TARBIYAH ONLINE

Fiqh

Minggu, 01 Desember 2019

Kenal Ulama: Biografi Imam Muslim, Penyusun Kitab Hadis Shahih Muslim

Desember 01, 2019

Tokoh Ulama | Imam Muslim merupakan seorang ulama hadits yang sangat terkenal. Nama lengkap beliau adalah Abul Hasan Muslim bin Hajjaj bin Muslim bin Warad bin Kausyaz Al Qusyairi An Naisaburi Asy Syafi’i. Al Qusyairi di sini merupakan nisbah terhadap nasab (silsilah keturunan) dan An Naisaburi merupakan nisbah terhadap tempat kelahiran beliau, yaitu kota Naisabur, bagian dari Persia yang sekarang manjadi bagian dari negara Rusia. Tentang Al Qusyairi, seorang pakar sejarah, ‘Izzuddin Ibnu Atsir, dalam kitab Al Lubab Fi Tahzibil Ansab berkata: “Al Qusyairi adalah nisbah terhadap keturunan Qusyair bin Ka’ab bin Rabi’ah bin ‘Amir bin Sha’sha’ah, yang merupakan sebuah kabilah besar.

Kelahiran sang Imam

Para ahli sejarah Islam banyak yang berpendapat mengenai waktu lahir dan wafat Imam Muslim, bahwa beliau dilahirkan pada tahun 206 H dan wafat pada tahun 261 H di Naisabur, sehingga usia beliau pada saat wafat adalah 55 tahun. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Abu Abdillah Al Hakim An Naisaburi dalam kitab Ulama Al Amshar, juga disetujui An Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim.

Melanglang Buana Mencari Ilmu

Imam Muslim di usianya yang masih sangat muda sudah menekuni ilmu hadits. Adz Dzahabi seorang pakar hadits dan sejarah, dalam kitab Siyar ‘Alamin Nubala menuturkan bahwa Imam Muslim mulai belajar hadits sejak tahun 218 H. Berarti usia beliau ketika itu adalah 12 tahun. Beliau melanglang buana ke beberapa Negara dalam rangka menuntut ilmu hadits dari mulai Irak, kemudian ke Hijaz, Syam, Mesir dan negara lainnya. Dalam Tahdzibut Tahdzib dipaparkan bahwa beliau banyak mendapatkan ilmu tentang hadits dari 10 orang gurunya yaitu:

Abu Bakar bin Abi Syaibah, beliau belajar 1540 hadits.
Abu Khaitsamah Zuhair bin Harab, beliau belajar 1281 hadits.
Muhammad Ibnul Mutsanna yang dijuluki Az Zaman, beliau belajar 772 hadits.
Qutaibah bin Sa’id, beliau belajar 668 hadits.
Muhammad bin Abdillah bin Numair, beliau belajar 573 hadits.
Abu Kuraib Muhammad Ibnul ‘Ila, beliau belajar 556 hadits.
Muhammad bin Basyar Al Muqallab yang dijuluki Bundaar, beliau belajar 460 hadits.
Muhammad bin Raafi’ An Naisaburi, beliau belajar 362 hadits.
Muhammad bin Hatim Al Muqallab yang dijuluki As Samin, beliau belajar 300 hadits.
‘Ali bin Hajar As Sa’di, beliau belajar 188 hadits.

Sembilan dari sepuluh nama guru Imam Muslim tersebut, juga merupakan guru Imam Al Bukhari dalam mengambil hadits, kecuali Muhammad bin Hatim tidak termasuk. Perlu diketahui, Imam Muslim pun sempat berguru ilmu hadits kepada Imam Bukhari. Ibnu Shalah dalam kitab Ulumul Hadits berkata: “Imam Muslim memang belajar pada Imam Bukhari dan banyak mendapatkan faedah ilmu darinya.

Hubungan Antara Al Bukhari dan Muslim

Imam Bukhari merupakan salah satu guru dari Imam Muslim yang paling terkemuka. Dari Al Bukhari, beliau mendapatkan banyak pengetahuan tentang ilmu hadits serta metodologi dalam menganalisa keshahihan hadits. Al Hafidz Abu Bakar Al Khatib Al Baghdadi dalam kitabnya Tarikh Al Baghdadi mengatakan: “Muslim telah mengikuti jejak Al Bukhari, mengembangkan ilmunya dan mengikuti metodologinya. Ketika Al Bukhari datang ke Naisabur di masa akhir hidupnya. Muslim belajar dengan intens kepadanya dan selalu bersamanya”.

Hubungan antara keduanya dijelaskan oleh Al Hafidz Ibnu Hajar dalam Syarah Nukhbatul Fikr, beliau berkata: “Para ulama bersepakat bahwa Al Bukhari lebih utama dari Muslim, dan Al Bukhari lebih dikenal kemampuannya dalam pembelaan hadits. Muslim banyak mengambil ilmu dari Al Bukhari dan mengikuti jejaknya.”

Kemudian apa yang sebab Imam Muslim tidak meriwayatkan hadits dari Imam Bukhari? Sehingga dalam Shahih Muslim tidak ada hadits yang sanadnya dimulai dengan “ ‘An Al Bukhari. Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad hafizhahullah, menuturkan: “Walau Imam Muslim merupakan murid dari Imam Al Bukhari dan Imam Muslim mendapatkan banyak ilmu darinya, Imam Muslim tidak meriwayatkan satu pun hadits dari Imam Al Bukhari. Wallahuta’ala A’lam, ini dikarenakan oleh dua hal:

Imam Muslim menginginkan sanad yang lebih pendek. Beliau memiliki banyak guru yang sama dengan guru Imam Al Bukhari. Jika Imam Muslim meriwayatkan dari Al Bukhari, maka sanad akan bertambah panjang karena bertambah satu orang rawi yaitu (Al Bukhari). Imam Muslim menginginkan uluwul isnad dan sanad yang dekat jalurnya dengan Rasulullah SAW sehingga beliau meriwayatkan langsung dari guru-gurunya yang juga menjadi guru Imam Al Bukhari
Imam Muslim merasa prihatin dengan banyak tercampurnya hadits-hadits lemah dengan hadits-hadits shahih. Maka beliau pun mengerahkan daya upaya untuk memisahkan hadits shahih dengan yang lain, sebagaimana beliau utarakan di Muqaddimah kitab Shahih Muslim. Sehingga hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhari telah dianggap cukup dan tidak perlu diulang lagi. Karena Al Bukhari juga sangat perhatian dalam mengumpulkan hadits-hadits shahih dengan ketelitian yang tajam dan pengecekan yang berulang-ulang”

Murid

Sebagaimana di jelaskan dalam kitab Tahdzibut Tahdzib. Diantara murid-murid beliau adalah:

Abu Hatim Ar Razi
Abul Fadhl Ahmad bin Salamah
Ibrahim bin Abi Thalib
Abu ‘Amr Al Khoffaf
Husain bin Muhammad Al Qabani
Abu ‘Amr Ahmad Ibnul Mubarak Al Mustamli
Al Hafidz Shalih bin Muhammad
‘Ali bin Hasan Al Hilali
Muhammad bin Abdil Wahhab Al Faraa’
Ali Ibnul Husain Ibnul Junaid
Ibnu Khuzaimah, dll.

Selain itu, sebagian ulama memasukkan Abu ‘Isa Muhammad At Tirmidzi dalam jajaran murid Imam Muslim, karena terdapat sebuah hadits dalam Sunan At Tirmidzi:

حدثنا مسلم بن حجاج حدثنا يحي بن يحي حدثنا أبو معاوية عن محمد بن عمرو عن أبي سلمة عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:” أحصوا هلال شعبان لرمضان

Muslim bin Hajjaj mengatakan kepada kami: Yahya bin Yahya menuturkan kepada kami: Abu Mu’awiyah menuturkan kepada kami: Dari Muhammad bin ‘Amr: Dari Abu Salamah: Dari Abu Hurairah Radhiallahu’anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Untuk menentukan datangnya Ramadhan, hitunglah hilal bulan Sya’ban”.

Dalam hadits tersebut nampak bahwa At Tirmidzi meriwayatkan dari Imam Muslim. Terdapat penjelasan Al Iraqi dalam Tuhfatul Ahwadzi Bi Syarhi Jami’ At Tirmidzi: “At Tirmidzi tidak pernah meriwayatkan hadits dari Muslim kecuali hadits ini. Karena mereka berdua memiliki guru-guru yang sama sebagian besarnya”.

Karya Kitab

Imam An Nawawi menerangkan dalam kitab Tahdzibul Asma Wal Lughat bahwa Imam Muslim memiliki banyak karya tulis, yang diantaranya:

Kitab Shahih Muslim (sudah dicetak)
Kitab Al Musnad Al Kabir ‘Ala Asma Ar Rijal
Kitab Jami’ Al Kabir ‘Ala Al Abwab
Kitab Al ‘Ilal
Kitab Auhamul Muhadditsin
Kitab At Tamyiz (sudah dicetak)
Kitab Man Laisa Lahu Illa Rawin Wahidin
Kitab Thabaqat At Tabi’in (sudah dicetak)
Kitab Al Muhadramain.

