TARBIYAH ONLINE

Fiqh

Rabu, 04 Desember 2019

Kenal Ulama: Biografi Syeikh Burhanuddin Al Zarnuji Pengarang Ta’limul Muta’alim

Desember 04, 2019

Tokoh | Di kalangan pondok pesantren, khususnya pesantren tradisional, nama Syekh Burhanuddin al-Zarnuji tidak asing lagi di telinga para santri. Burhanuddin Al-Zarnuji dikenal sebagai tokoh pendidikan Islam. Kitabnya yang berjudul Ta’lim al-Muta’allim, kitab ini sangat terkenal dan merupakan kitab sangat popular yang wajib dipelajari di pesantren-pesantren terutama di Indonesia.

Nama lengkap beliau adalah Burhan al-Din Ibrahim al-Zarnuji al-Hanafi. Nama lain yang disematkan kepadanya adalah Burhan al-Islam dan Burhan al-Din. Nama “al-Zarnuji” dinisbatkan pada nama tempat bernama Zurnuj, sebuah nama daerah yang berada di wilayah Turki. Sementara kata “al-Hanafi” diyakini itu adalah nisbat kepada nama mazhab yang dianutnya, yakni mazhab Hanafi.

Hingga kini belum diketahui secara pasti waktu kelahiran syekh Burhanuddin al-Zarnuji ini. Akan tetapi mengenai wafatannya, setidaknya ada dua pendapat ulama. Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa Burhanuddin al-Zarnuji wafat pada tahun 591 H/1195 M, sedangkan pendapat yang kedua mengatakan bahwa beliau wafat pada tahun 840 H/1243 M, sementara itu ada pula pendapat yang mengatakan bahwa Burhanuddin hidup semasa dengan Rida ad-Din an-Naisaburi yang hidup antara tahun 500-600 H.

Perjalanan kehidupan al-Zarnuji tidak dapat diketahui secara pasti. Meski diyakini beliau hidup pada masa kerajaan Abbasiyah di Baghdad, kapan pastinya masih menjadi perdebatan hingga sekarang. Al-Quraisyi menyebut syekh Burhanuddin al-Zarnuji hidup pada abad ke-13 M. Sementara para orientalis seperti G.E. Von Grunebaun, Theodora M. Abel, Plessner dan J.P. Berkey meyakini bahwa al-Zarnuji hidup dipenghujung abad 12 dan awal abad 13 M.

Syekh Burhanuddin Al-Zarnuji menuntut ilmu di Bukhara dan Samarkand, dua tempat yang disebut-sebut sebagai pusat keilmuan, pengajaran dan sebagainya.

Semasa belajar, al-Zarnuji banyak menimba ilmu banyak guru yang diantaranya;

Syeikh Burhan al-Din, pengarang kitab al-Hidayah.
Khawahir Zadah, seorang mufti di Bukhara.
Hamad bin Ibrahim, seorang yang dikenal sebagai fakih, mutakallim, sekaligus adib.
Fakhr al-Islam al-Hasan bin Mansur al-Auzajandi al-Farghani
Al-Adib al-Mukhtar Rukn al-Din al-Farghani yang dikenal sebagai tokoh fiqih dan sastra.
Juga pada Syeikh Zahir al-Din bin ‘Ali Marghinani, yang dikenal sebagai seorang mufti.

Karya termasyhur al-Zarnuji adalah kitab Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-Ta’allum, sebuah kitab yang bisa dinikmati dan banyak dijadikan rujukan hingga sekarang. Menurut Haji Khalifah, kitab ini merupakan satu-satunya kitab yang dihasilkan oleh Syekh Burhanuddin al-Zarnuji. Meski menurut peneliti yang lain, Ta’lim al-Muta’allim, hanyalah salah satu dari sekian banyak kitab yang ditulis oleh al-Zarnuji.

Seorang orientalis, M. Plessner, berpendapat bahwa kitab Ta’lim al-Muta’allim ialah salah satu karya al-Zarnuji yang masih tersisa. Plessner mengira kuat bahwa al-Zarnuji punya banyak karya lain, tetapi banyak yang hilang, karena serangan tentara Mongol yang dipimpin oleh Hulagu Khan terhadap kota Baghdad pada tahun 1258 M.

Pendapat Plessner ini dikuatkan oleh Muhammad ‘Abd Qadir Ahmad. Menurutnya, ada dua alasan bahwa Burhanuddin al-Zarnuji punya banyak karya tulis, yaitu: Pertama, kapasitas al-Zarnuji sebagai seorang pengajar yang menggeluti bidang ilmunya. Ia menyusun metode pembelajaran yang dikhususkan agar pasa siswa sukses dalam belajarnya. Tidak masuk akal bagi al-Zarnuji, yang pandai dan lama di bidangnya itu, hanya menulis satu buah karya saja.Kedua, ulama-ulama yang hidup semasa al-Zarnuji telah menghasilkan banyak karya. Karena itu, bisa dikatakan mustahil bila syekh al-Zarnuji hanya menulis satu buku saja.


Tentang ada tidaknya karya lain yang dihasilkan al-Zarnuji sebenarnya dilukiskan al-Zarnuji sendiri dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim, yang dalam salah satu bagian potongannya ia mengatakan: “…kala itu guru kami syeikh Imam ‘Ali bin Abi Bakar semoga Allah menyucikan jiwanya yang mulia itu menyuruhku untuk menulis kitab Abu Hanifah sewaktu aku akan pulang ke daerahku, dan aku pun menulisnya…” . Hal ini bisa memberikan gambaran bahwa al-Zarnuji sebenarnya mempunyai karya lain selain kitabnya yang berjudul Ta’lim al-Muta’allim. Namun telepas dari perbedaan pendapat itu, syek Burhanuddin al-Zarnuji merupakan tokoh yang telah memberikan sumbangan berharga bagi perkembangan ilmu agama dan zaman. Wallahua’lam Bisshawab.

Oleh Arif Rahman Hakim, Pengurus PWCINU dan LAZIZNU Okinawa - Jepang Tahun 2017.

Artikel telah tayang di Pecihitam.org
Read More

Senin, 02 Desember 2019

Kenal Ulama: Biografi Imam Abu Dawud, Penyusun Kitab Sunan Abu Dawud

Desember 02, 2019

Tokoh | Imam Abu Dawud, nama lengkapnya adalah Sulaiman bin al-Asy’as bin Ishak bin Basyir bin Syidad bin Amar al-Azdi as-Sijistani. Beliau adalah seorang tokoh ahli bidang hadits, dan pengarang kitab sunan. Beliau dilahirkan tahun 202 H. di daerah bernama Sijistan.

Pengembaraan mencari ilmu

Sejak kecil Abu Dawud sangat mencintai ilmu dan sudah bergaul dengan para ulama untuk menimba ilmunya. Sebelum dewasa, beliau sudah mempersiapkan diri untuk melanglang ke berbagai negeri. Beliau belajar hadits dari para ulama yang ditemuinya di Hijaz, Syam, Mesir, Irak, Jazirah, Sagar, Khurasan dan negeri lainnya. Pengembaraannya ke beberapa negeri itu menunjang beliau untuk mendapatkan hadits sebanyak-banyaknya yang kemudian hadits itu disaring, dan ditulis pada kitab Sunan.

Imam Abu Dawud sudah berulang kali mengunjungi Bagdad. Di sana beliau mengajar ilmu hadits dan fiqih dengan menggunakan kitab sunan. Saat kitab sunannya itu ditunjukkan kepada Imam Ahmad bin Hanbal, sang Imam mengatakan bahwa kitab tersebut sangat bagus. Kemudian kitab tersebut (Sunan Abu Dawud) dianggap sebagai kitab ketiga dari Kutubussittah setelah Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.

Guru-gurunya

Jumlah guru Imam Abu Dawud sangat banyak. Di antara gurunya yang paling menonjol antara lain: Ahmad bin Hanbal, al-Qan’abi, Abu Amar ad-Darir, Abu Daud bin Ibrahim, Abdullah bin raja’, Abdul Walid at-Tayalisi dan lain–lain. Sebagian gurunya juga termasuk guru Imam Bukhari seperti Ahmad bin Hanbal, Usman bin Abu Syaibah dan Qutaibah bin sa’id.

