Tarbiyah.Online | Shalat wajib lima waktu atau yang sering disebut dengan shalat maktubah juga shalat mafrudhah yang berarti shalat yang wajib dikerjakan, fardhu 'ain. Wajib disini bermakna wajib
syar'i. Yakni, mendapat pahala ketika dikerjakan dan berdosa jika ditinggalkan.
Masing-masing shalat maktubah ini memiliki jumlah raka'at yang
bervariasi. Dan jika dikalkulasikan bilangan raka'atnya maka jumlahnya ada tujuh belas (17) raka'at.
Nah, pernahkah Anda bertanya kenapa shalat maktubah itu harus
berjumlah lima waktu? Atau kenapa jumlah raka'atnya berbeda? Atau kenapa
sehingga jumlah keseluruhan raka'atnya ada tujuh belas?
Jika tiga pertanyaan
ini pernah terlintas di benak Anda, maka jawabannya adalah
"fata'abbudy". Demikian jawaban simple dari Imam Syaikh Syihabuddin
Al-Qulyuby dalam sebuah hasyiahnya.
Ta'abbudy itu sendiri berarti "Melakukan suatu ibadat
semata-mata karena Allah tanpa didasari oleh alasan tertentu", red.
Pun demikian, terkait tujuh belas raka'at dari jumlah keseluruhan
shalat maktubah, beliau, Imam Al-Qulyuby melanjutkan bahwa sebagian Ulama telah
menyebutkan hikmah di sebaliknya. Yakni, dalam satu hari (24 jam) manusia
berada dalam keadaan terjaga (yaqdhah) selama 17 jam. Dengan rincian 12 jam
pada waktu siang hari, sekitar 3 jam pada awal waktu malam, dan 2 jam pada
penghujung malam (menjelang subuh).
Maka (hikmahnya adalah) setiap satu raka'at shalat maktubah dapat
menghapus dosa yang terjadi dalam durasi satu jam. Alhasil, tujuh belas (17) raka'at
shalat maktubah yang kita kerjakan dapat menghapus dosa yang terjadi dalam
durasi tujuh belas jam dalam satu hari, insyaAllah.
Subhanallah. Demikianlah hikmahnya.
Tetapi jangan lupa, perlu digarisbawahi bahwa dosa yang diampuni disini
hanyalah dosa-dosa kecil, tidak dengan dosa besar, tidak pula dengan dosa
terhadap manusia. Karena dosa besar hanya bisa terhapus dengan tetesan air mata
taubat nasuha, dan dosa sesama manusia hanya bisa terhapus dengan meminta maaf
kepada manusia.
Kecuali itu, meninggalkan shalat maktubah adalah dosa besar. Dan
orang yang tidak shalat sama derajatnya dengan binatang "ghairu
muhtaram" alias binatang yang tidak terhormat. Dimana dalam kasus terntentu misalkan ketika sedang berlayar di tengah samudera, sedang kapal hampir karam karena kelebihan muatannya, maka orang yang tidak melakukan shalat lah yang harus didahulukan untuk disingkirkan, atau dilempar ke lautan hidup-hidup, guna menyelamatkan yang lainnya. (Adak surah lam kapai yang ineuk ngop karna leubeh muatan, maka
"ureung hana seumayang" phon yang wajeb tatiek lam laot).
Dikutip dari kitab Mahli (Hasyiah Qulyubi) oleh Tgk. Muhammad Yusuf Aree,
S.Sos.
Pengajar di Dayah Ummul Ayman, Samalanga.