TARBIYAH ONLINE

Fiqh

Sabtu, 08 Februari 2020

Kenal Ulama: Al Khawarizmi, Matematikawan Muslim Penemu Angka Nol

Februari 08, 2020

Tokoh Ulama | Sebagai orang yang berkecimpung dalam dunia matematika, tentu kerap kali kita akan dipertemukan dengan deretan angka angka dan rumus matematika, dan tentu angka nol salah satu angka yang paling rajin muncul diberbagai lembaran matematika sekalipun nilainya adalah nol. Namun siapa sangka? Rupanya si pencetus dari angka tersebut adalah al Khawarizmi sang Matematikawan Muslim.

Dialah yang bernama lengkap Muhammad bin Musa al Khawarizmi atau yang dikenal pula dengan nama Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Yusoff. Sedangkan di dunia barat beliau dikenal dengan nama al Cowarizmi, al Karismi, al Goritmi dan sebutan lainnya.

Sedangkan waktu kapan beliau lahir beberapa sumber mengalami perbedaan pendapat, diantaranya ada yang mengatakan beliau lahir sekitar awal pertengahan abad ke 9 M, adapula yang mengatakan bahwa beliau lahir pada tahun 194 H/780 M di Uzbekistan dan wafat pada tahun 266 H/850 M.

Beliau hidup pada masa Khalifah al Ma’mun yang dimana pada waktu itu, Khalifah al Ma’mun adalah seroang khalifah yang sangat disenangi oleh para ilmuwan yang salah satunya oleh al Khawarizmi. Maka tak heran jikalau al Khawarizmi termasuk dalam salah satu anggota Baitul Hikmah Baghdad yang memang langsung didanai oleh Khalifah Dinasti Abbasiyah untuk melakukan penelitian terkait keilmuwan.

Selain itu, beberapa catatan sejarah mengatakan bahwa beliau merupakan satu satunya ahli astronomi yang diikutsertakan dalam proyek pimpinan al Ma’mun untuk mengukur panjang satu derajat lingkar bumi sepanjang satu busur.

Sedangkan jika kita menoleh pada karya-karya tulisnya yang mencakup tentang keilmuwan, diantaranya ialah Kitab al Jabr w’ al Muqabalah (The book of restoring and balancing) buku ini merupakan titik awal aljabar dalam dunia Islam.

Selain itu Kitab al Tam wa’l Tafriq bi Hisab al Hid (Book of Addition and Subtraction by the method of calculation) karya ini dikenal sebagai pelajaran pertama yang ditulis dengan menggunakan sistem bilangan decimal serta merupakan titik awal pengembangan matematika dan sains.

Kontribusi al Khawarizmi dalam Bidang Ilmu

Dalam matematika sendiri, beliau kerap kali dijuluki sebagai bapak Aljabar atau bapak ilmu pengetahuan Aljabar. Sekalipun konsep Aljabar telah ada sebelum al Khawarizmi mengembangkan teori tersebut menjadi teori yang lebih kompleks.

Adapun dalam beberapa sumber terselip nama Diophantus dari Yunani yang dipercaya sebagai penemu aljabar sekalipun belum dinamakan aljabar pada waktu itu, yang dimana teori Diaphontus sendiri lebih cenderung menggunakan aljabar untuk aplikasi teori teori bilangan.

Selain itu, beliau juga dikenal dengan teori algoritmanya dan sebagai orang yang memperkenalkan angka nol (0) dan menggunakannya sebagai basis baru dalam perhitungan.

Dari angka nol inilah kemudian orang orang barat menggunakan angka tersebut sekitaran dua abad kemudian. Tentu tidak bisa kita bayangkan tentang bagaimana jadinya dunia matematika itu tanpa angka nol bukan?

Sedangkan dalam dunia astronomi beliau berhasil membuat tabel khusus dalam pengelompokan ilmu perbintangan, maka tak heran jikalau beliau sempat mencoba untuk membuat ramalan tentang masa hidup Baginda Nabi Saw., melalui ilmu astronominya itu terlebih pada kepiawaiannya dalam dunia perbintangan.

Pandangan Para Ilmuwan

Sebagai orang hebat dibidang keilmuwan tentu Al Khawarizmi memiliki penilaian yang baik dimata para ilmuwan. Seperti dalam kacamata George Sarton (Seorang ahli kimia dan sejarawan Amerika yang berkelahiran Belgia) mengatakan bahwa Al Khawarizmi merupakan ilmuwan muslim terbesar dan terbaik sampai sampai menggolongkan periode antara abad ke 4 dan 5 M sebagai Zaman al Khawarizmi.

Sedangkan dalam pandangan David Eugene Smith (seorang ahli matematika, pendidik dan editor Amerika) dan Karpinski menggambarkan al Khawarizmi sebagai salah satu tokoh besar pada masa keemasan Baghdad, salah satu penulis muslim yang mampu menggabungkan antara ilmu matematika klasik barat dan timur serta sebagai tokoh peneliti yang sangat berkontribusi dalam perkembangan ilmu aljabar dan aritmatika.

Oleh Nonna, Mahasiswa UIN Alauddin Makassar, Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir
Artikel ini telah tayang di Pecihitam.org
Read More

Kamis, 06 Februari 2020

Kenal Ulama: Al Battani, Ahli Astronomi Muslim Penemu Jumlah Hari

Februari 06, 2020

Tokoh Ulama | Al Battani atau jika di barat yang disebut dengan nama Albategnius atau Albagteni, sedangkan nama lengkap beliau ialah Abu ‘Abdullah Muhammad ibn Jabir ibn Sinan ar Raqqi al Harranni as Sabi’ al Battani. Ilmuwan Muslim satu ini lahir di Battan, Harran (Suriah) sekitar tahun 858 M.

Selain itu, keluarganya merupakan penganut sekte Sabbian yang menyembah Bintang, akan tetapi al Battani memilih untuk tidak ikut dengan pemahaman keluarganya itu melainkan memilih untuk memeluk Agama Islam.

Sedangkan jika kita berbicara terkait ketertarikan beliau dalam dunia Astronomi, itu tidak lain karena kecintaannya dengan benda benda langit yang kemudian dirinya terdorong untuk menekuni dunia astronomi.

