TARBIYAH ONLINE

Fiqh

Sabtu, 11 Januari 2020

Sirah Sahabat: Tahun Kekeringan di Masa Khalifah Umar bin Khattab

Januari 11, 2020

Sirah Sahabat | Pada tahun 18 Hijriah, terjadi musim kemarau di Madinah Rasulullah, saat itu Sahabat Agung Umar bin Khattab yang menjadi Khalifah Rasulullah serta Amirul Mukminin. Kemarau dan gagal panen itu berlangsung hampir 9 bulan. 

Tahun ini disebut “Aam Ramadah” (Tahun Berabu), karena musim kemarau dan kering melanda Madinah, angin kencang meniup debu-debu sehingga langit dan pemukiman tertutup debu hitam. Ada juga yang mengatakan kenapa disebut Aam Ramadah karena pada tahun itu banyak manusia dan ternak serta tumbuhan yang mati. Secara dalam bahasa Arab “ramadah” juga berarti mati atau hancur.

Tahun itu benar-benar musibah luar biasa, sampai binatang buas saja tidak mampu memangsa hewan lain saking lemahnya, bahkan kalau ada yang menyembelih ternak tak akan mau dimakan, karena ternak sudah sangat kurus, melihatnya saja menjijikkan.

Amirul Mukminin Umar bin Khattab menyurati semua Gubernurnya meminta bantuan, beliau menyurati Gubernur Mesir, Sahabat Amr bin Ash meminta bantuan, beberapa hari kemudian Amr bin Ash membalas surat itu.

“Bismillahirrahmanirrahim, kepada Hamba Allah Amirul Mukminin dari Amr bin Ash. Salamalaik. Aku memuji Allah dan berharap anda selalu baik-baik saja, La ilaha Illallah. Bantuan akan segera datang, tunggulah. Aku akan mengirim bantuan yang akan dibawa oleh unta, dimana unta pertama di depan pintu Madinah dan terakhir di pintuku, dan aku usahakan juga mengirimnya lewat kapal laut”. 

Sahabat Amr bin Ash mengirim 1.000 unta yang membawa gandum, dan mengirim 20 kapal laut berisi pakaian serta kebutuhan makanan lainnya dari Mesir ke Madinah.

Amirul Mukminin menyurati Gubernur Damascus, sahabat Muawiyah bin Abi Sofyan, beliau juga menyurati Gubernur Yaman dan wilayah kekuasaannya yang lain. Semua Gubernur itu mengirim bantuan.

Ketika bantuan datang, Umar sendiri turun tangan menurunkan barang-barang dan membawanya ke rumah-rumah masyarakat yang sedang kelaparan. Sekali jalan beliau membawa dua karung gandum di atas pundaknya dan minyak samin di tangannya, diantar ke setiap rumah. Beberapa sahabat yang melihat itu menangis melihat Amirul Mukminin memikul karung gandum. Tidak hanya itu, kalau ada rumah yang isinya anak yatim kecil, beliau malah memasak makanan untuk mereka setelah itu baru pergi ke tempat lainnya.

Sahabat Abdullah bin Umar mengatakan bahwa pada tahun itu, sahabat Umar bin Khattab melakukan hal yang sebelumnya tidak pernah dilakukannnya. Setiap malam setelah shalat isya bersama masyarakat, beliau pulang ke rumah dan shalat sunnah, smapai tengah malam, setelah itu beliau keluar rumah menuju lereng gunung, disana beliau bersimpuh dan berdoa, “Ya Allah…janganlah Engkau hancurkan umat Muhammad di tanganku, saat aku memimpin mereka…”, terus saja doa itu diulang-ulang setiap malam sambil menangis.

Kebanyang nggak orang yang kalau lewat gang A, setan-setan kabur nggak berani lewat gang A, nyari gang lain karena mereka takut sama orang itu, itulah Umar bin Khattab, setan saja kabur melihat beliau, nah orang seperti itu menangis, merengek-rengek pada Allah.

Suatu hari, saking capeknya Amirul Mukminin ketiduran di masjid Rasulullah, tiba-tiba terdengar suara orang teriak, “Umar! Umar!”, beliau terkejut dan mencari arah suara, orang-orang yang hadir disitu memperingatkan pemilik suara, “Itu Amirul Mukminin!”. Amirul Mukminin bangun dan mendekati laki-laki itu, “Siapa yang menyakitimu?”, beliau mengira laki-laki itu terzalimi. “Kami kelaparan”. Kata laki-laki itu. Amirul Mukminin memegang kepalanya, dan menunduk, “Umar! Umar! kok bisa-bisanya kamu itu kenyang, sedangkan umat Islam kelaparan!”. Akhirnya beliau mengirimkan makanan ke kampung laki-laki itu.

Para sahabat Rasulullah mengatakan, “Kalau saja Allah tidak tidak mengangkat musibah itu, mungkin Umar sudah meninggal karena kesedihannya memikirkan nasib umat Islam”.

Suatu ketika pada tahun Aam Ramadah, Amirul Mukminin mendapat kiriman roti gandum bercampur daging dan minyak samin, salah satu makanan istimewa. Beliau mengajak seorang laki-laki badui yang lewat untuk makan bersamanya, mereka berdua makan dengan lahap, tetapi laki-laki badui itu lebih lahap, 

“Sepertinya kamu suka sekali pada daging dan minyak samin?”, kata Umar. “Ya, saya tidak makan daging dan minyak samin ini sejak sekian lama, bahkan tak pernah melihat orang makan itu, ini pertama sejak sekian lama….”. Jawab laki-laki itu sambil makan. Sepertinya dia juga tidak tahu kalau sedang makan bersama Amirul Mukimin yang menguasai hampir seluruh wilayah Timur Tengah hari ini! Sejak itu, Umar bin Khattab bersumpah tidak akan makan daging dan minyak samin sebelum Madinah subur kembali.

Selama Aam Ramadah, perut Umar sering kali bersuara, karena beliau hanya makan minyak, terkadang beliau memegang perutnya saat bersuara dan berkata, “Teriak-teriak saja sepuasmu, tak ada lain yang akan kamu makan, selama umat Islam masih kelaparan!”. Selama Aam Ramadah, muka Amirul Mukminin berubah hitam, karena hanya makan minyak.

Suatu hari, ada penyembelihan unta, hati unta dan daging pahanya dibuat bubur dan disajikan kepada Amirul Mukminin, “Dari mana ini?”, “Ini yang kita sembelih hari ini”, kata pembantunya. “Bagus..Bagus…aku akan jadi pemimpin paling buruk kalau aku makan begini, sedangkan umat Islam kelaparan! Ambil makanan biasa”. Kata Umar pada pembantunya, makanan biasa ya roti gandum keras dan minyak. “Oia, sudah beberapa hari aku tidak berkunjung ke si Fulan, bungkus itu makanan untuk mereka, pasti mereka butuh”.

Suatu hari, ada susu dan keju di pasar, ketika belanja pembantu Amirul Mukminin membeli susu dan keju itu seharga 40 dirham. Ketika sampai di rumah dia mengatakan pada Amirul Mukminin, “wahai Amirul Mukminin, doa anda terkabulkan, aku melihat susu dan keju di pasar, akupun membelinya untuk anda, harganya 40 dirham”.

“Mahal sekali harganya, pasti masyarakat tak mampu membeli, ambil dan sedekahkan itu susu dan keju, aku tidak mau makan makanan mahal-mahal saat ini. Bagaimana aku bisa cinta dan perhatian pada rakyat kalau aku tidak pernah merasakan kepedihan mereka”.

Selama Aam Ramadah, sayyidina Umar tidak pernah makan di rumah bersama anak-anaknya atau istrinya saja, selalu makan bersama masyarakat.