Kemudian Adz Dzahabi juga menambahkan, dalam kita Tahdzibut Tahdzib bahwa Imam Muslim juga memiliki karya tulis lain seperti:

Kitab Al Asma Wal Kuna (sudah dicetak)
Kitab Al Afrad
Kitab Al Aqran
Kitab Sualaat Ahmad bin Hambal
Kitab Hadits ‘Amr bin Syu’aib
Kitab Al Intifa’ bi Uhubis Siba’
Kitab Masyaikh Malik
Kitab Masyaikh Ats Tsauri
Kitab Masyaikh Syu’bah
Kitab Aulad Ash Shahabah
Kitab Afrad Asy Syamiyyin

Seorang Pedagang dan Petani

Imam Muslim termasuk diantara para ulama yang menghidupi diri dengan berdagang. Beliau adalah seorang pedagang pakaian yang sukses. Meski demikian, beliau tetap dikenal sebagai sosok yang dermawan. Beliau juga memiliki sawah-sawah di daerah Ustu yang menjadi sumber penghasilan keduanya. Tentang mata pencaharian beliau diceritakan oleh Al Hakim dalam Siyar ‘Alamin Nubala: “Tempat Imam Muslim berdagang adalah Khan Mahmasy. Dan mata pencahariannya beliau di dapat dari usahanya di Ustu”.

Dalam Tahdzibut Tahdzib hal ini pula diceritakan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab Al Farra: “Muslim Ibnul Hajjaj adalah salah satu ulama besar dan ia adalah seorang pedagang pakaian”. Dalam kitab Al ‘Ubar fi Khabar min Ghabar terdapat penjelasan: “Imam Muslim adalah seorang pedagang. Dan ia terkenal sebagai dermawan di Naisabur. Ia memiliki banyak budak dan harta”.

Karakter Fisik dan Perawakan

Ada beberapa riwayat yang menceritakan karakter fisik dan perawakan Imam Muslim. Dalam Siyar ‘Alamin Nubala terdapat riwayat dari Abu Abdirrahman As Salami, ia berkata: “Aku melihat seorang syaikh yang tampan wajahnya. Ia memakai rida yang bagus. Ia memakai imamah yang dijulurkan di kedua pundaknya. Lalu ada orang yang mengatakan: ‘Ini Muslim’ ”. Juga diceritakan dari Siyar ‘Alamin Nubala bahwa Al Hakim mendengar ayahnya berkata: “Aku pernah melihat Muslim Ibnul Hajjaj sedang bercakap-cakap di Khan Mahmasy. Ia memiliki perawakan yang sempurna dan kepalanya putih. Janggutnya memanjang ke bawah di sisi imamah-nya yang terjulur di kedua pundaknya”.

Aqidah

Imam Muslim adalah ulama besar yang menganut aqidah ahlussunnah, sepertihalnya aqidah generasi salafus shalih. Aqidah beliau ini nampak pada beberapa hal:

Perkataan Imam Muslim di muqaddimah Shahih Muslim: “Ketahuilah wahai pembaca, semoga Allah memberi anda taufik, wajib bagi setiap orang untuk membedakan hadits shahih dengan hadits yang lemah. Juga wajib tahu tingkat kejujuran rawi, yang sebagian dari mereka diragukan kredibilitasnya. Tidak boleh mengambil riwayat kecuali dari orang yang diketahui bagus kredibilitasnya dan hafalannya. Serta patut untuk berhati-hati dari orang-orang yang buruk kredibilitasnya, yang berasal dari tokoh kesesatan dan ahli bid’ah”.

Diceritakan pula di dalam Syiar ‘Alamin Nubala bahwa Al Makki berkata: “Aku bertanya kepada Muslim tentang Ali bin Ju’d. Muslim berkata: ‘Ia tsiqah, namun ia berpemahaman Jahmiyyah’”. Hal ini menunjukkan Imam Muslim sangat membenci paham sesat dan bid’ah semisal paham Jahmiyyah, serta tidak mengambil riwayat dari tokoh-tokohnya. Dan demikianlah aqidah ahlussunnah.

Imam Muslim memulai kitab Shahih Muslim dengan Bab Iman, dan dalam bab tersebut beliau memasukkan hadits-hadits yang menetapkan aqidah Ahlussunnah pada banyak permasalahan, seperti hadits-hadits yang membantah Qadariyyah, Murji’ah, Khawarij, Jahmiyyah, dan semacam mereka, beliau juga ber-hujjah dengan hadits ahad, terdapat juga bab khusus yang berisi hadits-hadits tentang takdir.

Judul-judul bab pada Shahih Muslim seluruhnya sejalan dengan manhaj Ahlussunnah
Abu Utsman Ash Shabuni dalam kitabnya, I’tiqad Ahlissunnah Wa Ash-habil Hadits halaman 121 – 123, yaitu diakhir-akhir kitabnya, beliau menyebutkan nama-nama imam Ahlussunnah Wal Jama’ah dan beliau menyebutkan di antaranya Imam Muslim Ibnul Hajjaj.
Al ‘Allamah Muhammad As Safarini dalam kitab Lawami’ul Anwaril Bahiyyah Wa Sawati’ul Asrar Al Atsariyyah ketika menyebutkan nama-nama para ulama ahlussunnah ia menyebutkan: “…Muslim, Abu Dawud, ….”. Kemudian beliau berkata: “dan yang lainnya.
Lebih menegaskan beberapa bukti diatas, bahwa Imam Muslim adalah hasil didikan dari para ulama Ahlussunnah seperti Imam Ahmad, Ishaq bin Rahawaih, Imam Al Bukhari, Abu Zur’ah, dan yang lainnya.

Mazhab Fiqih

Jika kita memperhatikan nama-nama kitab yang ditulis oleh Imam Muslim, hampir semuanya membahas seputar ilmu hadits dan cabang-cabangnya. Hal ini juga ditemukan pada kebanyakan ulama ahli hadits yang lain di zaman tersebut. Kita semua tahu bahwa beliau dan para ulama hadits di zamannya juga sekaligus merupakan ulama besar dalam bidang fiqih, sebagaimana Al Bukhari dan Imam Ahmad.

Dan jika kita memperhatikan kitab Shahih Muslim, bagaimana metode Imam Muslim membela hadits, bagaimana penyusunan urutan pembahasan yang beliau buat, memberikan isyarat bahwa beliau pun seorang ahli fiqih yang memahami perselisihan fiqih diantara para ulama. Oleh karena itulah Al Hafidz Ibnu Hajar dalam kitab At Taqrib mengatakan: “Muslim bin Hajjaj adalah ahli fiqih”.

Namun ada beberapa keterangan tentang mazhab fiqih Imam Muslim. Di antaranya sebagaimana diutarakan Haji Khalifah dalam kitab Kasyfuz Zhunun ketika menyebut nama: “Muslim Ibnul Hajjah Al Qusyairi An Naisaburi Asy Syafi’i”. Shiddiq Hasan Khan juga mengamini hal tersebut dalam kitabnya Al Hithah. Ini menunjukkan bahwa Imam Muslim merupakan ulama ber-mazdhab Syafii.

Sanjungan Para Ulama

Kedudukan Imam Muslim diantara pada ulama Islam tergambar dari banyaknya pujian yang dilontarkan kepada beliau. Sanjunganan datang dari guru-gurunya, orang-orang terdekatnya, murid-muridnya juga para ulama yang hidup sesudahnya. Dalam Tarikh Dimasyqi, diceritakan bahwa Muhammad bin Basyar, salah satu guru Imam Muslim, berkata: “Ada empat orang yang hafalan hadits-nya paling hebat di dunia ini: Abu Zur’ah dari Ray, Muslim Ibnul Hajjaj dari Naisabur, Abdullah bin Abdirrahman Ad Darimi dari Samarkand, dan Muhammad bin Ismail dari Bukhara”.

Ahmad bin Salamah dalam Tarikh Baghdad berkata: “Aku melihat Abu Zur’ah dan Abu Hatim Ar Razi mengutamakan pendapat Muslim dalam mengenali keshahihan hadits dibanding para masyaikh lain di masa mereka hidup”. Diceritakan dalam Tarikh Dimasyqi, Ishaq bin Mansur Al Kausaz berkata kepada Imam Muslim: “Kami tidak akan kehilangan kebaikan selama Allah masih menghidupkan engkau di kalangan muslimin”.

Dalam Tadzkiratul Huffadz, Adz Dzahabi juga memuji Imam Muslim dengan sebutan: “Muslim Ibnul Hajjaj Al Imam Al Hafidz Hujjatul Islam”. Imam An Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim berkata: “Para ulama sepakat tentang keagungan Imam Muslim, keimamannya, peran besarnya dalam ilmu hadits, kepandaiannya dalam menyusun kitab, keutamaannya dan kekuatan hujjah-nya”.