Dan yang semakin menguatkan tekadnya dalam mempelajari dunia Astronomi ialah pendidikan dan darah keilmuan yang didapatkan dari sang ayah yang ternyata juga seorang ilmuwan yakni Jabir bin al Battani.

Selain itu, beliau hidup pada masa kejayaan ilmu Astronomi Arab dan masa ditemukannya berbagai penemuan ilmiah di Arab dalam bidang ini.

Namun sayangnya terkait guru dan masa pendidikan beliau tidak banyak dimuat dalam buku buku sejarah, paling tidak Ali bin Isa al Asthurlabi dan Yahya bin Abu Manshur yang merupakan ilmuwan muslim yang hidup pada masanya waktu itu memberikan kita kemungkinan bahwa Al Battani sempat berguru pada salah satunya, atau berguru pada sebagian muridnya.

Sedangkan menurut Ibnu al Nadim (Penulis dan seorang Ilmuwan muslim) dalam bukunya “Al Fihrist”  dijelaskan bahwasanya Al Battani baru memulai perjalanannya dalam dunia Astronomi sejak tahun 264 H/878 M.

Selain itu dikatakan pula bahwa beliau sempat membuat teropong bintang yang disebut dengan “Teropong al Battani” di kota Anthakiyyah (Utara Suriah).

Selain itu, beliau tahu banyak tentang dunia astronomi dari buku buku astronomi yang telah banyak terbit pada masanya, terutama buku Almagest karangan Ptolomeus, yang dimana beliau pernah melontarkan komentar dan kritikannya pada buku tersebut.

Selain Harran yang merupakan tempat kelahiran dan tempat belajarnya, beliau pun menjadikan Kota Raqqah (terletak di tepi Sungai Eufrat) sebagai tempat berbagai penelitian.

Hingga pada akhirnya dia menemukan berbagai penemuan cemerlang yang salah satunya menggunakan prinsip trigonometri, tepatnya ketika saat melakukan observasi astronomi di observatorium yang dibangun khalifah Makmun al Rasyid, Khalifah Dinasti Abbasyiah.

Bahkan karena Al Battani pada waktu itu sangat berjasa terhadap perkembangan astronomi, rupanya mendorong khalifah Makmun al Rasyid membangun sejumlah Istana di kota tersebut. Hingga pada akhirnya kota Raqqah tersebut menjadi pusat kegiatan baik pada ilmu pengetahuan maupun perniagaan yang cukup amat ramai.

Pandangan Ilmuwan lain

Di mata ilmuwan barat nama Al Battani sangat di hormati, bahkan beberapa pakar mengakui kehebatan al Battani yang beberapa diantaranya ialah pakar Astronomi.

Edmund Halley mengakui ketelitian al Battani dalam mengamati bintang bintang, begitupun dengan pakar sejarah George Sarton yang sangat mengagumi Al Battani sebagai Astronom terkemuka Arab.

Maka tak heran jikalau para ilmuwan barat turut mengapresiasi kehebatan beliau dengan mengabadikan namannya sebagai nama dari salah satu lembah di bulan.

Sebagaimana juga yang disebutkan dalam Ensiklopedia Marcmillan  yang berisi ilmu Astronomi (Macmillan Dictionary of Astronomy) bahwa Al Battani merupakan salah satu astronom terkemuka sepanjang sejarah.

Sedangkan dalam buku Al Fihrist milik Ibnu Nadim dikatakan bahwa Al Battani-lah yang merupakan ahli astronomi yang memberikan gambaran akurat terkait bulan dan matahari.

Adapun seorang pemikir Islam berkebangsaan India. Sayyid Amir Ali dalam bukunya “Ruhul Islam” dikatakan bahwa “Tabel astronomi yang dibuatnya dan diterjemahkan ke dalam bahasa Latin telah menjadi kaidah ilmu astronomi di Eropa selama berabad abad. Meskipun begitu, Al Battani lebih dikenal dalam sejarah ilmu matematika karena beliaulah yang pertama kali memasukkan sinus dan sinus sempurna sebagai ganti dari angka ganjil dalam ilmu hitung astronomi dan ilmu hitung trigonometri”

Kontribusi al Battani dalam dunia Astronomi

Mungkin yang sempat membuat kita bertanya tanya ialah apa sebenarnya pemikiran dari al Battani yang cukup terkenal dan mendapatkan pengakuan dunia? Dan jawabannya ialah pemikiran beliau terkait lamanya bumi mengelilingi matahari.

Berdasarkan perhitungannya beliau menyatakan bahwa lamanya bumi mengelilingi pusat tata surya tersebut dalam waktu 365 hari, 5 jam, 46 menit, dan 24 detik.

Adapun alat Gnom yang diciptakan oleh al Battani ternyata merupakan jalan bagi para ilmuwan untuk menciptakan satu persamaan waktu atau jam yang kita kenal saat ini.

Tidak hanya itu, beliau juga sukses membuat daftar label sinus, kosinus, tangen, dan kotangen dari 0 derajat dan 90 derajat secara cermat. Dimana tabel itu dengan tepat ia terapkan dalam operasi aljabar dan trigonometri untuk segitiga sferis, dan beliau pun juga menemuka sejumlah persamaan trigonometri.

Sedangkan jikalau kita merujuk pada karya karya beliau, maka buku yang terkenal darinya tentang astronomi ialah kitab al Zij. Buku ini diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa yang diantaranya bahasa latin pada abad ke 21, dengan judul De Scienta Stellerum u De Numeris Stellerum et Motibus oleh Plato dari Tivoli dan ke dalam bahasa Spanyol yang muncul pada abad ke 13 M.

Selain itu, hadir pula beberapa buku lainnya seperti yang membahas tentang Ilmu Falak (Ilmu tentang lintasan benda benda langit) seperti kitab Ma’rifat Matali Al Buruj Fi ma Bayna Arba’ al Falak, Risalah fi Tahqiq Akdar al Ittishalat, dan Syath al Maqalat Al Arba’ li Batlamius. Dan karya karyanya inilah yang cukup berpengaruh  bagi perkembangan ilmu pengetahuan di Eropa hingga datangnya masa pencerahan.