Suatu hari, Amirul Mukminin berpidato di atas mimbar rasulullah, beliau berkata, “Wahai manusia, bertaqwalah kamu sekalian pada Allah, sesungguhnya kita semua sedang diuji Allah, entah Allah murka padaku karena aku menjadi pemimpin kalian, entah Allah sedang murka pada kita semua. Mari kita semua berdoa, semoga Allah membersihkan hati kita semua, dan semoga Allah merahmati kita dengan segera mengangkat musibah ini…”, pada hari itu, Umar mengangkat tangannya berdoa, sambil menangis dan umat Islam yang hadirpun menangis bersama beliau.

Saat hujan tak kunjung datang, Umar berdoa, “Ya Allah, aku sudah lelah, usahaku sudah habis, Engkau lebih tahu bagaimana nasib hamba-Mu…”. Selama Aam Ramadah, paling banyak dilakukan Amirul Mukminin adalah bersitighfar, beristighfar dan beristighfar.

10 tahun menjadi Khalifah, Umar bin Khattab banyak meninggalkan kisah-kisah indah dan teladan bagi pemimpin setelahnya, makanya tidak aneh kalau cucunya, Umar bin Abdul Aziz puluhan tahun kemudian mengeluarkan perintah pertama setelah dilantik menjadi Khalifah , "Kumpulkan semua kisah tentang Umar bin Khattab, aku ingin meneladaninya".

Oleh Ustad Saifannur (Saief Alemdar)
Read More

Jumat, 10 Januari 2020

Kenal Ulama: Al Hafzih Ibnu Hajar Al Asqalani, Ahli Hadits Termasyhur Sepanjang Zaman

Januari 10, 2020

Tokoh Ulama | Pada akhir abad kedelapan hijriah dan pertengahan abad kesembilan hijriah termasuk masa keemasan para ulama dan terbesar bagi perkembangan madrasah, perpustakaan dan halaqah ilmu, walaupun terjadi keguncangan sosial politik. Hal ini karena para penguasa dikala itu memberikan perhatian besar dengan mengembangkan madrasah-madrasah, perpustakaan dan memotivasi ulama serta mendukung mereka dengan harta dan jabatan kedudukan. Semua ini menjadi sebab berlombanya para ulama dalam menyebarkan ilmu dengan pengajaran dan menulis karya ilmiah dalam beragam bidang keilmuan. Pada masa demikian ini muncullah seorang ulama besar yang namanya harum hingga kini Al-Haafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, tepatnya 12 Sya’ban tahun 773H. Berikut biografi singkat beliau:

Nama dan Nashab

Beliau bernama Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Mahmud bin Ahmad bin Hajar Al-Kannani Al-Asqalani Al-Mishri. (Lihat Nazhm Al-‘Uqiyaan Fi A’yaan Al-A’yaan, karya As-Suyuthi hal 45)

Gelar dan Kunyah Beliau

Beliau seorang ulama besar madzhab Syafi’i, digelari dengan ketua para qadhi, syaikhul islam, hafizh Al-Muthlaq (seorang hafizh secara mutlak), amirul mukminin dalam bidang hadist dan dijuluki syihabuddin dengan nama pangilan (kunyah-nya) adalah Abu Al-Fadhl. Beliau juga dikenal dengan nama Abul Hasan Ali dan lebih terkenal dengan nama Ibnu Hajar Nuruddin Asy-Syafi’i. Guru beliau, Burhanuddin Ibrahim Al-Abnasi memberinya nama At-Taufiq dan sang penjaga tahqiq.

Kelahirannya

Beliau dilahirkan tanggal 12 Sya’ban tahun 773 Hijriah dipinggiran sungai Nil di Mesir kuno. Tempat tersebut dekat dengan Dar An-Nuhas dekat masjid Al-Jadid. (Lihat Adh-Dahu’ Al-Laami’ karya imam As-Sakhaawi 2/36 no. 104 dan Al-badr At-Thaali’ karya Asy-Syaukani 1/87 no. 51).

Sifat beliau

Ibnu Hajar adalah seorang yang mempunyai tinggi badan sedang berkulit putih, mukanya bercahaya, bentuk tubuhnya indah, berseri-seri mukanya, lebat jenggotnya, dan berwarna putih serta pendek kumisnya. Dia adalah seorang yang pendengaran dan penglihatan sehat, kuat dan utuh giginya, kecil mulutnya, kuat tubuhnya, bercita-cita tinggi, kurus badannya, fasih lisannya, lirih suaranya, sangat cerdas, pandai, pintar bersyair dan menjadi pemimpin dimasanya.

Pertumbuhan dan belajarnya

Ibnu Hajar tumbuh dan besar sebagai anak yatim, ayah beliau meninggal ketika ia berumur 4 tahun dan ibunya meninggal ketika ia masih balita. Ayah beliau meninggal pada bulam rajab 777 H. setelah berhaji dan mengunjungi Baitulmaqdis dan tinggal di dua tempat tersebut. Waktu itu Ibnu Hajar ikut bersama ayahnya. Setelah ayahnya meninggal beliau ikut dan diasuh oleh Az-Zaki Al-Kharubi (kakak tertua ibnu Hajar) sampai sang pengasuh meninggal. Hal itu karena sebelum meninggal, sang ayah berwasiat kepada anak tertuanya yaitu saudagar kaya bernama Abu Bakar Muhammad bin Ali bin Ahmad Al-Kharubi (wafat tahun 787 H.) untuk menanggung dan membantu adik-adiknya. Begitu juga sang ayah berwasiat kepada syaikh Syamsuddin Ibnu Al-Qaththan (wafat tahun 813 H.) karena kedekatannya dengan Ibnu Hajar kecil.

Ibnu Hajar tumbuh dan besar sebagai anak yatim piatu yang menjaga iffah (menjaga diri dari dosa), sangat berhati-hati, dan mandiri dibawah kepengasuhan kedua orang tersebut. Zaakiyuddin Abu Bakar Al-Kharubi memberikan perhatian yang luar biasa dalam memelihara dan memperhatikan serta mengajari beliau. Dia selalu membawa Ibnu Hajar ketika mengunjungi dan tinggal di Makkah hingga ia meninggal dunia tahun 787 H.

Pada usia lima tahun Ibnu Hajar masuk Al-Maktab (semacam TPA sekarang) untuk menghafal Alquran, di sana ada seorang guru yang bernama Syamsuddin bin Al-Alaf yang saat itu menjadi gubernur Mesir dan juga Syamsuddin Al-Athrusy. Akan tetapi, ibnu Hajar belum berhasil menghafal Alquran sampai beliau diajar oleh seorang ahli fakih dan pengajar sejati yaitu Shadruddin Muhammad bin Muhammad bin Abdurrazaq As-Safthi Al Muqri’. Kepada beliau ini lah akhirnya ibnu Hajar dapat mengkhatamkan hafalan Alqurannya ketika berumur sembilan tahun.

Ketika Ibnu Hajar berumur 12 tahun ia ditunjuk sebagai imam shalat Tarawih di Masjidil Haram pada tahun 785 H. Ketika sang pengasuh berhaji pada tahun 784 H. Ibnu Hajar menyertainya sampai tahun 786 H. hingga kembali bersama Al-Kharubi ke Mesir. Setelah kembali ke Mesir pada tahun 786 H. Ibnu Hajar benAr-benar bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu, hingga ia hafal beberapa kitab-kitab induk seperti Al-‘Umdah Al-Ahkaam karya Abdulghani Al-Maqdisi, Al-Alfiyah fi Ulum Al-Hadits karya guru beliau Al-Haafizh Al-Iraqi, Al-Haawi Ash-Shaghi karya Al-Qazwinir, Mukhtashar ibnu Al-Haajib fi Al-Ushul dan Mulhatu Al-I’rob serta yang lainnya.

Pertama kali ia diberikan kesenangan meneliti kitab-kitab sejarah (tarikh) lalu banyak hafal nama-nama perawi dan keadaannya. Kemudian meneliti bidang sastra Arab dari tahun 792 H. dan menjadi pakar dalam syair.