Akhir Hayat

Diceritakan oleh Ibnu Shalah dalam kitab Shiyanatu Muslim bahwa wafatnya Imam Muslim disebabkan hal yang tidak biasa, yaitu dikarenakan kelelahan pikiran dalam menelaah ilmu. Kemudian disebutkan kisah wafatnya dari riwayat Ahmad bin Salamah: “Abul Husain Muslim ketika itu mengadakan majelis untuk mengulang hafalan hadits. Lalu disebutkan kepadanya sebuah hadits yang ia tidak ketahui. Maka beliau pun pergi menuju rumahnya dan langsung menyalakan lampu. Beliau berkata pada orang yang berada di dalam rumah: ‘Sungguh, jangan biarkan orang masuk ke rumah ini’. Kemudian ada yang berkata kepadanya: ‘Maukah engkau kami hadiahkan sekeranjang kurma?’.

Beliau menjawab: ‘(Ya) Berikan kurma-kurma itu kepadaku’. Kurma pun diberikan. Saat itu ia sedang mencari sebuah hadits. Beliau pun mengambil kurma satu persatu lalu mengunyahnya. Pagi pun datang dan kurma telah habis, dan beliau menemukan hadits yang dicari”.

Al Hakim mengatakan bahwa terdapat tambahan tsiqah pada riwayat ini yaitu: “Sejak itu Imam Muslim sakit kemudian wafat”. Riwayat ini terdapat pada kitab Tarikh Baghdadi, Tarikh Dimasyqi, dan Tahdzibul Kamal. Beliau wafat pada waktu di hari Ahad, dan dimakamkan pada hari Senin, 25 Rajab 261 H.

Semoga Allah senantiasa merahmati beliau. Namanya begitu harum mewangi hingga hari ini, sungguh ini merupakan buah dari perjuangan berat nan mulia. Semoga Allah menerima amal beliau yang mulia dan membalasnya dengan yang lebih baik di hari dimana tidak ada pertolongan kecuali pertolongan Allah. Amiin Yarabbal’alamin

Oleh Arif Rahman Hakim, Pengurus PWCINU dan LAZIZNU Okinawa - Jepang Tahun 2017
Artikel ini telah tayang di Pecihitam.org
Read More

Sabtu, 30 November 2019

Kisah Waliyullah: Imam Ja'far Shadiq, Karamah dan Hikmahnya

November 30, 2019

Kisah | Membaca Kisah Kisah Waliyullah sangat di anjurkan karena memiliki manfaat yang luar biasa bagi kita dalam menjalani kehidupan. banyak hal yang bisa kita contoh dari mereka baik dalam hal ibadah, mu’amalah dan mu’asyarah (pergaulan). Kita mulai dengan kisah seorang Ahlul bait Nabi SAW yang mulia, yakni Sayyidina Ja’far Shadiq r.a

Imam Ja’far Shadiq, Karomah dan Kalam Hikmahnya

Lahir di Madinah 17 Rabi’ul Awal tahun 83 H. Beliau merupakan keturunan Rasulullah SAW melalui jalur Sayyidina ‘Ali dan Sayyidatina Fathimah anak perempuan Nabi SAW. Nama beliau adalah Ja’far bin Muhammad bin ‘Ali Zainal ‘Abidin bin Saydina Husein bin Sayyidina ‘Ali suami dari Siti Fathimah binti Sayyidina Muhammad Rasulullah SAW.

Kun-yah atau panggilannya adalah Abu ‘Abdillah. Beliau memiliki banyak gelar/laqab, antara lain yang paling masyhur As-Shaadiq. Di gelari demikian karena kejujuran dan kebenaran yang ada padanya, baik pada tutur katanya, hadits-hadits yang diriwayatkannya beserta perilaku dan perbuatannya yang mencerminkan kebenaran dan keta’atan.

Imam Ja’far Shadiq meninggal di Madinah pada tahun 148 H dan dimaqamkan di Baqi’ berdekatan dengan maqam ayah, kakek, dan datuknya (Semoga Allah Meridhai Mereka semua).

Karamah

Ketika kita membaca setiap kisah waliyullah, tentulah tidak terlepas dari karomah atau kemuliaan yang Allah Berikan kepada mereka. Demikian pula halnya dengan Sayyidina Ja’far Shadiq, beliau memiliki banyak karomah (kemuliaan), diantara lain sebagai berikut :

Beliau adalah seorang tokoh shufi yang tinggi Ma’rifatnya dan memiliki ilmu sangat luas, mujtahid fiqih, bersifat wara’ dan sifat terpuji lainnya.

Memiliki ribuan murid dari golongan ulama-ulama tersohor seperti Abu Hanifah (Pendiri mazhab Hanafi), Imam Malik bin anas (pendiri mazhab Maliki), Sufyan At-tsauri salah seorang tokoh sufi ternama, Daud At-Tha-I juga tokoh sufi ternama, Dan banyak lagi lainnya.

Imam Ja’far Shadiq pernah berkata “Hadits-hadits yang aku riwayatkan adalah dari bapakku, bapakku meriwayatkannya dari kakekku, setiap hadits dari kakekku adalah dari ‘Ali bin Abi Thalib dan hadits-hadits dari Amirul Mukminin adalah dari Rasulullah SAW, dan Hadits-hadits Rasulullah adalah Allah ‘Azza wa Jalla”

Dalam kitab Tazkiratul Auliya karya Syeikh Fariduddin ‘Athar terdapat satu kisah: Pada Suatu malam khalifah Al-Manshur yang berkuasa pada saat itu hendak mencelakai Imam Ja’far Shadiq. Ia berkata kepada salah seorang menterinya: “carilah Ja’far dan bawa kehadapan ku!”, lalu sang mentri menjawab:
“Wahai amirul mukminin, beliau adalah seorang yang suka menyendiri dari manusia dan lebih memilih beribadah kepada Allah SWT, ia tidak pernah bermaksud mengincar kepemimpinan anda”. Namun sang khalifah tetap bersikeras dengan tujuannya, yakni membunuh Imam Ja’far Shadiq. Sang mentri pun mencari Imam Ja’far dan memohon agar kiranya dapat memenuhi undangan khalifah tuk datang kerumahnya.

Singkat cerita, akhirnya sang khalifah pun tidak jadi membunuhnya karena ketika Imam Ja’far masuk kerumahnya, khalifah melihat ada seekor ular yang sangat besar yang ikut masuk bersama beliau dan seolah olah hendak melahap rumah beserta seluruh isinya. Sang khalifah menjadi takut dan gemetar lalu memberi isyarah kepada prajuritnya untuk membiarkan Imam Ja’far kembali pulang ke kediamannya dengan selamat.

Sayyidina Ja’far Shadiq orang yang maqbul doanya. Dalam kitab Shafatusshafwah karya Imam Jamaluddin bin Al-Jauzi, terdapat satu riwayat dari Al-Laits bin sa’ad ia bercerita: pada tahun 113 H aku mendatangi mekkah untuk melaksanakan ibadah haji.

Pada suatu hari setelah melaksanakan shalat ‘ashar aku naik ke puncak jabal Abi Qubais. Tiba tiba aku melihat ada seseorang yang sedang duduk bersimpuh sambil berdoa:
“Ya Allah Ya Allah, Wahai Tuhan, Ya Hayyu Ya Qayyum, Ya Rahim, Ya Arhamaraahimin, Ya Allah aku ingin sekali makan buah anggur segar, ku mohon berilah!, dan pakaian ku sudah sangat lusuh…!”.

Al-Laits melanjutkan kisahnya: Demi Allah, sebelum doanya habis, tiba-tiba aku melihat satu keranjang dipenuhi dengan anggur segar padahal saat itu bukanlah musim anggur. Dan aku juga melihat dua helai pakaian yang sangat indah.