Murid-muridnya

Beberapa murid yang juga meriwayatkan hadits-nya antara lain:

Abu Isa at-Tirmizi.
Abu Abdur Rahman an-Nasa’i.
Putranya sendiri Abu Bakar bin Abu Dawud.
Abu Awana, Abu Sa’id aI-Arabi.
Abu Ali al-Lu’lu’i.
Abu Bakar bin Dassah.
Abu Salim Muhammad bin Sa’id al-Jaldawi dan lain-lain.

Sifat dan akhlak kepribadiannya

Imam Abu Dawud termasuk ulama yang mencapai derajat tinggi dalam beribadah, kesucian diri, kesalihan dan wara’ yang patut diteladani.

Beberapa ulama berkata: “Perilaku,sifat dan kepribadiannya menyerupai dengan Imam Ahmad bin Hanbal. Imam Ahmad menyerupai Waki’; seperti Sufyan asy-Sauri, Sufyan seperti Mansur, Mansur menyerupai Ibrahim an-Nakha’i, Ibrahim menyerupai Alqamah, “Alqamah seperti Ibnu Mas’ud, dan Ibnu Mas’ud seperti Nabi Muhammad SAW.

Kepribadian dan sifat seperti ini menggambarkan kesempurnaan beragama, prilaku dan akhlak Imam Abu Dawud. Beliau mempunyai falsafah tersendiri dalam berpakaian. Salah satu lengan bajunya lebar dan satunya lagi sempit. Jika ada yang bertanya, beliau menjawab: “Lengan yang lebar ini untuk membawa kitab, sedang yang satunya tidak diperlukan. Kalau dia lebar, berarti pemborosan.”

Ulama yang memujinya

Imam Abu Dawud adalah seorang tokoh ahli hadits yang menghafal dan memahami hadits beserta illatnya. Beliau mendapatkan kehormatan dari para ulama, terutama dari gurunya,yaitu Imam Ahmad.

Al-Hafidz Musa bin Harun mengatakan: “Abu Dawud diciptakan di dunia untuk Hadits, dan di akhirat untuk surga. Aku tidak pernah melihat orang yang lebih utama darinya.”

Sahal bin Abdullah at-Tastari, seorang ulama yang alim berkunjung pada Imam Abu Dawud dan berkata: “Saya adalah Sahal, datang untuk mengunjungimu.” Imam Abu Dawud menyambutnya dengan hormat dan mempersilakannya duduk. Lalu Sahal berkata: “Saya ada keperluan.” Imam Abu Dawud bertanya: “Keperluan apa?” Sahal menjawab: “Akan saya katakan, asalkan engkau berjanji memenuhi permintaanku.” Imam Abu Dawud menjawab: “Jika aku mampu pasti kuturuti.” Lalu Sahal berkata: “Julurkanlah lidahmu yang engkau gunakan untuk meriwayatkan hadits dari Rasulullah SAW agar aku dapat menciumnya” Lalu Abu Dawud menjulurkan lidahnya kemudian dicium Sahal.

Ketika Imam Abu Dawud menulis kitab Sunan, Ibrahim al-Harbi, yang juga Ulama hadits, berkata: “Hadits telah dilunakkan bagi Abu Dawud, sebagaimana besi dilunakkan untuk Nabi Dawud.”

Ungkapan itu merupakan perumpamaan bagi keistimewaan seorang ahli hadits. Ia telah mempermudah yang sulit dan mendekatkan yang jauh.

Seorang Ulama ilmu hadits dan fiqih terkenal yang bermazhab Hanbali, Abu Bakar al-Khallal, berkata: “Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’as as-Sijistani merupakan Imam terkemuka pada zamannya, penggali beberapa bidang ilmu dan juga mengetahui tempatnya, serta tak seorang pun di masanya dapat me-nandinginya.”

Abu Bakar al-Asbihani dan Abu Bakar bin Sadaqah sering memuji Abu Dawud, dan mereka memberi pujian yang belum pernah diberikan kepada siapa pun di masanya.

Madzhab yang diikuti Imam Abu Dawud dalam Tabaqatul Fuqaha menggolongkan Abu Dawud sebagai murid Imam Ahmad bin Hanbal. Penilaian ini dikarenakan, Imam Ahmad adalah guru Abu Dawud yang istimewa.Nmaun ada pula yang mengatakan bahwa Imam Abu Dawud bermazhab Syafi’i.

Memuliakan ilmu dan ulama

Dikisahkan oleh Imam al-Khattabi dari Abu Bakar bin Jabir, pembantu Imam Abu Dawud. Ia berkata: “Aku bersama Abu Dawud tinggal di Baghdad. Suatu ketika, saat kami usai melakukan shalat magrib, tiba-tiba pintu rumah diketuk orang, lalu kubuka pintu dan seorang pelayan melaporkan bahwa Amir Abu Ahmad al-Muwaffaq minta ijin untuk masuk. Kemudian aku memberitahu Abu Dawud dan ia pun mengijinkan, lalu Amir duduk.

Abu Dawud bertanya: “Apa yang mendorongmu ke sini?” Amir pun menjawab “Ada tiga kepentingan”. “Kepentingan apa?” Tanya Abu Dawud. Amir mengatakan: “Sebaiknya anda tinggal di Basrah, agar para pelajar dari seluruh dunia belajar kepada anda. Dengan demikian kota Basrah akan makmur lagi. Karena Basrah telah hancur dan ditinggalkan orang akibat tragedi Zenji.”

Abu Dawud berkata: “itu yang pertama, lalu yang kedua?” Amir menjawab: “Hendaknya anda mau mengajarkan Sunan kepada anak-anakku.” “Yang ketiga?” tanya Abu Dawud. “Hendaklah anda membuat majelis tersendiri untuk mengajarkan hadits kepada keluarga khalifah, sebab mereka enggan duduk bersama orang umum.”

Abu Dawud menjawab: “Permintaan ketiga tidak bisa kukabulkan. Karena derajat manusia itu, baik pejabat terhormat ataupun rakyat biasa, dipandang sama dalam menuntut ilmu.” Ibnu Jabir mengatakan: “Sejak saat itu putra-putra khalifah datang menghadiri majelis taklim, duduk bersama rakyat biasa, dengan diberi tirai pemisah”.

Begitulah seharusnya, bukan ulama yang datang kepada raja atau penguasa, namun merekalah yang harus mendatangi ulama. Itulah kesamaan derajat dalam mencari ilmu pengetahuan.

Metodologi Sunan Abu Dawud

Imam Abu Daud menyusun kitabnya di Baghdad. Minat utamanya adalah syariat, sehingga kumpulan hadits-haditsnya berfokus murni pada hadits tentang syariat. Setiap hadits dalam kumpulannya diperiksa kesesuaiannya dengan Al-Qur’an, begitu pula sanadnya. Dia pernah memperlihatkan kitab Sunannya itu kepada Imam Ahmad untuk meminta saran dan koreksi.

Kitab Sunan Abu Dawud diakui oleh mayoritas ulama sebagai salah satu kitab hadits yang paling autentik dan shahih. Namun, diketahui bahwa kitab ini mengandung beberapa hadits lemah (yang sebagian ditandai dan sebagian tidak).

Banyak ulama yang meriwayatkan hadits dari beliau, diantaranya Imam Tirmidzi dan Imam an Nasa’i. Al Khatoby mengomentari bahwa kitab tersebut adalah sebaik-baik tulisan dan isinya lebih banyak memuat fiqih daripada kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.

Ibnul A’raby berkata, barangsiapa yang sudah menguasai Al-Qur’an dan kitab “Sunan Abu Dawud”, maka dia tidak membutuhkan kitab-kitab lain lagi. Imam Ghazali juga mengatakan bahwa kitab “Sunan Abu Dawud” sudah cukup bagi seorang mujtahid untuk dijadikan landasan hukum.

Beliau adalah imam dari para Imam Ahlussunnah wal Jamaah yang hidup di Bashroh, kota berkembangnya kelompok Qadariyah. Demikian pula berkembang disana pemikiran Khowarij, Mu’tazilah, Murji’ah dan Syi’ah Rafidhoh serta Jahmiyah dan lain-lainnya. Tetapi walaupun demikian beliau tetap istiqomah di atas Sunnah dan beliau pun membantah Qadariyah dengan kitabnya Al Qadar.