Oleh Nonna, Mahasiswa UIN Alauddin Makassar, Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir
Artikel ini telah tayang di Pecihitam.org
Read More

Senin, 03 Februari 2020

Kenal Ulama: Biografi Singkat Habib Syech Bin Abdul Qodir Assegaf

Februari 03, 2020

Ulama Nusantara | Habib Syech Bin Abdul Qodir Assegaf, beliau adalah seorang Habib kelahiran Solo 20 September 1961. Beliau merupakan putra dari Habib Abdul Qadir bin Abdurrahman Assegaf seorang yang alim nan tawadhu’.

Habib Syech Bin Abdul Qodir Assegaf sedari kecil dulu sudah terbiasa menguras samudra keilmuan dari guru terbesarnya yang tidak lain adalah ayahnya. Ayah Habib Syekh memiliki 16 putra, dan Habib Syekh lah salah satunya.

Habib Syech Bin Abdul Qodir Assegaf mengenyam pendidikannya tidak dengan bermukim disuatu pondok, namun ia belajar secara istiqamah di masjid Assegaf, Wiropaten, Pasar kliwon Solo. Setelah ba’da maghrib menjelang isya. Beliau selalu mengabdi dengan merawat masjid pada usia-usia SD nya, mulai dari menyapu, mengepel dan membersihkan masjid.

Ayahnya bukanlah seorang yang terkenal dan juga masyhur, namun sang ayah adalah orang yang sangat mencintai masjid. Dalam keadaan apapun Habib Abdul Qadir selalu berusaha untuk mengimami. Hingga pada akhir usianya, beliau diwafatkan oleh Allah dalam keadaan bersujud pada saat shalat jum’at terahir, wafat dalam keadaan yang sangat mulia, yang di impi-impikan oleh hampir seluruh kaum muslimin.

Setelah ayahnya wafat, Habib Syekh dibimbing oleh paman beliau yaitu Habib Ahmad bin Abdurrahman Assegaf yang berasal dari Hadramaut. Beliau membimbing Habib Syekh bukan dengan hal yang lazim dilakukan oleh seorang guru kepada murid.

Pasalnya beliau membimbing Habib Syekh dengan cara mencaci, dan menyalahkan Habib Syekh padahal dia tidak melakukan kesalahan, bahkan hal itu hampir membuat Habib Syekh tidak kuat. Namun pada akhirnya Habib Syekh tahu bahwa itu merupakan suatu pendidikan untuk membentuk mental yang kuat terhadap dirinya.

Selain pamannya, Habib Syekh juga mendapatkan pendidikan dan perhatian oleh Habib Muhammad Anis bin Alwy Al-Habsyi seorang yang Arifbillah ia merupakan imam masjid Riyadh dan pemegang maqom al Habsyi.

Dari guru-gurunya itulah ia mempelajari islam yang ramah, yang penuh dengan cinta hingga sampai sekarang dakwah-dakwahnya bertajukan dakwah Mahabaturrasul. Dengan selalu melantunkan sholawat dan qasidah-qasidah yang membuat pendengarnya merasakan ketenangan dan kebahagiaan juga menambah cinta dengan Rasulullah.

Habib Syekh merupakan seorang yang istiqamah terbukti dari masjlisnya yang berdiri sejak tahun 1998 hingga sampai sekarang masih tetap eksis yaitu Majlis Ahbabul Mustafa yang dalam rutinannya diikuti oleh ribuan masyarakat.

Sebelumnya majlis Ahbabul Mustafa didirikian majlis ini berupa majlis Rotibul Hadad, Burdah dan maulid simtut duror yang berada di kampung Metodranan kota Solo. Adapun rutinan dari majlis Ahbabul Mustafa yaitu:

Setiap Malam Sabtu Kliwon di Purwodadi tepatnya Masjid Agung Makmur Purwodadi Setiap Malam Rabu Pahing di Kudus tepatnya Halaman Masjid Agung Kudus Setiap Malam Sabtu Legi Jepara di Halaman Masjid Agung Jepara Setiap Malam Minggu Pahing di Sragen tepatnya Masjid Assakinah, Puro Asri, Sragen Setiap Malam Jumat Pahing di Jogja tepatnya Halaman PP Minhajuttamyiz, Timoho di belakang Kampus UIN Sunan Kalijaga Setiap Malam Minggu Legi di Solo tepatnya Halaman Masjid Agung Surakarta.

Sudah banyak sekali shalawat dan qasidah-qasidah yang dibawakan oleh Habib syekh dan juga sudah banyak album-album rekaman yang dapat diakses melalui kaset maupun lewat kanal youtube.

Dalam pembawaannya, Habib Syekh menggunakan rebana sebagai pengiring shalwatnya, dan hal itu lebih sering pada saat acara live, sedangkan jika pada rekaman-rekaman beliau lebih sering menggunakan alat musik modern dan dipadukan dengan rebana. Semoga beliau selalu diberikan kesehatan dan kekuatan untuk terus berdakwah dengan cara lemah lembut dan penuh dengan kasih sayang.

Oleh Lukman Hakim Hidayat, Alumni Al-Iman Islamic Boarding School Purworejo
Artikel ini telah tayang di Pecihitam.org
Read More

Sabtu, 01 Februari 2020

Kenal Ulama: Ibnu Miskawaih, Sang Pelopor Filsafat Etika

Februari 01, 2020

Tokoh Ulama | Ibnu Miskawaih, dialah salah satu cendekiawan Muslim yang cukup terkenal dengan berbagai pemikiran filsafatnya. Namun yang membuat namanya melejit di kalangan masyarakat ialah tentang filsafat etika atau rumusan rumusan darinya terkait dasar-dasar etika yang banyak dijelaskan beliau dalam beberapa kitabnya, terutama pada kitabnya yang berjudul Tahzhib al akhlaq.

Dialah Abu Ali al Kasim Ahmad bin Yaqub bin Miskawaih, beliau lahir di Rayy pada 330 H, namun beberapa sumber lainnya mengatakan bahwa beliau lahir di tahun 320 H dan wafat pada tahun 421 H. Selain itu, beliau hidup pada masa pemerintahan Dinasti Buwaihiyah (320-450 H).

Jika berbicara tentang pendidikan beliau, rupanya tidak banyak dijelaskan dalam catatan sejarah ataupun pada bacaan tentang biografinya. Namun paling tidak, diketahui bahwa beliau sangat memusatkan perhatiannya pada sejarah dan filsafat akhlak atau etika.