Kalam Hikmah

Setiap membaca Kisah Waliyullah, tak lengkap rasanya bila tidak mengetahui kalam-kalam hikmah mereka. Ada banyak kalam hikmah beliau, diantaranya :

  • Barangsiapa yang tidak murka terhadap kekerasan, maka ia tidak mensyukuri nikmat.
  • Setiap maksiat yang berawal dari rasa takut dan akhirnya keozoran (keberatan), maka maksiat seperti itu dapat membawaki si hamba mendekat kepada Allah. Sedangkan segala keta’atan yang awalnya rasa aman dan akhirnya timbul ‘ujub akan dapat menjauhkan si hamba dari Allah. Karena sesungguhnya orang yang ta’at disertai sifat ‘ujub adalah ahli maksiat, sedangkan Orang yang Maksiat disertai dengan keozoran (keberatan/halangan) adalah Ahli Ta’at.
  • Ibadah tidak akan sah melainkan dengan Taubat, karena Allah Ta’ala mendahulukan taubat diatas ibadah dalam firmannya: {التَّائِبُونَ الْعَابِدُونَ}
  • Al-‘isyq adalah merupakan Gila Ilahi/Ketuhanan (Gila kepada Tuhan), ia tidaklah dihukum lagi tidak tercela.
  • Mukmin adalah orang yang berdiri ia bersama dirinya sedangkan ‘Arif adalah orang yang berdiri bersama (ridha) Allah.
  • Allah Ta’ala memiliki syurga dan neraka di dunia ini. Adapun Syurga di dunia adalah Kesejahteraan sedangkan Neraka di dunia adalah Bala/Musibah. kesejahteraan adalah menyerahkan sepenuhnya setiap urusan kepada Allah, sedangkan Bala adalah ketiadaan berserah diri kepada-Nya.
  • Orang Fakir yang Sabar lebih utama ketimbang Orang Kaya yang Syukur. Karena hati orang fakir sibuk dengan mengingat Allah, sedangkan hati orang kaya sibuk dengan harta.

Demikian tulisan yang sangat ringkas tentang Kisah Sayyidina Ja’far Shadiq r.a, semoga kita termasuk dalam golongan orang-orang yang mencintai Nabi SAW beserta seluruh ahlul baitnya dan sekalian Wali-wali Allah di atas permukaan bumi. Mudah-mudahan Kisah Waliyullah ini dapat bermanfaat buat kita semua, amiin ! Wallaahua’lambisshawab!

Oleh Muhammad Haekal, Alumni Ponpes Moderen Babun Najah Banda Aceh juga Santri di Dayah Raudhatul Hikmah Al-Waliyyah, Banda Aceh.
Artikel ini juga telah tayang di Pecihitam.org
Read More

Rabu, 06 November 2019

Siapa Sangka, Ternyata Dialah Orang Pertama Kali Merayakan Maulid Nabi Saw

November 06, 2019

Tarbiyah.onlineHampir setiap tahun di bulan Rabiul Awal atau yang lebih sering disebut Bulan Maulid, komunitas anti Maulid Nabi nyiyir di media sosial. Mereka mengklaim Peringatan Maulid tidak pernah dilakukan oleh Nabi dan sahabat. Padahal jika mereka memahami dalil, justru orang pertama yang merayakan maulid adalah Nabi sendiri.

Orang anti Maulid Nabi akan marah besar ketika ada kalimat “Yang pertama kali merayakan Maulid adalah Nabi sendiri”. Mereka langsung secara otomatis teriak ‘bid'ah, ghuluw, sesat dan semacam kecaman nista sejenis.

Padahal jika mereka mau membaca tidak hanya dari satu refrensi dan mau fair belajar, tidak taklid buta pada ustadz-ustadz yang memang tidak suka Maulid, maka mereka akan menemukan banyak dalil tentang kebaikan yang ada dalam peringatan Maulid Nabi.

Lalu apa yang menjadi dasar bahwa Nabi sendirilah orang pertama yang memperingati hari kelahirannya itu?

Mari pahami dengan hati yang sehat sabda Nabi berikut. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dikatakan bahwa Rasulullah SAW mensyukuri hari kelahirannya dengan berpuasa.

عَنْ أَبِي قَتَادَتَ اْلاَنْصَارِيِّ اَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ صَوْمِ الْاِثْنَيْنِ فَقَالَ فِيْهِ ولُدِتْ ُوَفِيْهِ أُنْزِلَ عَلَيَّ

“Diriwayatkan dari Abu Qatadah al-Anshari RA bahwa Rasulullah pernah ditanya tentang puasa senin, maka beliau menjawab:” Pada hari itulah aku dilahirkan dan wahyu diturunkan kepadaku.” (HR. Muslim).

Nah, Nabi saja bahagia dan mensyukuri hari kelahirannya dengan melakukan puasa serta menganjurkan ummatnya untuk berpuasa pada Hari Senin yang merupakan hari kelahirannya. Bagaimana mungkin kita sebagai ummatnya yang dicintai oleh beliau tidak mensyukuri hari kelahirannya?

Lebih dari itu, kita ummat Islam diperintahkan untuk mensyukuri dan menyambut bahagia setiap anugerah dan kasih sayang Allah kepada kita, sebagaimana firman-Nya

قُلْ بِفَضْلِ اللهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَالِكَ فَلْيَفْرَحُوْا

"Katakanlah (Muhammad), sebab anugerah dan rahmat Allah (kepada kalian), maka hendaknya mereka bergembira". (QS.Yunus ayat 58).

Sementara kita tahu bahwa kelahiran Nabi Muhammad merupakan fadlah atau anugerah Allah terbesar. Sebagaimana disebutkan dalam syair

يا هنانا بمحمد # ذلك الفضل من الله

"Betapa beruntungnya kami dengan lahirnya Nabi Muhammad".
"Dia (Muhammad) merupakan anugerah dari Allah."

Dan Nabi Muhammad SAW pun merupakan rahmat atau kasih sayang Allah terbesar, bahkan bukan hanya untuk manusia, melainkan untuk seluruh alam. Bukankah Allah SWT berfirman

وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِيْنَ

"Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam". (QS. Al-Anbiya’ ayat 107)

Maka karena Nabi sendiri yang telah pertama kali mulai merayakan Maulid, maka sudah sepatutnya kita sebagai ummatnya lebih semangat merayakannya. Karena hakikat dari peringatan Maulid Nabi adalah bentuk sukur atas lahirnya Nabi Muhammad SAW.

Sebagaimana hal ini dianjurkan sendiri oleh Rasulullah dalam hadis yang diriwayatkan Ibnu Asakir dan sanadnya dinilai shahih oleh pakar hadis, Imam Adz-Dzahabi.

مَنْ عَظَمَ مَوْلِدِيْ كُنْتُ شَفِيْعًا لَهُ يَوْمَ اْلِقيَامَةِ

"Barangsiapa menghormati hari lahirku, tentu aku akan memberikan syafa’at kepadanya dihari Kiamat."

Bahkan Umar bin Khattahab menilai orang yang memperingati Maulid Nabi sebagai orang yang menghidupkan syiar Islam. Ini dapat dilihat dalam Madarij as-Su’ud Syarh Al-Barzanji halaman 16.

وَقَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ مَنْ عَظَمَ مَوْلِدِ النَّبِي صَلًّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَدْ اَحْيَا الْاِسْلَامَ

"Umar mengatakan: Barangsiapa menghormati hari lahir Rasulullah, maka sungguh ia telah menghidupkan syiar Islam."

Maka dengan sederet penjelasan di atas, tidak ada alasan lagi bagi kita untuk meninggalkan apalagi menolak Peringatan Maulid. Lagi pula seperti yang dikatakan Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki, “Peringatan Maulid Nabi tidak butuh pada dalil yang shahih, tapi ia hanya butuh pada hati yang sehat”.

Ini sindiran keras bagi mereka yang mengaku berjalan di atas sunnah, tapi mengingkari agungnya peringatan kelahiran Nabi. Bukankah cinta Nabi pada kita tanpa syarat, lalu mengapa kita ummatnya masih perlu alasan untuk mencintainya? Begitukah cara kita membalas cinta?

Oleh Usatdz Faisol Abdurrahman, Alumni dan Staff Pengajar di Pondok Pesantren Raudlatul Ulum Al-Khaliliyah. Artikel ini juga tayang di Pecihitam.org
Read More

Senin, 04 November 2019

Perayaan Maulid Lebih dari Sekedar Mengenal Nama dan Nasab Nabi Saw

November 04, 2019

Tarbiyah.onlineApa hikmah dari memperingati perayaan maulid Nabi Muhammad SAW? apakah hanya sekedar makan-makan? Adakah hal lain yang perlu diperhatikan?

Kelahiran Baginda Rasulullah SAW adalah merupakan suatu nikmat besar lagi sangat berharga. Karena dengan lahirnya Pemuda Arab yang suci lagi mulia ini, kita dapat mengenal Allah melalui perantaraan beliau SAW.

Oleh karena inilah kita ummat Islam sedunia walaupun tidak semuanya, membuat perayaan Maulid Nabi SAW, sebagai bentuk rasa syukur kita terhadap nikmat yang agung tersebut.

Namun yang sangat disayangkan adalah, jika kita perhatikan perkembangan ummat muslim sekarang ini dalam memperingati maulid Nabi, kebanyakan hanya sekedar menyanjung-nyanjung nama Rasulullah SAW, menyebut nasab keturunannya , bercerita kisah-kisah perjalanan hidupnya dan menyampaikan ajaran yang dibawanya.

