TARBIYAH ONLINE

Fiqh

Rabu, 29 Januari 2020

Kenal Ulama: Umar bin Abdul Aziz, Dikenal Sebagai Khulafaur Rasyidin Kelima

Januari 29, 2020

Tokoh Ulama | Sejarah Islam turut diharumi dengan adanya pemimimpin yang saleh dan bijaksana hingga kerap disebut sebagai khulafaur rasyidin kelima. Dialah Khalifah Umar bin Abdul Aziz, salah seorang khalifah dari Dinasti Bani Umayyah.

Ia bernama Umar bin Abdul Aziz.
Lahir 2 November 682 (26 Safar 63 H) di Madinah. Umar berasal dari Bani Umayyah cabang Marwani. Ayahnya bernama Abdul Aziz bin Marwan dan ibunya bernama Laila binti Asim bin ‘Umar, khalifah rasyid yang kedua.

Menurut tradisi Sunni, keterkaitan silsilah antara ‘Umar bin Abdul ‘Aziz dengan Umar bin Khattab bermula pada suatu malam di masa ‘Umar bin Khattab. Saat sedang beronda malam, Umar bin Khattab mendengar percakapan antara seorang gadis dan ibunya dari keluarga pedagang susu.

Sang gadis menolak mencampur susu dengan air sebagaimana yang diperintahkan ibunya lantaran terdapat larangan dari khalifah mengenai hal tersebut dan mengatakan bahwa Allah melihat perbuatan mereka meski Umar bin Khattab sendiri tidak mengetahui.

Kagum akan kejujurannya, Umar memerintahkan salah seorang putranya, ‘Ashim, untuk menikahi gadis tersebut. Dari pernikahan ini, lahirlah Laila, ibunda ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz.

‘Umar bin Abdul Aziz lahir saat kekhalifahan dalam kepemimpinan Bani Sufyani, cabang Bani Umayyah yang merupakan keturunan Abu Sufyan bin Harb. Pada masa Khalifah Yazid, perasaan tidak suka dari penduduk Madinah terhadap Yazid meluas menjadi sentimen anti-Umayyah, sehingga semua anggota Bani Umayyah diusir dari Madinah.

Setelah masa kekhalifahan Mu’awiyah bin Yazid berakhir pada 684, kendali Umayyah atas kekhalifahan sempat runtuh dan banyak pihak berbalik mendukung Abdullah bin Zubair, khalifah pesaing Umayyah yang berpusat di Mekkah.

Umayyah kembali menguatkan pengaruhnya saat Marwan diangkat menjadi khalifah di Syria. Putra Marwan, Abdul-Malik, ditetapkan sebagai Gubernur Palestina dan putra mahkota, sedangkan putra Marwan yang lain, Abdul ‘Aziz, ditetapkan sebagai Gubernur Mesir dan wakil putra mahkota.

Setelah Marwan mangkat, Abdul Malik menjadi khalifah, sedangkan kedudukan Abdul ‘Aziz naik menjadi putra mahkota sekaligus masih tetap mempertahankan kepemimpinannya atas Mesir sebagai gubernur.

Umar bin Abdul Aziz menghabiskan sebagian masa kecilnya di wilayah kekuasaan ayahnya di Mesir, utamanya di kota Helwan.Meski begitu, dia menerima pendidikan di Madinah yang saat itu kepemimpinan kota tersebut sudah diambil alih kembali oleh pihak Umayyah pada 692. Menghabiskan masa mudanya di sana, Umar menjalin hubungan erat dengan orang-orang saleh dan perawi hadits.

Di penghujung usia, Abdul Malik ingin agar tahta kelak diwariskan kepada putranya, Al-Walid, dan bukan kepada Abdul Aziz. Abdul Aziz menolak menyerahkan kedudukannya sebagai putra mahkota, tetapi perselisihan dapat dihindari lantaran Abdul Aziz wafat lebih dulu dari Abdul Malik.

Abdul Malik kemudian menobatkan Al-Walid sebagai putra mahkota. Selain itu, Abdul Malik memanggil Umar ke Damaskus dan menikahkannya dengan putrinya sendiri, Fatimah.

Al-Walid naik tahta pada 705 setelah ayahnya mangkat. Secara silsilah, Al-Walid dan Umar bin Abdul Aziz adalah sepupu. Melalui pernikahan, mereka berdua adalah saudara ipar. ‘Umar menikah dengan Fatimah, saudari Al-Walid, dan Al-Walid merupakan suami Ummul Banin, saudari ‘Umar.

Salah satu kebijakan Al-Walid adalah mengangkat ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz sebagai gubernur Madinah.Di masa sebelumnya, Madinah yang menolak kepemimpinan Umayyah ditundukkan secara paksa oleh pihak Umayyah pada Pertempuran al-Harrah di masa Khalifah Yazid.

Gubernur Madinah sebelumnya, Hisyam bin Ismail al-Makhzumi, dikenal sangat keras dalam memerintah. Penunjukan ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz dimaksudkan untuk meredam ketegangan antara penduduk Madinah dengan pihak Umayyah dan menjembatani kedua belah pihak.’Umar mulai menjabat pada bulan Februari atau Maret tahun 706 dan wilayah kewenangannya kemudian diperluas ke Makkah dan Tha’if.

‘Umar juga kerap memimpin rombongan haji dan menunjukkan dukungan pada para ulama Madinah, khususnya Said bin al-Musayyib yang merupakan salah satu Tujuh Fuqaha Madinah. Umar tidak membuat keputusan tanpa berdiskusi dengan Said terlebih dahulu,salah satunya adalah masalah perluasan Masjid Nabawi.

Khalifah Al-Walid memerintahkan perluasan masjid yang menjadikan rumah Nabi Muhammad harus turut direnovasi.’Umar membacakan keputusan ini di depan penduduk Madinah sehingga banyak dari mereka yang menangis.

Perkataan Said bin al-Musayyib, “Sungguh aku berharap agar rumah Rasulullah tetap dibiarkan seperti apa adanya sehingga generasi Islam yang akan datang dapat mengetahui yang sesungguhnya tata cara hidupnya yang sederhana”.

Masa di Madinah itu menjadi masa yang jauh berbeda dengan pemerintahan sebelumnya, dan keluhan-keluhan resmi ke Damaskus (ibukota kekhalifahan saat itu) berkurang dan dapat diselesaikan di Madinah. ‘Umar juga cenderung longgar dalam menghadapi para ulama yang kerap melayangkan kritik terhadap pemerintahan Umayyah.

Dalam masalah pribadi, ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz memiliki gaya hidup yang mewah saat menjadi gubernur.Segala kebijakan yang diambil menjadikan ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz sebagai pejabat yang terkenal akan kesalehan dan kebijaksanaannya.

Sepeninggal Al-Walid, Sulaiman bin ‘Abdul Malik yang merupakan adik kandungnya dinobatkan sebagai khalifah dan memimpin kekhalifahan dari Yerusalem (Al-Quds). Pada masanya, para pejabat yang berkuasa pada masa Al-Walid dilucuti satu-persatu dari jabatan mereka.

“Al-Hajjaj” sudah meninggal tatkala Sulaiman naik tahta, tapi kerabat dan sekutunya diberhentikan dan mendapat hukuman. Di sisi lain, lawan politik mereka menempati berbagai kedudukan penting pada masa Sulaiman. Salah satu di antaranya adalah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz.