Demikian pula bantahan beliau atas Khowarij dalam kitabnya Akhbar Al Khawarij, dan juga membantah terhadap pemahaman yang menyimpang dari kemurnian ajaran Islam yang telah disampaikan olah Rasulullah SAW.

Maka tentang hal itu bisa dilihat pada kitabnya As Sunan yang terdapat bantahan-bantahan beliau terhadap Jahmiyah, Murji’ah dan Mu’tazilah.

Beliau lahir sebagai seorang ahli urusan hadits, juga dalam masalah fiqh dan ushul serta masyhur akan kewara’annya dan kezuhudannya. Kefaqihannya terlihat ketika mengkritik sejumlah hadits yang bertalian dengan hukum. Selain itu terlihat dalam penjelasan bab-bab fiqih atas sejumlah karyanya, seperti Sunan Abu Dawud.

Sepanjang sejarah telah muncul para pakar hadits yang berusaha menggali makna hadits dalam berbagai sudut pandang dengan metode pendekatan dan sistem yang berbeda. Sehingga dengan upaya yang sangat berharga itu mereka telah membuka jalan bagi generasi selanjutnya guna memahami hadits Nabi dengan baik dan benar.

Di samping itu, mereka pun telah bersusah payah menghimpun hadits-hadits yang diperselisihkan dan menyelaraskan di antara hadits yang tampak saling menyelisihi. Hal tersebut dilakukan untuk menjaga kewibawaan dari hadits secara umum.

Abu Muhammad bin Qutaibah (wafat 267 H) dengan kitab dia Ta’wil Mukhtalaf al-Hadis telah membantah habis pandangan kaum Mu’tazilah yang mempertentangkan beberapa hadis dengan al-Quran maupun dengan rasio mereka.

Salah satu kitab yang terkenal adalah yang disusun oleh Imam Abu Dawud yaitu sunan Abu Dawud. Kitab ini memuat 4800 hadis terseleksi dari 50.000 hadis.

Sebagai ahli hukum, Imam Abu Dawud pernah berkata: Cukuplah manusia dengan empat hadits, yaitu:
1. Sesungguhnya segala perbuatan itu tergantung niatnya.
2. Termasuk kebagusan Islam seseorang adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat.
3. Tidaklah keadaan seorang mukmin itu menjadi mukmin, hingga ia ridho terhadap saudaranya apa yang ia ridho terhadap dirinya sendiri.
4. Yang halal sudah jelas dan yang harampun sudah jelas pula, sedangkan di antara keduanya adalah syubhat.

Beliau menyusun karya-karya yang bermutu, baik dalam bidang fiqh, ushul, tauhid dan terutama hadits. Kitab sunan dialah yang paling banyak menarik perhatian, dan merupakan salah satu di antara kompilasi hadis hukum yang paling menonjol saat ini.

Tentang kualitasnya ini Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah berkata: Kitab sunannya Abu Dawud Sulaiman bin Asy’ats as-sijistani rahimahullah adalah kitab Islam yang topiknya tersebut Allah telah mengkhususkan dia dengan sunannya. Di dalam banyak pembahasan yang bisa menjadi hukum di antara ahli Islam, maka kepadanya hendaklah para mushannif mengambil hukum.

Kepadanya hendaklah para muhaqqiq merasa ridho, karena sesungguhnya ia telah mengumpulkan sejumlah hadits ahkam, dan menyusunnya dengan sebagus-bagus susunan, serta mengaturnya dengan sebaik-baik aturan bersama dengan kerapnya kehati-hatian sikapnya dengan membuang sejumlah hadis dari para perawi majruhin dan dhu’afa. Semoga Allah melimpahkan rahmat atas mereka dan mem- berikannya pula atas para pelanjutnya.

Karya Imam Abu Dawud

Abu Dawud mempunyai karangan yang banyak, antara lain:

Kitab as-Sunan
Kitab al-Marasil
Kitab al-Qadar
An-Nasikh Wal Mansukh
Fada’ilul A’mal
Kitab az-Zuhud
Dalailun Nubuwah
Ibtida’ul Wahyu
Ahbarul Khawarij

Akhir Hayatnya

Setelah hidup penuh dengan kegiatan ilmu, mengumpulkan dan menyebarluaskan hadits, Imam Abu Dawud wafat di Basrah. Beliau wafat tanggal 16 Syawal 275 H. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat dan ridanya kepada-nya. Imam Abu Dawud meninggalkan seorang putra bernama Abu Bakar Abdullah bin Abu Dawud. Ia adalah seorang Imam hadits dan putra seorang imam hadits pula. Dilahirkan tahun 230 H. dan wafat tahun 316 H.

Oleh Arif Rahman Hakim, Pengurus PWCINU dan LAZIZNU Okinawa - Jepang Tahun 2017

Artikel ini telah tayang di Pecihitam.org
Read More

Minggu, 01 Desember 2019

Kenal Ulama: Biografi Imam Muslim, Penyusun Kitab Hadis Shahih Muslim

Desember 01, 2019

Tokoh Ulama | Imam Muslim merupakan seorang ulama hadits yang sangat terkenal. Nama lengkap beliau adalah Abul Hasan Muslim bin Hajjaj bin Muslim bin Warad bin Kausyaz Al Qusyairi An Naisaburi Asy Syafi’i. Al Qusyairi di sini merupakan nisbah terhadap nasab (silsilah keturunan) dan An Naisaburi merupakan nisbah terhadap tempat kelahiran beliau, yaitu kota Naisabur, bagian dari Persia yang sekarang manjadi bagian dari negara Rusia. Tentang Al Qusyairi, seorang pakar sejarah, ‘Izzuddin Ibnu Atsir, dalam kitab Al Lubab Fi Tahzibil Ansab berkata: “Al Qusyairi adalah nisbah terhadap keturunan Qusyair bin Ka’ab bin Rabi’ah bin ‘Amir bin Sha’sha’ah, yang merupakan sebuah kabilah besar.

Kelahiran sang Imam

Para ahli sejarah Islam banyak yang berpendapat mengenai waktu lahir dan wafat Imam Muslim, bahwa beliau dilahirkan pada tahun 206 H dan wafat pada tahun 261 H di Naisabur, sehingga usia beliau pada saat wafat adalah 55 tahun. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Abu Abdillah Al Hakim An Naisaburi dalam kitab Ulama Al Amshar, juga disetujui An Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim.

Melanglang Buana Mencari Ilmu

Imam Muslim di usianya yang masih sangat muda sudah menekuni ilmu hadits. Adz Dzahabi seorang pakar hadits dan sejarah, dalam kitab Siyar ‘Alamin Nubala menuturkan bahwa Imam Muslim mulai belajar hadits sejak tahun 218 H. Berarti usia beliau ketika itu adalah 12 tahun. Beliau melanglang buana ke beberapa Negara dalam rangka menuntut ilmu hadits dari mulai Irak, kemudian ke Hijaz, Syam, Mesir dan negara lainnya. Dalam Tahdzibut Tahdzib dipaparkan bahwa beliau banyak mendapatkan ilmu tentang hadits dari 10 orang gurunya yaitu:

Abu Bakar bin Abi Syaibah, beliau belajar 1540 hadits.
Abu Khaitsamah Zuhair bin Harab, beliau belajar 1281 hadits.
Muhammad Ibnul Mutsanna yang dijuluki Az Zaman, beliau belajar 772 hadits.
Qutaibah bin Sa’id, beliau belajar 668 hadits.
Muhammad bin Abdillah bin Numair, beliau belajar 573 hadits.
Abu Kuraib Muhammad Ibnul ‘Ila, beliau belajar 556 hadits.
Muhammad bin Basyar Al Muqallab yang dijuluki Bundaar, beliau belajar 460 hadits.
Muhammad bin Raafi’ An Naisaburi, beliau belajar 362 hadits.
Muhammad bin Hatim Al Muqallab yang dijuluki As Samin, beliau belajar 300 hadits.
‘Ali bin Hajar As Sa’di, beliau belajar 188 hadits.