Hanya sekedar itu saja, sangat kurang yang mengamalkan ajaran yang dibawanya secara komplit

Yang dimaksud dengan kata-kata “secara komplit”, adalah sebagaimana Firman Allah SWT yang tersebut didalam  Al-Quran:

قَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ

“Sungguh Allah Telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata”. (QS. Ali Imran: 164)

Cobalah kita perhatikan dengan seksama ayat tersebut diatas. Maka dapat disimpulkan bahwa hikmah diutusnya Rasul tersebut adalah untuk menyampaikan tiga perkara kepada orang-orang quraisy dan kita semua, tiga perkara itu adalah :

1. Tentang keberadaan Allah/tanda-tanda keberadaan-Nya. Inilah yang dimaksud dengan Tauhid atau aqidah.

2. Tazkiyah (penyucian jiwa), yakni membersihkan nafsu dari segala macam sifat tercela dan dari syirik khafi (halus/tersembunyi) yang bersarang didalam bathin. tazkiyah Inilah yang disebut dengan tasawwuf dan kesufian.

3. Mengajarkan Kitab (hukum syari’at) dan hikmah atau kebijakan dalam mejalanai kehidupan didunia yang fana ini.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa, perayaan maulid Nabi tersebut bukan hanya sebatas mengetahui nama dan nasab keturunan, sejarah kelahiran dan kehidupan beliau saja. Akan tetapi Maulid Nabi itu dirayakan untuk memahami dan mengikuti ajaran-ajaran yang dibawa oleh Nabi SAW.

Memahami ajaran-ajaran tersebut dengan pemahaman yang benar, untuk kemudian mengamalkannya dengan baik. Jadi bukanlah hanya sekedar membangga-banggakan Sosoknya saja, tanpa mengikuti ajaran yang dibawanya.

Ibrahim bin Adham, seorang tokoh ulama shufi, Waliyullah terkenal. Beliau pernah ditanya oleh murid-muridnya perihal ayat yang berarti “Berdoalah kepada-Ku niscaya akan Kuterima”. muridnya berkata:

“Wahai guru, Kami senantiasa berdoa kepada Allah, akan tetapi sampai saat ini doa kami tersebut belum terwujudkan, belum diterima. Lalu bagaimana ayat tersebut dapat terbukti wahai guru? apa maksud ayat itu sebenarnya? dan apa kesalahan kami sehingga sampai saat ini doa kami belum  juga diterima Allah SWT?”

Sang guru, Ibrahim bin Adham pun menjawab beberapa hal yang menjadi pencegah diterimanya doa seorang hamba oleh Allah. Salah satunya adalah “Kalian membangga-banggakan Nabi Muhammad, kalian kagum padanya, bahkan kalian siap berperang bila namanya direndahkan, tetapi sayangnya kalian tidak mau mengikuti sunnah dan ajaran-ajarannya. inilah penyebab doa kalian tidak diterima” kata beliau.

Makanya Allah SWT menghikayahkan didalam Al-Quran ucapan Nabi Ibrahim as. Nabi Ibrahim berkata:

فَمَنْ تَبِعَنِي فَإِنَّهُ مِنِّي

“…maka barangsiapa yang mengikutiku, maka sesungguhnya orang itu termasuk golonganku”. (QS. Ibrahim: 36)

Pertama sekali yang kita pahami dari ayat ini adalah siapa yang mengikut maka dia termasuk golongan ku, dan yang kedua merupakan kebalikan dari itu, yakni siapa yang tidak mengikutiku maka bukanlah dari golonganku.

Maka oleh karena itu, ketika Nabi Nuh as berkata kepada Allah tentang putranya yang durhaka:
فَقَالَ رَبِّ إِنَّ ابْنِي مِنْ أَهْلِي

“…maka ia (Nuh) berkata : Ya Tuhanku, Sesungguhnya anakku termasuk keluargaku” (QS. Hud: 45)

Kemudian Allah SWT pun menjawab kegelisahan Nabi  Nuh, pada ayat selanjutnya Allah SWT Berfirman:

قَالَ يَا نُوحُ إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ ۖ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ

“Allah Berfirman: Wahai Nuh, sesungguhnya dia bukan termasuk keluargamu, sesungguhnya (perbuatan)nya tidak baik”. (QS. Hud: 46)

Padahal anak itu adalah anak kandung Nabi Nuh as, Nabi Nuh sendiri yang mengakui itu. Ketika beliau berkata demikian kepada Allah. Namun Allah menjawab bahwa bukanlah ia termasuk dalam golongan Nabi Nuh, karena ia memiliki amalan yang buruk, tidak mengikuti ajaran-ajaran yang dibawa oleh Nabi Nuh as. Meskipun ia (Kan’an) berasal dari darah dagingnya sendiri, anak kandungnya.

Makanya jika dalam masalah agama, bukanlah masalah hubungan darah semata. Akan tetapi masalah ikut atau tidak.

Sebagaimana pada contoh lainnya, yaitu salah seorang sahabat Nabi yang mulia, Salman al-Farisi. Beliau bukanlah dari keluarga Nabi Muhammad SAW, tidak ada hubungan nasab, bahkan tidak berasal dari Mekkah. Tetapi Nabi SAW pernah berkata tentang sosoknya.

Rasulullah SAW bersabda: “Salman Farisi adalah keluargaku”. Ini dikarenakan Salman al-Farisi mengikuti ajaran-ajaran Nabi SAW (Mutaba’ah). Oleh karena ini, dalam agama bukan masalah hubungan darah, tetapi masalah mutaba’ah.

Jadi silahkan saja bila kita ingin membuat kenduri maulid, tetapi inti yang dimaksud dari perayaan maulid Nabi itu adalah sebagaimana yang telah disebutkan diatas. Bukan hanya sebatas mengundang orang untuk datang dan makan bersama, lantas ajaran-ajaran Nabi SAW yang kita rayakan hari kelahirannya itu tidak kita ikuti/amalkan.

Yang perlu kita tekankan disini adalah tazkiyah (penyucian jiwa) yang ada pada surat Ali Imran ayat 164 pada awal pembahasan tadi. Ini sudah sangat kurang pembahasannya dikalangan pemuda-pemudi Islam saat ini. Apalagi dalam hal pengamalannya, sungguh jauh panggang dari api.

Kita dituntut untuk berakhlak mulia, menghilangkan ananiyah/ keakuan, dan untuk bersuhbah (berhubungan baik) dengan Allah dan semua makhluk-Nya. Dan ini semua tidak dapat kita lakukan melainkan dengan bimbingan seorang Mursyid (guru rohani). Begitulah penjelasan dari seluruh ahli sufi terdahulu yang bisa kita baca dalam berbagai kitab-kitab tashawwuf/kesufian.

Bukan hanya dengan membaca-baca saja kitab tasawuf, kemudian kita menjadi sufi, tidaklah demikian. Kesufian (tazkiyah) ini butuh kepada riyadhah lahir dan batin dibawah bimbingan seorang Mursyid yang Kamil.

Demikianlah, semoga kita dapat memetik pelajaran berharga dari tulisan ini untuk kemudian menjadi bahan renungan kedepannya, bagaiman caranya agar perayaan maulid Nabi SAW tidaklah hanya sekedar makan-makan, mengetahui nasab Nabi SAW, tempat tanggal lahir, tempat wafatnya dan kisah hidupnya.

Akan tetapi kita juga harus tahu dan mengamalkan Syariat dan Thariqatnya/hadap hatinya dan akhlak prilakunya.

Allah SWT Berfirman:

فَالَّذِينَ آمَنُوا بِهِ وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ وَاتَّبَعُوا النُّورَ الَّذِي أُنْزِلَ مَعَهُ ۙ أُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“…Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS. Al-A’raf: 157)

Bahkan lebih dari itu, dalam ayat diatas barusan kita juga dituntut untuk mencintai, memperjuangkan dan membela ajaran-ajarannya, tentunya dengan segala kemampuan yang kita miliki walaupun nyawa sebagai taruhannya.

Jika tidak demikian, maka sungguh perayaan maulid tersebut hanya sebatas perayaan, sedikit sekali manfaatnya atau bahkan na’uzubillah!, tidak bermanfaat sama sekali. Wallahua’lambisshawab!

[Disarikan dari ceramah khutbah Jum’at di Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh tanggal 1 November 2019, yang disampaikan oleh Abu. H Syukri Daud Pango, Pimpinan Dayah (Ponpes) Raudhatul Hikmah Al-Waliyyah]

Oleh Teungku Muhammad Haekal, S.Pd.I Pengajar at Pesantren Tradisional Dayah Raudhatul. Artikel ini juga tayang di Pecihitam.org

Read More

Minggu, 27 Oktober 2019

Sebenarnya Paha Laki-Laki Termasuk Aurat Tidak? Ini Jawaban dan Penjelasannya

Oktober 27, 2019
Image result for paha laki-laki

Tarbiyah.online - Fiqih, Menutup aurat di depan khalayak ramai hukumnya wajib, karena beberapa dalil yaitu :

Firman Allah SWT dalam surah al-A’raf 28 :


وَإِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً قَالُوا وَجَدْنَا عَلَيْهَا آبَاءَنَا 

Hadits Ibnu Abbas :

(كانوا يطوفون البيت عراة فهي فاحشة)

Hadits Sy. Ali bin Abi Thalib :

(لا تبرز فخذك ولا تنظر الى فخذ حى ولا ميت)

Menurut pendapat kuat, menutup aurat ketika sendiri hukumnya wajib, karena hadits Sy. Ali diatas. Pendapat lain menyatakan tidak wajib karena alasan bahwa kewajiban menutup aurat supaya terhindar dari pandangan manusia. Dalam kondisi sendirian maka aurat tidak wajib ditutupi ketika tidak ada yang melihat.