Sulaiman yang juga merupakan sepupu ‘Umar sangat memberikan penghormatan padanya.Bersama seorang ulama tabi’in Raja’ bin Haiwah, ‘Umar menjadi penasihat utama Sulaiman. Dia mendampingi Sulaiman dalam memimpin rombongan haji pada 716 dan sampai kembalinya di Yerusalem.

Tampaknya ia juga mendampingi Sulaiman di Dabiq saat kekhalifahan berperang melawan Kekaisaran Romawi.

Pada awalnya, Sulaiman menunjuk salah seorang putranya, Ayyub, menjadi putra mahkota, tetapi Ayyub meninggal lebih dulu pada awal 717. Sulaiman yang saat itu sakit keras kemudian berencana menunjuk putranya yang lain, Dawud, sebagai putra mahkota, tetapi Raja’ bin Haiwah tidak sepakat dengan alasan bahwa Dawud sedang berperang di Konstantinopel dan tidak ada kejelasan mengenai kembalinya.

Raja’ mengusulkan agar mengangkat ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz sebagai pewaris, sebab ‘Umar dikenal sebagai salah satu tokoh yang bijaksana, cakap, dan saleh pada masa itu. Sulaiman menyepakati usulan tersebut.

Namun demi menghindari perselisihan di dalam tubuh Umayyah antara pihak ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz dengan saudara-saudara Sulaiman, Sulaiman menetapkan saudaranya, Yazid, sebagai wakil putra mahkota. Hal ini bermakna bahwa setelah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, Yazid yang akan menjadi khalifah. Raja’ yang dipasrahi urusan ini segera mengumpulkan anggota Bani Umayyah di masjid dan meminta mereka bersumpah setia untuk menerima wasiat Sulaiman yang masih dirahasiakan.

Setelah mereka menyatakan kepatuhan, barulah Raja’ mengumumkan bahwa ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz yang akan menjadi khalifah sepeninggal Sulaiman. Saudara Sulaiman yang lain, Hisyam, menentang keputusan tersebut, tetapi kemudian diancam akan jatuh.

Umar dibai’at sebagai khalifah pada hari Jum’at setelah shalat Jum’at. Berbeda saat masih menjadi gubernur, gaya hidup ‘Umar menjadi sangat sederhana pada saat menjadi khalifah. Gajinya selama menjadi khalifah hanya 2 dirham perhari atau 60 dirham perbulan.

Segera setelah mendengar berita kematian Khalifah Sulaiman, ‘Abdul ‘Aziz yang merupakan putra Khalifah Al-Walid langsung bergegas menuju Damaskus beserta pasukannya, tanpa mengetahui pihak yang menggantikan Sulaiman. Sebagai catatan, Al-Walid pernah berusaha melepas posisi Sulaiman sebagai putra mahkota untuk diserahkan kepada ‘Abdul ‘Aziz, tetapi Al-Walid lebih dulu meninggal sebelum keinginannya diresmikan, sehingga Sulaiman yang pada akhirnya menjadi khalifah.

‘Umar merombak ulang administrasi provinsi-provinsi di kekhalifahan.Ia melakukan pemekaran atas provinsi di kawasan timur kekhalifahan yang dibentuk pada masa Khalifah ‘Abdul Malik bin Marwan dan Al-Hajjaj bin Yusuf.Gubernur yang ditunjuk Sulaiman untuk provinsi besar ini, Yazid bin Muhallab, diberhentikan dan ditahan lantaran tidak menyetorkan harta rampasan perang dari penaklukan sebelumnya atas kawasan Thabaristan ke kas perbendaharaan negara. 

Umar kemudian menunjuk beberapa gubernur baru untuk beberapa provinsi. Perinciannya:

Kawasan timur
Kufah: ‘Abdul Hamid bin ‘Abdurrahman bin Zaid bin Khattab (masih anggota keluarga ‘Umar bin Khattab)
Basrah: ‘Adi bin Arthah al-Fazari
Khorasan: Al-Jarrah bin ‘Abdullah
Sindh: ‘Amr bin Muslim al-Bahili
Mesopotamia Hulu: ‘Umar bin Hubairah

Kawasan barat
Al-Andalusia (semenanjung Iberia): As-Samh bin Malik al-Khaulani
Ifriqiyah (Afrika Utara): Ismail bin ‘Abdullah bin Abi al-Muhajir

Meski pejabat baru yang ditunjuk di kawasan timur ini dulunya pengikut Al-Hajjaj atau dari kelompok Qais, ‘Umar menunjuk mereka atas dasar kecakapan, bukan lantaran mereka adalah lawan politik Khalifah Sulaiman.

Pilihannya untuk gubernur Al-Andalus dan Ifriqiyah berangkat dari pandangan ‘Umar tentang netralitas mereka atas persaingan antara kelompok Qais dan Yamani, juga keadilan mereka terhadap pihak-pihak yang tertindas. 

‘Umar tampak memilih orang cakap yang dapat dia kendalikan, menunjukkan niatnya untuk benar-benar melakukan pengawasan cermat atas tiap-tiap provinsi.

Sejarawan Wellhausen mencatat bahwa ‘Umar tidak membiarkan para gubernur mengatur wilayah mereka sendiri hanya karena sudah menyetorkan pendapatan daerah ke pusat, tetapi secara aktif mengawasi administrasi para gubernurnya.

Dalam urusan militer, ‘Umar cenderung pasif bila dibandingkan pendahulunya, meskipun sejarawan Cobb mengaitkan sikap ‘Umar dengan kekhawatiran akan menipisnya perbendaharaan negara.

Wellhausen menegaskan bahwa ‘Umar tidak menyukai perang penaklukan, mengetahui bahwa mereka digaji bukan untuk kepentingan Allah, tetapi karena rampasan perang.Segera setelah menjadi khalifah, dia memerintahkan agar pasukan Muslim yang dikomando oleh Maslamah bin ‘Abdul-Malik segera ditarik dari pengepungan Konstantinopel dan mundur ke Malatya di kawasan Anatolia Timur/Armenia Barat.

Terlepas dari penarikan tersebut, ‘Umar terus melakukan serangan musim panas tahunan pada perbatasan Romawi, sebagai bagian dari kewajiban jihad. ‘Umar tetap berada di Syria utara, seringkali tinggal di tanah miliknya di Khanasir, tempat dia membangun benteng.

Pada suatu waktu di tahun 717, ‘Umar mengirim pasukan ke Azerbaijan selatan di bawah kepemimpinan Ibnu Hatim bin Nu’man al-Bahili untuk menumpas sekelompok bangsa Turki yang melakukan perusakan di kawasan tersebut. Pada 718, dia mengerahkan berturut-turut pasukan Iraq dan Syria untuk menekan pemberontakan Khawarij di Iraq, meski sebagian sumber menyatakan bahwa gerakan perlawanan ini diredam dengan diplomasi.

Di sepanjang perbatasan timur laut kekhalifahan, di Transoxiana, Islam sudah memiliki kedudukan mapan di beberapa kota, mencegah ‘Umar untuk menarik pasukan Arab dari sana.Meski demikian, dia mencegah untuk melakukan perluasan wilayah lebih jauh ke timur.Pada masa kekuasaannya, pasukan Muslim yang berpusat di Al-Andalus menaklukkan kota Narbonne di kawasan Franka selatan.

‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz merupakan seorang ulama dan dia sendiri dikelilingi ulama-ulama besar seperti Muhammad bin Ka’ab dan Maiumun bin Mihran. Dia menawarkan tunjangan kepada para guru dan mendorong pendidikan. Melalui teladan pribadinya, dia menanamkan kesalehan, ketabahan, etika bisnis, dan kejujuran moral di masyarakat.

Pembaharuan yang dia lakukan termasuk memperketat larangan minum-minuman keras, melarang ketelanjangan publik, menghapus pemandian umum campur laki-laki dan perempuan, dan pemberian dispensasi zakat yang adil.

Dia memerintahkan pengerjaan berbagai bangunan umum di Persia, Khorasan, dan Afrika Utara, seperti pembangunan kanal, jalan, karavanserai, dan klinik kesehatan. ‘Umar juga melanjutkan program kesejahteraan dari beberapa khalifah Umayyah terakhir dan memperluasnya, termasuk program-program untuk anak yatim dan orang miskin.

‘Umar juga dipuji lantaran memerintahkan pengumpulan resmi hadits yang pertama kali lantaran adanya kekhawatiran akan hilangnya sebagian hadits. Mereka yang diperintahkan ‘Umar melaksanakan perintah tersebut antara lain Abu Bakar bin Muhammad bin Hazm dan Ibnu Syihab az-Zuhri.

Beberapa pembaharuan lain yang ‘Umar lakukan:

Melarang pejabat negara untuk berbisnis Pekerja tanpa bayaran dianggap ilegal.

Tanah penggembalaan dan cagar alam yang diperuntukkan bagi keluarga para pejabat tinggi dibagikan secara merata pada orang miskin dan tujuan budidaya.

Mendesak semua pejabat untuk mendengarkan keluhan orang-orang dan pada setiap kesempatan, diumumkan bahwa jika ada yang melihat petugas yang memperlakukan masyarakat tidak sebagaimana mestinya, dia harus melaporkannya dan sang pelapor akan diberikan hadiah mulai dari 100 hingga 300 dirham.

Pada masa sebelumnya, Bani Umayyah terkenal akan permusuhannya terhadap ahlul bait (keluarga Nabi Muhammad) dan mengharuskan para khatib untuk melakukan celaan pada Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib pada khutbah shalat Jum’at.

‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz kemudian memerintahkan agar kebiasaan itu dihapus.Tanah Fadak yang dikuasai Bani Umayyah sejak masa Khalifah Marwan bin al-Hakam juga dikembalikan kepada Bani Hasyim. Sebagai catatan, tanah Fadak adalah tanah milik Nabi Muhammad di kawasan Khaibar yang berdasar perintah Nabi, hasil dari pengelolaannya diberikan kepada kalangan Bani Hasyim yang membutuhkan.

Di masa khalifah Umayyah sebelumnya, Muslim Arab memiliki hak istimewa terkait keuangan daripada Muslim non-Arab. Mualaf dari kalangan non-Arab tetap diwajibkan membayar pajak jizyah seperti saat mereka belum masuk Islam. ‘Umar kemudian menghapuskan kebijakan ini dan membebaskan semua Muslim dari pembayaran jizyah, tanpa memandang asal-usul mereka.

Meski begitu, ‘Umar juga membuat penjagaan agar keuangan negara tidak runtuh saat terjadi gelombang mualaf yang berakibat menyusutnya penerimaan jizyah. Mualaf non-Arab tidak lagi membayar jizyah, tetapi tanah mereka menjadi tanah desa dan dikenakan kharaj atau cukai tanah.

Mengikuti teladan Nabi Muhammad, ‘Umar mengirim utusan ke Tiongkok dan Tibet dan mengajak pemimpin mereka memeluk Islam. Di masa ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz inilah Islam berakar kuat dan diterima sebagian besar masyarakat Persia dan Mesir. Saat para pejabat mengeluhkan merosotnya pendapatan dari jizyah lantaran terjadinya gelombang mualaf, ‘Umar membalas bahwa dia menerima tampuk kekhalifahan untuk mengajak orang-orang masuk Islam, bukan menjadi penagih pajak. Jumlah Muslim non-Arab yang semakin besar menjadikan pusat negara bergeser yang semula dari Madinah dan Damaskus menjadi Persia dan Mesir.

‘Umar juga mengajak raja-raja di India untuk memeluk Islam dan menjadi bawahan khalifah. Sebagai balasan, mereka tetap mempertahankan kedudukan mereka sebagai raja. Beberapa raja menerima tawaran tersebut dan mulai mengadopsi nama Arab.

Oleh Faisol Abdurrahman, Alumni dan Staff Pengajar di Pondok Pesantren Raudlatul Ulum Al-Khaliliyah | Sarjana Komunikasi Islam IAIN Pontianak | Bidang Dakwah dan Kajian Keislaman Ikatan Santri dan Alumni Al-Khaliliyah (Insaniyah)

Artikel ini telah tayang di Pecihitam.org
Read More

Kamis, 23 Januari 2020

Kenal Ulama: Abu Usman Fauzi, Ulama Kharismatik Nusantara Asal Aceh

Januari 23, 2020

Ulama Nusantara | Abu Usman Fauzi bernama lengkap Tgk. H. Teuku Usman Al-Fauzi Bin Tgk. Teuku Muhammad Ali. Beliau juga akrab disapa dengan sebutan Abu Lueng Ie. Sedangkan Lueng Ie itu sendiri merupakan nama laqab tempat ia tinggal, yakni Desa Lueng Ie, Aceh Besar.

Dikarenakan beliau berasal dari golongan ninggrat yang di Aceh sering disebut dengan Teuku atau Ampon, maka gurunya yakni Abuya Muda Waly sering memanggilnya dengan sapaan Ampon.

Al-Fauzi merupakan laqab yang diberikan oleh Abuya Muda Waly. Abuya mengartikan al-Fauzi sebagai orang yang kuat menghadapi cobaan dan tantangan.

Abuya Muda Waly memberi gelar tersebut kepada Abu Lueng Ie lantaran beliau memang pantas menyemat laqab tersebut, sebab beliau berhasil melewati bermacam tantangan hidup, terutama ketika masih belajar kepada Abuya di Dayah Darussalam, Labuhan Haji, Aceh Selatan.

Kelahirannya

Abu Usman Fauzi lahir di Desa Cot Cut pada tahun 1919, sekitaran Desa Cot Iri, Aceh Besar dan meninggal dunia pada tahun 1992 di Banda Aceh dalam usia 72 tahun. Ayahnya bernama Tgk. Teuku Muhammad Ali. Namun masyarakat mengenal dengan sebutan Teuku Nyak Ali.

beliau berasal dari kalangan Teuku (bangsawan/niggrat), sehingga pada masa kanak-kanak dan remaja mampu bersekolah di sekolah favorit pada masanya, sehingga wajar-wajar saja Abu Usman Fauzi mampu menguasai beberapa bahasa Asing baik Inggris dan lainnya.

Awalnya Abu Usman Fauzi adalah seorang veteran pada masa penjajahan di usia dewasanya, beliau bertugas untuk mengawal para Ulama pada acara-acara penting.

Suatu saat ketika Abu Usman Fauzi sedang mengawal Abuya Mudawaly, Abu Usman melihat sosok Abuya yang sangat menakjubkan dan wajahnya begitu beraura, sehingga Abu Usman tertarik hatinya untuk dapat terus mengikuti Abuya dan berguru padanya.