Kemudian diberi kesenangan menuntut hadits dan dimulai sejak tahun 793 H. namun beliau belum konsentrasi penuh dalam ilmu ini kecuali pada tahun 796 H. Diwaktu itulah beliau konsentrasi penuh untuk mencari hadits dan ilmunya.

Saat ketidakpuasan dengan apa yang didapatkan akhirnya Ibnu Hajar bertemu dengan Al-Hafizh Al-Iraqi yaitu seorang syaikh besar yang terkenal sebagai ahli fikih, orang yang paling tahu tentang madzhab Syafi’i. Disamping itu ia seorang yang sempurna dalam penguasaan tafsir, hadist dan bahasa Arab. Ibnu Hajar menyertai sang guru selama sepuluh tahun. Dan dalam sepuluh tahun ini Ibnu Hajar menyelinginya dengan perjalanan ke Syam dan yang lainnya. Ditangan syaikh inilah Ibnu Hajar berkembang menjadi seorang ulama sejati dan menjadi orang pertama yang diberi izin Al-Iraqi untuk mengajarkan hadits. Sang guru memberikan gelar Ibnu Hajar dengan Al-Hafizh dan sangat dimuliakannya. Adapun setelah sang guru meninggal dia belajar dengan guru kedua yaitu Nuruddin Al-Haitsami, ada juga guru lain beliau yaitu Imam Muhibbuddin Muhammad bin Yahya bin Al-Wahdawaih melihat keseriusan Ibnu Hajar dalam mempelajari hadits, ia memberi saran untuk perlu juga mempelajari fikih karena orang akan membutuhkan ilmu itu dan menurut prediksinya ulama didaerah tersebut akan habis sehingga Ibnu Hajar amat diperlukan.

Imam Ibnu Hajar juga melakukan rihlah (perjalanan tholabul ilmi) ke negeri Syam, Hijaz dan Yaman dan ilmunya matang dalam usia muda himgga mayoritas ulama dizaman beliau mengizinkan beliau untuk berfatwa dan mengajar.

Beliau mengajar di Markaz Ilmiah yang banyak diantaranya mengajar tafsir di Al-madrasah Al-Husainiyah dan Al-Manshuriyah, mengajar hadits di Madaaris Al-Babrisiyah, Az-Zainiyah dan Asy-Syaikhuniyah dan lainnya. Membuka majlis Tasmi’ Al-hadits di Al-Mahmudiyah serta mengajarkan fikih di Al-Muayyudiyah dan selainnya.

Beliau juga memegang masyikhakh (semacam kepala para Syeikh) di Al-Madrasah Al-Baibrisiyah dan madrasah lainnya (Lihat Ad-Dhau’ Al-Laami’ 2/39).

Para Guru Beliau

Al-Hafizh Ibnu Hajar sangat memperhatikan para gurunya dengan menyebut nama-nama mereka dalam banyak karya-karya ilmiahnya. Beliau menyebut nama-nama mereka dalam dua kitab, yaitu:

Al-Mu’jam Al-Muassis lil Mu’jam Al-Mufahris.
Al-Mu’jam Al-Mufahris.
Imam As-Sakhaawi membagi guru beliau menjadi tiga klasifikasi:

Guru yang beliau dengar hadits darinya walaupun hanya satu hadits
Guru yang memberikan ijazah kepada beliau
Guru yang beliau ambil ilmunya secara mudzkarah atau mendengar darinya khutbah atau karya ilmiahnya.
Guru beliau mencapai lebih dari 640an orang, sedangkan Ibnu Khalil Ad-Dimasyqi dalam kitab Jumaan Ad-Durar membagi para guru beliau dalam tiga bagian juga dan menyampaikan jumlahnya 639 orang.

Dalam kesempatan ini kami hanya menyampaikan beberapa saja dari mereka  yang memiliki pengaruh besar dalam perkembangan keilmuan beliau agar tidak terlalu panjang biografi beliau ini.

Diantara para guru beliau tersebut adalah:

Bidang keilmuan Al-Qira’aat (ilmu Alquran):

Syeikh Ibrahim bin Ahmad bin Abdulwahid bin Abdulmu`min bin ‘Ulwaan At-Tanukhi Al-Ba’li Ad-Dimasyqi (wafat tahun 800 H.) dikenal dengan Burhanuddin Asy-Syaami. Ibnu Hajar belajar dan membaca langsung kepada beliau sebagian Alquran, kitab Asy-Syathibiyah, Shahih Al-Bukhari dan sebagian musnad dan Juz Al-Hadits. Syeikh Burhanuddin ini memberikan izin kepada Ibnu Hajar dalam fatwa dan pengajaran pada tahun 796 H.

Bidang ilmu Fikih:

Syeikh Abu Hafsh Sirajuddin Umar bin Ruslaan bin Nushair bin Shalih Al-Kinaani Al-‘Asqalani Al-Bulqini  Al-Mishri (wafat tahun 805 H) seorang mujtahid, haafizh dan seorang ulama besar. Beliau memiliki karya ilmiah, diantaranya: Mahaasin Al-Ish-thilaah Fi Al-Mushtholah dan Hawasyi ‘ala Ar-Raudhah serta lainnya.

Syeikh Umar bin Ali bin Ahmad bin Muhammad bin Abdillah Al-Anshari Al-Andalusi Al-Mishri (wafat tahun 804 H) dikenal dengan Ibnu Al-Mulaqqin. Beliau orang yang terbanyak karya ilmiahnya dizaman tersebut. Diantara karya beliau: Al-I’laam Bi Fawaa`id ‘Umdah Al-Ahkam (dicetak dalam 11 jilid) dan Takhrij ahaadits Ar-Raafi’i (dicetak dalam 6 jilid) dan Syarah Shahih Al-Bukhari dalam 20 jilid.

Burhanuddin Abu Muhammad Ibrahim bin Musa bin Ayub Ibnu Abnaasi  (725-782 ).

Bidang ilmu Ushul Al-Fikih :

Syeikh Izzuddin Muhammad bin Abu bakar bin Abdulaziz bin Muhammad bin Ibrahim bin Sa’dullah bin Jama’ah Al-Kinaani Al-Hamwi Al-Mishri (Wafat tahun 819 H.) dikenal dengan Ibnu Jama’ah seorang faqih, ushuli, Muhaddits, ahli kalam, sastrawan dan ahli nahwu. Ibnu Hajar Mulazamah kepada beliau dari tahun 790 H. sampai 819 H.

Bidang ilmu Sastra Arab :

Majduddin Abu Thaahir Muhammad bin Ya’qub bin Muhammad bin Ibrahim bin Umar  Asy-Syairazi Al-Fairuzabadi (729-827 H.). seorang ulama pakar satra Arab yang paling terkenal dimasa itu.
Syamsuddin Muhammad bin Muhammad bin ‘Ali bin Abdurrazaaq Al-Ghumaari 9720 -802 H.).

Bidang hadits dan ilmunya:

Zainuddin Abdurrahim bin Al-Husein bin Abdurrahman bin Abu bakar bin Ibrahim Al-Mahraani Al-Iraqi (725-806 H. ).
Nuruddin abul Hasan Ali bin Abu Bakar bin Sulaimanbin Abu Bakar bin Umar bin Shalih Al-Haitsami (735 -807 H.).

Selain beberapa yang telah disebutkan di atas, guru-guru Ibnu Hajar, antara lain:

Al-Iraqi, seorang yang paling banyak menguasai bidang hadits dan ilmu-ilmu yang berhubungan dengan hadits.
Al-Haitsami, seorang yang paling hafal tentang matan-matan.
Al-Ghimari, seorang yang banyak tahu tentang bahasa Arab dan berhubungan dengan bahasa Arab.
A-Muhib bin Hisyam, seorang yang cerdas.
Al-Ghifari, seorang yang hebat hafalannya.
Al-Abnasi, seorang yang terkenal kehebatannya dalam mengajar dan memahamkan orang lain.
Al-Izzu bin Jamaah, seorang yang banyak menguasai beragam bidang ilmu.
At-Tanukhi, seorang yang terkenal dengan qira’atnya dan ketinggian sanadnya dalam qira’at.