Menutup aurat  didalam shalat hukumnya juga wajib karena hadits

لا يقبل الله الصلاة حائض الا بخمار

“Allah tidak akan menerima shalat orang yang baligh kecuali dengan adanya penutup”

Hadits ini diriwayat oleh Abu Daud dan Tirmidzi. Menurut beliau status hadits ini adalah hasan sahih. Imam al-Hakim juga meriwayat hadits ini dalam al-Mustadrak dan beliau berkata hadits ini shahih berdasarkan syarat Muslim.

Maksud حائض disini adalah orang yang telah baligh. Interpretasi ini karena alasan bahwa seseorang biasanya memasuki masa baligh ketika sampai batasan usia haidh.
Menutup aurat merupakan salah satu syarat shalat, bila aurat terbuka walaupun sedikit maka shalat menjadi batal. Baik shalat dikerjakan ditempat sunyi maupun dihadapan orang banyak. Bila seseorang telah selesai shalat, lalu menyadari bahwa ada bagian aurat yang terbuka, maka wajib mengulang kembali shalat yang telah dikerjakan berdasarkan pendapat mazhab. Namun, bila ada probabilitas bahwa auratnya terbuka ketika selesai shalat maka tidak wajib lagi di replay dengan tanpa khilaf.

Batasan aurat dalam shalat

Batasan aurat laki-laki terdapat 5 pendapat :

1. Shahih manshus : aurat laki-laki adalah bagian tubuh yang terletak antara pusat dan lutut. Syeikh Abu Hamid berkata, Imam Syafi’i menyebutkan bahwa aurat laki-laki yang merdeka dan budak adalah antara pusat dan lutut. Sedangkan bagian pusar dan lutut sendiri bukanlah merupakan aurat seperti keterangan dalam al-Um dan al-Imla’.
2. قيل : keduanya adalah aurat
3. قيل : pusat adalah aurat, sedangkan lutut bukan aurat
4. قيل : sebalik pendapat ketiga
5. قيل : yang menjadi aurat hanya qubul dan dubur seperti  di-hikayah oleh Imam Rafi’i dari Abi Sa’id al-Ishthikhary. Ini adalah pendapat syadz lagi mungkar.

Batasan aurat perempuan dalam shalat adalah seluruh badan kecuali muka dan telapak tangan sampai pergelangan.

Menjawab Kesalahpahaman Interpretasi Hadits Aisyah Ra

Dalam hadits Aisyah disebutkan :

حَدَّثَنَا يَحْيَي بْنُ يَحْيَي، وَيَحْيَي بْنُ أَيُّوبَ، وَقُتَيْبَةُ، وَابْنُ حُجْرٍ، قَالَ يَحْيَي بْنُ يَحْيَي: أَخْبَرَنَا، وقَالَ الْآخَرُونَ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ يَعْنُونَ ابْنَ جَعْفَرٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ أَبِي حَرْمَلَةَ، عَنْ عَطَاءٍ، وَسُلَيْمَانَ ابني يسار، وأبي سلمة بن عبد الرحمن، أن عائشة، قَالَتْ: " كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُضْطَجِعًا فِي بَيْتِي، كَاشِفًا عَنْ فَخِذَيْهِ أَوْ سَاقَيْهِ، فَاسْتَأْذَنَ أَبُو بَكْرٍ فَأَذِنَ لَهُ وَهُوَ عَلَى تِلْكَ الْحَالِ، فَتَحَدَّثَ، ثُمَّ اسْتَأْذَنَ عُمَرُ، فَأَذِنَ لَهُ وَهُوَ كَذَلِكَ، فَتَحَدَّثَ ثُمَّ اسْتَأْذَنَ عُثْمَانُ، فَجَلَسَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَسَوَّى ثِيَابَهُ، قَالَ مُحَمَّدٌ: وَلَا أَقُولُ ذَلِكَ فِي يَوْمٍ وَاحِدٍ، فَدَخَلَ فَتَحَدَّثَ فَلَمَّا خَرَجَ، قَالَتْ عَائِشَةُ: دَخَلَ أَبُو بَكْرٍ فَلَمْ تَهْتَشَّ لَهُ وَلَمْ تُبَالِهِ، ثُمَّ دَخَلَ عُمَرُ، فَلَمْ تَهْتَشَّ لَهُ وَلَمْ تُبَالِهِ، ثُمَّ دَخَلَ عُثْمَانُ فَجَلَسْتَ وَسَوَّيْتَ... أخرجه مسلم فى باب فضائل عثمان

Sebagian kalangan, seperti Malikiyyah dan lainnya, berpendapat bahwa paha tidak termasuk bagian aurat karena dasar ini hadits. Imam Nawawi berkata : Hadits ini tidak dapat dijadikan hujjah dalam masalah batasan aurat, karena didalamnya masih ada keraguan disisi perawi bagian tubuh mana yang terbuka, apakah paha atau betis.

Referensi : Al-Majmu’ Syarah Muhazzab Juz 4 Halaman 186-193 Dar Kutub al-Ilmiyyah
Shahih Muslim Juz 8 Halaman 181 Dar al-Hadits al-Qahirah

Read More

Rabu, 23 Oktober 2019

Kenal Ulama: Biografi KH Maimoen Zubair, Sang Ulama Kharismatik Indonesia

Oktober 23, 2019

Tokoh | KH Maimoen Zubair atau biasa dikenal dengan panggilan Mbah Moen ulama kharismatik yang banyak menjadi panutan para santri. Bila matahari terbit dari timur, maka mataharinya para santri ini terbit dari Sarang Rembang. Berikut adalah biografi KH Maimoen Zubair seorang ulama yang berkepribadian santun, jumawa, serta rendah hati. Mbah Moen lahir di Sarang Rembang pada hari Kamis, 28 Oktober 1928. Beliau merupakan putra pertama dari Kyai Zubair. Seorang Kyai yang tersohor karena kesederhanaan dan sifatnya yang merakyat. Ibundanya adalah putri dari Kyai Ahmad bin Syuaib, ulama yang kharismatik yang teguh memegang pendirian.

Mbah Maimoen, adalah insan yang lahir dari gesekan permata dan intan. Dari ayahnya, beliau meneladani ketegasan dan keteguhan, sementara dari kakeknya beliau meneladani rasa kasih sayang dan kedermawanan. Kasih sayang terkadang merontokkan ketegasan, rendah hati seringkali berseberangan dengan ketegasan. Namun dalam pribadi KH. Maimoen Zubair ini, semua tersinergi secara padan dan seimbang.

Kerasnya kehidupan pesisir tidak membuat sikapnya ikut mengeras. Beliau adalah gambaran sempurna dari pribadi yang santun dan matang. Semua itu bukanlah kebetulan, sebab sejak dini beliau yang hidup dalam tradisi pesantren diasuh langsung oleh ayah dan kakeknya sendiri. Beliau membuktikan bahwa ilmu tidak harus menyulap pemiliknya menjadi tinggi hati ataupun ekslusif dibanding yang lainnya.

Kehidupan sehari-harinya menjadi gambaran dari semua itu. Walau banyak dikenal dan mengenal erat tokoh-tokoh nasional, tapi itu tidak menjadikannya tercerabut dari basis tradisinya semula. Sementara walau sering kali menjadi peraduan bagi keluh kesah masyarakat, tapi semua itu tetap tidak menghalanginya untuk menyelami dunia luar, tepatnya yang tidak berhubungan dengan kebiasaan di pesantren sekalipun.

Riwayat Pendidikan Mbah Maimoen Zubair

Kematangan ilmunya tidak ada satupun yang meragukan. Sebab sedari kecil beliau sudah dibesarkan dengan ilmu-ilmu agama. Sebelum menginjak remaja, beliau diasuh langsung oleh ayahnya untuk menghafal dan memahami ilmu Shorof, Nahwu, Fiqih, Manthiq, Balaghah dan bermacam Ilmu Syara’ yang lain. Dan siapapun zaman itu tidaklah meragukan, bahwa ayahnya Kyai Maimoen, Kyai Zubair, adalah murid pilihan dari Syaikh Sa’id Al-Yamani dan Syaikh Hasan Al-Yamani Al- Makky. Dua ulama yang kesohor kala itu.

