksanakan oleh sebab salah satu dari tiga hal, yaitu dengan menyempurnakan bulan Sya‘ban sebanyak 30 hari berdasarkan ijma
(Baha’uddin al-Maqdisi, al-‘Uddah Syarh al-‘Umdah, vol.1, hal.139)

8. Al-Imam Syihabuddin Abu al-‘Abbas Ahmad Ibn Idris Ibn Abdirrahman al-Qarrafi (w.684H);

لو رئي الهلال بعد الزوال فلليلة المستقبلة اتفاقا
Kalau hilal terlihat setelah tergelincir matahari, maka ulama sepakat bahwa itu untuk malam berikutnya
(Al-Qarrafi, al-Dzakhîrah, vol.2, hal.492)

9. Al-Imam Abu Abdillah Muhammad Ibn Abdillah al-Zarkasyi al-Hanbali (w.772H);

فإن رأوه وجب صيامه، وهذا إجماع
Apabila mereka telah melihat hilal, maka mereka wajib berpuasa, dan ini adalah ijma‘
(Al-Zarkasyi, Syarh Mukhtashar al-Kharqî, vol.1, hal.410)

Wallâhu A‘lam

Read More

IJMA’ KEWAJIBAN BERPUASA DI BULAN RAMADHAN

Mei 14, 2018
Suatu kelayakan bila muncul pertanyaan tentang urgensi ijma‘ ketika dalil dari al-Qur’an dan Hadis sudah cukup jelas tentang puasa. Bahkan tidak hanya puasa, bersuci, shalat, zakat, haji dan banyak jenis ibadah lain yang memiliki dalil jelas dari al-Qur’an dan Hadis juga tak jarang ditemukan keterangan adanya ijma‘.

Foto Grosir Kaos Anak Karinda.
Hal tersebut dapat kita temukan misalnya dalam Bidâyah al-Mujtahid wa Nihâyah al-Muqtashid karya Imam Ibnu Rusyd al-Hafîd (w.595H). Ia sering menuliskan bahwa kewajibannya berdasarkan al-Kitab, al-Sunnah dan al-Ijma’; dengan menampilkan keterangan ijma’ meski al-Qur’an dan hadis yang berbicara tentang hal itu sudah sangat jelas. Tentunya hal itu bukan tanpa alasan yang sudah diketahui oleh ulama fikih. Penjelasan ringkasnya dapat dibaca pada pembahasan Ijma sebelumnya.

Berikut adalah sebagian nukilan dari para ulama terkait kewajiban puasa Ramadhan berdasarkan ijma’.
1. Al-Imam Abu Bakr Muhammad Ibn Ibrahim Ibn al-Mundzir al-Naisaburi (w.318H) ;
وأجمع كل من نحفظ عنه من أهل العلم على وجوب صيام شهر رمضان
“Setiap ulama yang kami hapal telah ijma‘ bahwa hukum puasa di bulan Ramadhan adalah wajib”
(Ibn al-Mundzir, Al-Isyrâf ‘Alâ Madzâhib al-‘Ùlamâ’, vol.3, hal.107)

2. Al-Imam Abu al-Hasan Ali Ibn Muhammad Ibn Muhammad Ibn Habib al-Bashri al-Mawardi (w.450H);

أجمع المسلمون على وجوب الصيام، وهو أحد أركان الدين، فمن جحده فقد كفر، ومن أقر به ولم يفعله فقد فسق، غير أنه لا يقتل
“Kaum muslimin telah ijma‘ tentang kewajiban puasa (Ramadhan), ia merupakan salah satu rukun agama. Yang mengingkari kewajiban-nya menjadi kafir, sedangkan yang mengakui kewajibannya namun tidak melakukan maka dia fasiq dan tidak perlu dihukum mati”
(Al-Mawardi, al-Hâwî al-Kabîr Syarh Mukhtashar al-Muzanî, vol.3, hal.851)