Dimana gurunya dalam bidang sejarah terutama pada Tarikh Ath Thabari ialah Abu Bakr Ahmad bin Kamil al Qadi, sedangkan di bidang filsafat beliau berguru pada Ibnu al Khammar. Adapun beliau mengkaji kimia bersama dengan Abu Ath Thayyib ar Razi.

Sepanjang hidupnya, beliau tidak hanya dikenal sebagai seorang filsof, melainkan sebagai seorang bendaharawan, pustakawan sebagaimana beliau pernah belajar sebagai pustakawan dengan sejumlah Wazir dan Amir Bani Buwaihi, ahli bahasa dan termasuk seorang tokoh yang cukup produktif dalam dunia tulis menulis.

Sebagaimana beberapa buku dan artikelnya yang tentu tidak luput dari kepentingan pendidikan akhlak (Tahzib al Akhlak). Diantara karyanya ialah

Al Fauz al Akbar (tentang keberhasilan besar)
al Fauz al Asghar (tentang keberhasilan kecil)
Tajarib al Umam (tentang pengalaman bangsa bangsa sejak awal sampai ke masa hidupnya)
Uns al Farid (Kumpulan Syair, peribahasan dan kata kata mutiara)
Tartib as Sa’adah (tentang akhlak dan politik)
al Musthafa (Syair syair pilihan)
as Siyar (tentang aturan hidup)
al jawab fi al masa’il as Salas (jawaban tentang tiga masalah)

Filsafat Ibnu Miskawaih dalam kitab Tahzib al Akhlaq

Seperti para filsof sebelumnya, tentu mereka dikenal dengan beberapa sumbangsi mereka terhadap corak pemikiran yang cukup berpengaruh terutama dalam dunia filsafat. Dan diantara pemikiran beliau dalam kitab Tahzib al Akhlaq.

Dalam kitab ini, beliau sempat memaparkan beberapa point penting dalam pemikiranya di dunia filsafat. Paling tidak, kitab ini memperlihatkan tentang bagaimana kita dapat memperoleh watak-watak yang lurus untuk menjalankan tindakan yang secara moral benar  terorganisasi dan tersistem.

Selain itu, beliau juga mengangkat sifat dasar jiwa sebagai dasar agumentasinya. Dijelaskannya bahwa jiwa adalah subtansi ruhani yang kekal dan tidak hancur dengan kematian jasad. Sehingga kebahagiaan dan kesengaraan yang dialami usai kematian hanya akan dirasakan oleh jiwa.

Adapun yang lainnya, beliau juga beranggapan bahwa dengan jiwa, kita sebagai manusia berbeda dengan binatang. Dengan jiwa, kita berbeda dengan manusia lainnya. Dengan jiwa, kita bisa memanfaatkan badan dan bagian bagiannya. Serta dengan jiwa, pula kita bisa menjalin hubungan dengan alam wujud yang lebih spritual dan lebih tinggi.

Kemudian bagian utama dari etika itu pun dimunculkan pada bab ketiga dari kitab ini. Sebelumnya dari konsep inilah, beliau sempat tersoroti oleh filsuf lainnya, terlebih bagi mereka yang merupakan filsuf Islam.

Dan ini lagi lagi karena sebagai Umat Islam, Akhlak atau etika memang menjadi kajian utama bagi umat Islam itu sendiri, mengingat Rasulullah Saw., diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia, sebagaimana Hadits dari Abu Hurairah r.a., ia berkata: Rasulullah –shallallâhu ‘alayhi wa sallam– bersabda:

 “Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak.”

Dari sinilah Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa etika atau akhlak merupakan sikap mental, yang dimana sikap mental itu sendiri terbagi atas dua bagian. Yakni ada yang berasal dari watak dan ada yang berasal dari kebiasaan atau latihan.

Etika atau akhlak yang berasal dari watak dinilai sangat jarang menghasilkan akhlak yang terpuji, sebaliknya akhlak yang berasal dari kebiasaan atau latihan akan cenderung menghasilkan akhlak yang terpuji. Itulah mengapa beliau sangat menekankan pentingnya pendidikan demi membentuk akhlak yang baik.

Adapun masalah pokok yang dibicarakan beliau dalam kajian akhlak ialah meliputi Kebaikan (al Khair), kebahagiaan (al as’adah), dan keutamaan (al Fadhilah). Dari sini Ibnu Miskawaih mencoba untuk mengkorelasikan antara dua pandangan filsuf sebelumnya yakni Plato dan Aristoteles.

Dimana Plato dan beberapa tokoh lainnya beranggapan bahwa kebahagiaan yang mampu dialami oleh jiwa, oleh karenanya manusia yang masih bersama dengan jasadnya tak akan mengalami kebahagiaan.

Lain halnya dengan Aristoteles yang beranggapan bahwa kebahagaiaan dapat dinikmati di dunia walaupun jiwanya masih terkait dengan badannya.

Maka dalam mengkorelasikan dua anggapan yang saling bersebarangan seperti diatas, maka Ibnu Miskawaih beranggapan bahwa kebahagiaan meliputi antara badan dan jiwa, hanya saja kebahagiaan badan lebih rendah tingkatannya jika dibandingkan dengan kebahagiaan jiwa.

Adapun pada bab lain dari kitab ini ialah membahas tentang cinta. Cinta bagi Ibnu Miskawaih terbagi atas dua bentuk, yakni cinta kepada Tuhan yang tentu hanya orang orang yang terpilihlah dapat meraih cinta jenis ini.

Adapun cinta jenis kedua yakni cinta murid kepada guru bisa disetarakan antara cinta anak kepada orang tua. Dari cinta inilah beliau merasa bahwa cinta seorang murid kepada guru termasuk lebih mulia dan pemurah dikarenakan dengan gurulah mampu mengajarkan roh kita dan dengan petunjuk mereka kita memperoleh kebahagiaan sejati.

Itulah sepintas tentang Ibnu Miskawaih, semoga bermanfaat!

Oleh Nonna, Mahasiswa UIN Alauddin Makassar, Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir
Artikel ini telah tayang di Pecihitam.org
Read More

Jumat, 31 Januari 2020

Sirah Sahabat: Sayidina Ali bin Abi Thalib, Sahabat Sekaligus Menantu Rasulullah

Januari 31, 2020

Sirah Sahabat |  Ali bin Abi Thalib,  atau yang bernama lengkap Abu Hasan al Husein Ali bin Thalib bin Abdi Manaf bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib bin Firh bin Malik bin  An Nadhar bin Kinanah. Sedangkan nasab dari ibunya ialah Fatimah binti Asad bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Qushay.