Kecemerlangan demi kecermelangan tidak heran menghiasi langkahnya menuju dewasa. Pada usia yang masih muda, kira-kira 17 tahun, Beliau sudah hafal diluar kepala kiab-kitab nadhom, diantaranya Al-Jurumiyyah, Imrithi, Alfiyyah Ibnu Malik, Matan Jauharotut Tauhid, Sullamul Munauroq serta Rohabiyyah fil Faroidl. Seiring pula dengan kepiawaiannya melahap kitab-kitab fiqh madzhab Asy-Syafi’I, semisal Fathul Qorib, Fathul Mu’in, Fathul Wahhab dan lain sebagainya.

Setelah mengenyam pendidikan dari ayahnya beliau memulai pengembaraannya lanjut mengaji di Pesantren Lirboyo Kediri selama 5 tahun, dibawah bimbingan KH. Abdul Karim yang terkenal dengan Mbah Manaf. Selain itu, beliau juga menimba ilmu agama dari KH. Mahrus Ali juga KH. Marzuqi Dahlan. Seusai ngaji di Lirboyo Kediri, pada usia 21 tahun Mbah Maimoen pergi ke Tanah Suci dan mengaji selama 2 tahun disana.

Selama di Mekkah beliau diiringi oleh kakeknya sendiri, yakni KH. Ahmad Bin Syuaib. Di Tanah Suci beliau berguru kepada Sayyid Alawi Al-Maliki, Syaikh Hasan Al-Masysyath, Sayyid Amin Al-Kutbi, Syaikh Yasin Al-Fadani, Syaikh Abdul Qodir al-Mandily, dan Syaikh Imron Rosyadi di Darul Ulum Mekah.Selama dua tahun lebih beliau menetap dan belajar di Mekkah untuk menimba ilmu. Kemudian setelah kembali dari Tanah suci, Beliau masih melanjutkan belajarnya lagi di Indonesia kepada ulama-ulama besar tanah Jawa saat itu.

Diantara guru-guru beliau adalah KH. Baidlowi (mertua beliau sendiri) dan KH. Ma’shum, yang keduanya sama-sama berasal dari Lasem. Selanjutnya beliau belajar kepada KH. Ali Ma’shum dari Krapyak Jogjakarta, KH. Bisri Musthofa, Rembang, KH. Abdul Wahhab Hasbullah, KH. Mushlih Mranggen, KH. Abbas Buntet Cirebon, Sayikh Ihsan Jampes Kediri dan juga kepada KH. Abul Fadhol dari Senori, Kiai Hamid Pasuruan, Habib Abdul Qadir Bilfaqih Malang, dan Habib Ali Alatthas Pekalongan, dll.

Tahun 1964 M pada usia 36 tahun, Mbah Maimoen mendirikan musholla kecil untuk mengajar masyarakat di desa Sarang. Pada tahun 1966, membangun kamar di sebelah musholla untuk santri yang menghendaki mondok. Dan pada tahun tahun 1970 berdirilah Pesantren sampai sekarang ini di kenal dengan nama Pesantren Al-Anwar.

Mbah Maimoen setiap hari mengaji ilmu tingkat lanjut seoperti Fathul Wahhab, Syarah Mahalli, Jam’ul Jawami’, Ihya Ulumiddin, dll. Saat Ramadhan, beliau mengaji Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Muwattha, dll. Tiap Ahad beliau ngaji Tafsir Jalalain bersama ribuan masyarakat umum dan santrinya.

Keharuman nama dan kebesaran Beliau sudah tidak diragukan lagi. Banyak santri-santri didikan beliau di al Anwar yang menjadi alim ulama besar. Sudah terbukti bahwa ilmu-ilmu yang Belaiu miliki tidak cuma membesarkan jiwa beliau sendiri, namun juga membesarkan setiap santri yang belajar dengan beliau.

Perjuangan Politik KH Maimoen Zubair

Mbah Maimoen Zubair pernah menjadi anggota DPRD Kabupaten Rembang selama 7 tahun dan anggota MPR RI utusan daerah Jawa Tengah selama 3 periode. Sejak dahulu berjuang sebagai politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan menjabat posisi sebagai Ketua Majelis Syariah. Di PBNU, beliau menjadi mustasyar serta duduk di ‘majlis ifta wal irsyad’ Jamiyah Ahlit Thariqah al-Mu’tabarah an-Nahdliyyah (JATMAN).

Sosok Mbah Moen selalu dianggap mempunyai pengaruh besar dalam dunia politik. Setiap menjelang pemilu beliau sering disowani tokoh-tokoh politik hingga calon presiden. Ketika menjabat jadi anggota dewan, Mbah Maimoen tidak pernah menikmati gajinya. Hal ini beliau lakukan untuk menghindari harta yang syubhat. Bahkan ada yang menuturkan jika pergi ke Jakarta untuk keperluan politik, beliau sekeluarga memilih membawa bahan makanan sendiri untuk dimasak.

Sosok Yang Mandiri

Sejak Muda mbah Maimoen dikenal sebagai sosok yang mandiri. Beliau pernah menjadi petugas koramil, kepala pasar, pengayong bulog, ketua koperasi, hingga bekerja di pelelangan ikan. Berbagai macam pekerjaan pernah beliau lakoni.

Mbah Maimoen sangat hati-hati dalam urusan nafkah. Saat menyimpan uang, beliau selalu membeda-bedakan lokasinya di lemari. Antara uang dari ceramah, atau dari partai, atau dari hasil penjualan warung, atau dari hasil pertanian. Uang tersebut dipisah-pisah supaya tidak tercampur. Jika ada keperluan ceramah, Mbah Maimoen menggunakan uang dari hasil ceramah. Kalau ada keperluan politik, beliau pakai uang hasil berpolitik. Adapun untuk keperluan nafkah keluarga dan makan sehari-hari, beliau ambil dari hasil pertanian dan warung beliau sendiri.

Tawadhu Tingkat Tinggi Mbah Maimoen Zubair

Dikisahkan ketika Syaikhna Dr. Abdun Nashir al-Malibari mengunjungi KH Maimoen Zubair di Sarang, ada kurang lebih empat perkara Mbah Maimoen yang sangat luar biasa. Empat perkara tersebut menunjukkan betapa tingginya sikap tawadhu KH. Maimoen Zubair. Bahkan perkara tersebut keluar dari lisan mulia beliau dengan alami tanpa ada sedikitpun takalluf (paksaan).
طال عمري وقل عملي
“Umurku panjang tapi amal baikku sedikit.”

Sekelas amal KH Maimoen Zubair yang seluruh umur dan hidupnya di dedikasikan terhadap islam dan kaum muslimin beliau masih mengganggap amalnya sedikit.
عمري فوق التسعين، ادع لي أن أموت على دين الإسلام
Kepada Syaikh Abdun Nashir al-Malibari beliau berkata: “Umurku sudah 90 tahun lebih. Tolong doakan agar saya meninggal dalam keadaan membawa agama Islam.”

Coba bayangkan seorang ulama dan waliyyullah besar yang besar masih minta didoakan meninggal dengan membawa agama Islam. Padahal, amal kesalehan beliau untuk kemaslahatan umat Islam khususnya muslimin Indonesia sudah tak terhingga. Sungguh betapa tawadhunya beliau seakan tidak menganggap amal baiknya hingga takut meninggal tidak membawa Islam.
أنتم صاحب المؤلفات وأنا ما عندي تأليفات

Beliau juga berkata kepada Syaikh Abdun Nashir al-Malibari: “Anda penulis banyak kitab. Sedangkan saya tidak mempunyai karangan apa-apa.”

Padahal kita tahu Mbah Maimoen itu punya banyak kitab. Diantaranya adalah Tarajim Masyayikh Sarang, Maslak at-Tanassuk al-Makki, Ta’liqat ‘ala Jauharatit Tauhid, dan Ta’liqat ‘ala Bad’i al-Amali. Saking tawadhunya, seakan semua kitab itu tidak beliau anggap sebagai karangan ilmiah.
Syaikh Abdun Nashir Al-Malibari pun berkata sambil menunjuk kitab Tarajim Masyayikh Sarang: “Lha ini, Kyai. Ini kan tulisan Panjenengan.”
إنما هي تراجم، وليس فيه علم.
“Kitab ini hanya kumpulan biografi. Tidak ada ilmunya.” Jawab mbah Maimoen

Betapa tawadhunya Mbah Maimoen, ingga ada yang mengatakan bahwa tawadhunya KH Maimoen Zubair itu sudah tingkat langit.

Wafatnya KH Maimoen Zubair

Diceritakan KH Ahmad Mustofa Bisri Rembang, Sebelumnya Putera-putera Kiai Maemoen Zubair rahimahuLLah sebenarnya ingin mencegah beliau berangkat haji.Tapi tidak berani matur. Maka mereka minta tolong salah satu santri kinasih beliau yang kebetulan masih famili, mas Nawawi. Mas Nawawi dengan hati-hati matur menggunakan gaya bercerita. Menceritakan obrolan putera-putera beliau. Belum sampai Mas Nawawi tuntas memberitahu apa yang mereka obrolkan, beliau sudah memotong, “Mereka melarang aku berangkat haji ya? Karepe dewe!” (Maunya sendiri).

