Dalam beberapa hadis Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam maupun hadis Mawqûf Bi Hukm al-Marfû‘ dari para
sahabat radhiyallâhu ‘anhum, banyak riwayat yang berbunyi sebagaimana
berikut ;
إذا رأيتم الهلال نهارا فلا تفطروا حتى يشهد
رجلان لرأيناه بالأمس
“Apabila kalian melihat hilal pada siang
hari -menjelang akhir Ramadhan-, jangan buru-buru berbuka hingga ada dua orang
yang bersaksi bahwa hilal itu memang telah terlihat satu hari sebelumnya”
(Perkataan Umar Ibn
al-Khatthab radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Imam Abdur-Razzaq dalam al-Mushannaf)
إذا رأيتم الهلال نهارا قبل أن تزول الشمس
تمام ثلاثين فأفطروا، وإذا رأيتموه بعد أن تزول الشمس فلا تفطروا حتى تمسوا
“Apabila kalian melihat hilal pada siang
hari sebelum matahari condong ke barat saat puasa hari ke 30, maka berbukalah
(karena umur Ramadhan saat itu adalah 29 hari), dan apabila kalian melihatnya
setelah matahari condong ke barat, maka jangan berbuka hingga sore (magrib,
karena hilal itu adalah untuk keesokan harinya)”


(Perkataan Umar Ibn
al-Khatthab radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Imam Abdur-Razzaq dalam al-Mushannaf)
ربيع بن عميلة قال : كنا مع سلمان بن ربيعة
الباهلي ببلنجر فرأيت الهلال ضحى لتمام ثلاثين فأتيت سلمان بن ربيعة فحدثته فجاء
معي فأريته إياه من ظل تحت شجرة فأمر الناس فأفطروا
“Rabî‘ Ibn ‘Umailah berkata, ketika suatu
hari kami di wilayah Balanjar bersama Salman Ibn Rabî‘ah al-Bâhilî -radhiayallâhu
‘anhu-, kami melihat hilal pada waktu dhuha di hari ke 30 -Ramadhan-, lalu
aku mendatangi Salmân Ibn Rabî‘ah dan menceritakannya. Kemudian ia ikut
denganku melihat hilal tersebut dari bawah pohon, maka seketika itu ia menyuruh
pasukannya untuk berbuka (karena hari itu terhitung tanggal 1 Syawwâl)”
(Mushannaf Ibn Abî
Syaibah. Balanjar adalah satu daerah yang berada di wilayah Kaukasus bagian
utara, tepatnya sebelah utara laut hitam. Pada saat itu Salman Ibn Rabi‘ah radhiyallâhu
‘anhu sedang melakukan penaklukkan wilayah tersebut bersama dengan 4000
pasukan muslim; Mu‘jam al-Buldân karya Yaqût al-Hamawî)
إن الهلال رئي في زمن عثمان بن عفان بعشي فلم
يفطر عثمان حتى غابت الشمس
“Sesungguhnya hilal terlihat pada masa
Usman Ibn ‘Affan setelah matahari tergelincir ke barat, lalu Usman tetap
berpuasa hingga terbenam matahari”
(Al-Syafi‘i, dalam Kitab
al-Umm)
عن الشعبي عن علي؛ أنه كان يخطب إذا حضر
رمضان فيقول: ألا لا تقدّموا الشهر، إذا رأيتم الهلال فصوموا، وإذا رأيتم الهلال
فأفطروا، فإن أغمي عليكم فأتموا العدة، قال: كان يقول ذلك بعد صلاة العصر وبعد
صلاة الفجر
“Dari al-Sya‘bî (w.105H), dari
‘Alî ; ketika Ramadhan tiba, ‘Alî berkhutbah : Jalan ada yang mendahului bulan
(untuk berpuasa/berbuka), apabila kalian telah melihat hilal (Ramadhan) maka
berpuasalah, dan apabila kalian melihat hilal (Syawwal) maka berbukalah. Namun
apabila hilal tak terlihat, maka sempurnakanlah harinya (menjadi 30 hari).
Al-Sya‘bî berkata ; ‘Alî menyampaikan itu setelah shalat ashar dan setelah
shalat subuh”
(Ibnu Abî Syaibah, al-Mushannaf.