Sembilan dari sepuluh nama guru Imam Muslim tersebut, juga merupakan guru Imam Al Bukhari dalam mengambil hadits, kecuali Muhammad bin Hatim tidak termasuk. Perlu diketahui, Imam Muslim pun sempat berguru ilmu hadits kepada Imam Bukhari. Ibnu Shalah dalam kitab Ulumul Hadits berkata: “Imam Muslim memang belajar pada Imam Bukhari dan banyak mendapatkan faedah ilmu darinya.

Hubungan Antara Al Bukhari dan Muslim

Imam Bukhari merupakan salah satu guru dari Imam Muslim yang paling terkemuka. Dari Al Bukhari, beliau mendapatkan banyak pengetahuan tentang ilmu hadits serta metodologi dalam menganalisa keshahihan hadits. Al Hafidz Abu Bakar Al Khatib Al Baghdadi dalam kitabnya Tarikh Al Baghdadi mengatakan: “Muslim telah mengikuti jejak Al Bukhari, mengembangkan ilmunya dan mengikuti metodologinya. Ketika Al Bukhari datang ke Naisabur di masa akhir hidupnya. Muslim belajar dengan intens kepadanya dan selalu bersamanya”.

Hubungan antara keduanya dijelaskan oleh Al Hafidz Ibnu Hajar dalam Syarah Nukhbatul Fikr, beliau berkata: “Para ulama bersepakat bahwa Al Bukhari lebih utama dari Muslim, dan Al Bukhari lebih dikenal kemampuannya dalam pembelaan hadits. Muslim banyak mengambil ilmu dari Al Bukhari dan mengikuti jejaknya.”

Kemudian apa yang sebab Imam Muslim tidak meriwayatkan hadits dari Imam Bukhari? Sehingga dalam Shahih Muslim tidak ada hadits yang sanadnya dimulai dengan “ ‘An Al Bukhari. Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad hafizhahullah, menuturkan: “Walau Imam Muslim merupakan murid dari Imam Al Bukhari dan Imam Muslim mendapatkan banyak ilmu darinya, Imam Muslim tidak meriwayatkan satu pun hadits dari Imam Al Bukhari. Wallahuta’ala A’lam, ini dikarenakan oleh dua hal:

Imam Muslim menginginkan sanad yang lebih pendek. Beliau memiliki banyak guru yang sama dengan guru Imam Al Bukhari. Jika Imam Muslim meriwayatkan dari Al Bukhari, maka sanad akan bertambah panjang karena bertambah satu orang rawi yaitu (Al Bukhari). Imam Muslim menginginkan uluwul isnad dan sanad yang dekat jalurnya dengan Rasulullah SAW sehingga beliau meriwayatkan langsung dari guru-gurunya yang juga menjadi guru Imam Al Bukhari
Imam Muslim merasa prihatin dengan banyak tercampurnya hadits-hadits lemah dengan hadits-hadits shahih. Maka beliau pun mengerahkan daya upaya untuk memisahkan hadits shahih dengan yang lain, sebagaimana beliau utarakan di Muqaddimah kitab Shahih Muslim. Sehingga hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhari telah dianggap cukup dan tidak perlu diulang lagi. Karena Al Bukhari juga sangat perhatian dalam mengumpulkan hadits-hadits shahih dengan ketelitian yang tajam dan pengecekan yang berulang-ulang”

Murid

Sebagaimana di jelaskan dalam kitab Tahdzibut Tahdzib. Diantara murid-murid beliau adalah:

Abu Hatim Ar Razi
Abul Fadhl Ahmad bin Salamah
Ibrahim bin Abi Thalib
Abu ‘Amr Al Khoffaf
Husain bin Muhammad Al Qabani
Abu ‘Amr Ahmad Ibnul Mubarak Al Mustamli
Al Hafidz Shalih bin Muhammad
‘Ali bin Hasan Al Hilali
Muhammad bin Abdil Wahhab Al Faraa’
Ali Ibnul Husain Ibnul Junaid
Ibnu Khuzaimah, dll.

Selain itu, sebagian ulama memasukkan Abu ‘Isa Muhammad At Tirmidzi dalam jajaran murid Imam Muslim, karena terdapat sebuah hadits dalam Sunan At Tirmidzi:

حدثنا مسلم بن حجاج حدثنا يحي بن يحي حدثنا أبو معاوية عن محمد بن عمرو عن أبي سلمة عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:” أحصوا هلال شعبان لرمضان

Muslim bin Hajjaj mengatakan kepada kami: Yahya bin Yahya menuturkan kepada kami: Abu Mu’awiyah menuturkan kepada kami: Dari Muhammad bin ‘Amr: Dari Abu Salamah: Dari Abu Hurairah Radhiallahu’anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Untuk menentukan datangnya Ramadhan, hitunglah hilal bulan Sya’ban”.

Dalam hadits tersebut nampak bahwa At Tirmidzi meriwayatkan dari Imam Muslim. Terdapat penjelasan Al Iraqi dalam Tuhfatul Ahwadzi Bi Syarhi Jami’ At Tirmidzi: “At Tirmidzi tidak pernah meriwayatkan hadits dari Muslim kecuali hadits ini. Karena mereka berdua memiliki guru-guru yang sama sebagian besarnya”.

Karya Kitab

Imam An Nawawi menerangkan dalam kitab Tahdzibul Asma Wal Lughat bahwa Imam Muslim memiliki banyak karya tulis, yang diantaranya:

Kitab Shahih Muslim (sudah dicetak)
Kitab Al Musnad Al Kabir ‘Ala Asma Ar Rijal
Kitab Jami’ Al Kabir ‘Ala Al Abwab
Kitab Al ‘Ilal
Kitab Auhamul Muhadditsin
Kitab At Tamyiz (sudah dicetak)
Kitab Man Laisa Lahu Illa Rawin Wahidin
Kitab Thabaqat At Tabi’in (sudah dicetak)
Kitab Al Muhadramain.

Kemudian Adz Dzahabi juga menambahkan, dalam kita Tahdzibut Tahdzib bahwa Imam Muslim juga memiliki karya tulis lain seperti:

Kitab Al Asma Wal Kuna (sudah dicetak)
Kitab Al Afrad
Kitab Al Aqran
Kitab Sualaat Ahmad bin Hambal
Kitab Hadits ‘Amr bin Syu’aib
Kitab Al Intifa’ bi Uhubis Siba’
Kitab Masyaikh Malik
Kitab Masyaikh Ats Tsauri
Kitab Masyaikh Syu’bah
Kitab Aulad Ash Shahabah
Kitab Afrad Asy Syamiyyin

Seorang Pedagang dan Petani

Imam Muslim termasuk diantara para ulama yang menghidupi diri dengan berdagang. Beliau adalah seorang pedagang pakaian yang sukses. Meski demikian, beliau tetap dikenal sebagai sosok yang dermawan. Beliau juga memiliki sawah-sawah di daerah Ustu yang menjadi sumber penghasilan keduanya. Tentang mata pencaharian beliau diceritakan oleh Al Hakim dalam Siyar ‘Alamin Nubala: “Tempat Imam Muslim berdagang adalah Khan Mahmasy. Dan mata pencahariannya beliau di dapat dari usahanya di Ustu”.

Dalam Tahdzibut Tahdzib hal ini pula diceritakan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab Al Farra: “Muslim Ibnul Hajjaj adalah salah satu ulama besar dan ia adalah seorang pedagang pakaian”. Dalam kitab Al ‘Ubar fi Khabar min Ghabar terdapat penjelasan: “Imam Muslim adalah seorang pedagang. Dan ia terkenal sebagai dermawan di Naisabur. Ia memiliki banyak budak dan harta”.