Adapun sang ibunda rupanya sempat masuk Islam sebelum wafat. Dan hal ini dapat dilihat ketika sang Ibunda ikut hijrah bersama Rasulullah Saw., ke Madinah hingga menghembuskan nafas terakhir. Bahkan Rasulullah Saw., sendiri yang menshalatkan jenazahnya, memimpin pemakamannya, ikut turun ke kuburnya, memakaikan kepadanya gamis beliau seraya berkata

“Wanita ini merupakan makhluk Allah yang memperlakukan saya paling baik setelah Abu Thalib”

Sedangkan jika berbicara tentang sang kakek yaitu Abdul Muthalib, beliau merupakan pembesar Quraisy dan tokoh yang disegani serta ditaati oleh kaumnya. Selain itu, beliau (Abdul Muthalib) juga merupakan seseorang yang mengurus Ka’bah bahkan senantiasa berdoa untuk menyelamatkannya ketika pasukan Abrahah hendak menghancurkan Ka’bah dengan bala tentaranya.

Ciri fisik dan sifat Ali bin Thalib

Beberapa sumber menjelaskan bahwa beliau sering menggunakan kopiah Mesir berwarna putih, mengenakan cincin di tangan kiri yang bertuliskan Allah al Mulk, wajahnya tampan, memiliki leher yang panjang, memiliki gigi yang bagus. Sedangkan ketika beliau berjalan, maka tubuhnya bergoyang layaknya cara Rasulullah Saw., berjalan.

Adapun dari segi sifat, beliau mewarisi sifat sifat terpuji dari ayah dan kakeknya. Selain itu, beliau pun tumbuh dan menyerap akhlak akhlak terpuji dari Rasulullah Saw., mengingat beliau memang tumbuh dalam didikan Rasulullah Saw.,

Selain itu, Beliau juga dikenal dengan keahliannya dalam berduel, bahkan orang orang sering menggambarkannya sebagai lelaki sempurna. Dan hal ini dikarenakan ketika beliau  berperang dan melawan musuh, tentu beliau tidak pernah kalah. Bahkan dalam beberapa kesempatan ketika ikut berperang bersama Rasulullah Saw., beliau selalu tampil sebagai jagoan Quraisy dan tentunya selalu mengalahkan para musuh.

Mengenal Istri dan anak Ali bin Abi Thalib

Sama halnya dengan Rasulullah Saw., Ali bin Abi Thalib tidak menikah sebelum Fatimah r.a., meninggal dunia. Sedangkan dari pernikahannya dengan Fatimah r.a., beliau dikarunia beberapa orang anak yakni Hasan, Husein. Sedangkan beberapa riwayat menambahkan bahwa putra ketiganya bernama Muhasin yang meninggal saat masih bayi.  Adapun dua orang putri yakni Zaenab al Kubra dan Ummu Kultsum yang dinikahi oleh Khalifah Umar bin Khattab.

Dan setelah fatimah Wafat, barulah Ali bin Thalib menikah dengan beberapa perempuan yang diantaranya:

Ummul Banin Binti Hizam, yang darinya beliau dikaruniai empat orang anak yakni al Abbas, Ja’far, Abdullah dan Utsman.

Laila bin Mas’ud bin Khalid bin Malik, yang darinya beliau dikaruniai dua orang anak yakni Ubaidullah dan Abu Bakar.

Asma’ binti ‘Umais al Khats’amiyyah, yang dikaruniai dua orang anak yakni Yahya dan Aun, sebagaimana menurut al Waqidi.

Ummu Habib binti Rabi’ah bin Bujair bin al Abdi bin Alqamah, yang darinya beliau dikarunia dua orang anak yakni Umar dan Ruqayyah.

Ummu Sa’ad binti Urwah bin Mas’ud ats Tsaqafi, darinya beliau dikaruniai dua orang anak yakni Ummul Hasan dan Ramlah al Kubra.

Binti Amru’ul Qais bin Ady al Kalbiyah, darinya beliau dikaruniai seorang putri yang tidak disebutkan namanya.

Umamah binti Abil Ash bin ar Rabi’, ibunya adalah Zainab binti Rasulullah Saw., bahkan dialah yang diceritakan dalam beberapa catatan sejarah bahwasanya Umamah binti Abil Ash bin ar Rabi’ inilah yang digendong oleh Rasulullah Saw., dalam shalat, saat bangkit beliau menggendongnya dan saat sujud beliau meletakkannya. Darinya Ali memperoleh seorang putera yang bernama Muhammad al-Ausath.

Khaulah binti Ja’far bin Qais, yang darinya beliau dikaruniai seorang putra yang bernama Muhammad Akbar.

Beberapa kisah terkait kepahlawanan seorang Ali dalam perang diantaranya ialah:

Perang Badar

Yakni perang dimana kaum muslimin berada di ujung tanduk, bagaimana tidak? Jika waktu itu, kaum muslimin yang hanya berjumlah ratusan orang harus diperhadapkan dengan musuh jumlahnya mencapai ribuah orang.

Disaat itulah, Rasulullah Saw., menyerahkan kepada Ali bin Abi Thalib. Ketika kedua kaum yang hendak berperang ini bertemu, maka majulah tiga orang kaum musyrikin diantaranya ialah Uthbah bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabi’ah dan Walid bin Utbah. Sedangkan dari pihak muslim ialah Ubaidah bin Harits, Hamzah bin Abdul Muthalib dan Ali bin Abi Thalib.

Dari ketiga penantang muslim ini yang rupanya menjadi pembuka kemenangan bagi kaum muslimin.

Perang Uhud

Perang ini ditandai dengan kekalahan kaum muslim pada waktu itu yang tidak  mengikuti perintah Rasulullah Saw., dan akhirnya panji Islam pun diserahkan kepada Mush’ab bin Umair, namun ketika Mush’ab bin Umair syahid. Barulah Rasulullah Saw., menyerahkan panji Islam selanjutnya kepada Ali bin Abi Thalib.

Sebagai pemegang panji, Ali ditantang oleh pembawa panji dari kaum musyirikin yang bernama Abu Sa’ad bin Abu talhah. Dari tantangan ini, tentulah Ali tak akan menolak ajakan tersebut.