Keinginan beliau semakin hari semakin menjadi-jadi, Cita-cita dan keinginannya agar dapat menuntut ilmu ke Dayah Darussalam Labuhan Haji pun semakin meningkat.

Walaupun pada awalnya ada suatu hal yang mengganjal, ketika bermusyawarah dengan ibu, Abu tidak diizinkan untuk pergi menuntut ilmu ke Labuhan Haji, karena sangat jauh dan pun beliau merupakan putra semata wayang.

Walaupun sudah beberapa kali diminta sang Ibupun tidak juga megizinkan, sampai akhirnya, Abuya mengambil sikap bahwa Abu Lieng Ie harus ikut Abuya Muda Waly untuk menuntut ilmu di dayah Labuhan Haji walaupun sang ibu tidak merestuinya.

Kiprahnya

Setelah Abu Lueng Ie menuntut ilmu di Darussalam Labuhan Haji kurang lebih selama delapan tahun, beliau kemudian sempat menjadi guru di Dayah Kalee Pidie selama 3 tahun.

Akan tetapi ini tidaklah bertahan lama karena Abu berkeinginan untuk mendirikan dayah (pesantren) sendiri yang kemudian diberi nama dengan Dayah Darul ‘Ulum sekitar tahun 1960 di Desa Lueng Ie.

Dayah Darul ‘Ulum tersebut kemudian berkembang pesat, banyak murid-murid yang berdatangan untuk menimba ilmu disana dan berhasil mencetak kader-kader Ulama sekitarnya.

Disamping perannya sebagai pimpinan dayah,  Abu Usman Fauzi rahimahullah juga merupakan seorang Mursyid dalam thariqat naqsyabandiyyah yang luar biasa perkembangannya dan sangat banyak pengikut thariqat tersebut di Aceh bahkan didunia saat ini.

Dari karena itu, beliau kemudian memiliki banyak murid dan pengikut, bahkan hampir di setiap wilayah dalam kabupaten di propinsi paling ujung itu terdapat pengikutnya.

Wafatnya

Abu Usman Fauzi rahimahullah meningal dunia pada hari jum’at tahun 1992 di Rumah Sakit Kesdam setelah sebelumnya sempat dirawat di RSUD Zainal Abidin. Sebagaimana cita-cita semua ummat Islam, meninggal di hari Jumat adalah sebuah harapan indah. Makanya dalam zikir suluk selalu dipanjatkan doa agar meninggal hari Jumat bulan Ramadan. Teryata Allah memperkenankan doa Abu selama ini.

Sebelum beliau wafat, Desa Lueng Ie sedang dalam kondisi kemarau. Panas terik matahari membuat masyarakat setempat malas keluar rumah. Pohon-pohon pun terlihat layu dan kering dan tanah pun tampak gersang.

Setelah  Abu meninggal, alam sekitar langsung berubah drastis. Langit seakan menangis histeris. Hujan deras terus membasahi tanah Lueng Ie dan sekitarnya.

Derasnya hujan berlangusung hingga beberapa hari. Ditambah lagi dengan angin kencang dan petir yang menyambar-nyambar yang. Seolah-olah alam berpesan kepada penghuninya, bahwa kepergian Abu adalah musibah bagi dunia.

Para murid dan masyarakat dari berbagai daerah di Aceh mulai mendatangi rumah duka. Kepergian Abu membuat keluarga dan anak-anaknya sedih. Muridnya merasakan kesedihan yang begitu mendalam. Sepertinya sulit sekali mencari pengganti sekaliber Abu Usman Fauzi atau yang kerap disapa Abu Lueng Ie ini.

Demikian biografi Abu Usman Fauzi yang sangat singkat ini, semoga menambah wawasan bagi para pembaca.  Semoga Allah SWT mengampuni segala dosa-dosa Almarhum dan menempatkan beliau disisi-Nya, bersama para Nabi ‘alaihimusshalatu wassalam. Wallahua’lambisshawab!

[Referensi: Dari Berbagai Sumber]

Oleh Muhammad Haekal, Alumni Ponpes Moderen Babun Najah Banda Aceh | Santri di Dayah Raudhatul Hikmah Al-Waliyyah, Banda Aceh

Artikel ini telah tayang di Pecihitam.org

Read More

Selasa, 21 Januari 2020

Kenal Ulama: Syeikh Wahbah Al Zuhaili, Ulama Kontemporer Ahli Fiqih dan Tafsir

Januari 21, 2020

Tokoh Ulama | Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili adalah seorang guru besar di Syiria dalam bidang keislaman, beliau juga merupakan salah seorang Ulama Fiqh Kontemporer peringkat dunia dan sangat masyhur. Beliau memiliki nama asli yaitu, Wahbah ibn Mustafa al-Zuhaili, lahir pada tanggal 6 Maret 1932 M / 1351 H, di desa Dir ‘Atiyah, daerah Qalmun, Damshiq, Syiria.

Ayah beliau bernama Mustafa al-Zuhaili, yang sangat terkenal dengan ketakwaan dan keshalihannya, beliau juga seorang hafidz Al-Qur’an, dan bekerja sebagai petani. Sedangkan ibunya bernama Fatimah ibn Mustafa Sa’adah, beliau merupakan seorang yang sangat berpegang teguh terhadap ajaran agama. Wahbah Zuhaili wafat pada hari Sabtu sore, tanggal 8 Agustus tahun 2015 di Suriah, pada usianya ke 83 tahun.

Pendidikan pertama beliau di awali dari Sekolah Dasar (Ibtida’iyah) yaang berada di kampungnya sendiri, dan di waktu yang bersamaan pula beliau belajar Al-Qur’an di tempat kelahirannya juga. Pada tahun 1946, Wahbah Zuhaily menyelesaikan pendidikan ibtidaiyah-nya kemudian melanjutkan pendidikannya di kuliah Shari’ah di Damaskus dan selesai pada tahun 1952.

Setelah lulus, Wahbah Zuhaily pun melanjutkan lagi pendidikannya di Cairo beliau mengambill dua fakultas sekaligus di Universitas yang berbeda, yaitu Fakultas Bahasa Arab al-Azhar University dan Fakultas Shari’ah di Universitas ‘Ain Sham, dan kuliah secara bersamaan.

Selama lima tahun beliau berhasil menyelesaikan kuliahnya dan mendapatkan tiga ijazah dan kemudian melanjutkan ke pasca sarjana di Universitas Cairo dan menyelesaikannya dalam waktu dua tahun, dan selesai pada tahun 1957 dengan tesisnya yang berjudul “Al-Zira’i fi al-Siyasah al-Shari’ah wa al-Fiqh al-Islami”.

Tidak berhenti sampai di situ, beliupun melanjutkan lagi pendidikannya dengan mengambil program Doktoral yaang selesai padaa tahun 1963 dengan judul desertasinya “Athar al-Harb fi al-Fiqh al-Islami Dirasatan Muqaranatan” di bawha bimbingan Dr. Muhammad Salman Madhkur.

Kemudian pada taahun 1963 M, beliau di angkat menjadi dosen di Fakultas Shari’ah Universitas Damaskus dan menjadi wakil dekan berturut-turut, dan kemudian menjadi Dekan. Selain itu beliau juga menjadi ketua jurusan Fiqh al-Islami wa Madzahabih, dan menjadi professor pada tahun 1975.

Beliau sangat terkenal sebagai seorang yang ahli dalam bidang Fiqh, Tafsir dan Dirasah Islamiyah. Sebagai seorang Ulama dan pemikiran islam, Wahbah al-Zuhaili telah menulis banyak sekali buku, dan artikel dari berbagai bidang ilmu ke islaman.