Karakter Fisik dan Perawakan

Ada beberapa riwayat yang menceritakan karakter fisik dan perawakan Imam Muslim. Dalam Siyar ‘Alamin Nubala terdapat riwayat dari Abu Abdirrahman As Salami, ia berkata: “Aku melihat seorang syaikh yang tampan wajahnya. Ia memakai rida yang bagus. Ia memakai imamah yang dijulurkan di kedua pundaknya. Lalu ada orang yang mengatakan: ‘Ini Muslim’ ”. Juga diceritakan dari Siyar ‘Alamin Nubala bahwa Al Hakim mendengar ayahnya berkata: “Aku pernah melihat Muslim Ibnul Hajjaj sedang bercakap-cakap di Khan Mahmasy. Ia memiliki perawakan yang sempurna dan kepalanya putih. Janggutnya memanjang ke bawah di sisi imamah-nya yang terjulur di kedua pundaknya”.

Aqidah

Imam Muslim adalah ulama besar yang menganut aqidah ahlussunnah, sepertihalnya aqidah generasi salafus shalih. Aqidah beliau ini nampak pada beberapa hal:

Perkataan Imam Muslim di muqaddimah Shahih Muslim: “Ketahuilah wahai pembaca, semoga Allah memberi anda taufik, wajib bagi setiap orang untuk membedakan hadits shahih dengan hadits yang lemah. Juga wajib tahu tingkat kejujuran rawi, yang sebagian dari mereka diragukan kredibilitasnya. Tidak boleh mengambil riwayat kecuali dari orang yang diketahui bagus kredibilitasnya dan hafalannya. Serta patut untuk berhati-hati dari orang-orang yang buruk kredibilitasnya, yang berasal dari tokoh kesesatan dan ahli bid’ah”.

Diceritakan pula di dalam Syiar ‘Alamin Nubala bahwa Al Makki berkata: “Aku bertanya kepada Muslim tentang Ali bin Ju’d. Muslim berkata: ‘Ia tsiqah, namun ia berpemahaman Jahmiyyah’”. Hal ini menunjukkan Imam Muslim sangat membenci paham sesat dan bid’ah semisal paham Jahmiyyah, serta tidak mengambil riwayat dari tokoh-tokohnya. Dan demikianlah aqidah ahlussunnah.

Imam Muslim memulai kitab Shahih Muslim dengan Bab Iman, dan dalam bab tersebut beliau memasukkan hadits-hadits yang menetapkan aqidah Ahlussunnah pada banyak permasalahan, seperti hadits-hadits yang membantah Qadariyyah, Murji’ah, Khawarij, Jahmiyyah, dan semacam mereka, beliau juga ber-hujjah dengan hadits ahad, terdapat juga bab khusus yang berisi hadits-hadits tentang takdir.

Judul-judul bab pada Shahih Muslim seluruhnya sejalan dengan manhaj Ahlussunnah
Abu Utsman Ash Shabuni dalam kitabnya, I’tiqad Ahlissunnah Wa Ash-habil Hadits halaman 121 – 123, yaitu diakhir-akhir kitabnya, beliau menyebutkan nama-nama imam Ahlussunnah Wal Jama’ah dan beliau menyebutkan di antaranya Imam Muslim Ibnul Hajjaj.
Al ‘Allamah Muhammad As Safarini dalam kitab Lawami’ul Anwaril Bahiyyah Wa Sawati’ul Asrar Al Atsariyyah ketika menyebutkan nama-nama para ulama ahlussunnah ia menyebutkan: “…Muslim, Abu Dawud, ….”. Kemudian beliau berkata: “dan yang lainnya.
Lebih menegaskan beberapa bukti diatas, bahwa Imam Muslim adalah hasil didikan dari para ulama Ahlussunnah seperti Imam Ahmad, Ishaq bin Rahawaih, Imam Al Bukhari, Abu Zur’ah, dan yang lainnya.

Mazhab Fiqih

Jika kita memperhatikan nama-nama kitab yang ditulis oleh Imam Muslim, hampir semuanya membahas seputar ilmu hadits dan cabang-cabangnya. Hal ini juga ditemukan pada kebanyakan ulama ahli hadits yang lain di zaman tersebut. Kita semua tahu bahwa beliau dan para ulama hadits di zamannya juga sekaligus merupakan ulama besar dalam bidang fiqih, sebagaimana Al Bukhari dan Imam Ahmad.

Dan jika kita memperhatikan kitab Shahih Muslim, bagaimana metode Imam Muslim membela hadits, bagaimana penyusunan urutan pembahasan yang beliau buat, memberikan isyarat bahwa beliau pun seorang ahli fiqih yang memahami perselisihan fiqih diantara para ulama. Oleh karena itulah Al Hafidz Ibnu Hajar dalam kitab At Taqrib mengatakan: “Muslim bin Hajjaj adalah ahli fiqih”.

Namun ada beberapa keterangan tentang mazhab fiqih Imam Muslim. Di antaranya sebagaimana diutarakan Haji Khalifah dalam kitab Kasyfuz Zhunun ketika menyebut nama: “Muslim Ibnul Hajjah Al Qusyairi An Naisaburi Asy Syafi’i”. Shiddiq Hasan Khan juga mengamini hal tersebut dalam kitabnya Al Hithah. Ini menunjukkan bahwa Imam Muslim merupakan ulama ber-mazdhab Syafii.

Sanjungan Para Ulama

Kedudukan Imam Muslim diantara pada ulama Islam tergambar dari banyaknya pujian yang dilontarkan kepada beliau. Sanjunganan datang dari guru-gurunya, orang-orang terdekatnya, murid-muridnya juga para ulama yang hidup sesudahnya. Dalam Tarikh Dimasyqi, diceritakan bahwa Muhammad bin Basyar, salah satu guru Imam Muslim, berkata: “Ada empat orang yang hafalan hadits-nya paling hebat di dunia ini: Abu Zur’ah dari Ray, Muslim Ibnul Hajjaj dari Naisabur, Abdullah bin Abdirrahman Ad Darimi dari Samarkand, dan Muhammad bin Ismail dari Bukhara”.

Ahmad bin Salamah dalam Tarikh Baghdad berkata: “Aku melihat Abu Zur’ah dan Abu Hatim Ar Razi mengutamakan pendapat Muslim dalam mengenali keshahihan hadits dibanding para masyaikh lain di masa mereka hidup”. Diceritakan dalam Tarikh Dimasyqi, Ishaq bin Mansur Al Kausaz berkata kepada Imam Muslim: “Kami tidak akan kehilangan kebaikan selama Allah masih menghidupkan engkau di kalangan muslimin”.

Dalam Tadzkiratul Huffadz, Adz Dzahabi juga memuji Imam Muslim dengan sebutan: “Muslim Ibnul Hajjaj Al Imam Al Hafidz Hujjatul Islam”. Imam An Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim berkata: “Para ulama sepakat tentang keagungan Imam Muslim, keimamannya, peran besarnya dalam ilmu hadits, kepandaiannya dalam menyusun kitab, keutamaannya dan kekuatan hujjah-nya”.

Akhir Hayat

Diceritakan oleh Ibnu Shalah dalam kitab Shiyanatu Muslim bahwa wafatnya Imam Muslim disebabkan hal yang tidak biasa, yaitu dikarenakan kelelahan pikiran dalam menelaah ilmu. Kemudian disebutkan kisah wafatnya dari riwayat Ahmad bin Salamah: “Abul Husain Muslim ketika itu mengadakan majelis untuk mengulang hafalan hadits. Lalu disebutkan kepadanya sebuah hadits yang ia tidak ketahui. Maka beliau pun pergi menuju rumahnya dan langsung menyalakan lampu. Beliau berkata pada orang yang berada di dalam rumah: ‘Sungguh, jangan biarkan orang masuk ke rumah ini’. Kemudian ada yang berkata kepadanya: ‘Maukah engkau kami hadiahkan sekeranjang kurma?’.

Beliau menjawab: ‘(Ya) Berikan kurma-kurma itu kepadaku’. Kurma pun diberikan. Saat itu ia sedang mencari sebuah hadits. Beliau pun mengambil kurma satu persatu lalu mengunyahnya. Pagi pun datang dan kurma telah habis, dan beliau menemukan hadits yang dicari”.

Al Hakim mengatakan bahwa terdapat tambahan tsiqah pada riwayat ini yaitu: “Sejak itu Imam Muslim sakit kemudian wafat”. Riwayat ini terdapat pada kitab Tarikh Baghdadi, Tarikh Dimasyqi, dan Tahdzibul Kamal. Beliau wafat pada waktu di hari Ahad, dan dimakamkan pada hari Senin, 25 Rajab 261 H.