Terus terang saat Mas Nawawi menceritakan hal itu, dalam hati aku sudah merasa ketir-ketir, tidak enak. Bukan apa-apa: soalnya belakangan setiap ketemu, beliau hampir selalu ngendiko, “Dongo kulo sakniki namung nyuwun husnul khatimah, Lek. Umur kulo sampun langkung 90 tahun.”( Doa saya sekarang ini hanya memohon husnul khatimah, Lek. Umur saya sudah 90 tahun lebih).

Sewaktu Romo Kyai Anwar Kediri silaturrahim di dalem Mbah Kyai Maimoen Zubair di Rembang. Mbah Maimoen berkata ” mugi piyambak pinaringan khusnul khotimah, kapundut dinten seloso, sebab dinten seloso meninggalnya para ulama’, para ahli ilmu ” ( Semoga saya diberi husnul khotimah di panggil yang Kuasa pada hari selasa, karena hari selasa adalah hari meninggalnya para ulama, para ahli ilmu).

Dan doa permohonan beliau dikabulkan oleh Kekasihnya. KH Maimoen Zubair bin KH Zubair Dahlan wafat pada hari selasa 6 Agustus 2019 M atau 5 Dzulhijjah 1440 H di Mekkah Al Mukarammah. Tokoh pendamai yang menyukai perdamaian itu telah damai di sisi Dzat yang Maha damai. Meninggalkan kita yang belum selesai dengan urusan dunia ini, dengan membawa segudang ilmu, akhlak, dan kearifan beliau.

Oleh Arif Rahman Hakim, Pengurus PWCINU dan LAZIZNU Okinawa - Jepang Tahun 2017
Artikel ini telah tayang di Pecihitam.org
Read More

Selasa, 22 Oktober 2019

Begini Tata Cara Tayamum Yang Benar Sesuai Syarat dan Ketentuannya

Oktober 22, 2019
Image result for tayamum

Tarbiyah.online -  Fiqih, Salah satu syarat sahnya shalat adalah berwudhu. Sementara wudhu hanya bisa dilakukan dengan air. Pertanyaannya, bagaimana mau berwudhu sulit untuk menggunakan air, baik karena tidak ada atau karena sakit, maupun sebab yang lain?

Dalam kondisi yang tidak dapat menggunakan air seperti pertanyaan diatas, Islam telah memberikan kemudahan kepada untuk untuk bertayamum.

Tayamum ialah mengusap muka dan kedua belah tangan dengan debu yang suci. Dan pada suatu ketika tayamum dapat menggantikan wudhu dan mandi dengan syarat-syarat tertentu.

Hukum bertayamum tersebut berdasarkan firman Allah surat An-Nisa ayat 43 yang artinya sebagaimana berikut:

“Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu,” (Q.S. an-Nisa’ [4]: 43).

Dari keterangan ayat diatas, setidaknya terdapat beberapa sebab dibolehkannya tayamum, yaitu saat kondisi sakit dan ketiadaan air, dalam keadaan bepergian, sepulang dari buang air, atau junub.

Selain itu tayamum tidak saja bisa untuk menggantikan wudhu, tetapi juga mandi besar, berdasarkan penafsiran sebagian ulama yang memaknai ungkapan “lamastumunnis” maksudnya berhubungan suami-istri, seperti yang ditunjukkan dalam riwayat Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Qatadah, Ubay ibn Ka‘b, ‘Amar ibn Yasir, dan yang lain.

Sebab-sebab bertayamum

Para ulama fiqih menjelaskan sebab-sebab bertayamum. Syekh Mushthafa al-Khin dalam kitab al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Madzahib al-Imam al-Syafi‘i (Terbitan Darul Qalam, Cetakan IV, 1992, Jilid 1, hal. 94) menyebutkan di antaranya ada empat alasan yang dibolehkan:

Ketiadaan air, Baik ketiadaan air secara kasat mata misalnya dalam keadaan bepergian dan benar-benar tidak ada air, dan ketiadaan air secara syara‘ misalnya air yang ada hanya mencukupi untuk kebutuhan minum.
Jauhnya air, yang keberadaannya diperkirakan di atas jarak setengah farsakh atau 2,5 kilometer.

Sulitnya menggunakan air, baik itu sulit secara kasat mata contohnya airnya dekat, tetapi tidak bisa dijangkau karena ada musuh, karena binatang buas, karena dipenjara, dan seterusnya. Adapun sulit menggunakan air secara syara‘ contohnya karena khawatir datangnya penyakit, takut penyakitnya kambuh, atau takut jika sakitnya lama sembuh.

Hal ini berdasarkan riwayat seorang sahabat yang meninggal setelah mandi, sedangkan kepalanya terluka. Kala itu, Rasulullah SAW. bersabda,
“Padahal, cukuplah dia bertayamum, membalut lukanya dengan kain, lalu mengusap kain tersebut dan membasuh bagian tubuh lainnya.” (H.R. Abu Dawud)

Kondisi sangat dingin. Artinya, jika menggunakan air, kita akan kedinginan karena tidak ada sesuatu yang dapat mengembalikan kehangatan tubuh. Akan tetapi, dengan sebab terakhir ini jika sudah ada air, seseorang harus mengqadha shalatnya lagi.

Al-Ghazali dalam salah satu kitabnya Ihya Ulumuddin menjelaskan secara ringkas dan jelas, sebab-sebab bertayamum sebagaimana berikut:
“Siapa saja yang kesulitan menggunakan air, baik karena ketiadaannya setelah berusaha mencari, maupun karena ada yang menghalangi, seperti takut hewan buas, sulit karena dipenjara, air yang ada hanya cukup untuk minim dirinya atau minum kawannya, air yang ada milik orang lain dan tidak dijual kecuali dengan harga yang lebih mahal dari harga sepadan (normal), atau karena luka, karena penyakit yang menyebabkan rusaknya anggota tubuh atau justru menambah rasa sakit akibat terkena air, maka hendaknya ia bersabar sampai masuk waktu fardhu.” (Al-Ghazali, Ihyâ ‘Ulumiddin, Terbitan Darut Taqwa lit-Turats, Jilid 1, Tahun 2000, hal. 222)

Syarat-syarat Tayamum
Ada beberapa hal yang wajib diperhatikan pada saat bertayamum.

Tayamum harus dilakukan setelah masuk waktu shalat.
Menggunakan debu yang suci. Artinya, tidak basah, tidak bercampur tepung, kapur, batu, dan kotoran lainnya.
Terlebih dahulu menghilangkan najis, karena tayamum hanya pengganti wudhu bukan berfungsi untuk menghilangkan najis.
Mengusap wajah dengan kedua tangan.
Tayamum hanya bisa dipergunakan untuk satu kali shalat fardhu. Jika shalat sunnah boleh beberapa kali.

Rukun Tayamum
Jika wudhu ada enam rukun yang harus dipenuhi, maka tayamum hanya ada empat rukun yaitu:
Niat dalam hati.
Mengusap wajah.
Mengusap kedua tangan,
Tertib.

Tata cara tayamum
Ucapkan basmalah lalu letakkan kedua telapak tangan pada debu dengan posisi jari-jari tangan dirapatkan.
Lalu usapkan kedua telapak tangan pada seluruh wajah disertai dengan niat dalam hati, salah satunya dengan redaksi niat berikut:

نَوَيْتُ التَّيَمُّمَ لِاسْتِبَاحَةِ الصَّلَاةِ للهِ تَعَالَى
Artinya: Aku berniat tayamum agar diperbolehkan shalat karena Allah.

Lain dengan wudhu, dalam tayamum tidak disyaratkan untuk menyampaikan debu pada bagian-bagian yang ada di bawah rambut atau bulu wajah. Yang dianjurkan hanyalah berusaha mengusap ratakan debu pada seluruh bagian wajah. Dan itu cukup dengan satu kali menyentuh debu.

Letakkan kembali telapak tangan pada debu, kemudian mengusap dua belah tangan hingga siku dengan sekali usapan dimulai dari tangan kanan.

Tertib (berurutan). Yaitu urut di antara kedua usapan tersebut (wajah dahulu kemudian kedua tagan).

Terakhir, setelah tayamum juga dianjurkan untuk membaca doa bersuci seperti halnya doa setelah wudhu.

Keterangan: Yang dimaksud mengusap bukan sebagaimana menggunakan air dalam berwudhu, tetapi cukup menyapukan debu saja dan bukan mengoles-oles sehingga rata seperti menggunakan air. Demikian semoga bermanfaat. Wallahua’lam Bisshawab.

Oleh: Arif Rahman Hakim, Telah tayang juga di Pecihitam.org
Read More