Sekitar kurang lebih 133 buah buku dan risalah-risalah kecil yag kurang lebih berjumlh 500 makalah. Sebagian besar kitab yang beliau tulis adalah Fiqih dan Usul al-Fiqh, selain itu beliau juga menulis kitab Tafsir oleh karenanya beliau juga di sebut sebagai ahli tafsir.

Selain itu, beliau juga menuliskan kitab tentang Hadist, sejarah dan bidang lainnya, sehingga beliau bukan hanya sekedar Ulama Fiqh saja, tetapi juga sebagai seorang Ulama dan pemikir Islam.

Beberapa karya-karya beliau adalah sebagai berikut:

Bidang Fiqh dan Ushul al-Fiqh

Athar al=Harb fi al-Fiqh al-Islami- Dirasah Maqaranah (Dar al Fikr. Damshiq, 1963)
Al-Wasit fi Usul al-Fiqh (Damshiq : Universitas Damshiq, 1966)
Al-Fiqh al-Islami fi Uslub al-Jadid ( Damshiq : Maktabah al-Hadith, 1967)

Bidang Tafsir

Al-Insan fi Al-Qur’an (Damshiq, Dar al-Maktabah, 2001)
Al-Qayyim al-Insaniyah fi Al-Qur’an al-Karim (Damshiq, Dar al-Maktabah, 2000)
Al-Qissah al-Qur’aniyah Hidayah wa Bayan ( Damshiq, Dar al-Khair)

Bidang Hadist

Manhaj al-Da’wah fi al-Sirah al-Nabawiyah ( Damshiq, Dar al-Maktabah, 2000)
Al-Asas wa al-Masdar al-Ijtihad al-Mushtarikaat baina al-Sunnah wa al-Shi’aah ( Damshiq; Dar al-Maktabah, 1966)
Al-Sunnah Al-Nabawwiyah (Damshiq; Dar al-Maktabah, 1997)

Bidang Sosial dan Budaya

Al-Alaqah al-Dauliyah fi al-Islam (Beirul; Muassasah al-Risalah, 1981)
Khasais al-Kubra li Huquq al-Insan fi al-Islam ( Damshiqq : Dar al-Maktabah, 1995)
Al-Islam al-Din al-Jihad I al- ‘Udwan (Libya; Tripoli, 1990)
Al-Thaqafah wa al-Fikr (Damshiq; Dar al-Maktabah, 2000)

Bidang Sejarah

Al-Mujaddid Jamal al-Din al-Afghani ( Damshiq; Dar al-Maktabah, 1986)

Demikianlah, sekilas biografi tentang Ulama masyhur yaitu Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili, dari latar belakang, pendidikan dan karya-karya beliau yang sangat terkenal.

Oleh Arif Rahman Hakim, Pengurus PWCINU dan LAZIZNU Okinawa - Jepang Tahun 2017
Artikel ini telah tayang di Pecihitam.org
Read More

Kenal Ulama: Imam Ahmad Ar-Rifa’i, Karamah dan Kalam Hikmahnya

Januari 21, 2020

Tokoh Ulama | Imam Ahmad Ar-Rifa’i merupakan seorang wali quthub, Ulama Sufi yang menjadi tonggak thariqah dan tokoh para wali agung, beliau bernama lengkap Syaikh Sayyid Ahmad al-Rifa`i bin Sayyid `Ali, bin Sayyid Yahya, bin Sayyid Tsabit, bin Sayyid Hazim, bin Sayyid Ahmad, bin Sayyid Ali, bin Sayyid Hasan al-Rifa`ah.

Jika Nasabnya diteruskan, maka akan sampai kepada Sayyidina Husain, bin Sayyidina ‘Ali wa Sayyidatina Fatimah az-Zahra, binti Sayyidina Muhammad Rasulullah SAW.

Beliau dilahirkan hari Kamis pada pertengahan bulan Rajab tahun 512 H di Ummi Abidah, daerah yang berada diantara Bashrah dan Baghdad, yang masyhur di Irak

Pertama sekali belajar fikih madzhab Syafi’i pada pamannya sendiri, yang bernama Syekh Abu Bakar al-Wasiti al-Anshari. Beliau sempat mengajar kitab Tanbih, kemudian masuk  ke dunia Thariqah dan menempa dirinya dengan sungguh-sungguh.

Beliau meninggalkan kesenangan duniawi dan memusatkan perhatiannya pada ilmu thariqah, sehingga menjadi seorang wali agung dan sangat ahli dalam bidang ilmu thariqah.

Imam Ahmad Ar-Rifa’i memiliki banyak murid dan sahabat yang sangat menghormatinya. Menurut Syeikh Ibnu Khalkan dan lainnya, santri-santrinya terkenal dengan nama Rifa`iyah, memiliki hal-hal yang aneh dan menakjubkan

Imam Ahmad Ar-Rifa’i rahimahullah wafat pada waktu dhuhur, hari Kamis 12 Jumadil Ula tahun 578 H. Kalimat terakhir yang beliau ucapkan adalah:

أَشْهَدُ أَنْ لَآإِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ

Pada hari wafatnya Imam Ahmad Ar-Rifa’i, ribuan orang datang melayat. Beliau dikebumikan di kuburan Yahya al-Bukhari di Bukhara.

Kisah Karamahnya

* Syaikh Syamsuddin Sibtu bin al-Zauji dalam kitab Tarikhnya mengatakan, bahwa disamping Sayyid Ahmad Ar-Rifa’i yang memiliki berbagai karamah dan maqam/kedudukan, santri-santrinya juga luar biasa. Mereka terkadang menaiki binatang buas dan bermain-main dengan ular. Di antara mereka bahkan ada yang memanjat pohon kurma lalu menjatuhkan diri ke tanah, namun tak merasa sakit sedikitpun.

* Imam Ahmad Ar-Rifa’i sering melihat (Tajalli/tersingkap) Nur kebesaran Allah Swt. Dan ketika hal itu terjadi, dirinya pun meleleh seperti genangan air. Namun dengan berkat Kelembutan dan Kasih Sayang Allah SWT, beliau kembali mengeras sedikit demi sedikit sehingga kembali ke wujud semula. Lantas beliau pun berkata kepada para santrinya: “Sekiranya bukan karena kemurahan Allah SWT, sungguh aku tidak akan kembali pada kalian“.

* Jika ada orang yang meminta dituliskan azimat kepadanya, maka beliau mengambil kertas lalu menuliskannya dengan tangan kosong (tanpa pena/tinta).

* Suatu hari Imam Ahmad Ar-Rifa’i berangkat ke Mekkah untuk melaksanakan Haji, disaat berziarah ke Maqam Nabi Muhammad Saw, keluarlah tangan dari dalam kubur Nabi SAW lalu bersalaman dengan Imam Ahmad, lantas beliau pun mencium tangan yang mulia Nabi SAW. Kejadian tersebut dapat disaksikan oleh orang ramai yang juga berziarah ke Maqam Nabi Saw ketika itu.

* Ketika sedang mengajar di atas kursinya, Orang yang jauh sekalipun akan mendengar suara beliau seperti sedang berada di dekatnya. Bahkan, semua penduduk desa Ummi Abidah dan sekitarannya pun turut mendengar seperti berada di tempat pengajiannya. Hingga orang tuli pun apabila datang ke majelis pengajiannya, maka akan dibukakan pendengarannya oleh Allah SWT.