3. Al-Imam Abu Muhammad Ali Ibn Ahmad Ibn Sa‘id Ibn Hazm al-Andalusi (w.456H);

فمن الفرض صيام شهر رمضان الذي بين شعبان وشوال، فهو فرض على كل مسلم عاقل بالغ صحيح مقيم، حرا كان أو عبدا، ذكرا أو أنثى، إلا الحائض والنفساء، فلا يصومان أيام حيضهما ألبتة، ولا أيام نفاسهما، ويقضيان صيام تلك 
الأيام، وهذَا كله فرض متيقن من جميع أهل الإسلام
“Di antara ibadah fardhu adalah puasa pada bulan Ramadhan, antara bulan Sya‘ban dan Syawwal. Wajib bagi setiap muslim yang telah berakal, baligh, sehat, menetap, baik merdeka maupun seorang budak, laki-laki maupun perempuan yang tidak haid dan nifas. Mereka tidak boleh berpuasa pada hari-hari haid dan nifas, namun harus mengqadhanya -di hari lain-. Ini semua adalah fardhu yang telah pasti kewajibannya dari seluruh kaum muslimin”
(Ibn Hazm, al-Muhallâ Bi al-Atsar, vol.6, hal.160)
Foto HF YouTube Channel.
4. Al-Imam Abu Bakr Ibn Mas‘ud Ibn Ahmad al-Kasani (w.587H);

وأما الإجماع فإن الأمة أجمعت على فرضية شهر رمضان لا يجحدها إلا كافر
“Adapun dalil ijma‘, yaitu ijma‘ umat atas wajibnya -puasa- di bulan Ramadhan, dan hanya orang kafirlah yang mengingkari kewajibannya”
(Al-Kâsânî, Badâi‘ al-Shanâi‘ Fî Tartîb al-Syarâi‘, vol.2, hal.75)

5. Al-Imam Abu al-Hasan Ali Ibn Abi Bakr Ibn Abdil Jalil al-Rusydani al-Marghinani (w.593H);

اعلم أن صوم رمضان فريضة لقوله تعالى (كتب عليكم الصيام)، وعلى فرضيته انعقد الإجماع ولهذا يكفر جاحده
“Ketahuilah bahwa puasa pada bulan Ramadhan adalah fardhu karena firman Allah ta‘ala (puasa telah diwajibkan kepadamu). Dan hukum fardhunya telah menjadi ijma‘, oleh karenanya orang yang mengingkarinya dapat menjadi kafir”
(Al-Marghînânî, al-Hidâyah Syarh Bidâyah al-Mubtadi’, vol.1, hal.118)

6. Al-Imam Abu Muhammad Abdullah Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibn Qudamah al-Maqdisi (w.620H);

وأجمع المسلمون على وجوب صيام شهر رمضان
“Kaum muslimin telah ijma‘ bahwa puasa di bulan Ramadhan adalah wajib”
(Ibn Qudamah, al-Mughnî Syarh Mukhtashar al-Imâm Abî al-Qâsim al-Kharqî, vol.3, hal.3)

7. Al-Imam Abu Zakariya Yahya Ibn Syarf al-Nawawi (w.676H);

وهذا الحكم الذى ذكره -وهو كون صوم رمضان ركنا وفرضا- مجمع عليه، ودلائل الكتاب والسنة والإجماع متظاهرة عليه
“Status puasa ramadhan sebagai satu rukun dan fardhu yang telah disebutkan -oleh al-Syîrâzî- telah menjadi suatu kesepakatan. Dalil-dalil dari al-Qur’an, hadis dan ijma‘ pun menunjukkan akan hal itu”
(Al-Nawawi, al-Majmû‘ Syarh al-Muhadzzab, vol.6, hal.252)

8. Al-Imam Abu al-Baqa’ Muhammad Ibn Musa Ibn ‘Isa al-Damiri (w.808H);

وذكر صوم رمضان، وانعقد الإجماع عليه وهو معلوم من الدين بالضرورة، من جحده كفر وقتل بكفر
“-Di dalam hadis Buniya al-Islâm ‘Alâ Khams- disebutkan tentang puasa Ramadhan, kewajibannya telah ditetapkan berdasarkan ijma‘. Dan itu telah diketahui secara qath‘î dari agama. Orang yang mengingkari kewajibannya menjadi murtad dan harus dihukum mati disebabkan kufur -pada kewajibannya-”
(Al-Damîrî, al-Najm al-Wahhâj Fî Syarh al-Minhâj, vol.3, hal,272)

Wallâhu A‘lam

Read More

Sabtu, 12 Mei 2018

MENYEBAR FITNAH, PERILAKU SI ANAK ZINA

Mei 12, 2018
Alquran menyebut fitnah sebagai namimah dan hammalah. Yang mempunyai makna menyebarkan kebohongan demi merusak citra seseorang, memperkeruh suasana dan menghancurkan hubungan yang telah terjalin. Namimah juga memiliki makna membongkar rahasia dan menyebarkan sesuatu yang tidak disukai darinya.
Dalam Alquran Allah SWT menyebutkan, pada Surah Al Qalam ayat 10-13:
"Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina, yang banyak mencela, yang kian ke mari menghambur fitnah, yang banyak menghalangi perbuatan baik, yang melampaui batas lagi banyak dosa, yang kaku kasar, selain dari itu, yang terkenal kejahatannya (zaniim), karena dia mempunyai (banyak) harta dan anak."