Murid Beliau

Kedudukan dan ilmu beliau yang sangat luas dan dalam tentunya menjadi perhatian para penuntut ilmu dari segala penjuru dunia. Mereka berlomba-lomba mengarungi lautan dan daratan untuk dapat mengambil ilmu dari sang ulama ini. Oleh karena itu tercatat lebih dari lima ratus murid beliau sebagaimana disampaikan murid beliau imam As-Sakhawi.

Diantara murid beliau yang terkenal adalah:

Syeikh Ibrahim bin Ali bin Asy-Syeikh bin Burhanuddin bin Zhahiirah Al-Makki Asy-Syafi’i (wafat tahun 891 H.).
Syeikh Ahmad bin Utsmaan bin Muhammad bin Ibrahim bin Abdillah Al-Karmaani Al-hanafi (wafat tahun 835 H.) dikenal dengan Syihabuddin Abul Fathi Al-Kalutaani seorang Muhaddits.
Syihabuddin Ahmad bin Muhammad bin Ali bin Hasan Al-Anshari Al-Khazraji (wafat tahun 875 H.) yang dikenal dengan Al-Hijaazi.
Zakariya bin Muhammad bin Zakariya Al-Anshari wafat tahun 926 H.
Muhammad bin Abdurrahman bin Muhammad bin Abu bakar bin Utsmaan As-Sakhaawi Asy-Syafi’i wafat tahun 902 H.
Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Abdullah bin Fahd Al-Hasyimi Al-‘Alawi Al-Makki  wafat tahun 871 H.
Burhanuddin Al-Baqa’i, penulis kitab Nuzhum Ad-Dhurar fi Tanasub Al-Ayi wa As-Suwar.
Ibnu Al-Haidhari.
At-Tafi bin Fahd Al-Makki.
Al-Kamal bin Al-Hamam Al-Hanafi.
Qasim bin Quthlubugha.
Ibnu Taghri Bardi, penulis kitab Al-Manhal Ash-Shafi.
Ibnu Quzni.
Abul Fadhl bin Asy-Syihnah.
Al-Muhib Al-Bakri.
Ibnu Ash-Shairafi.
Menjadi Qadhi

Wafatnya

Setelah melalui masa-masa kehidupan yang penuh dengan kegiatan ilmiah dalam khidmah kepada ilmu dan berjihad menyebarkannya dengan beragam sarana yang ada. Ibnu Hajar jatuh sakit dirumahnya setelah ia mengundurkan diri dari jabatannya sebagai qadhi pada tanggal 25 Jamadal Akhir tahun 852 H. Dia adalah seorang yang selalu sibuk dengan mengarang dan mendatangi majelis-majelis taklim hingga pertama kali penyakit itu menjangkit yaitu pada bulan Dzulqa’dah tahun 852 H. Ketika ia sakit yang membawanya meninggal, ia berkata, “Ya Allah, bolehlah engkau tidak memberikanku kesehatan, tetapi janganlah engkau tidak memberikanku pengampunan.” Beliau berusaha menyembunyikan penyakitnya dan tetap menunaikan kewajibannya mengajar dan membacakan imla’. Namun penyakit tersebut semakin bertambah parah sehingga para tabib dan penguasa (umara) serta para Qadhi bolak balik menjenguk beliau. Sakit ini berlangsung lebih dari satu bulan kemudian beliau terkena diare yang sangat parah dengan mengeluarkan darah. Imam As-Sakhaawi berkata, “Saya mengira Allah telah memuliakan beliau dengan mati syahid, karena penyakit tha’un telah muncul.  Kemudian pada malam sabtu tanggal 18 Dzulhijjah tahun 852 H. berselang dua jam setelah shalat isya’, orang-orang dan para sahabatnya berkerumun didekatnya menyaksikan hadirnya sakaratul maut.”

Hari itu adalah hari musibah yang sangat besar. Orang-orang menangisi kepergiannya sampai-sampai orang nonmuslim pun ikut meratapi kematian beliau. Pada hari itu pasar-pasar ditutup demi menyertai kepergiannya. Para pelayat yang datang pun sampai-sampai tidak dapat dihitung. Semua para pembesar dan pejabat kerajaan saat itu datang melayat dan bersama masyarakat yang banyak sekali menshalatkan jenazah beliau. Diperkirakan orang yang menshalatkan beliau lebih dari 50.000 orang dan Amirul Mukminin khalifah Al-Abbasiah mempersilahkan Al-Bulqini untuk menyalati Ibnu Hajar di Ar-Ramilah di luar kota Kairo. Jenazah beliau kemudian dipindah ke Al-Qarafah Ash-Shughra untuk dikubur di pekuburan Bani Al-Kharrubi yang berhadapan dengan masjid Ad-Dailami di antara makam Imam Syafi’i dengan Syaikh Muslim As-Silmi.

Sanjungan Para Ulama Terhadapnya

Al-Hafizh As-Sakhawi berkata, “Adapun pujian para ulama terhadapnya, ketahuilah pujian mereka tidak dapat dihitung. Mereka memberikan pujian yang tak terkira jumlahnya, namun saya berusaha untuk menyebutkan sebagiannya sesuai dengan kemampuan.”

Al-Iraqi berkata, “Ia adalah syaikh, yang alim, yang sempurna, yang mulia, yang seorang muhhadits (ahli hadist), yang banyak memberikan manfaat, yang agung, seorang Al-Hafizh, yang sangat bertakwa, yang dhabit (dapat dipercaya perkataannya), yang tsiqah, yang amanah, Syihabudin Ahmad Abdul Fadhl bin Asy-Syaikh, Al-Imam, Al-Alim, Al-Auhad, Al-Marhum Nurudin, yang kumpul kepadanya para perawi dan syaikh-syaikh, yang pandai dalam nasikh dan mansukh, yang menguasai Al-Muwafaqat dan Al-Abdal, yang dapat membedakan antara rawi-rawi yang tsiqah dan dhaif, yang banyak menemui para ahli hadits,dan yang banyak ilmunya dalam waktu yang relatif pendek.” Dan masih banyak lagi Ulama yang memuji dia, dengan kepandaian Ibnu Hajar.

Karya Ilmiah Beliau

Al-Haafizh ibnu Hajar telah menghabiskan waktunya untuk menuntut ilmu dan menyebarkannya dengan lisan, amalan dan tulisan. Beliau telah memberikan jasa besar bagi perkembangan beraneka ragam bidang keilmuan untuk umat ini.

Murid beliau yang ternama imam As-Sakhaawi dalam kitab Ad-Dhiya’ Al-Laami’ menjelaskan bahwa karya tulis beliau mencapai lebih dari 150 karya, sedangkan dalam kitab Al-Jawaahir wad-Durar disampaikan lebih dari 270 karya.