Keduanya pun saling menyerang dan Ali memukul Abu Sa’ad bin Abu talhah dan membantingnya, kemudian berpaling dari Abu Sa’ad bin Abu talhah karena pada saat itu ia memperlihatkan auratnya.

Perang Khandak

Perang inilah yang semakin melejitkan nama Ali bin Abi Thalib sebagai sang jagoan perang. Dan tentu ini terjadi mengingat tradisi arab yang sebelum perang, mereka mempertemukan para jagoan kedua pihak dan untuk tanding terlebih dahulu, rupanya dari pihak lawan maju seorang kesatria Arab yang sudah snagat tekenal dengan kehebatannya. Yaitu Amr bin Abdi Wud, yang dianggap sebagai seseorang yang setara dengan seribu orang.

Baca Juga:  Kisah Waliyullah, Imam Ja’far Shadiq; Karomah dan Kalam Hikmahnya
Karena kehebatan seorang Amr yang memang sudah dikenal, rupanya Rasulullah Saw., mencoba mengurungkan niat Ali pada waktu itu yang sangat bersemangat untuk melawan Amr. Karena Amr telah memanggil pihak lawan sebanyak tiga kali, maka Ali pun bangkit.

Sebelumnya Amr sempat menasehati Ali untuk tidak melawannya dengan berkata:
“Wahai putra Saudaraku, di antara paman pamanmu ada yang lebih tua darimu. Dan saya tidak ingin mengalirkan darahmu”

Namun dengan kegagahan dan keberaniannya, Ali menimpalinya dan berkata:
“Tapi saya, demi Allah, sangat ingin menumpahkan darahmu!”

Mendengar hal itu, Amr bin Abdi Wud pun turun dari kudanya dan segera menyerang Ali dengan menghunuskan pedangnya hingga merobek temeng kulit Ali bin Abi Thalib. Bukannya menjadi tanda keberhasilan dengan merobek temeng kulit Ali bin Abi Thalib, malah menjadi petaka dikarenakan temeng tersebut tersangkut di pedang Amr dan menimpa kepalanya.

Ali bin Thalib pun memukul urat bahu Amr hingga tersungkur jatuh.

Wafatnya Ali bin Abi Thalib

Diperkirakan bahwa beliau wafat diusia 62 atau 63 tahun yang karena dibunuh oleh Abdrrahman bin Muljam yang berasal dari golongan Khawarij. Sama dengan sahabat sebelumnya, yakni Umar bin Khattab dan utsman bin Affan yang meninggal karena dibunuh.

Dan pembunuhan Ali bin Abi Thalib terjadi di masjid Kufah, dan beliau menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 29 Januari atau 21 Ramadhan tahun 40 Hijriyah.

Terkait dimana beliau dikebumikan, Berberapa sumber berdalih bahwa beliau dikuburkan secara rahasia di Najaf (salah satu kota di Irak), namun beberapa sumber lain menyatakan bahwa beliau dikubur di tempat lain.

Wallahu A’lam Bissawab …

Oleh Nonna, Mahasiswa UIN Alauddin Makassar, Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir
Artikel ini telah tayang di Pecihitam.org
Read More

Kamis, 30 Januari 2020

Sirah Sahabat: Hudzaifah Ibnul Yaman, Sahabat Sekaligus Intelnya Rasulullah

Januari 30, 2020

Sirah Sahabat | Dialah Hudzaifah (حذيفة بن اليمان), seorang sahabat yang terkenal dengan julukan Shahibu Sirri Rasullllah (Pemegang Rahasia Rasulullah), karena memang banyak hal rahasia yang Nabi sampaikan hanya pada beliau.

Ia bernama Hudzaifah Ibnul Yaman. Lahir dari keluarga muslim, dan dibesarkan dalam pangkuan kedua orang tuanya yang telah memeluk agama Allah, sebagai rombongan pertama. Oleh sebab itu, Hudzaifah telah Islam sebelum dia bertemu muka dengan Rasulullah.

Setelah Rasulullah hijrah ke Madinah, Hudzaifah selalu mendampingi beliau bagaikan seorang kekasih. Hudzaifah turut bersama-sama dalam setiap peperangan yang dipimpinnya, kecuali dalam Perang Badar.

Dalam Perang Uhud, ia ikut memerangi kaum kafir bersama dengan ayahnya, Al-Yaman. Dalam perang itu, Hudzaifah mendapat cobaan besar. Dia pulang dengan selamat, tetapi bapaknya syahid oleh pedang kaum Muslimin sendiri, bukan kaum musyrikin. Kaum Muslimin tidak mengetahui jika Al-Yaman adalah bagian dari mereka, sehingga mereka membunuhnya dalam perang.

Pada pribadi dari Ibnul Yaman ink terdapat tiga keistimewaan yang menonjol:

1). cerdas, sehingga dia dapat meloloskan diri dalam situasi yang serba sulit.
2). cepat tanggap, berpikir cepat, tepat dan jitu, yang dapat dilakukannya setiap diperlukan.
3). cermat memegang rahasia, dan berdisiplin tinggi, sehingga tidak seorang pun dapat mengorek yang dirahasiakannya.

Kesulitan terbesar yang dihadapi kaum Muslimin di Madinah ialah kehadiran kaum Yahudi munafik dan sekutu mereka, yang selalu membuat isu-isu dan muslihat jahat. Untuk menghadapi kesulitan ini, Rasulullah memercayakan suatu yang sangat rahasia kepada Hudzaifah Ibnul Yaman—dengan memberikan daftar nama orang munafik itu kepadanya.

Itulah suatu rahasia yang tidak pernah bocor kepada siapa pun hingga sekarang. Dengan memercayakan hal yang sangat rahasia itu, Rasulullah menugaskan Hudzaifah memonitor setiap gerak-gerik dan kegiatan mereka, untuk mencegah bahaya yang mungkin dilontarkan mereka terhadap Islam dan kaum Muslimin.

Karena inilah, Ibnul Yaman ini digelari oleh para sahabat dengan Shahibu Sirri Rasulillah (Pemegang Rahasia Rasulullah).

Pada puncak Perang Khandaq, Rasulullah memerintahkanya melaksanakan suatu tugas yang amat berbahaya. Beliau mengutus Hudzaifah ke jantung pertahanan musuh, dalam kegelapan malam yang hitam pekat.