Berkaitan dengan ayat diatas, Imam Abdullah ibnul Mubarak berkata: "dia yang dimaksud pada ayat diatas adalah anak hasil zina, tidak bisa menyembunyikan pembicaraan". Ia (Ibnul Mubarak) mengisyaratkan bahwa setiap orang yang tidak bisa menyembunyikan pembicaraan dan melakukan namimah, perbuatannya itu menunjukkan bahwa ia adalah anak hasil zina. Dalil ini diambil dari firman Allah pada ayat ke 13. Az-zanim itu adalah al-da'i (yang keturunannya diragukan, tidak jelas).


Sedangkan dalam Surah Al Humazah ayat pertama, Allah mencela dan melaknat orang yang melakukan fitnah dan pengumpat, "Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela,...". Dalam satu tafsir disebutkan al humazah juga berarti al-nammam (pelaku namimah/ fitnah).


Peringatan Rasul SAW kepada umatnya akan bahaya dan siksa bagi pelaku ghibah maupun namimah sungguh sangatlah banyak. Diantaranya sabda Nabi SAW. "Seorang nammam tidak akan masuk surga." Dalam hadis lain disebutkan, "Seorang Qattat tidak akan masuk surga". Qattat adalah pembohong dan penyebar fitnah, sama dengan an-nammam".

Dalam hadits yang lain lagi, Rasulullah bertanya kepada Sahabatnya,"Maukah kalian kuberitahu orang yang paling jahat dantarakalian? Para Sahabat menjawab, "Ya, tentu." Lalu Rasul SAW bersabda, "Ialah orang yang senang melakukan namimah (fitnah), yang suka merusak keharmonisan antar kekasih, dan yang nendorong orang baik hingga tergelincir pada aib (provokator)."

Abu Dzar Al Ghifari mengatakan bahwa Rasul SAW pernah bersabda, "Barangsiapa yang mengalamatkan satu kata saja kepada seorang muslim, yang dengan kata itu dia menodai si muslim tak hak (yang syar'i), maka kelak di hari kiamat Allah akan menodainya dengan kata di neraka."


Disarikan dari kitab Tashfiyatul Qulub min Daranil Awzar wadz-zunub, karya Syeikh Yahya bin Hamzah al Yamani, bab Bahaya Lisan.



Ayyuhal muslim, wahai saudara-saudari kami yang muslim. Yang semua kita mengaku diri umat Muhammad, umat terbaik. Kita yang menyebut diri kita sebagai agen, penjaga dan pembela Islam. Sudah saatnya kita merenungi untaian nasihat dan peringatan dari Allah serta Rasul-Nya akan bahaya dan besarnya kecelaan namimah (fitnah).

Fitnah tersebar dari mulut, jari tangan, serta layar handphone dan laptop. Melalui pemberitaan hoax dan konten yang berisikan ujaran kebencian. Tanpa melalui proses tabayun (cross-check) dan pembuktian. Jika ghibah Allah samakan dengan suatu perkara yang menjijikkan (memakan bangkai saudara sendiri), bagaimana dengan namimah (fitnah) yang jelas lebih parah celanya.

Semoga Allah menjaga lisan dan tulisan kita daripada dusta, ghibah dan namimah yang sangat tercela dalam agama.
Read More

Kamis, 10 Mei 2018

BERKENALAN DENGAN ISTRI-ISTRI NABI SAW

Mei 10, 2018


1. Khadijah binti Khuwailid (Istri pertama dari kaum janda yang merupakan seorang wanita mulia yang memberikan keturunan kepada Nabi SAW: Zainab, Ummu Kultsum, Ruqaiyah, Fathimah, Abdullah, Qasim).




2. Saudah binti Zam'ah al-Amiriyyah (Seorang Janda dari Sakran yang ikut hijrah ke Habasyah). Ialah yang menjadi ibu pengganti bagi putri-putri Rasulullah SAW ketika Khadijah telah wafat.