Tulisan-tulisan Ibnu Hajar, antara lain:

Ithaf Al-Mahrah bi Athraf Al-Asyrah.
An-Nukat Azh-Zhiraf ala Al-Athraf.
Ta’rif Ahli At-Taqdis bi Maratib Al-Maushufin bi At-Tadlis (Thaqabat Al-Mudallisin).
Taghliq At-Ta’liq.
At-Tamyiz fi Takhrij Ahadits Syarh Al-Wajiz (At-Talkhis Al-Habir).
Ad-Dirayah fi Takhrij Ahadits Al-Hidayah.
Fath Al-Bari bi Syarh Shahih Al-Bukhari.
Al-Qaul Al-Musaddad fi Adz-Dzabbi an Musnad Al-Imam Ahmad.
Al-Kafi Asy-Syafi fi Takhrij Ahadits Al-Kasyyaf.
Mukhtashar At-Targhib wa At-Tarhib.
Al-Mathalib Al-Aliyah bi Zawaid Al-Masanid Ats-Tsamaniyah.
Nukhbah Al-Fikri fi Mushthalah Ahli Al-Atsar.
Nuzhah An-Nazhar fi Taudhih Nukhbah Al-Fikr.
Komentar dan kritik atas kitab Ulum Hadits karya Ibnu As-Shalah.
Hadyu As-Sari Muqqadimah Fath Al-Bari.
Tabshir Al-Muntabash bi Tahrir Al-Musytabah.
Ta’jil Al-Manfaah bi Zawaid Rijal Al-Aimmah Al-Arba’ah.
Taqrib At-Tahdzib.
Tahdzib At-Tahdzib.
Lisan Al-Mizan.
Al-Ishabah fi Tamyiz Ash-Shahabah.
Inba’ Al-Ghamar bi Inba’ Al-Umur.
Ad-Durar Al-Kaminah fi A’yan Al-Miah Ats-Tsaminah.
Raf’ul Ishri ‘an Qudhat Mishra.
Bulughul Maram min Adillah Al-Ahkam.
Quwwatul Hujjaj fi Umum Al-Maghfirah Al-Hujjaj.

Referensi:
Muqaddimah kitab an-Nukaat ‘Ala ibni ash-Shalaah oleh Syeikh Prof. DR. Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali
Muqaddimah kitab Subul As-Salaam


Oleh Ustadz Kholid Syamhudi, L.c.

Artikel ini telah tayang di KisahMuslim.com
Read More

Selasa, 07 Januari 2020

Kenal Ulama: Biografi KH Ali Mustafa Yaqub, Ulama Ahli Hadits Nusantara

Januari 07, 2020

Ulama Nusantara | Kyai Ali Mustafa Yaqub adalah satu dari sekian banyak ulama Indonesia yang muncul dari pedalaman kampung. Beliau lahir tanggal 2 Maret 1952 M di desa Kemiri, kecamatan Subah, Kabupaten Batang, Jawa Tengah, dari pasangan bernama Yaqub dan Siti Habibah.

Mengaitkan Kemiri dengan kyai Ali Mustafa Yaqub membawa kita pada sketsa wajah tersebut di era tahun 60-an. Kemiri di masa-masa itu sangat jauh dengan keadaan di masa sekarang.

Dagi segi religiusitas, tidak di jumpai seorang ulama yang dapat dijadikan tempat mengadu permasalahan agama. Alih-alih konsultasi agama, orang yang memperhatikan dan mempraktikan keislamannya saja bisa dibilang minim.

Kalaupun ada orang yang pantas menyandang gelar ulama Kemiri waktu itu, maka kyai Yaqub-lah (ayah kyai Ali Mustafa Yaqub) orangnya. Itupun karena memang tidak ada orang yang dianggap lebih tahu tentang ajaran islam dibanding beliau.

Masa kecil kyai Ali Mustafa Yaqub tidak jauh berbeda dengan teman-teman sebayanya. Jika teman-temannya lebih banyak bermain, maka demikian halnya dengan kyai Ali pada masa kecilnya.

Beliau memulai pendidikan formalnya di Sekolah Rakyat (SR), yaitu sekolah-sekolah yang dirintis oleh para pejuang bangsa Indonesia di masa penjajahan dahulu.

Setiap hari, kyai Ali pergi ke SR yang lokasinya tidak jauh dari rumahnya. Hanya dipisahkan oleh kebun milik ayahnya. Karenanya, ketika istirahat tiba, beliau sering kali memilih pulang ke rumahnya. Jika paginya belum makan, maka waktu istirahat menjadi pengganti waktunya untuk menyantap sarapan buatan ibunya.

Selain sekolah, pada masa kecilnya, kyai Ali memiliki kebiasaan ngangon (mengembala) kerbau bersama temannya. Setiap hari setelah pulang sekolah, beliau lantas shalat dhuhur dan makan sejenak, lalu keluar bersama temennya untuk mengembala kerbau. Sembari menunggu kerbau memakan rerumputan, beliau menikmati semilir angin lereng bukit bersama temannya.

Ketika menginjak kelas 3 SMP, kyai Ali mulai belajar mengenal organisasi. Yaitu Nahdlatul Ulama, organisasi yang banyak dianut oleh kalangan akar rumput pedesaan. Organisasi ini mengakar kuat dalam tradisi-tradisnya yang berkembang di masyarakat, seperti tahlilan, maulidan, dan tarekat. 

Meskipun masih kecil, keikutsertaan kyai Ali dalam wadah GP Anshor menunjukkan bahwa beliau adalah orang yang gemar berorganisasi. Dengan masuk dalam keanggotaan organisasi ini, jiwa ke-NU-annya sedikit demi sedikit terbentuk. Siapa sangka, jika akhirnya beliau menjadi seorang kyai besar yang duduk di jajaran Rais Syuriyah PBNU.

Kyai Ali Mustafa pada masa kecilnya kerap merasakan perilaku tidak mengenakkan dari kepala sekolahnya lantaran keaktifannya di NU. Puncak dari ketegangan ini adalah keputusan Kyai Ali untuk keluar dari SMP, padahal beliau sedang duduk di kelas 3 dan akan mengakhiri studinya 4 bulan lagi.

Namun apa mau dikata beliau sering mengeluh kepada ayahnya. Setelah bermusyawarah dengan ayah dan kakaknya, maka lahirlah keputusan untuk keluar dari SMP. Selanjutnya, ayahnya membawanya ke Jombang untuk dipondokkan disana.

Dengan diantar ayahnya, beliau berangkat menuju sebuah pesantren di Jombang, Jawa Timur pada tahun 1966. Dari sinilah perjalannan Kyai Ali sebagai santri 24 karat bermula. Kyai Yaqub mengantarkan putranya itu ke kota Jombang dan memilih pesantren Seblak sebagai tempat berlabuhnya dalam menuntut ilmu agama.

Pasca boyong (pulang) dari pesantren Seblak, Kyai Ali tidak lantas pulang ke kampung. Kehausannya akan ilmu agama masih butuh kucuran yang banyak. Pesantren Seblak telah menjadi oase pertamanya dalam menuntut ilmu di pesantren. Untuk melengkapinya Kyai Ali memilih Pesantren Tebuireng sebagai tempat bertapa selanjutnya.

Di pesantren Tebuireng, Kyai Ali melanjutkan pendidikannya dengan menempuh Madrasah Aliyah Salafiyah Syafi’iyah Tebuireng. Tingkatan ini beliau lalui selama 3 tahun mulai dari tahun 1969 hingga 1972.

Tidak hanya itu, beliau juga melanjutkan pendidikan tingginya di Fakultas Syariah IKAHA Tebuireng terhitung mulai 1972 sampai 1975. Selain menempuh pendidikan formalnya, beliau juga menekuni kitab-kitab kuning dibawah asuhan para kyai senior.

Tercatat, Kyai Ali memperoleh ijazah sanad Shahih al-Bukhari dari Kyai Syansuri Badawi  pada tanggal 1 Oktober 1974. Jumlah ulama yang menyambungkan sanadnya hingga Imam al-Bukhari berjumlah 19 ulama. Sebenarnya beliau juga memperolah sanad Shohih Muslim, hanya saja hingga akhir hayatnya sanad tersebut belum di temukan.

Pada tahun 1976, di usianya yang ke-24, Kyai Ali mendapatkan panggilan untuk melanjutkan studinya di Fakultas Syariah, Universitas Islam Maulana bin Saud, Riyadh, Saudi Arabia. Di Riyadh, beliau menyelesaikan studinya sampai lulus S1 dengan ijazah Licence pada tahun 1980.

Masih di kota yang sama, Riyadh, Kyai Ali melanjutkan studi S2 di Universitas Kang Saud, Departemen Studi Islam jurusan Tafsir dan Hadits, sampai lulus dengan gelar ijazah Master pada tahun 1985.  