Beberapa Kalam Hikmahnya

1. Aku telah mencoba menempuh semua jalan menuju kepada Allah SWT. Namun tidak kutemukan jalan yang lebih mudah, lebih dekat dan lebih pantas selain dari kefakiran, kehinaan dan kesusahan.
Di antara tanda-tanda tenang bersama Allah SWT, adalah merasa resah ketika berada bersama orang-orang kecuali para wali. Sebab tenang bersama para waliyullah berarti tenang bersama Allah SWT.

2. Sesuatu yang lebih dekat dengan murka Allah SWT, adalah melihat (dengan penuh rasa bangga) pada diri sendiri, tingkah laku dan amal kebajikannya. Yang lebih parahnya lagi adalah meminta imbalan atas suatu amalan (ibadah)”.

Demikian biografi dan sejarah singkat Raja para Waliyullah, Imam Ahmad Ar-Rifa’i, serta beberapa karomah dan kalam hikmahnya. Semoga bermanfaat. Wallahua’lambisshawab!

(Referensi: Disarikan dari kitab Nur al-Abshar, Jami’ al-Karamat al-Auliya’, Thabaqat al-Kubra dan  Kitab A’lam al-Shufiyah)

Oleh Muhammad Haekal, Alumni Ponpes Moderen Babun Najah Banda Aceh | Santri di Dayah Raudhatul Hikmah Al-Waliyyah, Banda Aceh

Artikel ini telah tayang di Pecihitam.org
Read More

Senin, 20 Januari 2020

kenal Ulama: Teungku Fakinah, Ulama Perempuan Aceh dan Pejuang Kemerdekaan Indonesia

Januari 20, 2020

Ulama Nusantara | Bernama lengkap Teungku Fakinah binti Teungku Datuk, lahir di Desa Lam Beunot kabupaten Aceh Besar pada tahun 1856. Ibundanya  bernama Cut Fatimah (Cut Mah), anak dari Teungku Chik Lampucok atau Tgk Muhammad Saad.

Semenjak usia dini Tgk Fakinah sudah dididik dan diarahkan oleh orang tuanya dengan penuh kedisiplinan dan kesungguhan. Tidak hanya diajarkan membaca Al-Quran dan ilmu pengetahuan agama lainnya, orang tuanya juga mengajarinya pekerjaan keterampilan wanita lainnya seperti menjahit, membuat kerawang sutera dan kasab.

Ketika memasuki usia remajanya, Fakinah sudah menjadi seorang wanita yang alim lagi ahli kerawang. Oleh karena kealimannya itulah kemudian ia dipanggil oleh rekan-rekan dan masyarakat sekitar dengan sebutan Teungku Fakinah atau Teungku Faki.

Kiprahnya Untuk Agama dan Tanah Air

Ketika Tgk Fakinah beranjak dewasa, sekitar tahun 1872, ia dinikahkan dengan seorang lelaki yang alim, bernama Tgk Ahmad, pemuda yang berasal dari desa Aneuk Glee, Indrapuri. Masyarakat Lam Beunot memanggil suami Tgk Fakinah dengan penuh rasa hormat yaitu dengan sebutan Tgk Aneuk Glee.

Tgk Aneuk Glee kemudian dibantu oleh sang mertua, yakni Tgk Datuk untuk mendirikan sebuah Dayah (Pesantren) di desa Lam Beunot yang juga mendapat dukungan dari masyarakat desa tersebut beserta Imam Mukim Lamkrak. Dayah tersebut kemudian berkembang pesat dan banyak didatangi oleh remaja dan pemuda –pemudi yang berasal dari berbagai daerah untuk belajar disana.

Pengajar disaat itu adalah Tgk Aneuk Glee untuk santri laki-laki, dan sang istri yakni Tgk Fakinah mengajar para santri perempuan. Tgk Fakinah tidak hanya mengajarkan ilmu agama kepada para santriwati, akan tetapi ia juga mengajarkan mereka berbagai keterampilan seperti jahit-menjahit, membuat kerawang dan lain sebagainya.

Namun ketika terjadi ekspedisi Belanda pertama ke Aceh pada tahun 1873, Suami Teungku Fakinah yaitu Tgk Aneuk Glee Syahid dalam suatu peperangan demi menghadang laju penjajah Belanda di Aceh.

Setelah menjanda, Tgk Fakinah tetap terus memusatkan perhatiannya untuk membantu memerangi para penjajah Belanda. Saat itu Tgk Fakinah membentuk Badan Amal Sosial yang beranggotakan perempuan dan janda.

Anggota Badan Sosial ini sangat giat dalam mengumpulkan sumbangan perbekalan dari rakyat berupa padi dan uang. Sebagian dari anggotanya juga menjadi juru masak untuk para pejuang. Selain itu, ia juga mengomandoi pembentukan Kuta Pertahanan (Kuta Cot Weue).

Kuta ini khusus dibuat oleh perempuan, baik dalam hal membuat pagar, menggali parit dan memasang ranjau-ranjau. Semua itu dikerjakan oleh perempuan  yang dipimpin oleh Teungku Fakinah.

Setelah membentuk Kuta Cot Weue, pemuka masyarakat pada saat itu menyarankan agar Tgk Fakinah jangan tinggal sendirian (menjanda) dalam memperjuangkan tanah air yang sangat berat itu. Oleh karena itu Tgk Fakinah dinikahkan dengan seorang pemuda alim yang bernama Tgk Badai yang berasal dari desa Langa, Pidie. Tgk Badai adalah salah seorang alumni dayah Tertua di Aceh, Dayah Tanoh Abee, Aceh Besar.

Perkawinan ini pun ternyata juga tidak berlangsung lama, dikarenakan sang suami tercinta syahid dalam medan peperangan melawan penjajah Belanda.

Dalam mempertahankan Agama dan tanah air, Tgk Fakinah ternyata menjalin ikatan yang kuat dengan seorang wanita pejuang Aceh yang sangat terkenal, yakni Cut Nyak Dhien. Namun hubungan ini pernah sedikit terganggu karena adanya kabar bahwa suami Cut Nyak Dhien, Teuku Umar (diduga) membelot kepada Belanda (walau sebenarnya itu hanya pura-pura demi memata matai para penjajah-pen).

Kendati demikian pada akhirnya hubungan mereka kembali akrab seperti semula, setelah mengetahui kebenarannya dan kembalinya Teuku Umar ke pihak rakyat Aceh dengan segudang senjata dan informasi penting yang berhasil dicuri dari pihak penjajah.

Setelah sebahagian wilayah Seulimum dapat dikuasai Belanda, Tgk Fakinah mengungsi ke Lamno. Lalu pindah ke Tangse dan sekaligus membangun tempat tingal di Blang Peuneuleun.

Pada tanggal 21 Mei 1910, atas permintaan Tgk Panglima Polem Muhammad Daud, Tgk Fakinah dihimbau untuk dapat kembali ke kampung halamannya untuk membuka kembali dayah yang pernah dibangunnya. Dan akhirnya ia pun kembali pulang ke kampung halamannya pada tahun 1911. Kemudian kembali membuka pengajian di dayah tersebut, sehingga ramailah para penuntut ilmu yang berdatangan dari berbagai daerah.