3. A'isyah binti Abu Bakar (Satu-satunya wanita yang dinikahi oleh Nabi SAW dalam keadaan gadis). Yang dipinang di masa yang sama dengan Saudah, namun baru dinikahi ketika ia telah tumbuh dewasa.

3. Ummu Salamah (Seorang Janda dari sahabat yang ikut hijrah ke Habsyah, di awal-awal Islam, Abu Salamah).

4. Hafshah binti Umar bin Al Khatthab (Seorang janda perang Uhud dari sahabat bernama Khunais ibn Hadzafah As-sahmi). Ia adalah istri Nabi SAW yang pernah ditalak oleh Nabi SAW, kemudian dirujuk kembali.

5. Zainab binti Khuzaimah (Seorang janda perang Uhud dari sahabat bernama Abdullah bin Jahsyi). Beliau hanya hidup bersama Nabi SAW sekitar 2-3 bulan, sebelum akhirnya meninggal. Ia juga dikenal sebagai Ibu orang-orang miskin, karena kecintaan dan kepeduliannya kepada kaum miskin. Ia juga menjadi istri Nabi SAW yang wafat di masa Nabi SAW masih hidup, setelah Khadijah al Kubra.

6. Raihanah (Seorang budak tawanan perang yang awalnya menolak menjadi istri Nabi SAW, dan memilih menjadi budak saja karena ia memilih agama Yahudi yang sudah dipeluknya. Hingga akhirnya Allah SWT memberikan hidayah kepadanya menjadi muslim hingga akhir hayatnya).

7. Juwairiyah (Tawanan perang/ anak dari pemimpin Bani Musthaliq yang dinikahi Nabi SAW) yang sebab perkawinan tersebut, sang ayah memeluk Islam beserta seluruh kaumnya.

8. Zainab binti Jahsyi (Putri dari bibi Nabi SAW -Umaymah binti Abdul Mutthalib, ia juga merupakan janda cerai daripada sahabat sekaligus anak angkat Nabi SAW, Zaid bin Haritsah). Kisah perkawinan dengan Zainab adalah yang paling rumit diantara yang lain, hingga Allah SWT yang "turun tangan".

8. Mariyah al Qibtiyah (Seorang budak wanita dari Qibti, yang dihadiahkan oleh Raja Al Iskandariyah, Mesir kepada Nabi SAW dan dimerdekakan serta dijadikan istri. Darinya lahir putera Nabi SAW bernama Ibrahim).

9. Ummu Habibah (Ia bernama Ramlah binti Abu Sufyan. Ia adalah janda dari sahabat yang hijrah ke Habasyah, Ubaidillah bin Jahsyi. Namun sayang, ia murtad dari Islam dan masuk Kristen. Sehingga kehidupan Ramlah yang menanggung malu serta memiliki seorang putri bernama Habibah ini dipinang oleh Nabi SAW).

10. Shafiyah binti Huyay (Tawanan perang Khaibar, putri dari pemimpin Yahudi disana. Ia dibebaskan dari status budak dan diperistrikan oleh Nabi SAW). Ia menceritakan pernah bermimpi didatangi rembulan purnama hingga masuk ke kamarnya dan menerangi seluruh rumahnya. Disebabkan mimpi itu, ia dipukul oleh suaminya ketika itu, Kinanah bin Abi Al Haqiq, lantaran menjadi tanda ia akan mengikuti dan mencintai Muhammad Raja Bangsa Arab (Rasul SAW).

11Maimunah (Yang sebelumnya bernama Barrah binti Al Harits yang dinikahi Nabi SAW ketika Umrah qada' yang dilakukan Nabi SAW sebelum Fathul Makkah. Ia menjadi wanita terakhir yang dinikahi oleh Nabi SAW).

Sedangkan beberapa nama lain, seperti putri Al Jaun dari Bani Anbar, Khaulah binti Al Hudzail,, Laila binti Al Khatim Al Ausiyah, seorang wanita dari Bani Ghifar dan seorang wanita dari Bani Kindah, meski telah dinikahi oleh Nabi SAW, namun kesemuanya belum sempat digauli sebagaimana lazimnya suami-istri dengan berbagai alasan.