Pada tahun 1985, Kyai Ali pulang ke Indonesia dan mengakhiri jejaknya di bumi Saudi Arabia. Beliau kemudian mengajar di IIQ, Uin Syarif Hidayatullah Jakarta, serta perguruan tinggi lainnya. Beliau juga mulai aktif di beberapa organisasi keislaman serta aktif berdakwah dan mendirikan Peantren Darus-Sunnah di Ciputat.

Atas saran gurunya, Prof. Dr. Muhammad Hasan Hitou, beliau pun melanjutkan doktoralnya di Universitas Nizamiah, Hyderabad, India pada tahun 2005. Studi ini tidak bersifat residensial (belajar di kampus), tetapi melalui komunikasi jarak jauh by research.

Pada tahun 2008 beliau menyelesaikan disertasinya dengan hasil penelitian Kriteria Halal untuk Pangan, Obat, dan Kosmetika yang Tidak Ditemukan dalam al-Qur’an  maupun Hadits. Dari sidang disertasi ini, Kyai Ali Mustafa dinyatakan lulus dengan gelar Doktor dalam bidang Hukum Islam.

Yang menarik adalah kenyataan bahwa beliau memperoleh gelar ini justru setelah 10 tahub menyandang Guru Besar Madya (Profesor) dalam bidang Ilmu Hadits dari IIQ Jakarta.

Dengan melekatnya gelar doktor ini, maka lengkaplah titel yang beliau sandang menjadi Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA. Meskipun telah menyandang sederet gelar, Kyai Ali tetaplah sosok yang haus ilmu.

Untuk memenuhi dahaganya tersebut , beliau selalu membaca buku atau kitab sertiap harinya. Untuk itu beliau sering berkata “Nahnu Thullabul Ilmi ila Yaumil Qiyamah (kami adalah pencari ilmu hingga hari kiamat)”.  

Demikialah biografi singkat Kyai Ali Mustafa Yaqub, salah Seorang Ulama Nusantara. Biografi ini belum seberapa dibanding perjalanan beliau dalam menuntut ilmu yang tiada habisnya hingga akhir hayatnya.

Sebab, jika di tuangkan dalam artikel ini rasanya 20 lembar pun tidak cukup untuk menceritakan perjalanan beliau. Semoga kita dapat meneladani semangat beliau dalam menuntut ilmu. Wallahu A’lam.

Biografi ini dikutip dari karangan salah seorang murid Kyai Ali Mustafa Yaqub, Ustadz Ulin Nuha Mahfuddhon, dalam bukunya yang berjudul Meniti Dakwah di Jalan Sunnah.

Oleh Nur Faricha, Aktivis at LPM Nabawi Darus-Sunnah, sekaligus Santri Pondok Pesantren Darus Sunnah yang juga Mahasiswa Fakultas Dirosat Islamiyah UIN Syarif Hidayatullah.

Artikel ini telah tayang di Pecihitam.org
Read More

Senin, 06 Januari 2020

Kenal Ulama: Imam Ibnu Katsir, Ulama yang Memiliki Ilmu Komplit

Januari 06, 2020

Tokoh Ulama | Siapa yang tidak pernah mendengar nama Ibnu Katsir, seorang ulama kenamaan dalam bidang tafsir.

Nama, Kelahiran, dan Kunyahnya

Ibnu Katsir bernama lengkap Ismail bin Umar bin Katsir bin Dhau’i bin Katsir bin Dhau’i bin Dar’i bin al-Qurasyi asy-Syafi’i al-Bushrawi ad-Dimasyqi. Ia digelari dengan ‘Imaduddin (penopang agama). Nama kunyahnya adalah Abul Fida’. Ia lebih dikenal dengan nama Ibnu Katsir, nisbat kepada sang kakek. Dalam fikih, Ibnu Katsir berpegang dengan madzhab Syafi’i. Namun begitu, ia tidak fanatik dengan madzhabnya tersebut.

Ibnu Katsir dilahirkan di Damaskus, Syam. Tepatnya di daerah Majdal yang terletak sebelah timur Bushra pada tahun 701 H (1301 M). Ayahnya dikenal sebagai khatib di Majdal. Dalam usia 2 tahun Ibnu Katsir telah menjadi yatim. Ayahnya meninggal pada tahun 703 H. Sepeninggal sang ayah tercinta, Ibnu Katsir diasuh oleh kakak kandungnya, Kamaluddin ‘Abdul Wahab. Tahun 707 H, dengan didampingi sang kakak, ia pindah ke Damaskus. Ketika itu ia berusia 6 tahun.

Belajar dan Menuntu Ilmu Sejak Dini

Beliau mulai menuntut ilmu kepada saudara kandung beliau Abdul Wahhab bin Umar bin Katsir sejak usia dini. Pada tahun 711 H beliau telah hafal al-Qur'an da-lam usia 10 tahun. Sesudah itu beliau banyak mengha-fal matan-matan, berbagai bidang ilmu agama dan ba-hasa Arab.

Beliau memiliki perhatian yang besar terhadap ilmu hadits terutama dalam mencari riwayat, menelaah, il-al dan rijal.
Demikian juga, beliau memiliki perhatian yang  besar terhadap ilmu fiqih, tafsir dan qira'ah.

Beliau selalu gigih dalam menuntut ilmu sehingga me-njadi masyhur nama beliau hingga keluar negeri Syam. Banyak ulama yang memberi ijazah-ijazah sanad kepada beliau dari Baghdad, Kairo, dan kota-kota lain-nya. Demikian juga banyak para ulama dan penuntut ilmu dari seluruh penjuru negeri datang kepada beli-au untuk mereguk ilmu darinya.

Beliau terus tekun menulis karya-karya ilmiah dalam fiqih dan ushulnya, hadits dan ushulnya, tafsi, dan ta-rikh hingga beliau kehilangan pengelihatannya, keti-ka beliau sedang menulis kitab Jami'ul Masanid wa Su-nan yang belum sempat beliau selesaikan karena data-ng ajal beliau pada tahun 774 H.

Guru-gurunya

1.Syaikh Burhanuddin Ibrahim bin Abdirrahman al-Fazari yang terkenal dengan nama Ibnul Farkah (wafat 729 H).
2.Di Damsyik Syria, beliau belajar dengan Isa bin al-Muth’im,
3.Ahmad bin Abi Thalib, terkenal dengan nama Ibnu Syahnah (walat 730H),
3.Ibnul Hajjar yang (wafat 730 H),
4.Baha-uddin al-Qasim bin Muzhaffar Ibnu Asakir, ahli hadis negeri Syam yang wafat pada tahun 723 H,
5.Ibnu asy-Syirazi,
6.Ishaq bin Yahya al-Amidi Afifuddin –ulama Zhahiriyah (wafat 725 H),
7.Muhammad lbnu Zar rad, menyertai Syaikh Jamaluddin Yusuf bin az-Zaki al’Mizzi (wafat 742H), beliau mendapat banyak faedah dan menimba ilmu darinya dan akhirnya beliau menikahi puterinya.
8.Syaikhul Islam Taqiyyuddin Ahmad bin Abdil Halim bin Abdis Salam bin Taimiyyah (wafat 728 H),
9.Sebagaimana beliau menimba ilmu dari Syaikh al-Hafizh, seorang ahli tarikh (sejarah), Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin ‘Utsman bin Qayimaz adz-Dzahabi (wafat pada tahun 748 H).
10.Dan ulama Mesir yang memberi beliau ijazah adalah Abu Musa al-Qarafi,
11.Abul Fath ad-Dabbusi,
12.Ali bin Umar as-Sawani dan lain-lain.

Pujian Para Ulama Mengenai Ibnu Katsir

1. Al-Hafizh al-Kabir Abul Hajjaj Yusuf bin az-Zaki Abdurrahman bin Yusuf al-Mizzi.
Ibnu Katsir memfokuskan diri untuk mempelajari ilmu hadits kepada al-Mizzi. Al-Mizzi adalah guru yang paling berpengaruh dalam kehidupan Ibnu Katsir. Disamping sebagai guru, al-Mizzi juga sebagai mertua Ibnu Katsir, karena beliau mempersunting putri al-Mizzi yang bernama Ammatu Rahim Zainab.