Beberapa ulama hadis mengatakan bahwa al-Sya‘bî tidak pernah mendengar riwayat
hadis dari Ali Ibn Abi Thalib melainkan beberapa hadis dan minimal satu hadis.
Namun Abu Dawud mengatakan bahwa riwayat Mursal al-Sya‘bi lebih aku suka
daripada Mursal al-Nakha‘î ; Taqrîb al-Tahdzîb karya al-Hâfizh Ibn
Hajar. Al-Hâfizh al-Dzahabî dalam Siyar A‘lâm al-Nubalâ’ menegaskan
bahwa al-Sya‘bî pernah shalat menjadi makmum Ali Ibn Abi Thalib, dan
meriwayatkan dari beberapa sahabat senior radhiyallâhu ‘anhum. Inti dari
riwayat ini sangat shahih karena banyak riwayat terkait).
عن أبي قلابة، قال: كانوا ينظرون إلى الهلال
فإن رأوه صاموا، وإن لم يروه نظروا ما يقول إمامهم
“Abû Qilâbah (w.104/105/106/107H)
berkata ; Para sahabat melakukan pengamatan hilal, bila melihatnya mereka mulai
berpuasa, bila tidak melihatnya mereka menunggu keputusan pemimpin”
(Ibnu Abî Syaibah, al-Mushannaf).
Inti dari riwayat-riwayat di atas serta
paparan para ulama berikut ini adalah tempo wajib berpuasa dimulai ketika telah
ada sebab yang menunjukkan masuknya bulan Ramadhan, dan berakhir dengan adanya
sebab yang menunjukkan usainya bulan Ramadhan atau masuknya bulan Syawwal.
Berikut adalah cuplikan dari para ulama
pemuka mazhab terkait awal dan akhir Ramadhan ditandai dengan sebab dan
tanda-tanda seperti hilal.
1. Al-Imam Abu Muhammad Ali Ibn Ahmad Ibn Sa‘id Ibn Hazm al-Andalusi (w.456H);
اتفقوا على أن صيام نهار رمضان ... فرض مذ
يظهر الهلال من آخر شعبان إلى أن يتيقن ظهوره من أول شوال
“Mereka sepakat bahwa puasa di siang
bulan Ramadhan ... adalah fardhu terhitung semenjak hilal terlihat pada akhir
Sya‘ban hingga terlihat lagi dengan yakin di awal bulan Syawwal”
(Ibn Hazm, Marâtib
al-Ijmâ‘, hal.39)
واتفقوا أن الهلال إذا ظهر بعد زوال الشمس
ولم يعلم أنه ظهر بالأمس فإنه لليلة مقبلة
“Dan mereka sepakat bila hilal tampak
setelah tergelincir matahari, dan tidak ada kabar kemarin hari hilal itu telah
terlihat, maka hilal -yang terlihat itu- adalah hilal untuk hari esoknya”
(Ibn Hazm, Marâtib
al-Ijmâ‘, hal.40)
2. Al-Imam Abu ‘Amr Yusuf Ibn Abdillah Ibn Muhammad Ibn Abdil Barr al-Qurthubi
(w.463H);
أما الشهادة على رؤية الهلال فأجمع العلماء
على أنه لا تقبل في شهادة شوال في الفطر إلا رجلان عدلان
“Adapun kesaksian melihat hilal, ulama
berijma bahwa kesaksian untuk berbuka di awal bulan Syawwal itu harus dilakukan
oleh dua orang yang adil”
(Ibn Abdil Barr, al-Tamhîd
Limâ Fi al-Muwattha’ Min al-Ma‘ânî wa al-Asânîd, vol.14, hal.354)
3. Al-Imam Abu al-Walid Sulaiman Ibn Khalaf Ibn Sa‘d Ibn Ayyub al-Baji
(w.474H);
الرؤية تكون عامة وخاصة فأما العامة فهي أن
يرى الهلال الجم الغفير والعدد الكثير حتى يقع بذلك العلم الضروري فهذا لا خلاف في
وجوب الصوم والفطر به لمن رآه ومن لم يره