Semoga Allah senantiasa merahmati beliau. Namanya begitu harum mewangi hingga hari ini, sungguh ini merupakan buah dari perjuangan berat nan mulia. Semoga Allah menerima amal beliau yang mulia dan membalasnya dengan yang lebih baik di hari dimana tidak ada pertolongan kecuali pertolongan Allah. Amiin Yarabbal’alamin

Oleh Arif Rahman Hakim, Pengurus PWCINU dan LAZIZNU Okinawa - Jepang Tahun 2017
Artikel ini telah tayang di Pecihitam.org
Read More

Sabtu, 30 November 2019

Kisah Waliyullah: Imam Ja'far Shadiq, Karamah dan Hikmahnya

November 30, 2019

Kisah | Membaca Kisah Kisah Waliyullah sangat di anjurkan karena memiliki manfaat yang luar biasa bagi kita dalam menjalani kehidupan. banyak hal yang bisa kita contoh dari mereka baik dalam hal ibadah, mu’amalah dan mu’asyarah (pergaulan). Kita mulai dengan kisah seorang Ahlul bait Nabi SAW yang mulia, yakni Sayyidina Ja’far Shadiq r.a

Imam Ja’far Shadiq, Karomah dan Kalam Hikmahnya

Lahir di Madinah 17 Rabi’ul Awal tahun 83 H. Beliau merupakan keturunan Rasulullah SAW melalui jalur Sayyidina ‘Ali dan Sayyidatina Fathimah anak perempuan Nabi SAW. Nama beliau adalah Ja’far bin Muhammad bin ‘Ali Zainal ‘Abidin bin Saydina Husein bin Sayyidina ‘Ali suami dari Siti Fathimah binti Sayyidina Muhammad Rasulullah SAW.

Kun-yah atau panggilannya adalah Abu ‘Abdillah. Beliau memiliki banyak gelar/laqab, antara lain yang paling masyhur As-Shaadiq. Di gelari demikian karena kejujuran dan kebenaran yang ada padanya, baik pada tutur katanya, hadits-hadits yang diriwayatkannya beserta perilaku dan perbuatannya yang mencerminkan kebenaran dan keta’atan.

Imam Ja’far Shadiq meninggal di Madinah pada tahun 148 H dan dimaqamkan di Baqi’ berdekatan dengan maqam ayah, kakek, dan datuknya (Semoga Allah Meridhai Mereka semua).

Karamah

Ketika kita membaca setiap kisah waliyullah, tentulah tidak terlepas dari karomah atau kemuliaan yang Allah Berikan kepada mereka. Demikian pula halnya dengan Sayyidina Ja’far Shadiq, beliau memiliki banyak karomah (kemuliaan), diantara lain sebagai berikut :

Beliau adalah seorang tokoh shufi yang tinggi Ma’rifatnya dan memiliki ilmu sangat luas, mujtahid fiqih, bersifat wara’ dan sifat terpuji lainnya.

Memiliki ribuan murid dari golongan ulama-ulama tersohor seperti Abu Hanifah (Pendiri mazhab Hanafi), Imam Malik bin anas (pendiri mazhab Maliki), Sufyan At-tsauri salah seorang tokoh sufi ternama, Daud At-Tha-I juga tokoh sufi ternama, Dan banyak lagi lainnya.

Imam Ja’far Shadiq pernah berkata “Hadits-hadits yang aku riwayatkan adalah dari bapakku, bapakku meriwayatkannya dari kakekku, setiap hadits dari kakekku adalah dari ‘Ali bin Abi Thalib dan hadits-hadits dari Amirul Mukminin adalah dari Rasulullah SAW, dan Hadits-hadits Rasulullah adalah Allah ‘Azza wa Jalla”

Dalam kitab Tazkiratul Auliya karya Syeikh Fariduddin ‘Athar terdapat satu kisah: Pada Suatu malam khalifah Al-Manshur yang berkuasa pada saat itu hendak mencelakai Imam Ja’far Shadiq. Ia berkata kepada salah seorang menterinya: “carilah Ja’far dan bawa kehadapan ku!”, lalu sang mentri menjawab:
“Wahai amirul mukminin, beliau adalah seorang yang suka menyendiri dari manusia dan lebih memilih beribadah kepada Allah SWT, ia tidak pernah bermaksud mengincar kepemimpinan anda”. Namun sang khalifah tetap bersikeras dengan tujuannya, yakni membunuh Imam Ja’far Shadiq. Sang mentri pun mencari Imam Ja’far dan memohon agar kiranya dapat memenuhi undangan khalifah tuk datang kerumahnya.

Singkat cerita, akhirnya sang khalifah pun tidak jadi membunuhnya karena ketika Imam Ja’far masuk kerumahnya, khalifah melihat ada seekor ular yang sangat besar yang ikut masuk bersama beliau dan seolah olah hendak melahap rumah beserta seluruh isinya. Sang khalifah menjadi takut dan gemetar lalu memberi isyarah kepada prajuritnya untuk membiarkan Imam Ja’far kembali pulang ke kediamannya dengan selamat.

Sayyidina Ja’far Shadiq orang yang maqbul doanya. Dalam kitab Shafatusshafwah karya Imam Jamaluddin bin Al-Jauzi, terdapat satu riwayat dari Al-Laits bin sa’ad ia bercerita: pada tahun 113 H aku mendatangi mekkah untuk melaksanakan ibadah haji.

Pada suatu hari setelah melaksanakan shalat ‘ashar aku naik ke puncak jabal Abi Qubais. Tiba tiba aku melihat ada seseorang yang sedang duduk bersimpuh sambil berdoa:
“Ya Allah Ya Allah, Wahai Tuhan, Ya Hayyu Ya Qayyum, Ya Rahim, Ya Arhamaraahimin, Ya Allah aku ingin sekali makan buah anggur segar, ku mohon berilah!, dan pakaian ku sudah sangat lusuh…!”.

Al-Laits melanjutkan kisahnya: Demi Allah, sebelum doanya habis, tiba-tiba aku melihat satu keranjang dipenuhi dengan anggur segar padahal saat itu bukanlah musim anggur. Dan aku juga melihat dua helai pakaian yang sangat indah.

Kalam Hikmah

Setiap membaca Kisah Waliyullah, tak lengkap rasanya bila tidak mengetahui kalam-kalam hikmah mereka. Ada banyak kalam hikmah beliau, diantaranya :

  • Barangsiapa yang tidak murka terhadap kekerasan, maka ia tidak mensyukuri nikmat.
  • Setiap maksiat yang berawal dari rasa takut dan akhirnya keozoran (keberatan), maka maksiat seperti itu dapat membawaki si hamba mendekat kepada Allah. Sedangkan segala keta’atan yang awalnya rasa aman dan akhirnya timbul ‘ujub akan dapat menjauhkan si hamba dari Allah. Karena sesungguhnya orang yang ta’at disertai sifat ‘ujub adalah ahli maksiat, sedangkan Orang yang Maksiat disertai dengan keozoran (keberatan/halangan) adalah Ahli Ta’at.
  • Ibadah tidak akan sah melainkan dengan Taubat, karena Allah Ta’ala mendahulukan taubat diatas ibadah dalam firmannya: {التَّائِبُونَ الْعَابِدُونَ}
  • Al-‘isyq adalah merupakan Gila Ilahi/Ketuhanan (Gila kepada Tuhan), ia tidaklah dihukum lagi tidak tercela.
  • Mukmin adalah orang yang berdiri ia bersama dirinya sedangkan ‘Arif adalah orang yang berdiri bersama (ridha) Allah.
  • Allah Ta’ala memiliki syurga dan neraka di dunia ini. Adapun Syurga di dunia adalah Kesejahteraan sedangkan Neraka di dunia adalah Bala/Musibah. kesejahteraan adalah menyerahkan sepenuhnya setiap urusan kepada Allah, sedangkan Bala adalah ketiadaan berserah diri kepada-Nya.
  • Orang Fakir yang Sabar lebih utama ketimbang Orang Kaya yang Syukur. Karena hati orang fakir sibuk dengan mengingat Allah, sedangkan hati orang kaya sibuk dengan harta.