2. Syaikhul Islam Ahmad bin Abdil Halim bin Abil Qasim bin Taimiyah al-Harrani.
Ibnu Katsir juga menimba ilmu sekian lamanya dengan mempelajari banyak ilmu kepada Ibnu Taimiyah. Ibnu Taimiyah pun banyak memberikan pengaruh dalam kehidupan Ibnu Katsir. Ibnu Katsir menyebutkan tentang biografi Ibnu Taimiyah dalam kitab al Bidayah wa an Nihayah, “Antara aku dan beliau terjalin kecintaan dan persahabatan dari kecil.”

Saking dekatnya persahabatan dengan Ibnu Taimiyah, Ibnu Katsir pun ikut mendapatkan cobaan sebagaimana yang dialami oleh Ibnu Taimiyah. Dari sini ada sebuah pelajaran berharga bagi kita semua bahwa perbedaan madzhab bukanlah sebagai alasan untuk bersikap fanatik. Sebab, sikap fanatik akan menghalangi seseorang dalam belajar atau mengajarkan ilmu satu sama lain. Ibnu Katsir adalah seorang tokoh ulama syafi’iyyah (madzhab syafi’i) dan Ibnu Taimiyah adalah tokoh ulama hanabilah (madzhab hanbali).

3. Al-Hafizh al-Kabir Syamsuddin Abu ‘Abdillah Muhammad bin ‘Utsman adz-Dzahabi.
Beliau adalah salah seorang tokoh ulama yang sangat mumpuni dalam ilmu sejarah dan ilmu hadits. Ibnu Katsir menyebutkan tentang biografi adz-Dzahabi dalam kitab al Bidayah wa an Nihayah, “Beliau adalah tokoh penutup para ulama ahli hadits dan para penghafal hadits.”

Murid-murid Beliau

Di antara Murid-murid beliau adalah:
al-Imam Syihab-uddin Abul Abbas Ahmad bin Alauddin Hajji ad-Dima-syqi, al-Hafizh Zainuddin al-Iraqi, al-Hafizh Waliyyud-din Abu Zur'ah bin al-Hafidz al-Iraqi, al-Hafizh Syams-uddin Abul Khair Muhammad bin Muhammad al-Jaza-ri asy-Syafi'i, dan masih banyak lagi selain mereka.

Karya- Karyanya

Berikut ini adalah bagian karya- karya Ibnu Katsir yaitu:
1.   Tafsir al-Qur'anul Azhim
2.   Bidayah wa Nihayah
3.   Fushul fi Ikhtshari Sirati Rasul
4.   Maulidur Rasul صلى الله عليه وسلَّم
5.   Ikhtishar Ulumul Hadits
6.   at-Takmil fi Ma'rifati Tsiqat wa Dhu'afa' wal Majahil
7.   Jami'ul Masanid wa Sunan al-Hadi li Aqwami Sunan
8.   Ittihaful Mathalib bi Ma'rifati Ahadits Mukhtashar Ibnul Hajib
9.   Irsyadul Faqih ila Ma'rifati Adillati Tanbih
10. al-Ijtihad fi Thalabil Jihad
11. Syarh Shahih Bukhari
12. Kitabul Ahkam
13. Syarh Qith'atu Tanbih lil Imam Abi Ishaq asy-Syair- azi
14. Musnad Syaikhain Abu Bakr wa Umar
15. Musnad Umar bima Ruwiya anhu minal Hadits wal Aatsar
16. Kitabul Muqaddimat
17. Mukhtashar Kitab al Madkhal lil Baihaqi
18. Thabaqah Syafi'iyyah wa Manaqib asy-Syafi'i

Akhir Hayatnya

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-’Asqalani berkata, “Beliau hilang penglihatan di akhir hayatnya dan wafat di Damaskus, Syam pada tahun 77 4 H/ 1373 M. Semoga Allah mencurahkan rahmat seluas-luasnya kepada beliau dan menempatkan beliau di Surga-Nya yang luas.

Dari Berbagai Sumber

Artikel ini telah tayang di Laduni.id
Read More

Rabu, 01 Januari 2020

Kenal Ulama: Biografi Syeikh Muhammad Sa'id Ramadhan Al Buthi

Januari 01, 2020

Tokoh Ulama | Syaikh Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi (محمد سعيد رمضان البوطي) nama lengkap beliau adalah Muhammad Said ibnu Mula Ramadhan ibnu Umar al-Buthi. Beliau lahir di Buthan (Turki) pada tahun 1929 M/ 1347 H, dari sebuah keluarga religius.

Ayah beliau adalah Syekh Mula Ramadhan, seorang ulama besar di Turki. Usai peristiwa kudeta Kemal Attatruk, al-Buthi kecil dibawa ikut keluarganya pindah ke Syiria.

Al-Buthi belajar agama pertama kali dari Ayah beliau sendiri, mulanya beliau diajarkan tentang Aqidah, kemudian baru mempelajari sirah nabi, mempelajari ilmu alat, Nahwu dan Sharaf. Beliau sanggup menghafal kitab Alfiyah Ibnu Malik, yaitu salah satu kitab tentang ilmu Nahwu yang berbentuk sya’ir, beliau mampu menghafal 1000 bait sya’ir kitab tersebut, padahal usia beliau masih 4 tahunan. Dan pada usia 6 tahun beliau sudah khatam Al-Quran.

Said Ramadhan al-Buthi juga menempuh pendidikan di Ma’had at-Taujih al-Islamy Damaskus, di bawah bimbingan al-‘allamah Syekh Hasan Habannakeh rahimahullah.

Di usia beliau yang belum melewati 17 tahun, beliau telah mampu naik mimbar menjadi khatib. Beliau menyelesaikan pendidikannya di Ma’had at-Taujih al-Islamy Damaskus pada tahun 1953 M

Pada tahun tersebut al-Buthi menuju Cairo Mesir dan meneruskan studinya dengan spesialisasi ilmu Syariah hingga memperoleh Ijazah Licence. Pendidikan Diploma-nya (setingkat S2) ia ikuti di Fakultas Bahasa Arab.

Pada tahun 1965, Sa’id Ramadhan menyelesaikan program Doktornya di Universitas Al-Azhar dengan predikat Mumtaz Syaf ‘Ula. Disertasi yang ia tulis dan berjudul “Dlawabit al-Mashlahah fi asy-Syari’at al-Islamiyyah” mendapatkan rekomendasi Jami’ah al-Azhar sebagai “Karya Tulis yang Layak Dipublikasikan”.

Dr. Al-Buthi adalah figur ulama yang mengabdikan hidupnya sebagai seorang pembimbing dan dai, sembari terus menampilkan sikap zuhud di dunia yang fana. Orang yang berprinsip tegas jika memang benar itu adalah benar, tanpa peduli tindakannya nanti akan dicerca orang ataupun sebaliknya.

Beliau juga merupakan seorang pemikir Islam moderat sekaligus penulis yang sangat produktif. Karyanya mencapai bilangan tujuh puluh lima buku. Karya-karyanya juga banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia seperti:

Al-Hub fil Qur’an (Al-Qur’an Kitab Cinta).
La ya’thil Bathil (Takkan Datang Kebathilan terhadap Al-Qur’an).
Fiqh al-Sirah al-Nabawiyah (Sirah Nabawiyah: Analisis Ilmiah Manhajiah Sejarah Pergerakan Islam di Masa Rasul Saw) dan masih banyak yang lainnya.
Dalam konteks kepesantrenan, terutama pesantren salaf, bukunya yang berjudul Dhowabitul Maslahah merupakan referensi primer dalam kajian Bahtsul Masail (BM).