Akhir Hayatnya

Sekitar tahun 1914, Teungku Fakinah berkeinginan untu menunaikan ibadah haji, namun karena tidak ada muhrim yang menemani, akhirnya ia memutuskan untuk menikah lagi dengan seorang lelaki yang bernama Ibrahim. Pada bulan Juli 1915 mereka berdua berangkat ke Tanah suci untuk menunaikan Haji. Selesai melaksanakan Ibadah Haji, Tgk Fakinah masih menetap di Mekkah untuk memperdalam ilmu fikih.

Setelah tiga tahun lamanya di Mekkah, ketika memasuki tahun keempat, suami Tgk Fakinah, H. Ibrahim meninggal dunia. Maka pada tahun 1918 Teungku Fakinah memutuskan untuk kembali ke Aceh.

Sepulangnya dari Mekkah, Teungku Fakinah kembali menetap di kampung halamannya dan memimpin kembali dayah yang sudah lama ia tinggalkan itu dengan mengajarkan ilmu yang diperolehnya selama belajar di Mekkah. Namun setelah beberapa tahun mengajar di dayah tersebut, ajal pun datang menjemput. Teungku Fakinah meninggal dunia pada tahun 1938 di Mukim Lamkrak kampung halamannya.

Demikian biografi singkat Ulama sekaligus Pejuang Kemerdekaan dari kalangan Wanita asal Aceh yang sampai saat ini masih sangat harum namanya. Semoga Allah SWT menerima segala amalannya dan mengampuni segala dosanya dan menempatkan Teungku Fakinah di sebaik-baik tempat, yakni disisi-Nya. Wallahua’lambisshawab!

Oleh Muhammad Haekal, Alumni Ponpes Moderen Babun Najah Banda Aceh | Santri di Dayah Raudhatul Hikmah Al-Waliyyah, Banda Aceh

Artikel ini telah tayang di Pecihitam.org
Read More

Sabtu, 18 Januari 2020

Kenal Ulama: Musthafa al Siba’i Ahli Hadits dan Politikus Negeri Syam

Januari 18, 2020

Tokoh Ulama | Dialah yang bernama lengkap Musthafa bin Husni Abu Hasan al Siba’i, dalam beberapa karyanya beliau biasa menulis namanya dengan sebutan Musthafa al Siba’i, dan beberapa kesempatan pula beliau menuliskan namanya dengan sebutan Mustahfa Husni al Siba’i dalam suatu persembahan dan pengantar kitab atau karyanya.

Musthafa al Siba’i dilahirkan di kota Homs, salah satu dari kota yang ada di Negara Suriah pada tahun 1915 M bertepatan pada tahun 1331 H. Adapun masa kecil beliau kurang dijelaskan dalam beberapa buku tentang biografi hidupnya.

Namun paling tidak dikatakan bahwa beliau memang berasal dari keluarga ulama yang terpandang. Sehingga berangkat dari jalur inilah yang memudahkan beliau dalam menimbah ilmu agama  dan politik terutama belajar kepada sang ayah yang merupakan seorang Mujahid dan Khatib (Syaikh Husni al Siba’i)

Menariknya, beliau tidak hanya aktif dalam dunia keislaman yang telah membesarkan namanya terutama dalam dunia hadits, melainkan beliau pun turut aktif dalam melawan penjajah (Prancis-Suriah di usia yang masih menginjak belasan tahun), dan ini dikarenakan tantangan dunia Islam dalam banyak Negara yang ingin membebaskan diri dari imperialisme barat pada waktu itu.

Dari keaktifannya inilah dalam melawan penjajah dengan beberapa bentuk partisipasi yang diantaranya dengan membagi bagikan selebaran, berpidato, dan memimpin demonstrasi di Homs sempat membuat dirinya ditangkap oleh orang orang Prancis.

Selain itu, beliau juga aktif dalam menggalang kekuatan dunia Islam untuk berjuang melawan tentara Israel demi mempertahankan Bait al Maqdis, maka tak berlebihan rasanya jikalau Musthafa al Siba’i yang selain dikenal sebagai Ulama hadits pun dikenal sebagai pejuang yang berkemampuan retorik.

Masih pada kisah hidup beliau, ketika menginjak usia 18 tahun (1933), barulah Mustahafa al Siba’i berpindah ke Mesir demi memperoleh pengalaman intelektual dan politik sekaligus mendapatkan pengetahuan tentang pemikiran Muhammad Abduh di al Azhar, yang sekaligus merupakan tempat beliau memperoleh gelar doktor di bidang hadits.

Dari ketekunan dan kepiawaiannya-lah dalam bidang ilmu hadits, rupanya mengantarkan beliau pada pemikiran kritisnya terhadap pemikiran Ahmad Amin, baik itu tentang Pamalsuan hadits pada masa Rasulullah Saw., tentang pembukuan hadits, tentang ‘Adalat al Shahabah dan lainnya yang membahas tentang Hadits.

Karya karya beliau

Sebagai seorang tokoh yang dikenal dalam masyarakat, maka belum lengkap rasanya jikalau hidupnya tidak dibumbuhi dengan karya tulis yang menjadikan namanya semakin dikenal  dan dikenang.

Sama halnya dengan Musthafa al Siba’i, sepanjang hidupnya kurang lebih ada 21 kitab dan risalahnya yang mampu beliau susun atas kegigihan dan semangat besarnya, dan berikut beberapa karya dan garis besar isi dari karyanya tersebut:

1. Istikariyat al Islam, karya ini sudah dikenal di Indonesia sejak dekade 1970-an yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dalam edisi terjemahan oleh Moh. Abday Ratoni dengan judul Sosialisme Islam. Buku ini paling tidak membahas pemikiran politik dengan memberi gambaran tentang perbaikan pada seluruh masyarakat Islam dalam membentuk sebuah negara, atau sebuah masyarakat yang lebih maju dari segi ekonomi, politik dan sosial yang berlandaskan pada syri’at Islam.

2. Al Sunnah wa Makanatuha fa al Tasyri’ al Islami, yakni salah satu karya fundamentalnya yang cukup populer di kalangan muslim Indonesia, yang diterjemahkan pada tahun 1993 oleh Dja’far Abd. Muchith dan kemudian diterbitkan oleh CV, Dipenogoro.

3. Al Istisyraq wa al Mustsyriqun, yaitu karya yang berisikan tentang pembongkaran beliau terhadap kepalsuan hadits. Selain itu, lewat karya inilah beliu menggambarkan tentang langkah langkah yang diambil para orientalis dalam menghancurkan Islam serta sarana sarana yang dipakai demi merealisasikan tujuan tersebut.

3. Al Mar’ah Bayn al Fiqh wa al Qanun, yaitu membahas tentang wanita diantara fiqh dan undang undang, yang mana lebih jelasnya menerangkan tentang toleransi Islam dalam sikapnya terhadap wanita dan hak hak yang ditetapkan baginya termasuk hal hal yang sesuai dengan tabiatnya.

4. Min Rawa’i’ Hadlaratina, karya ini disusun oleh Musthafa al Siba’i yang bertujuan untuk membuktikan bahwa aspek aspek kemanusiaan yang abadi dalam peradaban kita lebih kuat dan indah, serta untuk menolak fitnah fitnah orang yang mendakwahkan peradaban Islam yang katanya memiliki kaiban dan kekurangan.