“Ada beberapa peristiwa yang dialami musuh. Pergilah engkau ke sana dengan sembunyi-sembunyi untuk mendapatkan data-data yang pasti. Dan laporkan kepadaku segera!” perintah beliau.

Hudzaifah pun bangun dan berangkat dengan takutan dan menahan dingin yang sangat menusuk. Maka, Rasulullah berdoa, “Ya Allah, lindungilah dia, dari depan, dari belakang, kanan, kiri, atas, dan dari bawah.”

“Demi Allah, sesudah Rasulullah selesai berdoa, ketakutan yang menghantui dalam dadaku dan kedinginan yang menusuk-nusuk tubuhku hilang seketika, sehingga aku merasa segar dan perkasa,” tutur Hudzaifah.

Tatkala ia memalingkan diri dari Rasulullah, beliau memanggilnya dan berkata, “Hai Hudzaifah, sekali-kali jangan melakukan tindakan yang mencurigakan mereka sampai tugasmu selesai, dan kembali kepadaku!” “Saya siap, ya Rasulullah,” jawab Hudzaifah.

Hudzaifah pun pergi dengan sembunyi-sembunyi dan hati-hati sekali, dalam kegelapan malam yang hitam kelam. Ia berhasil menyusup ke jantung pertahanan musuh dengan berlagak seolah-olah anggota pasukan mereka. Belum lama berada di tengah-tengah mereka, tiba-tiba terdengar Abu Sufyan memberi komando.

“Hai, pasukan Quraisy, dengarkan aku berbicara kepada kamu sekalian. Aku sangat khawatir, hendaknya pembicaraanku ini jangan sampai terdengar oleh Muhammad. Karena itu, telitilah lebih dahulu setiap orang yang berada di samping kalian masing-masing!”

Mendengar ucapan Abu Sufyan, Hudzaifah segera memegang tangan orang yang di sampingnya seraya bertanya, “Siapa kamu?”Jawabnya, “Aku si Fulan, anak si Fulan.”

Sesudah dirasanya aman, Abu Sufyan melanjutkan bicaranya, “Hai, pasukan Quraisy. Demi Tuhan, sesungguhnya kita tidak dapat bertahan di sini lebih lama lagi. Hewan-hewan kendaraan kita telah banyak yang mati. Bani Quraizhah berkhianat meninggalkan kita. Angin topan menyerang kita dengan ganas seperti kalian rasakan. Karena itu, berangkatlah kalian sekarang dan tinggalkan tempat ini. Sesungguhnya aku sendiri akan berangkat.”

Selesai berkata demikian, Abu Sufyan kemudian mendekati untanya, melepaskan tali penambat, lalu dinaiki dan dipukulnya. Unta itu bangun dan Abu Sufyan langsung berangkat. Seandainya Rasulullah tidak melarangnya melakukan suatu tindakan di luar perintah sebelum datang melapor kepada beliau, tentu ia akan membunuh Abu Sufyan dengan pedangnya.

Hudzaifah Ibnul Yaman sangat cermat dan teguh memegang segala rahasia mengenai orang-orang munafik selama hidupnya, sampai kepada seorang khalifah sekali pun. Bahkan Umar bin Khathtab, jika ada orang Muslim yang meninggal, dia bertanya, “Apakah Hudzaifah turut menyalatkan jenazah orang itu?” Jika mereka menjawab, “Ada,” Umar turut menyalatkannya.

Suatu ketika, Khalifah Umar pernah bertanya kepada Hudzaifah dengan cerdik, “Adakah di antara pegawai-pegawaiku orang munafik?” “Ada seorang,” jawab Hudzaifah.”Tolong tunjukkan kepadaku siapa?” kata Umar. Hudzaifah menjawab, “Maaf Khalifah, saya dilarang Rasulullah mengatakannya.”

Diceritakan, Umar bin Khattahab sangat penasaran dengan daftar nama orang-orang munafik yang dikantongi Hudzaifah.

Umar pun masih sering bertanya kepada Hudzaifah, tapi tak pernah dijawab. Tujuan Umar ketika bertanya perihal daftar lengkap kaum munafik, bukanlah semata ingin tahu siapa saja mereka. Melainkan Umar hanya ingin tahu, apakah dirinya masuk daftar orang munafik itu.

Subhanallah! Begitu tawaddhunya Umar, dengan keimanannya yang kokoh serta pengorbanannya untuk Islam, ia masih tetap khawatir kalau-kalau dirinya masuk kategori orang munafik dalam penilaian Allah.

Hingga suatu hari, Hudzaifah mau menjawab dengan syarat tidak boleh bertanya lagi. Hudzaifah mengatakan, “Kamu bukan termasuk daftar orang munafik yang disampaikan Rasulullah”. Umar pun merasa lega dan bahagia.

Selain kuat memegang rahasia, Hudzaifah Ibnul Yaman sesungguhnya adalah pahlawan penakluk Nahawand, Dainawar, Hamadzan, dan Rai. Dia membebaskan kota-kota tersebut bagi kaum Muslimin dari genggaman kekuasaan Persia.

Hudzaifah juga termasuk tokoh yang memprakarsai keseragaman mushaf Al-Qur’an, sesudah kitabullah itu beraneka ragam coraknya di tangan kaum Muslimin.

Ketika Hudzaifah sakit keras menjelang ajalnya tiba, beberapa orang sahabat datang mengunjunginya pada tengah malam. Hudzaifah bertanya kepada mereka, “Pukul berapa sekarang?” Mereka menjawab, “Sudah dekat Subuh.”

Hudzaifah berkata, “Aku berlindung kepada Allah dari Subuh yang menyebabkan aku masuk neraka.” Ia bertanya kembali, “Adakah kalian membawa kafan?” Mereka menjawab, “Ada.”

Ia berkata, “Tidak perlu kafan yang mahal. Jika diriku baik dalam penilaian Allah, Dia akan menggantinya untukku dengan kafan yang lebih baik. Dan jika aku tidak baik dalam pandangan Allah, Dia akan menanggalkan kafan itu dari tubuhku.”

Sesudah itu dia berdoa kepada Allah, “Ya Allah, sesungguhnya Engkau tahu, aku lebih suka fakir daripada kaya, aku lebih suka sederhana daripada mewah, aku lebih suka mati daripada hidup.”