Disarikan dari buku Bilik-Bilik Cinta Muhammad (terj: Fii Baiti ar-Rasul) karya Dr. Nizar Abazhah, dari Damaskus, Suriah.
Read More

Senin, 30 April 2018

PENDAPAT ULAMA TENTANG NISFU SYA'BAN

April 30, 2018
Sya’ban adalah nama bulan ke delapan dari dua belas bulan dalam penanggalan tahun Hijriah. Terdapat banyak kemuliaan dalam bulan ini. Terutama disaat malam pertengahan bulan Sya’ban atau sering disebut lailatun nisfu sya’ban atau lailatul baraah. Mayoritas umat Islam meyakini Nisfu Sya’ban memiliki banyak keutamaan, berdasarkan apa yang disampaikan oleh para ulama. Pada malam ini sangat dianjurkan menghidupkan malam berbagai macam ibadah.

Banyak sekali dalil-dalil dan anjuran baik yang ada di dalam kitab Ihya' Ulumiddin karya Al-Ghazali, atau kitab Qutut Al-Qulub karya Abu Talib Al-Makki.

Namun demikian, belakanganmuncul pendapat di kalangan umat Islam yang menganggap malam Nisfu Sya’ban layaknya malam-malam lain. Tidak ada yang istimewa, bahkan menghukumi bid’ah bagi yang mengkhususkan malam nisfu sya’ban dengan memperbanyak ibadah lebih dari yang biasa dilakukan oleh umat islam.

Perbedaan pandangan ini tidak dapat dilepaskan dari pendapat para ulama yang menjadi panutannya. Dalam perjalanan sejarah keilmuan islam, ulama terbagi ke dalam dua kelompok menyikapi keutamaan malam Nisfu Sya’ban. Terutama ulama ahlul hadits. Namun, bagi ulama ahlul fiqh yang pastinya mensumberkan kajian fiqhnya kkepada berbagai riwayat hadits, menyatakan sikap yang pro/ mengiyakan bahkan ikut merayakan malam Lailatul Baraah atau malam nisfu Sya’ban ini.


Ustad Ahmad Syarwat pengasuh rumahfiqih.com, berikut adalah daftar ulama yang mengeluarkan pendapat tentang keutamaan malam Nisfu Sya’ban.

Ibnu Rajab, dalam kitab Lathaif al-Ma’arif, berkata, “Ada dua pendapat para ulama negeri Syam tentang menghidupkan malam Nisfu Sya’ban. Pendapat pertama menyatakan dianjurkan menghidupkannya secara bersama-sama dalam masjid. Pada malam itu, Khalid bin Mi’dan, Lukman bin ‘Amir dan lainnya memakai pakaian terbaiknya, menggunakan minyak wangi dan celak mata lalu berdiam di dalam masjid. Ishaq bin Rahawaih menyetujui amalan itu. Dia juga menyatakan bahwa melaksanakan salat secara berjamaah pada malam itu di masjid bukan termasuk amalan bid’ah. Hal ini sebagaimana dinukil oleh Harb al-Kirmani dalam kitab al-Masail. Pendapat kedua menyatakan bahwa berkumpul di masjid pada malam Nisfu Sya’ban untuk melakukan salat, memberikan nasehat dan berdoa adalah perbuatan makruh. Tapi, jika seseorang melakukan salat secara sendiri maka tidak dimakruhkan. Ini adalah pendapat Awza’i, pemimpin ulama dan ahli fikih negeri Syam.”

Al-Qasthalani dalam kitabnya, Al-Mawahib Alladunniyah jilid 2 halaman 59, menuliskan bahwa para tabiin di negeri Syam seperti Khalid bin Mi'dan dan Makhul telah ber-juhud (mengkhususkan beribadah) pada malam nisfu sya'ban. Maka dari mereka berdua orang-orang mengambil panutan.
Namun disebutkan terdapat kisah-kisah Israiliyat dari mereka. Sehingga hal itu diingkari oleh para ulama lainnya, terutama ulama dari hijaz, seperti Atha' bin Abi Mulkiyah, termasuk para ulama Malikiyah yang mengatakan bahwa hal itu bid'ah.
Al-Qasthalany kemudian meneruskan di dalam kitabnya bahwa para ulama Syam berbeda pendapat dalam bentuk teknis ibadah di malam nisfu sya'ban.

Dilakukan di malam hari di masjid secara berjamaah. Ini adalah pandangan Khalid bin Mi'dan, Luqman bin 'Amir. Dianjurkan pada malam itu untuk mengenakan pakaian yang paling baik, memakai harum-haruman, memakai celak mata (kuhl), serta menghabiskan malam itu untuk beribadah di masjid.
Praktek sepertiini disetujui oleh Ishaq bin Rahawaih dan beliau berkomentar tentang hal ini, "Amal seperti ini bukan bid'ah." Dan pendapat beliau ini dinukil oleh Harb Al-Karamani dalam kitabnya.