Demikian tulisan yang sangat ringkas tentang Kisah Sayyidina Ja’far Shadiq r.a, semoga kita termasuk dalam golongan orang-orang yang mencintai Nabi SAW beserta seluruh ahlul baitnya dan sekalian Wali-wali Allah di atas permukaan bumi. Mudah-mudahan Kisah Waliyullah ini dapat bermanfaat buat kita semua, amiin ! Wallaahua’lambisshawab!

Oleh Muhammad Haekal, Alumni Ponpes Moderen Babun Najah Banda Aceh juga Santri di Dayah Raudhatul Hikmah Al-Waliyyah, Banda Aceh.
Artikel ini juga telah tayang di Pecihitam.org
Read More

Rabu, 06 November 2019

Siapa Sangka, Ternyata Dialah Orang Pertama Kali Merayakan Maulid Nabi Saw

November 06, 2019

Tarbiyah.onlineHampir setiap tahun di bulan Rabiul Awal atau yang lebih sering disebut Bulan Maulid, komunitas anti Maulid Nabi nyiyir di media sosial. Mereka mengklaim Peringatan Maulid tidak pernah dilakukan oleh Nabi dan sahabat. Padahal jika mereka memahami dalil, justru orang pertama yang merayakan maulid adalah Nabi sendiri.

Orang anti Maulid Nabi akan marah besar ketika ada kalimat “Yang pertama kali merayakan Maulid adalah Nabi sendiri”. Mereka langsung secara otomatis teriak ‘bid'ah, ghuluw, sesat dan semacam kecaman nista sejenis.

Padahal jika mereka mau membaca tidak hanya dari satu refrensi dan mau fair belajar, tidak taklid buta pada ustadz-ustadz yang memang tidak suka Maulid, maka mereka akan menemukan banyak dalil tentang kebaikan yang ada dalam peringatan Maulid Nabi.

Lalu apa yang menjadi dasar bahwa Nabi sendirilah orang pertama yang memperingati hari kelahirannya itu?

Mari pahami dengan hati yang sehat sabda Nabi berikut. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dikatakan bahwa Rasulullah SAW mensyukuri hari kelahirannya dengan berpuasa.

عَنْ أَبِي قَتَادَتَ اْلاَنْصَارِيِّ اَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ صَوْمِ الْاِثْنَيْنِ فَقَالَ فِيْهِ ولُدِتْ ُوَفِيْهِ أُنْزِلَ عَلَيَّ

“Diriwayatkan dari Abu Qatadah al-Anshari RA bahwa Rasulullah pernah ditanya tentang puasa senin, maka beliau menjawab:” Pada hari itulah aku dilahirkan dan wahyu diturunkan kepadaku.” (HR. Muslim).

Nah, Nabi saja bahagia dan mensyukuri hari kelahirannya dengan melakukan puasa serta menganjurkan ummatnya untuk berpuasa pada Hari Senin yang merupakan hari kelahirannya. Bagaimana mungkin kita sebagai ummatnya yang dicintai oleh beliau tidak mensyukuri hari kelahirannya?

Lebih dari itu, kita ummat Islam diperintahkan untuk mensyukuri dan menyambut bahagia setiap anugerah dan kasih sayang Allah kepada kita, sebagaimana firman-Nya

قُلْ بِفَضْلِ اللهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَالِكَ فَلْيَفْرَحُوْا

"Katakanlah (Muhammad), sebab anugerah dan rahmat Allah (kepada kalian), maka hendaknya mereka bergembira". (QS.Yunus ayat 58).

Sementara kita tahu bahwa kelahiran Nabi Muhammad merupakan fadlah atau anugerah Allah terbesar. Sebagaimana disebutkan dalam syair

يا هنانا بمحمد # ذلك الفضل من الله

"Betapa beruntungnya kami dengan lahirnya Nabi Muhammad".
"Dia (Muhammad) merupakan anugerah dari Allah."

Dan Nabi Muhammad SAW pun merupakan rahmat atau kasih sayang Allah terbesar, bahkan bukan hanya untuk manusia, melainkan untuk seluruh alam. Bukankah Allah SWT berfirman

وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِيْنَ

"Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam". (QS. Al-Anbiya’ ayat 107)

Maka karena Nabi sendiri yang telah pertama kali mulai merayakan Maulid, maka sudah sepatutnya kita sebagai ummatnya lebih semangat merayakannya. Karena hakikat dari peringatan Maulid Nabi adalah bentuk sukur atas lahirnya Nabi Muhammad SAW.

Sebagaimana hal ini dianjurkan sendiri oleh Rasulullah dalam hadis yang diriwayatkan Ibnu Asakir dan sanadnya dinilai shahih oleh pakar hadis, Imam Adz-Dzahabi.

مَنْ عَظَمَ مَوْلِدِيْ كُنْتُ شَفِيْعًا لَهُ يَوْمَ اْلِقيَامَةِ

"Barangsiapa menghormati hari lahirku, tentu aku akan memberikan syafa’at kepadanya dihari Kiamat."

Bahkan Umar bin Khattahab menilai orang yang memperingati Maulid Nabi sebagai orang yang menghidupkan syiar Islam. Ini dapat dilihat dalam Madarij as-Su’ud Syarh Al-Barzanji halaman 16.

وَقَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ مَنْ عَظَمَ مَوْلِدِ النَّبِي صَلًّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَدْ اَحْيَا الْاِسْلَامَ

"Umar mengatakan: Barangsiapa menghormati hari lahir Rasulullah, maka sungguh ia telah menghidupkan syiar Islam."

Maka dengan sederet penjelasan di atas, tidak ada alasan lagi bagi kita untuk meninggalkan apalagi menolak Peringatan Maulid. Lagi pula seperti yang dikatakan Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki, “Peringatan Maulid Nabi tidak butuh pada dalil yang shahih, tapi ia hanya butuh pada hati yang sehat”.

Ini sindiran keras bagi mereka yang mengaku berjalan di atas sunnah, tapi mengingkari agungnya peringatan kelahiran Nabi. Bukankah cinta Nabi pada kita tanpa syarat, lalu mengapa kita ummatnya masih perlu alasan untuk mencintainya? Begitukah cara kita membalas cinta?

Oleh Usatdz Faisol Abdurrahman, Alumni dan Staff Pengajar di Pondok Pesantren Raudlatul Ulum Al-Khaliliyah. Artikel ini juga tayang di Pecihitam.org
Read More

Senin, 04 November 2019

Perayaan Maulid Lebih dari Sekedar Mengenal Nama dan Nasab Nabi Saw

November 04, 2019

Tarbiyah.onlineApa hikmah dari memperingati perayaan maulid Nabi Muhammad SAW? apakah hanya sekedar makan-makan? Adakah hal lain yang perlu diperhatikan?

Kelahiran Baginda Rasulullah SAW adalah merupakan suatu nikmat besar lagi sangat berharga. Karena dengan lahirnya Pemuda Arab yang suci lagi mulia ini, kita dapat mengenal Allah melalui perantaraan beliau SAW.

Oleh karena inilah kita ummat Islam sedunia walaupun tidak semuanya, membuat perayaan Maulid Nabi SAW, sebagai bentuk rasa syukur kita terhadap nikmat yang agung tersebut.

Namun yang sangat disayangkan adalah, jika kita perhatikan perkembangan ummat muslim sekarang ini dalam memperingati maulid Nabi, kebanyakan hanya sekedar menyanjung-nyanjung nama Rasulullah SAW, menyebut nasab keturunannya , bercerita kisah-kisah perjalanan hidupnya dan menyampaikan ajaran yang dibawanya.