Pandangan Ilmiah Syaikh Said Ramadhan al-Buthi

Beliau adalah seorang ulama Ahlussunnah Waljama’ah, bermadzhab Syafi’i dalam bidang Fiqh dan dalam bidang Tauhid bermanhaj Asy’ari.

Beliau juga sangat gigih meluruskan berbagai macam kesesatan dan ajaran sesat, terlihat dari kitab-kitab beliau dalam meluruskan kesesatan Salafi Wahabi seperti kitab As-Salafiyyah; Marhalah Zamaniyyah Mubarokah la Mazhab Islamiyun dan al-La Mazhabiyyah: Akhtoru Bid’atin Tuhaddidus Syariah Islamiyyah.

Tokoh yang paling berpengaruh di Timur Tengah ini juga termasuk barisan ulama yang getol membendung radikalisme Islam. Paham radikal adalah suatu paham yang anti dengan tradisi bermadzhab, anti ijtihad, intoleran, cenderung eksklusif dan menganggap kebenaran hanya ada pada kelompok mereka.

Pandangan politik beliau berseberangan dengan pandangan politik Ikhwanul Muslimin, oleh sebab itu beliau menuliskan satu kitab tentang esensi Jihad dalam Islam yang berjudul “Al Jihadu fi Islam”, untuk membendung generasi muda muslim agar tidak terjatuh dalam politik teroris berkedok Jihad dan Islam. Beliau lebih mengutamakan perdamaian dan perundingan dari pada pemberontakan dan oposisi.

Wafat al-Buthi

Syaikh Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi asy-Syafi’i al-Asy’ari, syahid terbunuh dalam sebuah aksi bom bunuh diri yang dilakukan oleh para kaum ekstrimis radikalis yang tidak tidak sepemikiran dengan Said Ramadhan Al-Buthi.

Bom bunuh diri itu terjadi di Masjid al-Iman Damaskus Syiria, pada tanggal 21 Maret 2013 M atau bertepatan pada tanggal 9 Jumadil Awal 1434 H, disaat beliau sedang melakukan kajian rutin malam Jum’at di Mesjid tersebut.

Beliau tutup usia pada umur 84 tahun, dan disholatkan pada tanggal 23 Maret 2013 di Mesjid Umayyah oleh ribuan jama’ah dari Iran, Libanon dan Urdun. Beliau dimakamkan didekat Mesjid tersebut, disamping makam Sultan Shalahuddin al-Ayyubi. Wafat beliau adalah duka bagi seluruh muslim Ahlussunnah di seluruh dunia.

Oleh Arif Rahman Hakim, Pengurus PWCINU dan LAZIZNU Okinawa - Jepang Tahun 2017

Artikel ini telah tayang di Pecihitam.org
Read More

Kenal Ulama: Biografi Maulana Habib Muhammad Luthfi bin Yahya Pekalongan

Januari 01, 2020

Ulama Nusantara | Maulana Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Yahya, beliau lahir di Pekalongan pada tanggal 10 Niovember 1948, bertepatan dengan 27 Rajab 1367. Beliau dilahirkan dari seorang Syarifah yang bernama Sayyidah al Karimah as Syarifah Nur.

Selain seorang ulama yang karismatik Habib Luthfi juga aktif dalam organisasi Nahdlatul Ulama sebagai salah satu anggota Syuriyah PBNU. Beliau adalah salah satu Ulama dan habaib yang disegani, dan beliau juga ketua Umum majelis Ulama di Jawa Tengah serta terpilih juga sebagai pemimpin Forum Sufi Dunia. Selain itu habib Luthfi juga menjabat sebagai Ra’is ‘Am Jam’iyah Ahlu Thariqah al Mu’tabaroh an Nahdiyah.

Riwayat pendidikan beliau terutama mengenai pendidiikan agama, terutama beliau mendapatkan ilmu agama dari ayahanda tercinta Al-Habib al Hafidz Ali al-Ghalib. Setelah mendapatkan pelajaran agama dari ayahanda, beliau kemudian melanjutkan pendidikannya di madrasah salafiah selama tiga tahun. Kemudian beliau pernah belajar ilmu agama dengan simbah Kyai Malik Kedung Paruk Purwokerto.

Jalur nasab Habib Muhammad Luthfi bin Yahya dari ibunya adalah sebagai berikut: Sayidah al Karimah as Syarifah Nur binti Sayid Muhsin bin Sayid Salim bin Sayid al Imam Shalih bin Sayid Muhsin biin Sayid Hasan bin Sayid Imam ‘Alawi biin Sayid al Imam Muhammad biin al Imam ‘Alawii bin Imam al Kabir Sayid Abdullah biin Imam Salim bin Imam Muhammad bin Sayid Sahal bin Imam Abd Rahman Maula Dawileh bin Imam Alii bin ‘Alawi bin Sayidina Imam al Faqih al Muqodam bin Ali Ba Alawi.

Sedangkan nasab beliau dari jalur Ayah yaitu Al Habib Muhammad Luthfi bin Al Habib Ali bin Al Habib Hasyim bin Al Habib Umar bin Al Habib Thoha bin Al Habib Muhammad al Qodhi bin Al Habib Thoha bin Al Habib Muhammad bin Al Habib Syekh bin Al Habib Ahmad bin Al Ima Yahya Ba’Alawy bin Al Habib Hasan bin Al Habiib Alwy bin Al Habib Ali bin Imam Alwy an Nasiq bin Imam Muhammad Maulad Dawileh bin Imam Ali Maula Darrak bin Imam Alwy al-Ghuyyur bin Imam Al Faqih al Muqaddam Muhammad Ba’Alawy bin Imam Ali bin Iimam Muhammad Shihab Marbath bin Imam Ali Khali Qasam bin Imam Alwy bin Imam Muhammad bin Imam Alwy Ba’Alawy bin Imam Ubaidullah bin Iimam Ahmad al Muhajjir bin Imam Isa an Naqib ar Rumii bin Imam Muhammad an Naqib bin Ali al Uraidhi bin Imam Ja’far Shadiq bin Imam Muhammad al Baqir bin Imam Ali Zainal Abidin bin Imam Husein ash Sibth bin Amirul Mu’minin Ali Bin Abi Thalib + Sayidatina Fatimah az Zahrah binti Nabii Muhammad SAW.

Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Yahya setelah memperoleh pendidikan langsung dari kedua orang tuanya, pada usia 12 tahun, beliau mulai mengembara mencari ilmu. Pada usia tersebut beliau mengikuti pamannya al Habib Muhammad di Indramayu Jawa Barat. Sejak saat itulah beliau mulai keluar masuk pesantren.

Kemudian setelah tak lama beliau nyantri di Bondokerep Cirebon, Habib Luthfi mendapatkan beasiswa ke Hadramaut. Setelah tiga tahun disana beliau kembali ke Tanah Air, dan nyantri lagi ke sejumlah pesantren seperti ke pesantren Kliwet Indramayu, Tegal (Kiai Said), juga ke Purwokerto (Kyai Muhammad Abdul Malik bin Muhammad Ilyas).

Seiring waktu berjalan beliau dikenal sebagai ulama karismatik, dalam berdakwah beliau adalah seseorang yang sering mengangkat isu-isu nasionalisme serta persatuan. Hingga akhirnya beliau masuk dalam 50 tokoh muslim berpengaruh dunia yang dirilis oleh Pusat Strategi Islam (The Royal Islamik Strategic Studies Centre) di Ammann, Jordania.

Atas keulamaan, nasionalisme dan karismatiknya, membawa Habib Muhammad Luthfi bin Yahya pada tanggal 13 Desember 2019 menjadi dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) yang dilantik langsung oleh Presiden Joko Widodo. Pelantikan ini berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 137/p tahun 2019 tentang pengangkatan Dewan Pertimbangan Presiden.

Oleh Arif Rahman Hakim, Pengurus PWCINU dan LAZIZNU Okinawa - Jepang Tahun 2017.
Artikel ini telah tayang di Pecihitam.org
Read More