Sesudah berdoa demikian, ruhnya pun pergi menghadap Ilahi. Seorang kekasih Allah kembali kepada Allah dalam kerinduan. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya.

Wallahu A’lam.
Semoga pribadi dan karakter sang penjaga rahasia Nabi ini menjadi suri tauladan bagi kita sehingga kita bisa teguh pendirian dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab.

Oleh Faisol Abdurrahman, Alumni dan Staff Pengajar di Pondok Pesantren Raudlatul Ulum Al-Khaliliyah, Sarjana Komunikasi Islam IAIN Pontianak dan Bidang Dakwah dan Kajian Keislaman Ikatan Santri dan Alumni Al-Khaliliyah (Insaniyah).

Artikel ini telah tayang di Pecihitam.org
Read More

Rabu, 29 Januari 2020

Sirah Sahabat: Sa’ad bin Abi Waqash, Sahabat Nabi yang Gagah Berani dalam Barisan Pemanah

Januari 29, 2020

Sirah Sahabat | Sa’ad bin Abi Waqash, seorang panglima muslim yang mendapat jaminan surga pada masa Rasulullah SAW. karena eberanian, kekuatan dan kesungguhan imannya.Ia adalah paman Rasulullah SAW dari pihak ibu, Sa’ad bin Abi Waqash.

Ia adalah Sa’ad bin Abi Waqash, salah seorang sahabat sekaligus panglima jendral pasukan Islam dalam perang melawan Persia. Dia juga turut serta dalam peperangan seperti Badar dan Uhud.Di masa khalifah kedua, ia juga dipercayai menjadi panglima pasukan muslimin dalam perang Qadisiyyah dalam menghadapi Sasaniah.

Sa’ad juga diyakini dari kelompok orang orang yang menghidupkan Sunnah Rasul. Ia salah seorang dari sepuluh sahabat yang mendapat jaminan surga, karena keberanian dan keimanannya yang kuat

Sa’ad bin Abi Waqash adalah paman Rasulullah dari pihak ibu. Wuhaib bin ‘Abdi Manaf adalah kakeknya yang hidup di Bani Zuhrah.Wuhaib adalah kakek Sa’ad. Dia adalah paman Aminah binti Wahab, ibu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Orang-orang mengenal Sa’ad sebagai paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari pihak ibu.

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melihatnya, beliau merasa bangga kepadanya karena keberanian, kekuatan, dan kesungguhan imannya, maka beliau bersabda, “Ini adalah pamanku. Ibunya bernama Humnah putri Abu Sufyan bin Umayyah Abdu Syams.

Sa’ad seseorang dengan postur tubuh yang tidak tinggi dan gemuk, kepalanya besar, rambutnya lebat dengan potongan rambut yang pendek. Ia dikenal sebagai pemuda yang serius dan berakhlak baik, terkadang mengenakan mantel bulu dan juga cincin emas di jarinya.

Dalam riwayat Ahlusunnah disebutkan ia memiliki banyak keutamaan diantaranya termasuk dalam ‘Asyarah Mubasyarah, yaitu 10 sahabat yang dijamin masuk surga, doanya terkabul. Ia meriwayatkan sebanyak 271 hadis dari Nabi Muhammad SAW, ikut serta dalam peperangan.

Ia adalah orang pertama yang dikenal menumpahkan darah musuh di jalan Islam yaitu dengan melukai ‘Ubaid bin Harits, dan yang pertama kali pula mendirikan kekuasaan di Kufah. Ia diangkat sebagai gubernur di Kufah oleh Khalifah Umar. Namun karena mendapat protes dan penolakan dari penduduk Kufah, pada tahun 21 H, ia meninggalkan jabatannya sebagai gubernur.

Sa’ad turut ikut serta dalam perang Badar dan Uhud dan juga dalam Perang Khandaq, Perang Khaibar, serta pembebasan Kota Mekah. Pada saat Fathu Mekah, ia adalah salah seorang dari tiga orang yang memegang bendera Kaum Muhajirin. Pada peperangan yang diikutinya beserta Nabi Muhammad SAW, ia tergabung dalam pasukan pemanah.

Menurut riwayat pada masa detik terakhir wafatnya Nabi Muhammad SAW, Sa’ad adalah diantara mereka yang berkumpul di rumah Sayidah Fatimah ra.

Sa’ad makin banyak berperan pada periode kekhalifahan Umar. Ia saat itu diangkat menjadi panglima perang memimpin pasukan Islam dalam perang Qaddasiyah menghadapi Kerajaan Sasanian pada akhir tahun 16 H.

Ia juga diangkat oleh khalifah Umar sebagai salah seorang anggota Dewan Syura yang ditugaskan untuk menetapkan khalifah pengganti. Dari litetarur yang ada, keenam orang yang berada dalam dewan syura adalah tokoh-tokoh penting dan memiliki kelayakan untuk menjadi khalifah.

Mereka adalah
1). Ali bin Abi Thalib
2). Utsman bin Affan
3). Abdurrahman bin ‘Auf
4). Sa’ad bin Abi Waqqash
5). Zubair bin ‘Awwam
6). Thalhah bin Ubaidillah

Pasca khalifah Umar wafat, anggota dewan syura berkumpul. Abu Thalhah al-Anshari berdiri di depan rumah untuk mencegah orang-orang lalu lalang di tempat tersebut. Disebutkan, Amru bin Ash dan Mughairah bin Syu’bah duduk di sisi tempat rapat yang mana kehadiran keduanya diprotes oleh Sa’ad bin Abi Waqash.

Ia berkata, “Apa maksud kalian duduk di tempat ini? Apa hendak mengaku kelak kalian juga adalah bagian dari syura dan turut hadir di dalamnya?”

Dari riwayat tersebut dapat diketahui bahwa betapa penting Sa’ad bin Abi Waqash memandang rapat syura tersebut.

Demkian biografi Sa'ad bin Abi Waqash. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat..

Oleh Faisol Abdurrahman, Alumni dan Staff Pengajar di Pondok Pesantren Raudlatul Ulum Al-Khaliliyah, Sarjana Komunikasi Islam IAIN Pontianak,  Bidang Dakwah dan Kajian Keislaman Ikatan Santri dan Alumni Al-Khaliliyah (Insaniyah).

Artikel telah tanyang di Pecihitam.org
Read More