Pendapat ini didukung oleh Al-Auza'i dan para ulama Syam umumnya. Bentuknya bagi mereka cukup dikerjakan saja sendiri-sendiri di rumah atau di mana pun. Namun tidak perlu dengan pengerahan masa di masjid baik dengan doa, dzikir maupun istighfar. Mereka memandang hal itu sebagai sesuatu yang tidak dianjurkan.
Jadi di pihak yang mendukung adanya ritual ibadah khusus di malam nisfu sya'ban itu pun berkembang dua pendapat lagi.

Duktur Al Ustadz 'Athiyah Shaqr
Beliau adalah kepala Lajnah Fatwa di Al-Azhar Mesir di masa lalu. Dalam pendapatnya beliau mengatakan bahwa tidak mengapa bila kita melakukan shalat sunnah di malam nisfu sya'ban antara Maghri dan Isya' demi untuk bertaqarrub kepada Allah. Karena hal itu termasuk kebaikan. Demikian juga dengan ibadah sunnah lainnya sepanjang malam itu, dengan berdoa, meminta ampun kepada Alla. Semua itu memang dianjurkan.

Syekh Ali Jumu'ah
Beliau adalah mantan mufti Mesir yang juga merupakan ulama besar dari Al-Azhar, kairo menyebutkan Keutamaan malam itu disebutkan dalam banyak hadis yang saling menguatkan. Mengadakan peringatan dan menghidupkan malam Nisfu Sya’ban adalah amalan yang sesuai dengan tuntunan agama. Hadis-hadis tentang keutamaan malam tersebut tidak termasuk hadis-hadis yang sangat dha’if atau maudhu’. Juga tidak apa-apa membaca surat Yasin sebanyak tiga kali setelah salat Magrib dengan suara keras dan bersama-sama. Karena, hal itu masuk dalam perintah menghidupkan malam Nisfu Sya’ban tersebut. Terdapat kelapangan dalam tata cara berzikir. 

Dr. Yusuf al-Qaradawi
Ulama yang sering dijadikan rujukan oleh para aktifis dakwah berpendapat tentang ritual di malam nasfu sya'ban bahwa tidak pernah diriwayatkan dari Nabi SAW dan para sahabat bahwa mereka berkumpul di masjid untuk menghidupkan malam nisfu Sya'ban, membaca doa tertentu dan shalat tertentu seperti yang kita lihat pada sebahagian negeri orang Islam.
Juga tidak ada riwayat untuk membaca surah Yasin, shalat dua rakaat dengan niat panjang umur, dua rakaat yang lain pula dengan niat tidak bergantung kepada manusia, kemudian mereka membaca do`a yang tidak pernah dipetik dari golongan salaf (para sahabah, tabi`in dan tabi’ tabi`in).
Selebihnya ulama-ulama kerajaan Saudi yang dikenal menganut paham Wahabiyah memang sangat anti dan kontra kepada perayaan dan pengkhususan malam Nisfu Sya'ban dengan berbagai kegiatan ibadah.
Pada situs harakahislamiyah.com terdapat tabel yang memudahkan untuk melihat siapa saja ulama yang berbeda pendapat tentang nisfu sya'ban seperti berikut.

Dan memang masalah ini adalah mahallun-khilaf' sepajang zaman. Tidak akan ada penyelesaiannya, karena masing-masing pihak berangkat dengan ijtihad dan dalil masing-masing, di mana kita pun ber husnudzhan bahwa mereka punya niat yang baik serta mereka memiliki kapasitas dan otoritas dalam berijtihad.

Semoga tidak ada pertengkaran dan saling membid'ahkan apalagi menyesatkan sesama kaum muslim atas perbedaan pendapat diantara para ulama. kita yang awam hanya dituntut untuk belajar, dan beribadah semampunya berdasarkan ilmu dan keyakinan yang telah kita miliki. Taklid kepada pemahaman para ulama yang terkenal kealiman, kezuhudan dan kewara'annya bukanlah aib, melainkan sebuah perbuatan baik.

Wallahu a'lam.

Sumber dari
rumahfiqih.com dar-alifta.org dan berbagai sumber lainnya.
Read More