“Ru’yah atau melihat bulan adakalanya
bersifat umum, adakalanya bersifat khusus. Ru’yah ‘Ammah adalah dengan melihat
bulan sabit dengan ukurannya yang sudah cukup besar sehingga mudah dilihat
tanpa upaya khusus. Dengan ini, tidak ada perbedaan pendapat ulama dalam
wajibnya berpuasa Ramadha maupun berbuka di akhirnya, baik bagi yang melihatnya
maupun bagi yang belum melihatnya”
(Al-Baji, al-Muntaqa
Fî Syarh al-Muwattha’, vol.2, hal.152)
ولا خلاف بين الناس أنه إذا رئي بعد الزوال
فإنه لليلة القادمة
“Tidak ada perbedaan pendapat ulama
apabila hilal terlihat setelah tergelincir matahari maka hilal itu adalah untuk
malam berikutnya”
(Al-Baji, al-Muntaqa
Fî Syarh al-Muwattha’, vol.2, hal.155)
4. Al-Imam Abu Bakr Muhammad Ibn Abdillah Ibn Muhammad Ibn al-‘Arabi
al-Ma‘afiri (w.543H);
أما الفطر فاتفق العلماء على أن لا يكون إلا
باثنين
“Sedangkan berbuka puasa (di akhir
Ramadhan), ulama bersepakat bahwa harus disaksikan oleh dua orang”
(Ibn al-‘Arabi, al-Qabas
Fî Syarh Muwattha’ Mâlik Ibn Anas, vol.1, hal.485)
5. Al-Imam al-Qadhi Abu al-Fadhl ‘Iyadh Ibn Musa Ibn ‘Iyadh Ibn ‘Amrûn
al-Yahshubi (w.544H);
الرؤية إذا كانت فاشية صيم بغير خلاف، وإن
كان الغيم قبل فيه الشهادة بغير خلاف
“Apabila melihat bulan menghasilkan
terlihatnya bulan, maka puasa pun dapat dimulai tanpa perbedaan pendapat. Namun
apabila ada yang terhalang, maka dapat menggunakan kesaksian tanpa perbedaan
pendapat”
(Al-Qadhi ‘Iyadh, Ikmal
al-Mu‘lim Bi Fawa’id Muslim, vol. 4, hal.11)
6. Al-Imam Abu Muhammad Abdullah Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibn Qudamah al-Maqdisi
(w.620H);
فإذا رأوه وجب عليهم الصيام اجماعا
“Apabila mereka telah melihat (hilal)
maka ulama ijma bahwa mereka wajib berpuasa”
(Ibn Qudamah, al-Mughnî
Syarh Mukhtashar al-Imâm Abî al-Qâsim al-Kharqî, vol.3, hal.6)
7. Al-Imam Abu Muhammad Baha’uddin Abdurrahman Ibn Ibrahim Ibn Ahmad
al-Maqdisi (w.624H);
ويجب بأحد ثلاثة أشياء: كمال شعبان ثلاثين
يوما إجماعا
“Berpuasa wajib dilaksanakan oleh sebab
salah satu dari tiga hal, yaitu dengan menyempurnakan bulan Sya‘ban sebanyak 30
hari berdasarkan ijma”
(Baha’uddin
al-Maqdisi, al-‘Uddah Syarh al-‘Umdah, vol.1, hal.139)
8. Al-Imam Syihabuddin Abu al-‘Abbas Ahmad Ibn Idris Ibn Abdirrahman
al-Qarrafi (w.684H);
لو رئي الهلال بعد الزوال فلليلة المستقبلة
اتفاقا
“Kalau hilal terlihat setelah
tergelincir matahari, maka ulama sepakat bahwa itu untuk malam berikutnya”
(Al-Qarrafi, al-Dzakhîrah,
vol.2, hal.492)
9. Al-Imam Abu Abdillah Muhammad Ibn Abdillah al-Zarkasyi al-Hanbali (w.772H);
فإن رأوه وجب صيامه، وهذا إجماع
“Apabila mereka telah melihat hilal,
maka mereka wajib berpuasa, dan ini adalah ijma‘”
(Al-Zarkasyi, Syarh
Mukhtashar al-Kharqî, vol.1, hal.410)
Wallâhu A‘lam