Hanya sekedar itu saja, sangat kurang yang mengamalkan ajaran yang dibawanya secara komplit

Yang dimaksud dengan kata-kata “secara komplit”, adalah sebagaimana Firman Allah SWT yang tersebut didalam  Al-Quran:

قَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ

“Sungguh Allah Telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata”. (QS. Ali Imran: 164)

Cobalah kita perhatikan dengan seksama ayat tersebut diatas. Maka dapat disimpulkan bahwa hikmah diutusnya Rasul tersebut adalah untuk menyampaikan tiga perkara kepada orang-orang quraisy dan kita semua, tiga perkara itu adalah :

1. Tentang keberadaan Allah/tanda-tanda keberadaan-Nya. Inilah yang dimaksud dengan Tauhid atau aqidah.

2. Tazkiyah (penyucian jiwa), yakni membersihkan nafsu dari segala macam sifat tercela dan dari syirik khafi (halus/tersembunyi) yang bersarang didalam bathin. tazkiyah Inilah yang disebut dengan tasawwuf dan kesufian.

3. Mengajarkan Kitab (hukum syari’at) dan hikmah atau kebijakan dalam mejalanai kehidupan didunia yang fana ini.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa, perayaan maulid Nabi tersebut bukan hanya sebatas mengetahui nama dan nasab keturunan, sejarah kelahiran dan kehidupan beliau saja. Akan tetapi Maulid Nabi itu dirayakan untuk memahami dan mengikuti ajaran-ajaran yang dibawa oleh Nabi SAW.

Memahami ajaran-ajaran tersebut dengan pemahaman yang benar, untuk kemudian mengamalkannya dengan baik. Jadi bukanlah hanya sekedar membangga-banggakan Sosoknya saja, tanpa mengikuti ajaran yang dibawanya.

Ibrahim bin Adham, seorang tokoh ulama shufi, Waliyullah terkenal. Beliau pernah ditanya oleh murid-muridnya perihal ayat yang berarti “Berdoalah kepada-Ku niscaya akan Kuterima”. muridnya berkata:

“Wahai guru, Kami senantiasa berdoa kepada Allah, akan tetapi sampai saat ini doa kami tersebut belum terwujudkan, belum diterima. Lalu bagaimana ayat tersebut dapat terbukti wahai guru? apa maksud ayat itu sebenarnya? dan apa kesalahan kami sehingga sampai saat ini doa kami belum  juga diterima Allah SWT?”

Sang guru, Ibrahim bin Adham pun menjawab beberapa hal yang menjadi pencegah diterimanya doa seorang hamba oleh Allah. Salah satunya adalah “Kalian membangga-banggakan Nabi Muhammad, kalian kagum padanya, bahkan kalian siap berperang bila namanya direndahkan, tetapi sayangnya kalian tidak mau mengikuti sunnah dan ajaran-ajarannya. inilah penyebab doa kalian tidak diterima” kata beliau.

Makanya Allah SWT menghikayahkan didalam Al-Quran ucapan Nabi Ibrahim as. Nabi Ibrahim berkata:

فَمَنْ تَبِعَنِي فَإِنَّهُ مِنِّي

“…maka barangsiapa yang mengikutiku, maka sesungguhnya orang itu termasuk golonganku”. (QS. Ibrahim: 36)

Pertama sekali yang kita pahami dari ayat ini adalah siapa yang mengikut maka dia termasuk golongan ku, dan yang kedua merupakan kebalikan dari itu, yakni siapa yang tidak mengikutiku maka bukanlah dari golonganku.

Maka oleh karena itu, ketika Nabi Nuh as berkata kepada Allah tentang putranya yang durhaka:
فَقَالَ رَبِّ إِنَّ ابْنِي مِنْ أَهْلِي

“…maka ia (Nuh) berkata : Ya Tuhanku, Sesungguhnya anakku termasuk keluargaku” (QS. Hud: 45)

Kemudian Allah SWT pun menjawab kegelisahan Nabi  Nuh, pada ayat selanjutnya Allah SWT Berfirman:

قَالَ يَا نُوحُ إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ ۖ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ

“Allah Berfirman: Wahai Nuh, sesungguhnya dia bukan termasuk keluargamu, sesungguhnya (perbuatan)nya tidak baik”. (QS. Hud: 46)

Padahal anak itu adalah anak kandung Nabi Nuh as, Nabi Nuh sendiri yang mengakui itu. Ketika beliau berkata demikian kepada Allah. Namun Allah menjawab bahwa bukanlah ia termasuk dalam golongan Nabi Nuh, karena ia memiliki amalan yang buruk, tidak mengikuti ajaran-ajaran yang dibawa oleh Nabi Nuh as. Meskipun ia (Kan’an) berasal dari darah dagingnya sendiri, anak kandungnya.

Makanya jika dalam masalah agama, bukanlah masalah hubungan darah semata. Akan tetapi masalah ikut atau tidak.

Sebagaimana pada contoh lainnya, yaitu salah seorang sahabat Nabi yang mulia, Salman al-Farisi. Beliau bukanlah dari keluarga Nabi Muhammad SAW, tidak ada hubungan nasab, bahkan tidak berasal dari Mekkah. Tetapi Nabi SAW pernah berkata tentang sosoknya.

Rasulullah SAW bersabda: “Salman Farisi adalah keluargaku”. Ini dikarenakan Salman al-Farisi mengikuti ajaran-ajaran Nabi SAW (Mutaba’ah). Oleh karena ini, dalam agama bukan masalah hubungan darah, tetapi masalah mutaba’ah.

Jadi silahkan saja bila kita ingin membuat kenduri maulid, tetapi inti yang dimaksud dari perayaan maulid Nabi itu adalah sebagaimana yang telah disebutkan diatas. Bukan hanya sebatas mengundang orang untuk datang dan makan bersama, lantas ajaran-ajaran Nabi SAW yang kita rayakan hari kelahirannya itu tidak kita ikuti/amalkan.

Yang perlu kita tekankan disini adalah tazkiyah (penyucian jiwa) yang ada pada surat Ali Imran ayat 164 pada awal pembahasan tadi. Ini sudah sangat kurang pembahasannya dikalangan pemuda-pemudi Islam saat ini. Apalagi dalam hal pengamalannya, sungguh jauh panggang dari api.

Kita dituntut untuk berakhlak mulia, menghilangkan ananiyah/ keakuan, dan untuk bersuhbah (berhubungan baik) dengan Allah dan semua makhluk-Nya. Dan ini semua tidak dapat kita lakukan melainkan dengan bimbingan seorang Mursyid (guru rohani). Begitulah penjelasan dari seluruh ahli sufi terdahulu yang bisa kita baca dalam berbagai kitab-kitab tashawwuf/kesufian.

Bukan hanya dengan membaca-baca saja kitab tasawuf, kemudian kita menjadi sufi, tidaklah demikian. Kesufian (tazkiyah) ini butuh kepada riyadhah lahir dan batin dibawah bimbingan seorang Mursyid yang Kamil.

Demikianlah, semoga kita dapat memetik pelajaran berharga dari tulisan ini untuk kemudian menjadi bahan renungan kedepannya, bagaiman caranya agar perayaan maulid Nabi SAW tidaklah hanya sekedar makan-makan, mengetahui nasab Nabi SAW, tempat tanggal lahir, tempat wafatnya dan kisah hidupnya.

Akan tetapi kita juga harus tahu dan mengamalkan Syariat dan Thariqatnya/hadap hatinya dan akhlak prilakunya.

Allah SWT Berfirman:

فَالَّذِينَ آمَنُوا بِهِ وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ وَاتَّبَعُوا النُّورَ الَّذِي أُنْزِلَ مَعَهُ ۙ أُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“…Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS. Al-A’raf: 157)

Bahkan lebih dari itu, dalam ayat diatas barusan kita juga dituntut untuk mencintai, memperjuangkan dan membela ajaran-ajarannya, tentunya dengan segala kemampuan yang kita miliki walaupun nyawa sebagai taruhannya.

Jika tidak demikian, maka sungguh perayaan maulid tersebut hanya sebatas perayaan, sedikit sekali manfaatnya atau bahkan na’uzubillah!, tidak bermanfaat sama sekali. Wallahua’lambisshawab!

[Disarikan dari ceramah khutbah Jum’at di Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh tanggal 1 November 2019, yang disampaikan oleh Abu. H Syukri Daud Pango, Pimpinan Dayah (Ponpes) Raudhatul Hikmah Al-Waliyyah]

Oleh Teungku Muhammad Haekal, S.Pd.I Pengajar at Pesantren Tradisional Dayah Raudhatul. Artikel ini juga tayang di Pecihitam.org

Read More