Kita
seringkali mendengarkan nasehat dari para juru nasehat atau ceramah dari salah
seorang ustadz atau khutbah dari seorang khatib yang mengandung hadits-hadits dha’if.
Lalu
bagaimana kita harus bersikap? Apalagi di sisi lain kita mengetahui adanya hadits
yang shahih yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bahwa Nabi Shallallahu
‘Alaihi Wasallam pernah bersabda:
مَنْ كَذَّبَ عَلَيَّ
مُـتــَـعَمـِّدًا فَلْيــَـتـَـبَوَّ أْ مَـقْعـَدَهُ مِنَ النـــَّـارِ . متفق
عليه
“Barang
siapa yang berdusta atas (nama) ku dengan sengaja maka hendaknya menempati
tempat duduknya di neraka” (Muttafaqun alaih).
Terhadap
hadits diatas seorang ulama hadits, ibnu Hibban telah berkata dalam Muqaddimah
kitab shahihnya pasal “Wajibnya masuk neraka seseorang yang menisbatkan sesuatu
(perkataan maupun perbuatan) kepada Al Musthafa Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
padahal orang tersebut tidak mengetahui keshahihan hadits tersebut”. kemudian
beliau (Ibnu Hibban) mengutip dua hadits yang menunjukkan kebenaran
perkataannya:
Dari Abi
Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam :
مَنْ قَالَ عَلَيَّ مَالَمْ
أَقُلْ فَلْيـَتـَبَوَّ أْ مَـقْـعـَدَهُ مِنَ النــَّارِ . رواه ابن حبان
“Barangsiapa
yang berkata atas (nama) ku apa yang aku tidak katakan, maka hendaknya dia
menempati tempat duduknya di Neraka” (HHR. Ibnu Hibban)
Dari
Samurah bin Jundub Radhiyallahu ‘Anhu, telah bersabda Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam :
مَنْ حَدَّثَ عَنـِّي بـــِحَدِ
يْثٍ يُرَى أَنـــَّهُ كَذِبٌ فَهُـوَ أَحَدُ كَاذِ بـَـيْنِ . رواه مسلم
“Barangsiapa
yang mengucapkan suatu hadits dan dia sangka atau duga bahwa hadits ini adalah
dusta maka dia satu dari dua pendusta”. (HR. Muslim).

Hukum Mengamalkan Hadits Dha’if.
Para ‘ulama kita –rahimahullahu- telah berikhtilaf dalam hukum meriwayatkan dan
mengamalkan Hadits dha’if. Ikhtilaf ‘ulama ini terbagi tiga:
Pertama : bahwa hadits dha’if itu
tidak boleh diamalkan secara mutlak (sama sekali) baik dalam masalah hukum,
aqidah, targhib watarhib dan lain-lainnya. Yang berpegang pada pendapat ini
adalah sejumlah besar dari kalangan Ibnu Taimiyyah, Imam Ibnu Hazm
–rahimahullahu- dan lain-lain.
Kedua : Boleh mengamalkan hadits dha’if dalam bab
Fadhoilul A’mal, Targhib (menggemarkan melakukan suata amalan), Tarhib
(mempertakuti diri mengerjakan suatu amal) namun tidak diamalkan dalam masalah
aqidah, dan hukum. Yang memegang pendapat ini adalah sebagian ahli fiqh dan
ahli hadits seperti Al Hafidz Ibnu Abdil Barr, Al Imam Nawawi, Ibnu Sholah
–rahimahullahu-.
Menurut imam An-Nawawi dan sebagian
ulama hadits dan para fuqaha: kita boleh
mempergunakan hadits yang dhaif untuk fadha ‘ilul a’mal, baik untuk yang
bersifat targhib maupun yang bersifat tarhib, yaitu sepanjang hadits tersebut belum sampai
ke derajat maudhu (palsu). Imam An-Nawawi memperingatkan bahwa diperbolehkannya hal tersebut bukan untuk menetapkan hukum, melainkan hanya untuk menerangkan keutamaan amal, yang hukumnya telah ditetapkan oleh
hadits shahih, setidak-tidaknya hadits hasan.
1. Fadhailul ’amal (Keutamaan-Keutamaan Amal) : Yaitu hadits-hadits
yang menerangkan tentang
keutamaan-keutamaan amal yang sifatnya sunnah, yang sama sekali tidak terkait
dengan masalah hukum yang qath’i, juga tidak terkait dengan masalah aqidah
dan juga tidak terkait dengan dosa besar.
2. At-Targhiib (Memotivasi) : Yaitu hadits-hadits yang berisi
pemberian semangat untuk mengerjakan
suatu amal dengan janji Pahala dan Surga.
3. At-Tarhiib (Menakut-nakuti) : Yaitu hadits-hadits yang berisi ancaman Neraka dan hal-hal yang mengerikan bagi orang yang mengerjakan suatu perbuatan.
3. At-Tarhiib (Menakut-nakuti) : Yaitu hadits-hadits yang berisi ancaman Neraka dan hal-hal yang mengerikan bagi orang yang mengerjakan suatu perbuatan.
4. Al-Qashas : Kisah-kisah Tentang Para Nabi Dan Orang-Orang Sholeh.
5. Do’a Dan Dzikir : Yaitu hadits-hadits yang berisi lafazh-lafazh do’a dan dzikir.
5. Do’a Dan Dzikir : Yaitu hadits-hadits yang berisi lafazh-lafazh do’a dan dzikir.
Ketiga : Boleh mengamalkan hadits dha’if secara mutlak jika tidak ditemukan hadits yang shahih atau hasan.
Diriwayatkan dari sebagian besar fuqaha’ yaitu kebolehan beramal dengan hadits dha’if secara mutlak, jika tidak
ditemukan hadits selainnya dalam sebuah tema atau pembahasan. Pendapat ini
diriwayatkan dari Abu Hanifah, Syafi’I, Malik dan Ahmad. Meskipun khusus
untuk imam Ahmad, pendapat seperti ini bisa dipahami karena menurut beliau
pembagian hadits adalah Shahih dan Dha’if saja.
Kesimpulannya
Sebagaimana ketentuan dengan
hadits nabawi yang mempunyai banyak tingkatan dan karakter yang berbeda-beda
seperti shahih, hasan, dan dha'if. Hadits shahih mempunyai tingkatan tertinggi
dalam pembagian hadits nabawi, kemudian hasan dan pada akhirnya dha'if maka hadits
dha'if juga terdapat sangat banyak pembagian. Hadits-hadits dha'if tidak semua
boleh diamalkan dan juga tidak semua harus ditinggalkan seperti kekeliruan
pemahanan sebagian orang. Imam al-Bukhari adalah imam muhaqqiq dalam bidang
hadis beliau mengarang kitab Shahih Bukhari yang di dalamnya terdapat
hadits-hadits shahih, namun beliau juga mengarang kitab Adabul Mufrad yang
didalamnya terdapat hadist dha'if, hal ini membuktikan bahwa hadits dha'if tidak
mutlak ditinggalkan tetapi boleh juga diamalkan. Diantara ketentuan beramal
dengan hadis dhaif adalah:
1. Boleh
beramal dengan hadis dhaif pada fadhail amal, untuk mengambil nasehat, dan
tentang kisah-kisah bukan pada masalah i’tiqad dan bukan pada hukum-hukum seperti
halal-haram.
2. Hadits yang
dhaif tersebut bukanlah terlalu dhaif seperti perawinya orang yang banyak
kebohongan.
3. Hadits tersebut masih dalam katagori dalil-dalil yang umum.