Adapun karya lainnya ialah:

Akhalquna al Ijtima’iyyah
Al Qala’id min Fara’id al Fawa’id
Al Washaya wa al Fara’id
‘Azhama ‘una fi al Tharikh
Hadza Huwa al Islam
Ahkam al Shiyam wa Falsafatuhu
Ahkam al Mawarits
Ahkam al Zawaj wa Inkhillalih
Manhajuna fi al Ishlah
Al Sirah al Nabawiyyah, Tarikhuha wa Durusuha
Al Ikhwan al Muslimun fi Harb Falasthin
Al Nizham Al Ijtima’ fi Al Islam
Al ‘Alaqah Bayn Al Muslimin wa Al Mashihiyyin fi Al Tharikh

Dari berbagai karya karyanya yang sempat disebutkan diatas secara tidak langsung telah melukiskan tentang sosok Musthafa al Siba’i yang merupakan penulis produktif dan termasuk tokoh yang alim dibidang Hadits, hukum Islam, Sejarah peradaban, sosialisalisme dan bidang ilmu lainnya.

Oleh Nonna, Mahasiswa UIN Alauddin Makassar, Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir
Artikel ini telah tayang di Pecihitam.org
Read More

Jumat, 17 Januari 2020

Kenal Ulama: Abon Aziz Samalanga, Ahli Mantiq Pengkader Ulama Aceh Abad Ini

Januari 17, 2020

Ulama Nusantara | Abu Aziz Samalanga bernama lengkap Teungku/Tgk Abdul Aziz bin Tgk Muhammad Shaleh bin Tgk Abdullah. Ibunda beliau bernama Tgk Hj. Halimah binti Makam bin Keuchik Lamblang Jeunib. Samalanga di Ujung nama beliau adalah dinisbahkan kepada kecamatan tempat kelahirannya.

Tgk. H Abdul Aziz atau kerap disapa Abu Aziz atau Abon Aziz Samalanga ini lahir di desa Kandang kecamatan Samalanga Kabupaten Aceh Utara pada bulan Ramadhan tahun 1351 H.

Ayahanda beliau adalah seorang Ulama, tokoh masyarakat yang merupakan salah seorang pendiri dayah Darul ‘Atiq Jeunib. Juga pernah menjabat sebagai kepala Kantor Urusan Agama (KUA) kecamatan Jeunib, Aceh Utara. Sedang sang Ibunda adalah seorang guru agama di pesantren Jeunib.

Masa-masa kecil Abu Aziz lebih banyak dilaluinya di Jeunieb, Desa Ibundanya. Setelah beranjak dewasa, beliau menikah dengan perempuan yang bernama Tgk Hj. Fatimah, putri dari seorang Ulama yang bernama Tgk H. Hanafiah atau lebih dikenal dengan sebutan Tgk di Ribee. Dari perkawinan tersebut mereka dikaruniai lima orang anak.

Latar Belakang Pendidikannya

Abu Aziz Samalanga menempuh pendidikan sekolah umum di Sekolah Rakyat (SR) selama tujuh tahun dan menamatkannya ditahun 1945, disaat itu beliau juga belajar di dayah Ayahnya yakni Dayah Darul ‘Atiq Jeunib.

Kemudian beliau melanjutkan pendidikannya selama dua tahun di Dayah Mesjid Raya Samalanga yang saat itu dipimpin oleh Tgk. H. Muhammad Hanafiah. Setelahnya beliau melanjutkan  pendidikannya  ke dayah Matang Kuli yang dipimpin oleh Tgk. Ben (Tgk Tanjungan) pada tahun 1948. Di dayah ini beliau belajar pada seorang guru yang bernama Tgk. Idris Tanjungan sampai dengan tahun 1949.

Kemudian beliau pun kembali  ke pesantren Mesjid Raya Samalanga, lalu mengabdi disana menjadi seorang guru.

Namun karena ketidak puasan beliau terhadap ilmu pengetahuan yang masih secuil pada dirinya, beliau memutuskan untuk kembali merantau mencari ilmu, dengan berangkat ke Dayah Darussalam Labuhan Haji yang dipimpin oleh seorang Ulama Kharismatik Yang Tersohor, Abuya Syekh Mudawaly Al-Khalidy. Di dayah ini Abu Aziz Samalanga mendami ilmu mantiq, tasawuf, nahu-sharaf, ilmu kalam, ilmu hadits, tafsir, ilmu ma’ani, balaghah dan lain-lain.

Kiprahnya Dalam Dunia Pendidikan

Setelah menetap di dayah Darussalam Labuhan haji selama 8 tahun, kemudian Abu Aziz pulang kembali ke tanah kelahirannya Samalanga pada tahun 1958. Mertuanya yang memimpin pesantren Mesjid Raya Samalanga pun meninggal dunia pada tahun itu. Oleh karenanya, Abu Aziz kemudian segera menjadi pimpinan di pesantren tersebut.

Semenjak berada dibawah pimpinan beliau, pesantren tersebut mengalami banyak perkembangan, dan perubahan-perubahan pun terjadi. Terutama menyangkut dengan kurikulum pendidikan yang semula hanya bermaterikan kitab-kitab arab (tradisional) kemudian disesuaikan dengan perkembangan zaman.

Seperti penambahan ilmu Bahasa inggris dan beberapa bidang ilmu pengetahuan umum lainnya (modern). Sehingga kurikulum yang digunakan di pesantren ini nyaris sama dengan kurikulum di sekolah MAN pada masa sekarang ini. Dayah Mesjid Raya pun semakin lama semakin maju dan semakin banyak santri yang berdatangan untuk belajar di dayah ini.

Dalam memimpin dan membina murid-muridnya, Abu Aziz Samalanga berupaya dengan semaksimal mungkin agar mereka semua kelak dapat menjadi Ulama-ulama yang mandiri, berkualitas dan sanggup menghadapi tantangan zaman. Banyak santri-santrinya yang kelak menjadi Ulama dan membangun dayah di daerah masing-masing.

Meskipun Abu Aziz Samalanga tidak pernah menduduki jabatan di pemerintahan, namun beliau selalu memberi dukungan terhadap berbagai kebijakan pemerintah selama tidak bertentangan dengan  ajaran Islam.

Bahkan dalam hal-hal tertentu beliau mendukungnya seperti pembangunan sekolah-sekolah umum, berlakunya asas tunggal terhadap setiap organisasi politik dan lain sebagainya. Karena inilah beliau selalu menjalin persahabatan dengan pejabat di pemerintahan, bahkan murid-muridnya juga banyak yang menjadi pejabat pemerintah.

Akhir Hayatnya

Setelah mencapai usia lebih kurang 59 tahun, Abu Aziz Samalanga meninggal dunia. Tepatnya pada tanggal 15 April 1989 M, bertepatan dengan Jumadil Akhir 1409 H, dan dimakamkan di tanah kelahirannya Samalanga Kabupaten Aceh Utara (Saat ini Kabupaten Bireun).

Semoga Allah SWT menerima segala amalannya, mengampuni segala dosanya, dan menempatkan beliau disisi-Nya bersama para Nabi ‘alaihimusshalatu wassalam. Wallahua’lambisshawab!

[Referensi: Disarikan dari “Biografi Ulama Aceh Abad XX”, Jilid II Cet. ke-II, ditulis oleh Drs. Shabri A. dkk]

Oleh Muhammad Haekal, Alumni Ponpes Moderen Babun Najah Banda Aceh | Santri di Dayah Raudhatul Hikmah Al-Waliyyah, Banda Aceh

Artikel ini telah tayang di Pecihitam.org
Read More